10. Ada Ada Saja!

1058 Kata
"Bee, jangan tinggalin aku!" Genggaman tangan Himsa, membuat Anjani mematung dengan kerjapan di kedua mata indahnya itu. Menelan ludah dengan menatap wajah tampan yang tertidur itu. Jani sangat yakin sekali, kalau lelaki itu sedang bermimpi. Perlahan ia melepaskan genggaman Himsa, dan meletakan tangan itu di atas dadanya dengan pelan. Namun belum saja ia berhasil meletakannya. Tangan lain menarik tubuhnya, sehingga Jani terjatuh ke atas d**a atasannya itu. Membuatnya terpekik, dan Himsa jadi terbangun dengan kaget. Menyadari kalau ia sepertinya telah melakukan sesuatu, "Jani?" dia segera melepaskan tangannya yang menarik tubuh itu. "Maaf, Pak. saya--" "Itu salah saya. Saya mungkin terlalu memikirkan dia. Dalam mimpi, saya pikir, kamu adalah dia." Himsa membantu Jani bangun dari atas dadanya. "Saya minta maaf, Jani." ujarnya pelan. "Iya, Pak. Itu, kopinya saya sudah buatkan. Saya permisi Pak." Anjani segera keluar dengan cepat. Ia merasa kikuk dan jantungnya berdetak tidak karuan. Selama ini, ia hanya pernah melakukan skin ship seperti itu, hanya dengan Fajar, tentu saja. Jadi sentuhan barusan itu benar benar telah membuatnya tidak bisa berpikir apa apa. Sementara di dalam, Himsa pun sama. Ia mengacak rambutnya dengan tidak salah tingkah. Lebih tepatnya ia merasa kesal dengan prilakunya sendiri itu. "Duh, aku malu pada Jani!" dia menggeleng gelengkan kepalanya tidak tenang. Di tempat lain, Mirella merasa kesal karena Jani terlihat bebas keluar masuk ke dalam ruangan Himsa. Dia berjalan menghampiri perempuan yang sedang membersihkan kaca itu. "Umur kamu berapa tahun?" tanya Mirella ketus. "Eh, ibu. Saya 25 bu. Ada apa Bu?" tanya Jani Ramah. Mirella mendengus. "Kamu sudah menikah apa bagaimana?" "Saya sudah menikah. Anak saya sudah dua." Mirela tersenyum kecil. Merasa lega karena mendengar kalau perempuan itu sudah berkeluarga. "Ok deh. Kalau gitu, jaga anak dan suami kamu. Saya permisi!" Mirela melangkah dengan anggun meninggalkan Jani. Dalam hati berpikir, kalau saat ini sudah tidak akan lagi merasa cemburu pada perempuan itu. Mengingat Himsa atasannya itu enggak mungkin mau pada perempuan beranak dua. Apalagi Jani itu masih bersuami. Bagaimana pun dirinya lebih pantas untuk Himsa. Ia lebih cantik, dan lebih seksi. Sepulang kerja, Jani ke warung nasi Bang Ali. Ia ingin membeli makan untuknya dan Andi. Meski pun ia menitipkan kedua putranya pada sang ibu. Anjani tetap membeli makanan untuknya dan Andi. Ia tidak mau merepotkan perempuan yang telah melahirkannya dua puluh lima tahun yang lalu itu. "Eh, ada Jani?" Ali menyapa. "Iya, Bang. Mau beli lauk nih." jawab Jani. Ali melihat seragam yang dikenakan Jani. "Kamu kerja di mana?" "Oh, saya kerja jadi cleaning servis di XJ Grup." "Wah, cape ya pasti kamu." "Ah, biasa aja Bang." Lelaki itu membungkus pesanan Jani. "Oh, ya? suami kamu kenapa enggak keliatan Jan?" tanya Ali lagi. "Oh, " "Ko, cuma oh doang? kamu sama Fajar masih bersama kan?" tanya Ali lagi. Jani terdiam, dan memilih mengeluarkan uang untuk membayar makanan yang ia beli. "Semuanya berapa Bang?" Ali dibuat penasaran dengan Jani yang mengubah topik. Tapi tentu saja tidak mungkin ia memaksa seseorang untuk memberikan informasi tentang rumah tangga orang lain kan? "Enggak usah deh, itu buat kamu aja. Itung itung hadiah pertemuan kita kembali." Jani terkekeh. "Wah enggak bisa gitu dong, bang. Kan abang jualan. Kalau setiap kali saya ke sini di gratisin, abang bisa bangkrut." tolak Jani. Ali tergelak kecil. "Enggak lah! masa iya, cuma gara gara kamu, aku jadi bangkrut?" "Ya,iyalah! kalau setiap hari mah!" Ali menghela napas pendek. "Udah, ambil aja. Besok besok aja bayarnya ya...." Jani menggeleng pelan. "Lah, si abang. Ya udah, Jani simpen aja uang nya di sini ya!" Karena tidak mau terlibat lebih banyak pembicaraan. Jani memilih meletakan uang lima puluh ribu itu, lalu berjalan cepat keluar. "Hey! Jani! kenapa di bayar sie!" panggilan Ali tidak dihiraukannya. Jani lebih memilih pergi dengan menyebrang jalan, menuju ke rumah Mamahnya. Sore hari ketika Jani ingin beristirahat. Jani dikejutkan dengan ketukan di pintu kontrakannya. Ia memang sudah kembali ke rumahnya setelah menjemput Andi dan Katar. Kedua mata Jani terasa berat. Ia memang merasa lelah sekali sehabis kerja. Ia rencananya akan bangun setelah Isya. Kemudian mau nulis. Tapi karena ada ketukan itu. Ia jadi terbangun dan mau tidak mau harus melek. Membuka pintu menghadirkan mertuanya berdiri di pintu sana. "Lama banget sih!" ketusnya. Jani mengerjap bingung dengan kehadiran mantan mertuanya itu. "Mamah ngapain ke sini? ada perlu apa?" "Kamu tidak sopan ya? saya ini mertua kamu. Kenapa kamu enggak ajak saya masuk dulu?" karena merasa kesal. Perempuan itu pun masuk ke dalam ruam kontrakannya Jani, lalu duduk di sopa. Jani menghela napas dalam, dan masuk dengan pasrah. "Mamah ada apa ke sini?" tanya Jani lagi dengan pelan. "Mamah mau minta bantuan kamu!" "Bantuan?" Jani bertanya setengah tidak percaya. "Bantuan apa?" "Fajar akan menikah beberapa hari lagi. Mamah kekurangan uang. Mamah mau pinjam uang." Jani terbengong dengan apa yang dikatakan mantan mertuanya itu. "Pinjam uang?" "Iya, kamu pasti punya lah. Secara kamu kan penulis hebat kan? juga kamu sekarang udah kerja di kantorkan? yaaa meski cuma sebagai tukang bersih bersih. Enggak kaya calonnya Fajar, yang udah kerja di kantor, meski masih kuliah." Jani jadi ingin tergelak mendengar penuturan sang mantan mertua. "Kalau memang Indira sudah kerja. Kenapa mamah harus ke sini untuk pinjam uang?" "Kamu pelit sekali Jani! Jangan lupakan, kalau selama ini Fajarlah yang memberi kalian makan. Kamu dan kedua anakmu itu!" "Mah, Katar dan Andi memang tanggung jawab Mas Fajar. Memangnya mamah enggak suka kalau Fajar menanggung kedua anaknya? kan mereka darah dagingnya Mas Fajar kan?" "Kamu kalau orang tua lagi ngomong. Pasti ngejawab terus! Kamu memang perempuan pelit dan enggak tahu diuntung ya!" Jani mulak kehilangan kesabarannya. Sudah cukup ia selalu dihina oleh perempuan itu dulu. Tapi sekarang Jani tidak akan pernah mau lagi. "Cukup Mah! ini rumah Jani! Silahkan Mamah angkat kaki dari sini!" Jani menunjuk ke arah pintu. Mamahnya Fajar berdiri dengan dengusan napas kesal. "Kamu terlalu sombong Jani! Mamah sumpahin, kamu jomblo seumur hidup! tidak akan ada lagi laki laki yang mau sama kamu!" Jani menggeleng tidak habis pikir. "Saya memang berniat hidup sendiri! Saya tidak lagi membutuhkan seorang pendamping!" jawab Jani tegas. Mamahnya Fajar berdecih. "Dasar sombong! baru jadi penulis amatiran saja sudah begitu sombongnya!" "Silahkan mamah pergi dari sini!" Jani kembali menunjuk ke arah pintu. Mungkin karena kesal. Mamahnya Fajar pun pergi dengan mengusap dadanya. "Dasar menantu durhaka!" Jani hanya menarik napas dalam, dan menghembuskannya perlahan. "Dia pikun apa ya? kan aku bukan lagi menantunya?" dumel Jani, kesal. Perempuan itu memilih duduk seraya memijat keningnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN