11. Pekerjaan Baru.

1264 Kata
Terpaksa datang kepernikahan sang mantan suami. Anjani membawa kedua putranya. Ia berpikir, mungkin saja Fajar ingin bertemu dengan mereka. "Mamih, kita ngapain ke sini." tanya Andi. "Ini pesta siapa?" celotehnya lagi. Jani belum bisa menjawab semuanya. Ia hanya mengusap kepala sang putra dengan lembut. "Nanti kamu tahu sendiri, sayang. Tapi apa mamah boleh minta sesuatu?" Jani berhenti dan menatap kedua mata polos itu. "Mamih mau minta apa sama Andi?" tanya nya. "Andi harus jadi anak baik. Enggak boleh bikin keributan di sini, ya? pokoknya enggak boleh bikin acara jadi kacau. Nanti di sana, Andi cuma harus salim sama kedua pengantinnya. Setelah itu, kalau andi mau maem boleh. Tapi kalau enggak mau maem. Andi mending pulang aja sama mamih. Bagaimana?" "Iya, Mih. Andi janji." Kemudian keduanya masuk ke dalam, di mana ada sepasang mempelai pengantin. Andi tiba tiba berhenti, dan menatap mamahnya itu. "Mami, itu papah lagi ngapain? kenapa Papah ada di situ?" Andi menunjuk Fajar yang sedang duduk di kursi pelaminan. Membuat Anjani berjongkok dan memegang lembut sisi wajah putranya itu. "Maafin Mami sayang. Intinya mami dan papah udah enggak bisa bersama. Tapi papa pasti akan selalu ada buat Andi." Sepertinya anak lelaki berumur lima tahun itu masih tidak mengerti. Sehingga yang dilakukannya adalah berlari ke arah Fajar. "Papah! ayo pulang! Papah kenapa di sini?!" Fajar terlihat kaget dengan kehadiran Andi. Lalu ia menatap ke arah Anjani, yang berdiri dengan menggendong Katar. Entah kenapa Fajar merasa sesak di dadanya ketika melihat wanita itu. Namun tarikan lembut tangan Indira di wajahnya, membuat Fajar kembali menarik pandangan. "Anak kamu berisik!" ujar Indira tidak senang. Fajar pun berjongkok dan berhadapan dengan putranya itu. "Andi mau maem? andi maem sama nenek ya?" bujuk Fajar. Namun Andi menggeleng, dengan kedua matanya yang merah. "Andi mau papah pulang sama mami. Andi enggak mau papah di sini!" suaranya tersendat. Membuat Neneknya mendekat dan meraih tangan Andi. "Andi maem yuk sama nenek! ada daging kesukaan kamu. Dan Andi boleh makan banyak." rayu neneknya. Namun Andi terus menggeleng dan malah pergi menemui Anjani. "Mamih, ajak papah pulang! kenapa papah sama tante itu?" Anjani menghela napas dalam. Ia tersenyum lembut menatap sang putra. "Andi mau maem enggak? kalau enggak, mending kita pulang aja, ya?"Jani merasa jahat, karena telah membawa putranya ke sana. Jani hanya ingin memberikan pengertian padanya, bahwa mereka memang sudah tidak seperti dulu. "Andi mau Papah pulang, sama kita. Sama Katar, kita pulang!" Andi mulai merengek dengan tangisan kuat. Sehingga membuat Fajar turun dan mendekat ke arah putranya. "Andi mau maem sama Papah?" Fajar membujuk, seraya sesekali menatap Anjani. Entahlah kenapa Fajar ingin menatapnya walau sebentar. Ia pun tidak mengerti. "Enggak! Andi mau papah pulang, sama katar, sama andi dan mami! andi enggak mau papah di sini!" histeris Andi. Membuat suasana pesta jadi sedikit kacau. Mereka para tamu undangan mulai berbisik bisik. "Lagian, kamu ngapain sih bawa andi segala ke sini?!" kesal mamahnya Fajar pada Anjani. "Mah!" Fajar menyelanya. "Andi anaku. Jadi wajar kalau dia ke sini!" ujarnya. Anjani hanya diam, mengusap lengan Katar yang juga sepertinya mulai terusik. Bayi berumur enam bulan itu juga mulai ikut menangis, karena mendengar Andi menangis. Menghadirkan rasa sesak luar biasa, dan kali ini kedua mata Jani mulai panas berkaca. Sepertinya ia harus segera pergi dari tempat ini. "Andi! ayo kita pulang, Nak." Anjani meraih tangannya Andi dengan lembut. Dan Andi pun untungnya menurut. "Mami ..., tapi Papah?" rengeknya, sembari mengusap hidungnya yang basah. Anjani mencoba tersenyum. "Andi mau ke rumah Nenek kan? kalau mau, kita pergi sekarang ya ..., nanti kita beli es krim di warung bang Ali." bujuk Anjani lagi. Lalu Andi pun mengangguk berjalan dengan tangan menggenggam tangannya Jani. Andi melirik ke arah papahnya sekali. Kemudian pergi dengan air matanya terus berdatangan. Menghadirkan perih yang semakin dalam di hati Jani. *** "Jani!" Panggilan Ali membuat perempuan jelita itu mengurungkan niatnya untuk manjalankan motor metiknya. Hari ini Jani akan pergi kerja. Namun Ali menahannya. Dan laki laki itu menghampiri. "Kamu yakin, hubungan kalian baik baik aja? Kamu bohong ya sama aku?" berondong Ali lagi. "Tentang apa ya Bang?" Jani bertanya, atau lebih tepatnya pura pura tidak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. "Fajar! dia kemarin menikah dengan teman adiku. Kamu yakin enggak tahu? atau kamu sudah tahu?" Berniat mau menyembunyikan masalah ini. Tapi malah sudah ketahuan lebih dulu. Jadi Jani sepertinya tidak akan bisa menyembunyikan masalah ini lebih lama lagi. "Kami sudah berpisah. Jadi, aku rasa Mas Fajar boleh meneruskan hidupnya." jawab Jani lembut. Ali terkesiap dan menatap perempuan itu dengan takjub. "Tapi ini terlalu cepat. Aku ngerasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan terkait pernikahan kalian!" dan entah kenapa Ali benci memikirkan kalau Fajar telah menghianati Jani. "Sudah siang, Bang. Aku kerja dulu." Jani menjalakan motornya. Kemudian meninggalkan Ali, setelah ia pamit. Dan Ali dibuatnya tertegun. Ia menatap perempuan itu sampai menjadi mengecil karena termakan jarak. Sesampainya di kantor. Anjani memarkirkan motornya. Namun ia masih duduk di atas motor metik itu, dengan perasaan yang ah, entahlah. Ia hancur, namun tetap harus kuat. Ia punya dua anak yang akan menjadi tanggung jawabnya mulai hari ini. Ah, sejak anak keduanya lahir pun, Anjani memang sudah bekerja keras untuk keduanya. Hanya saja ada Fajar di sampingnya membuat Jani kuat. Namun kali ini justru yang menjadi kekuatannya itu malah sengaja menusuknya dari belakang. "Ayo Jani! Kamu harus kuat!" Kemudian Anjani turun dari motornya, dan pergi setelah mengunci motor itu. Sampai di ruangan cleaning service. Ia dikagetkan dengan Leadernya yang mengatakan bahwa mulai hari ini ia pindah ke bagian administrasi atas perintah Pak Ahimsa. Jani tentu saja bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Namun perempuan itu disuruh menghadap ke ruangannya Himsa sekarang. Kemudian Jani pun masuk ke dalam ruangan atasannya itu. "Permisi! Bapak manggil saya?" Jani berada di depan pintu. Himsa yang baru saja sampai di ruangannya pun menoleh dan mengangguk. "Masuk Jani!" ujarnya. Jani pun masuk dan berdiri di depan meja kebesarannya Ahimsa. "Lider kamu sudah bilang kan?" ujar Himsa. Jani mengangguk. "Tapi saya kan hanya tamatan SMK Pak. Bagaimana saya bisa berada di bagian andminitrasi?" Himsa menghela napas pendek. "Di SMK ada kan pelajaran administrasi kantor?" tanya nya. "Ada, Pak. Tapi mungkin beda." beo nya. "Apanya yang beda, Jani?" kali ini suara Himsa terdengar lebih tegas. "Admintrasi kantor itu tidak sesulit itu. Kamu pasti bisa, dan saya sudah mempercayai kamu. Akan ada Tedi yang ngajarin kamu, nanti." Jani terdiam. Jujur ia tidak berani membantahnya saat ini. Pasalnya mode editornya kembali menguap. Sikap Himsa akan agak sedikit galak kalau naskah Jani kurang nyambung atau ada tulisannya yang tidak enak di baca. Dan Jani sudah hapal tabiat mantan editornya itu. Jadi dari pada ada pertumpahan darah. Jani lebih baik menurut saja. "B-baik, Pak. Terima kasih." pada akhirnya Jani menjawab dengan pasrah. Himsa menghela napas lega. Ia memberikan baju formal baru. Berupa celana panjang, kemeja putih dan sebuah jas kerja. "Jangan pakai rok ya, biar kamu lebih simple!" tambah Himsa ketika meletakan paper bag di atas mejanya. "Kamu ganti sekarang ya, di toilet. Karena Tedi udah nunggu kamu di ruang administrasi!" Jani masih terpaku, serasa enggak percaya dengan apa yang diberikan Himsa padanya. "Ayolah, Jani! Jangan melamun terus!" tegur Himsa lagi. "Eh, maaf. Pak." Jani segera meraih paper bag itu dan keluar dari ruangan Himsa. Selesai dengan seragam barunya. Jani menatap diri di dalam pantulan cermin. Ia terlihat lebih anggun dan menawan. Entah apa yang terjadi padanya. Ia malah menangis di depan cermin itu. "Jani! kamu bisa!" ia berkata pada diri sendiri. Kemudian keluar dari toilet itu lalu berjalan ke ruangan administrasi. Di sana di temukannya seorang lelaki tampan dengan memakai jas dan celana hitam. Dia tersenyum ramah pada Jani dengan menyodorkan tangannya. "Eh, Mbak Jani! Kenalkan, saya Tedi!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN