9. Kisah Himsa

1194 Kata
"Apa kabar?" Himsa mengobati tangan Anjani yang terkena percikap air panas itu dengan salep. Posisi mereka yang agak dekat, membuat Anjani tersenyum mengetahui kalau kabar Editornya itu sepertinya baik baik saja. "Bapak kenapa berhenti jadi Editor?" tanya nya. Himsa meletakan salep di atas meja. "Karena jadi editor saja, enggak akan membuat saya bisa menikah dan hidup bahagia." Anjani melihat punggung tangannya yang sudah tertutup oleh kain kasa. "Upah editor tidak lebih besar dari seorang penulis. Dan karena itu lah Biankan meninggalkanku. Dia lebih memilih artis itu." Anjani juga sebenarnya ingin menanyakan itu. Kedekatan Bianka dan seorang aktor terkenal saat ini. Namun tentu saja Anjani tidak punya keberanian untuk menanyakan itu. "Kamu tahu kan gosipnya Bianka?" Himsa menatap padanya beberapa saat. Lalu menoleh pada laptop di depannya. "Atau kamu sama sekali enggak tahu?" "Saya tahu," Jawab Anjani seraya menatap sekeliling ruangan itu. Ruangan yang di d******i oleh warna abu abu. Ruangan yang selalu ia bayangkan ketika sedang menulis n****+ novelnya. Ruangan yang akan di isi oleh seorang lelaki menawan dan mapan. Lalu memakai baju formal. "Oh, ya. Bagaimana kabar kedua anakmu?" "Mereka baik sekali, Pak." "Sudah lama saya tidak bertemu mereka." "Mereka sama neneknya. Karena saya butuh pekerjaan." Himsa kembali menatap Anjani. "Lalu bagaimana kamu bisa memberikan ASI pada Katar?" "Saya sufort juga Pak." Himsa mengangguk angguk. "Saya harap, semuanya baik baik saja." Kemudian mereka kembali terdiam. Kala seorang sekertaris membuka pintu. "Pak, kita ada meeting sepuluh menit lagi!" "Baik!" Himsa menatap Anjani. "Saya ada meeting. Kamu bisa melanjutkan pekerjaan kamu. " Lelaki itu berdiri seraya merapikan jasnya. "Ayo!" dia mempersilakan Anjani keluar dari pintu lebih dulu. Seampainya di ruangan cleaning servis. Anjani dikejutkan oleh lidernya. Dia menatap Jani dengan tatapan tajam. "Kamu ngapain dari ruangannya Pak Himsa? Kamu enggak sedang godain dia kan?" cetusnya. "Saya cuma bicara sebentar, Bu." Anjani menunduk, seraya mengambil kembali alat kerjanya. "Kamu jangan coba coba bersikap enggak sopan dan bikin malu saya. Kamu itu masih baru. Jadi jangan neko neko!" tegasnya. "Baik, Bu. Saya permisi dulu!" Anjani pamit, seraya membawa alat kerjanya keluar dari sana. Setelah meeting, Himsa merasa kalau kepalanya penat sekali. Sekertarisan menemukan gelagat itu. "Bapak butuh sesuatu?" tanya nya. Dia adalah Mirela. Sekertaris yang sudah bekerja di sana menemani ayahnya Himsa selama lima tahun. Perempuan jelita berusia 25 tahun, masih single tentu saja. Awalnya dia mau resign. Namun semangat kerjanya kembali hadir, ketika Himsa masuk ke perusahaan itu menggantikan pimpinannya yang sudah tua dan tidak menarik lagi. Himsa menggeleng. "Saya butuh istirahat di ruangan saya." jawaban yang datar, sangat tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Rencananya ia ingin memberikan sang atasan perhatian. Dengan membuatkan kopi terenak yang pernah ia buat. Kopi yang selalu diminta oleh Borneo Ahad. Lelaki tua yang selalu memuji kecantikan dan kopi buatannya. Awalnya Mirela merasa senang dengan kebaikan dan mulut manisnya Borneo. Namun lama lama, ia merasa jengah. Karena Borneo tidak asik di ranjang. Baru beberapa menit saja lelaki itu sudah jatuh di atas tubuhnya. Mirela tidak puas. Beda mungkin jika Himsa yang melakukan itu. Ia pasti akan terpuaskan oleh laki laki tampan itu. Ah, sabar Mirela. Himsa pasti akan menjadi pangeran perkasa untuknya. Himsa pun masuk ke dalam ruangannya, namun sebelum itu. Ia mencari keberadaan Jani. "Bapak nyari siapa?" merassa penasaran dengan Himsa celingukan ke sana ke mari. "Saya mencari Jani, cleaning servis yang baru hari ini kerja di sini." ujar Himsa. Mirella menautkan kedua alis. "Bapak butuh sesuatu? saya akan ambil dan buatkan." sudah tiga bulan. Mirella masih saja belum bisa menaklukan lakin laki tampan itu. Mirella mulai kehilangan kesabaran. "Panggilkan Jani untuk saya!" Himsa segera masuk ke dalam ruangannya. Mirella berdecak. Ia sungguh tidak suka diabaikan. Padahal wajahnya sudah begitu cantik dan menarik. Tapi lelaki itu sama sekali tidak mau menoleh padanya. Ia jadi penasaran, seperti apa wajah perempuan yang bernama Jani itu. Kenapa Himsa memilih bertemu dengan seorang cleaning servis. Dibandingkan dengan dirinya. Di tempat lain, Jani sedang membersihkan tangga darurat. "Anjani Trihapsari! Itu nama kamu?" seorang perempuan jelita dengan pakaian formal memanggilnya dengan nada yang tidak senang. "Iya, Bu. Saya Jani." jawab Jani ramah. "Kamu dipanggil Pak Himsa! segera temui sana!" kemudian perempuan itu pun pergi dengan sekali lagi meneliti penampilan Jani. Lalu berdecih, dan komat kamit. Entah apa yang sedang dibicarakannya. Anjani terlihat berpikir beberapa saat. Kemudian ia merapikan alat kerjanya. lantas meletakannya di tempat yang aman. Kemudian ia menunggalkannya menuju ruangannya Himsa. Mengetuk pintu dengan hati hati. Himsa dari dalam mempersilahkannya masuk. Lantas Anjani pun masuk seraya menunduk hormat."Bapak butuh bantuan saya?" tanya nya. Himsa mengangguk lembut dengan sebuah senyuman. "Saya ganggu kamu?" dia bertanya balik. Jani menggeleng. "Tidak pak. Tidak sama sekali." Himsa kembali mengangguk pelan. "Saya penat sekali. Kamu ada rekomendasi minuman yang enak enggak? yang bikin stamina saya kembali segar?" "Biasanya bapak minum apa?" tanya Jani bingung. Pasalnya selama ini, hubungannya dengan Himsa memang selalu berjalan secara online saja. Dan yang dibahas tentu saja hanya seputar naskah dan revisi. Jadi Jani mana tahu minuman apa yang di sukai oleh laki laki itu. "Saya minum kopi, tapi kopi yang ada di kafe itu. Yang ada di dekat kantor penerbitan dulu." Anjani ingat, ia dan penulis lain pernah mampir di sana. Untuk sekadar membahas seputar dunia kepenulisan saja. "Tapi dari sini jaraknnya jauh sekali, Pak." "Iya sih, makanya saya tanya sama kamu." Ini bagaimana? Anjani tidak tahu apapun tentang Himsa. "Saya pernah membuat kopi untuk suami saya. Tapi rasanya saya takutnya bapak enggak suka." pada akhirnya Jani harus mengorak luka lama. Padahal ia sungguh tidak ingin membahas itu. "Coba lah buatkan. Siapa tahu saya suka." "Iya, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu." Anjani pun undur diri. Dengan Himsa yang menyandarkan tubuhnya di kepala sandaran sopa. Ia sungguh merasa lelah. Terutama pikirannya. Himsa tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Bianka adalah seorang gadis yang membuatnya kagum dan tenggelam pada tulisannya. Himsa jatuh cinta pada setiap apa yang dituangkan Bianka pada setiap karyanya. Namun perasaan itu kini harus hancur, karena Bianka lebih memilih laki laki lain ketimbang dirinya. "Kamu selingkuh sama dia!" "Iya, kenapa? aku tidak akan selamanya jadi seorang penulis. Aku capek terus terusan nulis dengan gajih yang enggak tentu. Dan kamu hanya seorang editor! gajih kamu enggak lebih besar dari seorang penulis. Kamu mau ngasih aku dan anaku makan apa? Kalau kamu hanya tetap jadi seorang editor!" "Jadi itu yang bikin kamu milih dia?" "Ya, tentu saja! Aku ini realistis. Aku punya kedua orang tua yang harus aku perjuangkan. Tapi semua itu enggak bisa aku gapai, kalau kamu hanya seorang editor. Aku enggak akan bisa berjuang sendirian! Maafkan aku himsa!" Gadis itu pergi seolah Himsa tidak lagi berarti untuknya. Himsa menngusap kasar wajahnya. Ia masih belum melupakan gadis itu. Semakin kenangan itu kembali mengisi hari harinya. Maka semakin sakit pula kepalanya. Himsa berulang kali menghela napas berat. Kantuk menyerang. Hingga ia pun terkulai di atas sopa itu dengan tangannya ia letakan di atas keningnya. Sementara ini, Anjani kembali dengan membawa kopi hangat buatannya. Ia membuka pintu dan menemukan Himsa tengah tertidur di sopa. Anjani tidak mungkin membangunkan atasannya itu. Ia meletakan kopi itu di atas meja, di dekat sopa yang ditiduri Himsa. Baru saja ia akan melangkah. Ketika sebuah tangan menggapai pergelangannya dan berkata lirih. "Bee, jangan tinggalin aku!" Anjani mematung dengan mengerjap kaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN