Cindy dan sang Ibu berkunjung ke rumah keluarga Erlan.
“Jadi … ini wanita yang ingin kau nikahi?” tanya Andini—Sang Mama--
“Iya, Ma. Cindy ini wanita yang sering Erlan ceritakan ke Mama dan juga Papa,” jawab Erlan.
“Apa kamu yakin, Kak?” tanya Endah—Sang Adik--
“Yakin, Endah. Memangnya kenapa? Kenapa kalian menatap Cindy seperti itu?” tanya Erlan.
“Mama dan Papa tidak setuju kamu menikah dengan wanita yang tidak jelas sepertinya, Mama akan mati sekarang juga jika kamu mencintainya dan menikahinya,” kata Andini, membuat Cindy membulatkan matanya penuh.
“Papa setuju siapa pun yang ingin di nikahi Erlan, Ma,” kata Hermawan—Sang Papa.
“Apa maksud Papa? Ibunya saja menyukai uang, apalagi anaknya, Papa jangan sembarangan bicara,” kata Andini.
“Ma, Cindy bukan wanita seperti itu, Mama jangan membuatku kehilangan Cindy,” kata Erlan.
“Mama tidak akan merestuimu, jika kamu ingin menikah dengan wanita ini, langkahi dulu mayat Mama,” kata Andini, lalu berjalan menaiki tangga. Dan meninggalkan Cindy dan ibunya.
“Ma, Mama kenapa sih?” teriak sang Papa, lalu menyusul langkah kaki Andini.
“Kakak sih, cari perempuan itu yang lebih jelas asal-usulnya,” kata Endah, seraya berjalan menyusul langkah kaki sang Mama dan Papa.
“Cindy, Ibu, maafkan keluargaku,” kata Erlan.
“Aku kan sudah bilang, Mas, jangan menikahiku, aku bukan wanita yang bisa kamu banggakan di depan keluargamu,” kata Cindy.
“Kamu apa-apaan sih Cindy, jangan menolak lamaran Erlan, ya, Ibu bisa saja bunuh diri, jika kamu menolak lamaran Erlan,” kata Diana—Sang Ibu.
“Bu, bagaimana aku mau terima lamaran Erlan, jika keluarganya saja tidak menyukaiku?” tanya Cindy.
“Ibu tidak perduli dengan restu atau semacamnya, yang Ibu inginkan kamu menikah dengan Erlan, itu saja.” sang Ibu tidak pernah mau memahami putrinya.
“Keluargaku pasti menyukaimu, Cindy, aku akan membujuk mereka, saat ini aku akan mengantar kalian pulang ke rumah yang sudah aku janjikan buat Ibu,” kata Erlan.
“Tapi, Mas … aku tidak mau tinggal di rumah pemberianmu, keluargamu tidak akan menyetujuinya jika aku tinggal di rumah kamu,” kata Cindy.
“Lalu, kita akan tinggal di mana? Di jalanan? Kita sudah menyerahkan rumah kumuh itu kepada pemiliknya, apa kata mereka jika kita kembali ke rumah itu? Ibu tidak mau, jika kamu mau kemnali, kamu saja yang kembali, Ibu akan ke rumah Erlan yang Erlan janjikan ke Ibu,” kata Ibu Diana, membuat Cindy tidak bisa mengatur otaknya.
Cindy akhirnya menerima tawaran Erlan untuk tinggal di rumah gedongan milik Erlan, Cindy sebenarnya tidak ingin melakukannya, namun ibunya memaksanya dan berusaha untuk tetap menerima tawaran Erlan.
“Kamu masuk kerja mulai besok, ya, aku sudah memilih posisi untuk kamu,” kata Erlan.
“Posisi? Kamu memperkerjakanku?” tanya Cindy.
“Iya. Kamu tidak mau, kan, menerima uang dariku? Jadi aku akan memberikan pekerjaan saja,” kata Erlan.
“Di perusahaanmu?”
“Iya.”
“Bagaimana dengan ibumu?” tanya Cindy.
“Aku tidak akan memberitahu ibuku jika kamu bekerja di perusahaan,” jawab Erlan.
****
Dua tahun kemudian …
Kehidupan Cindy dan ibunya masih begitu sederhana, namun kehidupan Cindy berubah drastis, ia bekerja di salah satu perusahaan terbesar di kota ini, hubungannya dengan Erlan berakhir, ketika Erlan dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan tinggal di Jerman.
Cindy telah meninggalkan kehidupan kelamnya di kampung yang tidak layak huni, dan memberikan kebahagiaan kepada ibunya meski hidupnya masih sederhana, namun hidupnya tidak seperti dulu, hanya berjualan kue, selama mengenal Erlan, perubahan di hidup Cindy pun terjadi, meski tidak jadi menikah, namun Cindy mampu berdiri sendiri di kota asing ini.
Jakarta kini tengah di landa hujan yang begitu deras, banyak pengendara motor yang kini berteduh dari derasnya hujan. Sedangkan pengendara mobil masih stay di jalanan menunggu macet yang juga tidak kunjung selesai. Pagi hari memang selalu seperti ini.
Seorang wanita cantik dengan pakaian sederhana tengah duduk di salah satu halte, ia kini sedang berpikir mencari cara agar bisa sampai ke kantor, meski hujan ini menghalangi jalannya.
“k*****t! Kenapa hujan datang dipagi hari sih?” umpatnya.
Wanita cantik itu bernama Cindy Miranda, orang-orang biasa memanggilnya Cindy, ia bekerja di salah satu perusahaan pertambangan sebagai staf keuangan, usianya kini dua puluh empat tahun, ia bekerja demi menghidupi sang Ibu yang kini tengah sakit-sakitan juga keponakannya yang di tinggal mati kedua orangtuanya. Namanya Radilan, pria kecil yang kini di hidupi Cindy, yang di adopsi Cindy dari jalanan.
Masa muda yang harusnya dinikmati Cindy, dengan bergaul juga hangout bersama teman-temannya, harus musnah seiring berjalannya waktu, Cindy sudah jarang bergaul maupun bertemu teman-temannya di kantor, karena waktu yang ia habiskan hanya untuk bekerja dan bekerja.
Cindy masuk ke gedung kantor dan menuju ruangan para staf dengan pakaian yang setengah basah, karena harus menerobos hujan menggunakan motornya.
“Kamu telat lagi, Cindy?” tanya Koila, managernya.
“Maafkan saya, Mbak, soalnya di luar hujan deras.” Cindy mengibas pakaiannya.
“Kalau telat mending nggak usah datang sekalian,” timpal Jojo.
“Maaf.” Cindy menundukkan kepala.
“Kali ini kamu saya maafkan, Cindy. Belajarlah lebih disiplin, bekerja itu harus memiliki prinsip. Saya sudah sering mengajarimu agar lebih disiplin lagi, jika di luar hujan, bagaimana dengan yang lain? Mereka tidak telat sepertimu,” sindir Koila.
“Benar tuh kata Mbak Koila, belajar lebih disiplin donk,” timpal Jojo, yang memang tidak suka pada Cindy dari dulu.
“Makasih, Mbak.” Cindy menundukkan kepala lalu bergegas ke meja kerjanya, mengabaikan pakaiannya yang setengah basah.
“Perhatian semuanya, malam ini perusahaan ada acara party untuk menyambut CEO baru kita, semua karyawan perusahaan ini di undang untuk menghadiri acara tersebut. Jadi … saya harap kalian semua memakai pakaian yang terbaik dan seksi, agar kita tidak kalah pada departemen lain. Kita harus menunjukkan bahwa departemen keuangan adalah yang terbaik,” tutur Koila pada seluruh bawahannya.
“Baik, Mbak,” jawab semuanya secara bersamaan.
“Baiklah. Lanjutkan pekerjaan kalian.” Koila berjalan memasuki ruangannya.
Seperti biasa, jika ada hal yang baru di perusahaan, pasti membuat seluruh karyawan selalu berkumpul dan berembuk untuk menentukan pakaian apa yang akan mereka kenakan, itu sudah biasa bagi Cindy, ia tidak pernah mengikuti jejak teman-teman kerjanya, karena waktu yang ia habiskan hanya bekerja mencari hidup.
“Pasti seru party malam nanti,” seru Mita, salah satu rekan kerja Cindy.
“Kita pakai gaun paling seksi yuk, kebetulan pas gajian kemaren aku beli gaun loh,” sambung Yana.
“Yang aku dengar dari temanku yang bekerja jadi staf CEO, katanya CEO kita baru tiba dari Berlin Jerman, dia itu tampan banget dan single.” Nia menimpali, membuat semuanya menatap kagum ke arah Nia.
“Yang benar kamu? Ah … aku nggak sabar bertemu dengan CEO kita.” Mita melanjutkan.
“Kita kerja dulu, makan siang nanti kita bahas pakaian apa yang akan kita kenakan,” bisik Sally.
Cindy mendengkus dan hanya mendengarkan, ia tidak tertarik dengan acara malam yang akan di adakan perusahaan, ia memang tidak pernah tertarik akal hal itu.
Rina mengetuk meja kerja sahabatnya untuk membuat Cindy sadar dari lamunannya.
“Ada apa, Rin?” tanya Cindy, sejenak memalingkan wajahnya melihat rekan kerja lainnya yang kini tengah fokus bekerja.
“Udah, Rin, kerja dulu.” Cindy mendorong kursi kerja Rina.
“Kita ke party ya, malam nanti,” ajak Rina, kembali mendorong kursinya mendetai Cindy yang tengah sibuk dengan inputannya.
Cindy menggelengkan kepala. “Aku nggak bisa.”
“Setiap aku ajakin pasti gitu, kita pergi ya, ya?” rengek Rina, merebut pena yang tengah di pegang Cindy.
“Balikin nggak? Apaan sih, Rin?” Cindy menggelengkan kepala.
“Aku balikin setelah kamu setuju kita ke party. Kenapa nggak nikmatin waktu semalam aja coba? Kamu nggak lelah kerja mulu? Kamu itu manusia, manusia membutuhkan waktu untuk refreshing.”
“Aku harus kerja. Jadi … aku nggak ada waktu untuk menghadiri acara apa pun, meski itu acara kantor,” jawab Cindy.
“Kerja kan bisa besok lagi,” paksa Rina.
“Balikin penaku, Rin, kamu jangan kayak gini donk, memaksa bagaimana pun, aku tetap nggak bisa, aku harus bekerja dan sehari itu penting bagiku,” kata Cindy.
“Tapi, bersantai semalam nggak akan membuat kamu kehilangan kerjaan itu juga kok.” Rina masih memaksa.
“Aku tetap nggak bisa, Rin.” Cindy menggeleng.
“Alasannya?”
“Dengan alasan yang sama, aku harus bekerja. Mbak Lily nggak akan mengizinkanku mengambil libur meski hanya sehari,” jawab Cindy.
“Siapa bilang? Aku udah mengirim pesan whatsaap kepada Kak Lily, dia mengizinkan.” Rina menunjukkan pesan yang ia kirim kepada Lily, manager butik.
“Lagian aku emang nggak suka acara malam seperti itu, bagiku hanya membuang waktu berharga.” Cindy menghela napas.
“Nggak usah nyari alasan! Pokoknya jam tujuh malam nanti aku jemput. Titik nggak pakai koma!” tekan Rina, lalu mengembalikan pena milik Cindy dan kembali kemeja kerjanya.
Cindy menggeleng mendengar paksaan sahabatnya. Keterlaluan.
****
Cindy kini tengah memilih baju yang harus ia kenakan ke acara party perusahaan, Cindy adalah tipe cewek yang santai, kaos dan celana jeans mendominasi pakaian yang ia kenakan sehari-hari.
Keseharian Cindy, ia lebih sering berpakaian kasual, ia termaksud cewek yang mementingkan kepraktisan dan tampilan yang natural. Cindy pun tidak keberatan ke luar dengan make up minimal dan rambut yang hanya digerai atau di ikat asal. Kalau tampilannya lebih dari itu, ia malah merasa keki dan geli sendiri. Namun, kali ini adalah acara besar perusahaan, jadi ia berusaha menyesuaikan diri meski tetap tidak pantas dan tidak menarik.
Cindy melihat satu gantungan yang memperlihatkan baju dress bunga, Cindy mengangguk dan menentukan pilihannya pada dress yang ia pakai sewaktu Bara melamarnya, dress ini sudah sangat lama tidak dipakai Cindy, dan dress ini terpaksa ia beli dulu hanya untuk terlihat lebih cantik ketika Bara mengajaknya dinner. Cindy memakainya dan mendempul wajahnya dengan make up sederhana.
“Tante mau kemana?” tanya Radil, pria kecil berusia hampir tujuh tahun. Kini, sekolah di sekolah dasar. Yang Cindy ambil dari jalanan, karena rasa kasihan, Cindy mengadopsi Radilan sebagai keponakannya.
“Tante mau keluar sebentar, ada acara kantor. Radil temenin Nenek dulu, ya? Nanti kalau ada apa-apa. Radil baru telpon Tante,” pesan Cindy pada ponakannya.
“Iya, Tante, Radil bakal telpon Tante.” jawab Radil. “Tapi –“
“Tapi apa, Nak?”
“Radil boleh nggak dibeliin sate?” Radil merunduk.
Cindy tersenyum seraya membelai rambut ponakannya. “Tentu saja boleh, Sayang. Kenapa nggak boleh?”
“Soalnya selama ini Radil udah nyusahin Tante banget.” Radil mendongak, membuta Cindy merasa bersalah karena di usia Radil saat ini, ia harus kehilangan sosok kedua orangtuanya.
“Siapa yang bilang Radil nyusahin Tante? Tante nggak pernah ngerasa di susahin Radil kok, keinginan Radil bakal Tante penuhi. Asalkan hanya dua yang Tante pengenin dari Radil, jadi anak yang baik dan jadi anak yang penurut,” pesan Cindy. Radil mengangguk.
“Iya, Tante. Sudah pasti.”
“Ya sudah. Tante keluar dulu, jangan lupa telpon Tante jika kakek kenapa-napa.”
Radil mengangguk.
Suara klakson terdengar diluar sana. Cindy bergegas ke teras memakai sandalnya, bukan high heels, melainkan sandal teplek.
Cindy melambaikan tangan kepada ponakannya dan menyuruh ponakannya menutup pintu. Cindy naik ke mobil Rina yang kini terparkir di depan pagar rumah.
“Kamu pakai apa ini?” tanya Cindy, ketika melihat Rina memakai gaun yang ada belahan dipahanya.
“Aku pakai gaun lah, Cindy. Kamu nggak lihat ini?”
“Aku lihat, tapi apa harus seseksi ini? Nggak juga, ‘kan?”
“Bos-bos akan ada di pesta itu, jadi nggak apa-apa donk, aku pakai gaun ini.” Rina menggeleng jika harus berdebat masalah pakaian pada sahabatnya yang kuno itu.
“Emangnya di pesta itu hanya ada kamu? Semua wanita bakal berkumpul juga loh, jadi ngapain menampakkan tubuhmu seperti ini? Ini namanya melanggar kodrat wanita yang harus menutup auratnya.”
“Temanya kan cocok, ini party, jadi aku harus menyesuaikan apa yang ku kenakan. Berbicara melanggar kodrat, kamu pun sudah melanggar kodrat, Cin. Kamu berpakaian seperti itu, sama saja sepertiku, wanita yang seharusnya nggak melanggar kodrat ya seperti perempuan berhijab,” kata Rina.
“Terus bagaimana dengan kamu? Pakaianmu dengan acara ini juga nggak cocok loh, jadi kamu nggak usah menasehatiku.” Rina tidak mau kalah.
“Aku nggak kayak kamu yang memiliki pakaian dan high heels seperti itu, jadi nggak apa-apa kan, aku tampil apa adanya?”
“Ya nggak apa-apa sih, tapi—“
“Cukup! Jangan membuat moodku hilang, Rina! Aku bisa turun kapan saja dari mobilmu ini!” ancam Cindy, membuat Rina menutup bibirnya rapat.
“Dasar!” gumam Rina, menutup bibirnya rapat.
****
Sampai di sebuah hotel bintang lima, Cindy dan Rina masuk kedalam aula, dimana semua karyawan sudah berkumpul.
Cindy mengedarkan pandangannya dan seketika merasa risih melihat pakaian-pakaian yang dikenakan para wanita yang hadir diparty ini, ada yang memakai busana semi formal yang belahan pahanya terlihat, ada yang mengenakan lace dress yang belahan dadanya terlihat, ada yang memakai gaun tipis, sedangkan hanya dia yang kini memakai dress bunga terang dengan sandal teplek. Lucu sekali. Cindy melihat dirinya dipantulan marmer hotel.
“Ish. Pada keganjenan deh,” sindir Cindy.
“Bukan ganjen, Cin. Tapi … modis, wajar donk semua wanita di sini tampil cantik, kan mereka hanya ingin terlihat menarik,” jawab Rina.
“Modis apanya, pada kelihatan gitu auratnya.”
“La–“
“Cukup! Aku mau ke toilet dulu. Aku kalau tetap di sini jadi risih,” kata Cindy.
“Jangan lama-lama, bentar lagi acara udah dimulai loh.” Rina berteriak.
“Iya, Bawel,” jawab Cindy, berjalan menjauh dari keramaian, lalu berjalan menuju belakang aula.
Tak sengaja Cindy menubruk seseorang ketika sedang berjalan mencari toilet.
“Maaf. Saya tidak sengaja.” Cindy menundukkan kepalanya. Lalu, mendongak melihat seorang pria tampan yang kini tengah menatapnya dari atas sampai bawah kaki. Tampan sekali, berhasil membuat Cindy sempat tak berkedip saking terpananya. Manik mata coklat itu mampu menyihir Cindy saat ini. Cindy terkejut ketika mengetahui siapa pria itu, dia Erlan, pria yang pernah menyelamatkannya dari masalah.
“Kamu anggota perusahaan ini?” tanya pria itu, membuat Cindy heran, ketika Erlan tidak mengenalnya.
Cindy mengangguk. “Iya.”
Pria itu kembali melihat atas sampai bawah kaki Cindy, sepertinya ia sedang memastikan sesuatu.
“Ada apa anda lihat-lihat? Macam orang m***m,” tanya Cindy, lalu melangkah mundur.
“Kenapa wanita secantik kamu bicaranya kasar? Kita baru bertemu, namun kamu berbicara seakan-akan kamu mengenal saya, langsung mengatai saya kasar.” Pria itu bernama Erlan, pria yang pernah menyelamatkan Cindy, namun entah apa yang terjadi ketika Erlan tidak mengenalinya.
“Saya tidak kasar. Wajar donk bagi wanita seperti saya mengatakan itu ketika anda melihat saya dari ujung kaki sampai ujung rambut, malah anda yang terlihat kasar.” Cindy tidak mau kalah.
Ketika Erlan hendak mengatakan sesuatu, Cindy menyerobot. “Sudah ya, saya sedang mencari toilet.”
Erlan tertawa kecil melihat sikap Cindy yang apa adanya, Cindy mampu membuat rahang sekeras Erlan tersenyum.
Cindy sejenak berbalik lalu melanjutkan langkah kakinya, namun salah satu bunga yang dipajang didekat aula hotel membuat dress bunga wanita sederhana itu sobek. Sedangkan, Erlan masih menatap punggung Cindy dengan seksama. Ia merasa telah mengenal wanita itu sejak lama.
Cindy kembali berbalik menatap Erlan dengan tatapan intimidasi, Cindy merasa malu harus membuat dirinya seperti ini didepan seorang pria tampan, apalagi pria yang pernah hampir menjadi suaminya. Cindy kembali berjalan menjauh dan mendapatkan toilet diujung sana, ia segera masuk menjauh dari pria yang di kenalinya itu.
Cindy mengumpat dirinya dalam bilik. “Kenapa ini harus terjadi di tempat seperti ini sih? Memalukan.”
Cindy memukul kepalanya pelan dan mencoba menelpon Rina, namun Rina tidak mengangkatnya, suara keramaian didalam aula hotel membuat Rina tidak mendengar dering ponselnya. “Aku harus bagaimana ini?”
Setelah beberapa menit berkurung diri di balik bilik, Cindy keluar dari toilet sambil memegang ujung dressnya, membuat pahanya harus terlihat, Cindy merasa bingung, dia tidak mungkin kembali ke aula karena ia pasti akan menjadi bahan tontonan.
Cindy melihat pria yang tadi ia tubruk tengah bersandar ditembok tepat didepan toilet wanita.
Cindy mengernyitkan dahinya, alisnya nyaris bertaut sempurna. “Apa-apaan ini? Kenapa kamu di sini?” tanya Cindy, lalu menggenggam kuat ujung dressnya.
Erlan mendekati Cindy seraya membuka jasnya, Cindy mundur beberapa langkah dan berhasil membuat dirinya terjebak tembok dibelakangnya.
Erlan melilitkan jasnya ke pinggang Cindy agar sobekan yang membuat paha putih wanita itu, jadi bisa tertutupi. Perlakuan itu manis sekali, membuat wanita cantik itu membulatkan matanya penuh, nyaris membuat jantungnya melompat.
“Apa kamu tidak mengenalku?” tanya Cindy.
“Jika saya mengenalmu, kenapa?” tanya Erlan.
“Aku Cindy,” jawab Cindy.
“Ya. Kamu Cindy Miranda,” jawab Erlan.
“Jadi … kamu masih mengingatku?”
“Tidak penting aku mengingatmu atau tidak, yang terpenting kamu sudah bisa berjalan tanpa menggenggam ujung dressmu,” jawab Erlan. Manis sekali.
“Tapi—“
“Sampai ketemu lagi.” Erlan tersenyum, lalu berjalan meninggalkan Cindy yang tengah tertegun kagum.
Pria itu membuat rasa penasaran Cindy menguasai hatinya, ada rasa bersalah didalam hati Cindy ketika dengan lantang mengatai pria sebaik itu adalah pria m***m. Karena berkat pria itu, Cindy merasa terselamatkan dulu dan sekarang ini.
“Kamu darimana aja, sih? Terus, ini apa lagi? Jas siapa ini?” Baru saja sampai kembali ke aula, namun Rina langsung menghadang jalan Cindy dengan melontarkan beberapa pertanyaan.
“Aku sejak tadi menelponmu, kenapa nggak kamu angkat, sih?”
“Aku nggak denger, kamu kan tahu di sini berisik banget,” jawab Rina.
“Hei, Rina, Cindy.” Mita menyapa ketika datang bersama dua temannya.
“Hai!” jawab Rina, sedangkan Cindy hanya mengangguk seraya tersenyum.
“Kamu pakai apa , Cin? Jas itu terlihat mahal,” tanya Nia.
“Ini—“
“Kamu pakai dress bunga? Pakaianmu itu nggak cocok berada di sini, pakaianmu itu cocoknya ngehadirin ulang tahun anak-anak.” Jojo sengaja menyindir.
“Iya ya. Lagian mbak Koila kan udah ngomong deh pakai gaun seksi kayak kita-kita ini, tapi kenapa kamu pakainya dress plus jas mahal itu.” Yana menimpali.
“Kalian kok ngomongnya kayak gitu? Terserah apa yang dipakai Cindy donk, kan dia yang pakai, jadi apa saja yang nyaman baginya itu sah-sah saja.” Rina menggelengkan kepala.
“Iya, tapi—“
“Perhatian semuanya.” Suara MC dari arah depan terdengar mendengung, membuat semuanya bergegas berkumpul didepan.
“Ayo, Cin,” ajak Rina.
“Udah. Aku di sini aja.” Cindy menggeleng.
“Ayo!” Rina menarik sahabatnya kedepan dan berbaur dikeramaian. Cindy menghela napas, melihat semangat Rina.
“Terima kasih buat kawan-kawan yang sudah hadir di sini untuk meramaikan acara penyambutan CEO baru kita, malam ini juga CEO kita sudah bergabung dengan kita malam ini. Berikan tepuk tangan yang meriah,”
Suara sorakan beserta tepuk tangan meramaikan aula menyambut seorang pria yang begitu tampan, tinggi, yang terlihat seperti sebuah pahatan yang indah naik ke atas panggung dengan senyum sumringah, mampu menyihir para wanita yang kini tengah menatapnya tanpa berkedip. Namun berbeda dengan Cindy yang kini tengah menatapnya heran sekaligus penasaran, pria itu adalah pria pemilik jas yang kini menutupi sobekan dressnya dan pria itu adalah Erlan, pria yang menyelamatkannya dulu, dan mengerikan kehidupan yang baru untuknya.
“Selamat malam semuanya,” sapa Erlan.
“Selamat malam,” jawab semuanya secara bersaman.
“Perkenalkan nama saya Erlangga Putra Hermawan, saya akan bekerja dengan menduduki jabatan CEO dan mulai bekerja besok, mohon kerja samanya. Dan, terima kasih untuk sambutan meriah ini.” tutur Erlan, membuat semuanya tersenyum kagum, usia muda namun sudah mampu menjabat posisi tertinggi di perusahaan.
Erlan mengedarkan pandangannya dan menatap Cindy yang tengah merunduk, karena tidak ingin mata mereka bertemu.