Bagian 4

985 Kata
Sepeninggalan Erlan, Cindy masuk ke kamarnya dan tersenyum sumringah, Allah memberikan kebahagiaan padanya, dengan cara bertemu sosok Erlan, pria yang sudah mampu membuatnya kagum pada sosoknya. Tak semua pria yang mau mengorbankan dirinya hanya untuk wanita sepertinya. Suara ketukan pintu terdengar, membuat Cindy membuka pintu kamarnya. Cindy melihat sang Ibu tengah tersenyum sumringah. "Ibu?" Sang Ibu menarik Cindy dan di dudukkan di atas ranjang, Cindy keheranan melihat sikap ibunya yang terlihat begitu bahagia. "Ada apa, Bu?" Tanya Cindy. "Ibu sudah sebar berita pernikahanmu dengan Nak Erlan, dan Ibu-ibu di kompleks ini begitu terkejut, apalagi si Nina itu, Nyak Rombeng yang keterlaluan suka nyinyiran kita, akhirnya dia juga menganga tidak percaya. Hahaha Ibu senang sekali, akhirnya kita akan terbebas dari rumah kumuh dan kemiskinan ini," kata sang Ibu, membuat Cindy menggeleng. "Kamu ketemu dimana pria kaya seperti Erlan? Kalau Ibu tahu, kamu punya pacar sekaya dia, Ibu tidak akan memaksamu berjualan keliling setiap hari." Cindy tertegun menatap sang Ibu, yang begitu menyukai uang. Sampai harga dirinya pun terombang-ambing. Apalagi Cindy tidak berani melawan ibunya meski ia tidak suka dengan cara ibunya. "Jadi ... Ibu senang sekarang?" tanya Cindy. "Senanglah. Ibu senang sekali dan Ibu berharap kamu bahagia." Ibunya mengangguk. "Jika Ibu senang dan bahagia, aku juga senang," kata Cindy. Diana—sang Ibu—mengangguk seraya tersenyum sumringah. Esok paginya ketika sedang menunggu sekretaris Erlan, Cindy masih bersiap-siap untuk beberapa barang yang akan dibawahnya, rumah ini akan ia tinggalkan dan memulai hidup baru sebagai Nyonya Erlan, tiba-tiba sebuah mobil mewah datang, ternyata Erlan, ibunya Cindy langsung meyambut Calon Menantunya dengan hangat. Kebabahagiaan di wajah sang Ibu terlihat sangat membahagiaka, membuat Cindy menggeleng tak percaya dengan sikap sang Ibu. "Kami udah siap, Nak. Kami bisa pergi dari sini, kami tidak ingin lama-lama, karena tempat ini benar-benar mengganggu," kata sang Ibu. "Iya, Bu. Kita menunggu Cindy dulu, dia masih beres-bereskan di dalam?" tanya Erlan. "Cindy, cepetan donk!" Teriak sang Ibu. "Jangan di panggil, Bu, biarkan saja, mungkin lagi siap-siap." Erlan mencegah ibunya Cindy. "Bukannya Sekretaris kamu yang akan menjemput kami? Kenapa kamu sendirian?" Tanya sang Ibu calon mertua. "Kalau dipikir-pikir aku harus menyempatkan waktu untuk menjemput Calon Istriku. Dan mengantarkannya ke rumah." "Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka setuju kamu menikah dengan Cindy?" tanya sang calon Ibu mertua. "Mereka setuju, dan akan menemui Cindy ketika Cindy sampai di rumah," jawab Erlan. "Syukurlah. Ibu tidak mau ada penghalang." "Baru beres, Bu." Cindy keluar dari rumah dengan keringat membasahinya. Cindy terlihat biasa-biasa saja dan kucel, memakai pakaian miliknya sangat tidak cocok, namun Erlan tidak memperhatikannya dan dia tidak perduli dengan penampilan Cindy. "Kenapa kamu memakai pakaian ini? Kucel kelihatannya, Cindy," sang Ibu menggeleng. Menepuk jidatnya. "Hanya ini baju tercantik milikku, Bu." "Nak Erlan bisa saja ilfeel melihatmu seperti ini, Cindy!" Tekan sang Ibu. "Tidak apa-apa, Bu. Mau bagaimana pun penampilan Cindy, dia tetap akan menarik menurut saya, dan akan tetap terlihat cantik di mataku, jadi tidak masalah dengan penampilan Cindy saat ini," kata Erlan, membuat Cindy tersipu malu. Cindy hanya bisa tersenyum dengan gombalan Calon suaminya. Ibu-ibu banyak yang memperhatikan, namun berusaha tidak di perdulikan Cindy dan Erlan yang tengah sibuk memasukkan barang-barang ke bagasi. Diana sang Ibu malah menampakkan wajah bahagianya. "Maafkan Ibuku, ya, Mas." Bisik Cindy. "Ei ... maaf? Untuk apa?" "Dia suka pamer, aku sudah melarangnya tapi Ibu itu orangnya susah di atur," jawab Cindy. "Tidak masalah. Aku sudah mengenal Ibumu dengan baik, jadi tidak masalah." jawab Erlan. "Tidak masalah? Ibu seperti itu, kamu tidak masalah?" "Tidak sama sekali. Jika Ibu melakukan itu demi kebahagiaannya, biarkan saja, semuanya akan baik-baik kok, Ibu bersikap seperti itu, karena ingin berbagi kebahagiaan pada semua orang. Jadi menurutku masih wajar." kata Erlan, mengelus punggung Cindy. "Ibu memang jarang mendapatkan kebahagiaan, kami malah sering tidak makan jika jualan sepi, dan aku tidak mendapatkan uang. Ibu menyuruhku menikah dengan juragan, karena juragan itu kaya, Ibu pikir bisa memberi kebahagiaan dengan harta, padahal bukan itu yang ku butuhkan." Cindy menjelaskan. "Mulai sekarang, kamu tidak perlu khawatir, kita akan memulai hidup baru, dan aku janji akan membahagiakanmu dan membahagiakan ibumu." Erlan tersenyum membelai rambut Cindy. "Apa keluargamu setuju denganku?" tanya Cindy. "Setuju. Mereka ingin menemuimu malam nanti," jawab Erlan. Cindy mengangguk memahami. Setelah semuanya selesai Cindy langsung pamit kepada Semua tetangganya yang sedang berkumpul melihat Kepindahannya, ada yang syirik melihatnya dan ada yang mensyukuri apa yang telah di dapatkan Cindy. "Kami pamit dulu ya ibu-ibu, maaf nih karena kami tidak mmbuat acara perpisahan soalnya menantuku sudah tidak sabar memperlihatkan rumah gedong yang akan kami tempati, upss hampir lupa saya akan mengunndang semua warga disini di acara pernikahan anak saya, ya, saya harap kedatangannya memberikan restu kepada anak dan calon menantu saya.a" Seperti biasa Ibunya selalu saja pamer dengan apa yang didapatkannya. Cindy dan juga Erlan pamit dengan santun dan berlalu pergi dari sekumpulan mata yang sedang menyaksikan kepergiannya termaksud Juragan yang gagal menikahinya. "Ibu Diana seperti biasa ya ibu-ibu sombongnya Minta ampun, Saya teh lebih kasihan sama Cindy karena selama ini sudah menderita melayani ibunya dan juga harus menjual Kue keliling demi memberikan uang kepada sang Ibu." "Ya begitulah Ibu-ibu sekarang Cindy sudah mendapatkan jodoh yang baik, tampan, kaya dan juga mapan karena kebaikannya selama ini" Semua mata lalu bubar dan mengalihkan mata mereka ketempat lain dan sudah menyaksikan kepindahan Cindy dan Juga Ibunya. "Bu, apa harus pamer kayak begitu?" Tanya Cindy, yang kini duduk di sebelah Erlan yang tengah mengemudi. "Apaan sih, Cindy, kamu kan tahu mereka itu seperti apa ke kita, mereka itu terkejut, dan merasa tidak akan mampu membeli barang seperti kita." Diana begitu sombong, namun hal itu membuat Erlan mengangguk dan Cindy menggeleng. "Biarkan saja." puji Erlan. "Maksud kamu? Biarkan saja ibuku seperti ini?" tanya Cindy. "Lantas kita bisa apa? Hanya itu, 'kan? Biarkan ibumu melakukan apa pun yang dia mau termaksud menyombongkan semua ini," kata Erlan, sengaja mengambil alih, agar Diana tidak sampai tersinggung. Cindy memilih diam saja dan tidak mengatakan apa pun, Cindy mengikuti arus dan tidak lagi membantah perkataan sang Ibu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN