Bagian 6

2596 Kata
“Kamu nggak apa-apa ‘kan pulang sendirian?” tanya Rina, ia harus bertemu pamannya. “Atau, mau aku telponkan Bara?”   Bara merupakan tunangan Cindy, yang sudah menjalin hubungan dengan Cindy selama dua tahun, semenjak ia dan Erlan tidak lagi berhubungan.   “Nggak usah, lagian Bara nggak tahu aku hadir diacara ini.” Cindy menggeleng.   “Terus gimana donk, aku nggak bisa pulang bareng kamu.”   “Nggak apa-apa, Rin, lagian kita juga nggak serumah.”   “Tapi kita kan datangnya bareng,”   “Aku bilang nggak apa-apa.”   “Yang bener?”   “Iya,”   “Baiklah, aku pergi dulu ya, pamanku nelpon terus nih,”   “Iya. Kamu cepetan pergi, kasihan pamanmu udah nungguin.”   “Mau aku panggilin taksi?”   “Nggak usah, Rin, aku kan bisa sendiri,”   “Baiklah, aku pergi dulu ya, sampai ketemu besok.” Rina mencipika-cipiki sahabatnya dan berlari menuju mobil BMW berwarna hitam  yang sudha menjemputnya. Rina memang berasal dari keluarga berada. Namun tidak lantas membuat Rina menjadi sombong. Ia berteman dengan siapa saja, termaksud Cindy.   Sepeninggalan Rina, Cindy menghela napas, lalu berjalan keluar dari gedung hotel, menuju ke jalan poros untuk mencari ojek. Ia bisa saja naik taksi, namun sayang uangnya jika harus digunakan. Cindy merogoh tas bawaannya dan mengambil ponselnya, ia hendak memesan ojek online, namun suara klakson mobil terdengar menderu didepannya. Cindy mendongak melihat Erlan tengah tersenyum.   “Ayo naik,” ajak Erlan . “Tidak usah, Pak. Makasih.” Cindy menolak dengan halus.   “Ayo naik saja.”   “Tidak usah, Pak, saya sudah memesan ojek online.” Cindy masih menolak. Ia tidak ingin ada gosip di kantor jika ia naik ke mobil Erlan. Apalagi membuat kenangan indah itu kembali.   Suara klakson bersamaan terdengar dibelakang mobil Ferrari milik Erlan, membuat Cindy menggeleng karena melihat kemacetan yang disebabkan oleh sang CEO.   “Naik saja, Neng, jalanan jadi macet gini loh gagara Neng berantem sama pacarnya.” Pria parubaya membuat Cindy menggeleng.   “Dia bukan pacar saya, Pak.”   “Ayo naik, makin macet loh ini.” Erlan masih memaksanya, membuat Cindy tidak memiliki opsi lain selain naik ke mobil Ferarri milik atasannya itu.   Erlan tersenyum karena merasa menang telah berhasil mengajak Cindy pulang bersama meski ia harus memaksa.   “Susah sekali ya, membujuk kamu.” Erlan menggeleng.   “Bapak kenapa mau mengantarkan saya pulang?” Cindy menoleh menatap atasannya itu.   “Jangan terlalu formal padaku, Cindy. Dan … aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa pertemuaan kita karena telah ditakdirkan,” jawab Erlan. Cindy hampir kehilangan napas ketika mendengar jawaban Erlan.   “Saya minta maaf, Pak.” ucap Cindy.   “Minta maaf? Untuk apa?” Erlan menautkan alisnya.   “Karena saya sudah mengatai Bapak mesum.”   “Tidak usah memanggil dengan sebutan Bapak, panggil saja saya Erlan, Cindy, kita kan saling mengenal,” jawab Erlan.   Cindy menautkan alis karena merasa aneh mendengar hal itu.   “Oh iya, jika aku memecatmu karena telah mengataiku m***m, apa yang akan terjadi?” tanya Erlan, sejenak menoleh melihat Cindy.   “Saya akan memaksa Bapak untuk menerima saya kembali.”   “Ha ha, tapi aku bukan tipe pria yang akan menerima seseorang kembali meski aku dipaksa. Dan, please jangan memanggilku dengan sebutan Bapak, aku tidak setua itu, Cindy,” jawab Erlan.   “Jadi … kamu benar mau memecatku?”   “Kamu memang tidak bisa diajak bercanda.” Erlan tertawa kecil.   “Turunkan aku di sini saja. Aku masih ada urusan di sini.” Cindy menunjuk bahu jalan.   Erlan mengijak rem. “Rumahmu di sini?”   “Bukan. Rumahku masih agak jauh dari sini, aku mau membeli sate untuk ponakanku,” jawab Cindy.   “Kamu ada ponakan? Setahuku gak ada,” tanya Erlan.   “Aku mengadopsinya dari jalanan,” jawab Cindy.   “Baiklah. Aku akan menunggu kamu.”   “Tidak perlu, Erlan, aku bisa naik ojek online dari sini, kamu pulang saja, ini sudah malam sekali.” Cindy menolak.   “Aku adalah pria, pulang pagi hari pun tidak masalah, kamu wanita malah bahaya di sini sendirian, saya juga lihat di sini seperti kompleks kurang aman.” Erlan mengedarkan pandangan.   “Tapi—“   “Kamu jangan terus menolak niat baikku, Cindy.” Erlan menggeleng. “Aku akan mengantarmu sampai di rumahmu.”   “Baiklah. Tunggu di sini sebentar.” Cindy mengangguk, lalu turun dari mobil, ia menganggap niat baik Erlan hanyalah sekedar bos kepada bawahannya.   ****   Sampainya di rumah, Cindy turun dari mobil dan menundukkan kepala.   “Terima kasih sudah memberikanku tumpangan, Erlan. Dan … ini jasnya.” Cindy hendak mengembalikan jas milik atasannya.   “Kamu pakai saja dulu, kamu tidak mungkin memperlihatkan pahamu didepanku,.” Erlan menggeleng.   Cindy mengangguk membenarkan. “Baiklah, saya akan mengembalikannya lain kali.”   “Aku pulang dulu.” Erlan melajukan mobil ferrari miliknya meninggalkan Cindy yang kini tengah menatap kepergiannya. Erlan tertawa kecil mendengar Cindy berubah santun, mengingat pertemuan pertama tidak mengenakkan. Erlan menganggap Cindy lucu dan menggemaskan, dia berbeda dari wanita diluar sana, persis bagaimana penilaiannya dulu.   Cindy merasa sejak tadi jantungnya berdetak kencang, orang kantor pasti tidak akan percaya apa yang Cindy alami.   Cindy masuk ke rumah dan melihat Bara tengah menunggunya. Radil terlihat tengah menyuguhkan secangkir teh.   “Bara?”   “Ucap salam dulu donk.” Bara menggeleng.   “Lupa. Assalamualaikum,”   “Wa’alaikumsalam,” jawab Bara. “Kenapa pulang larut malam begini?”   “Aku dari acara kantor dalam rangka menyambut CEO baru.”   “Radil bilang kok kamu kemana.”   “Terus, ngapain kemari kalau sudah larut malam? Radil kan harus sekolah besok.”   “Aku hanya khawatir.”   “Aku nggak apa-apa kok, kamu nggak perlu khawatir.”   “Tante mau teh juga?” tanya Radil, memotong perbincangan tantenya.   “Nggah usah! Ini sate pesananmu dan makan di dapur, ya. Kamu harus sekolah besok, jangan sampai telat bangunnya.”   “Iya, Tante. Terima kasih.” Radil mengambil kresek dari tangan tantenya.   Sepeninggalan Radil, Cindy duduk dihadapan Bara. “Kamu udah makan?”   “Hem … udah. Kamu bagaimana?” Cindy balik bertanya.   “Aku baru mau mengajakmu makan malam, tapi ku telpon nggak diangkat,” jawab Bara. Bara seorang anak pedagang kecil yang juga susah untuk mencari sesuap nasi, pekerjaannya menjaga toko kedua orangtuanya.   “Aku siapkan makan, mau?”   Bara menggeleng. “Nggak usah. Sudah malam sekali, laparku sudah hilang.”   “Baiklah.”   “Kita cari rumah pekan ini.”   “Katanya kamu udah dapat rumahnya, nggak jadi lagi?” tanya Cindy.   “Iya. Rumah itu terlalu mahal.”   “Terus kalau nggak dapat pekan ini? Kita nunda pernikahan kita lagi?”   Bara mengangguk. “Terpaksa.”   “Kamu mau mengubahnya lagi? Sampai kapan kamu akan terus mengubahnya seenakmu?” Cindy mencoba menahan emosinya saat ini, calon suaminya ini memang terlalu hemat seperti wanita pada umumnya.   “Sayang, kita harus memikirkan bagaimana kita akan melangkah.” Bara mencoba meminta pengertian Cindy.   “Jika kita terus memikirkan bagaimana kita akan melangkah, kapan pernikahan kita akan terjadi? Kamu menundanya sudah lima bulan loh. Kamu nggak sadar?” Cindy berusaha keras menahan rasa sakitnya.   “Sayang—“   “Cukup! Aku nggak butuh penjelasanmu, entah penjelasan apa kali ini yang akan kamu katakan. Aku sudah berusaha berhemat demi biaya pernikahan kita, sedangkan kamu tahu apa saja beban hidupku. Kamu paling tahu dari oranglain karena kita sudah bersama selama empat tahun ini. Sama saja hanya aku yang berjuang sedangkan kamu tidak, selalu saja mengubah rencana pernikahan kita semaumu.” Cindy mengatakan seluruh isi hatinya tanpa jeda.   “Sayang, aku tahu selama ini kita sudah berhemat, tapi kita nggak boleh melangkah dengan terpaksa, aku nggak bisa membawamu ke rumah kontrakkan, aku ingin tinggal di rumah yang sudah kita beli bersama. Pasti kita akan lebih bahagia tanpa memikirkan sewa bulanannya.”   “Tapi, sampai kapan? Aku sudah menahan diriku untuk tidak makan makanan mewah, aku setiap malam harus memakan mie cup agar bisa makan, tapi kamu mengubahnya dan menyuruhku kembali menunggu?” Cindy menghela napas.   “Cin, dengarkan aku, pernikahan kita pasti akan terjadi, aku mengubahnya karena tabungan kita belum cukup, kamu pasti melihatnya, kan? Ke jenjang pernikahan itu kita bukan hanya harus siap mental, tapi siap dananya.”   “Aku mau kok menikah di KUA.”   “Aku akan memberikan pernikahan yang bahagia untuk kamu, bukan di KUA.”   “Sekarang jawab aku! Sampai kapan aku harus menunggumu menyiapkan segalanya? Sampai kapan aku selalu mengalah terhadapmu?” tanya Cindy, dengan mata berbinar.   “Sampai tabungan kita cukup.”   “Jika tidak cukup juga?”   “Pasti akan cukup, kita berdua kan kerja,” jawab Bara.   “Baiklah. Aku akan menunggumu kali ini, tapi jika kamu mengubahnya lagi, aku akan mengakhiri hubungan kita dan nggak akan ada pernikahan yang terjadi.” Cindy mengancam.   “Aku janji, Sayang. Kamu nggak marah lagi, ‘kan?”   “Nggak.”   “Senyum donk.”   Cindy memberikan senyum terpaksa kepada Bara, pria yang selama ini menabung bersamanya demi biaya pernikahan dan hidup mereka kedepannya, Bara memang selalu memikirkan hal yang jauh sebelum itu terjadi, Bara hanya ingin bahagia tanpa harus ada beban sewa bulanan jika mereka mengontrak rumah setelah menikah.   ****   Erlan sampai di apartemennya. Ketika masuk, Erlan terkejut melihat Aleia tengah berbaring di sofa, menunggunya.   Aleia mengucek matanya, ketika mendengar suara beep.   “Kamu sudah pulang, Yang?” tanya Aleia menyambut kepulangan Erlan dengan senyum mengembang.   “Iya. Sejak kapan kamu di sini?”   “Sejak tadi. Aku menelponmu berkali-kali, namun yang mengangkatnya Rubi, katanya kamu ada acara penyambutan di hotel.”   “Iya.”   “Kamu sudah makan malam?” tanya Aleia.   “Sudah.”   “Aku udah masak makanan kesukaan kamu loh, makan ya biar dikit.”   “Kamu makan sendiri saja, aku lelah, aku butuh bantal saat ini.” Erlan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Aleia yang tengah tertegun. Aleia paham karena Erlan baru tiba dari Jerman dan langsung ke hotel.   Hubungan Erlan dengan Aleia memang sudah tidak sebaik dan semesra dulu, semenjak Aleia meninggalkan Erlan ke Tiongkok dan kembali tanpa menjelaskan apa pun pada Arsen tentang alasannya meninggalkan kekasihnya waktu itu. Erlan mulai menutup hatinya untuk Aleia. Namun Erlan tidak menolak Aleia ketika kembali ke sisinya meski tanpa penjelasan. Erlan sudah terlanjur berjanji pada kedua orangtua Aleia, bahwa akan menjaga Aleia dengan baik.   ****   Cindy masuk ke gedung kantor, membawa sebuah kresek yang isinya adalah jas milik Erlan, Cindy harus mencari buku catatannya dengan cara mengembalikan jas milik atasannya itu, buku yang selalu ia bawa untuk menjelaskan bagaimana hari yang ia lewati.   Cindy merasa telah melupakannya di mobil Erlan, jika itu terjadi, Cindy berharap Erlan tidak melihat buku catatannya atau setidaknya mengabaikannya.   Sampai disebuah ruangan yang memiliki pintu kembar yang besar dan tinggi, di depan pintu tersebut ada dua meja yang saling berhadapan, menunjukkan seorang pria dan wanita tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.   “Permisi,” sapa Cindy.   “Ya?” Seorang wanita yang bernama Jennifer mendongak, wanita itu cantik dan blasteran bule, wajahnya manis dan postur tubuhnya tinggi bak model.   “Anda mencari siapa?” tanya seorang pria, yang bernama Rubi.   “Saya mencari Pak Erlan, apakah saya bisa bertemu dengan beliau?”   “Apa anda sudah membuat janji?” tanya Rubi.   “Belum. Tapi, saya haus mengembalikan sesuatu,” jawab Cindy.   “Sepertinya saya sering melihat anda.” Rubi menyelidiki.   “Saya salah satu staf keuangan. Nama saya Cindy Miranda,” jawab Cindy memperkenalkan diri.   “Jen, katakan pada Pak Erlan, bahwa seorang staf mencarinya untuk mengembalikan sesuatu,” pintah Rubi.   Jennifer mengangguk lalu melangkah memasuki ruangan sang CEO.   Satu menit kemudian, Jennifer keluar dari ruangan Erlan. “Silahkan masuk.”   Cindy berjalan masuk ke ruangan Erlan dan berhenti sejenak. Cindy dengan ragu melanjutkan langkah kakinya, ia tidak berharap harus dekat dengan atasannya, namun tidak baik jika seorang staf biasa salah paham dengan sikap manis sang CEO yang memiliki jabatan tertinggi di perusahaan ini, meski mereka dulunya saling mengenal satu sama lain dan hampir menikah jika saja keluarga Hermawan setuju dengan hubungan mereka.   “Ada apa?” tanya Erlan, terlihat pria tampan itu tengah menginput sesuatu dilayar laptopnya dengan memakai kaca mata baca, membuatnya terlihat lebih tampan dan berkarisma.   “Maaf, Erlan, aku kemari mengembalikan jas milikmu,” kata Cindy.   “Wah … apa-apaan ini? Kamu tidak mencucinya? Dan, mengembalikannya dengan cara seperti ini, menggunakan kresek kusut seperti itu, apa kamu tahu harga jas saya itu? Gaji kamu sampai lima tahun juga tidak akan mampu membelinya.” Erlan menyombongkan diri. Apa-apaan ini? Apa yang wanita cantik itu harapkan? Cindy merasa kecewa mendapatkan sikap yang berbeda dari kemarin, namun Cindy berusaha menerimanya mengingat mereka memang tidak memiliki hubungan apa-apa.   “Maaf, tapi—“   “Seharusnya apa yang kau dapatkan sebagai bantuan, setidaknya kembalikan  dengan cara yang lebih baik.” Erlan sengaja memotong kalimat Cindy.   “Baiklah. Aku akan membawanya kembali nanti.”   “Ya sudah, kamu bisa pergi.” Erlan kembali fokus pada layar laptopnya, terlihat Cindy sedang berpikir keras, sikap Erlan berubah drastis, kemarin dia pria yang manis dan sekarang terlihat tegas.   “Ada yang ingin aku tanyakan.” Cindy melanjutkan. Erlan mendongak menatap Cindy yang masih berdiri di depan meja kerjanya.   “Apa itu?”   “Apa kamu melihat buku catatan milikku? Bentuknya segiempat dan ukurannya lebih mini dibandingkan buku lainnya, aku merasa buku catatan saya itu jatuh di mobilmu.” Cindy berpikir sejenak. Semoga saja benar.   “Oh … jadi itu milikmu?”   “Kamu menemukannya?”   “Ya. Warnanya merah muda dan isinya tentang isi hati kamu?”   “Kamu membaca buku catatan milikku?” Cindy merona.   “Tentu saja. Aku akan membacanya karena buku itu ada didalam mobil milikku, aku harus membacanya untuk menemukan siapa pemiliknya.” Erlan menjawab.   “Aku mau memintanya balik.”   “Hem … biarkan aku bertanya.” Erlan memberi jeda. “Pacarmu itu pelit, ya?”   “Kamu membaca buku catatan milikku? Kamu melakukan itu seakan-akan kurang kerjaan, sampai membaca buku catatan orang lain.” Cindy memberi jeda. “Dan pacarku itu tidak pelit, dia hanya menghemat untuk biaya pernikahan kami.”   “Aku sudah bilang, saya harus membacanya untuk mengetahui siapa pemiliknya.” Erlan mengelak, membuat Cindy mencoba bersabar menghadapi atasannya itu.   “Terserah anda! Kembalikan saja buku catatan saya.”   “Jangan bertahan pada pria sepertinya, jangan membiarkan dirimu mengacu pada pernikahan bahagia, sehingga kamu tidak dapat menilai pria seperti apa kekasihmu itu.” Erlan beranjak dari duduknya.   “Pria yang menyuruh wanitanya berhemat bersamanya demi kelangsungan hidup kalian, sedangkan pacarmu pasti mengetahui dengan jelas bagaimana beban hidupmu. Tinggalkan dia, itu bukan hidupmu melainkan hidup pacarmu.” Erlan menambahkan.   “Kamu siapa beraninya menyuruhku mengakhiri hubungan yang sudah lama aku bina? Apa kamu berpikir aku akan meninggalkan pacarku hanya karena omong kosong yang kamu katakan?”   “Aku hanya mengingatkan, dia bukan pria yang seharusnya menjadi suamimu, dia tidak akan membuatmu bahagia, siapa yang akan bertahan setiap malam hanya memakan mie cup saja? Kamu? Aku yakin … kamu pun tidak tahan.” Erlan menunjuk Cindy, membuat lutut Cindy gemetar.   Erlan merangkul pinggang Cindy, membuat Cindy memekik, lalu menjauh dari atasannya itu.   “Kamu jangan menyentuhku,” tekan Cindy menjauh dari Erlan. Pria yang sempat membuatnya penasaran dengan hidup yang di jalaninya selama ini.   “Kenapa? Aku tahu, kata-kataku ini membuatmu ragu terhadap pacarmu.”   “Kamu jangan macam-macam, Erlan, atau aku harus teriak untuk membuatmu berhenti?”   “Teriak saja, tidak akan ada yang mendengarnya, apalagi percaya bahwa aku m***m seperti katamu,” tantang Erlan.   “Ambil jas milikmu, dan kembalikan buku catatanku.” Cindy menekankan. “Kamu sudah mengganggu dan membaca privasiku. Siapa pun kamu, apa pun jabatanmu, kamu pun bisa di tuntut.”   “Berani menuntutku? Kalau begitu, tuntut saja, aku tidak takut.” Erlan menantang, membuat Cindy tidak bisa berkedip dan berusaha mengatur napasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN