Bagian 7

1663 Kata
Cindy mendengkus ketika berhasil keluar dari ruangan Erlan, pria yang selalu menganggapnya remeh, meski belum mendapatkan buku catatannya, tak lantas membuat Cindy menyerah, ia akan kembali meminta buku catatannya nanti.   “Hei! Kamu kenapa, Cin?” Rina melihat sahabatnya berjalan terlalu cepat dengan suara napas yang tersengal-sengal.   “Hem? Aku nggak apa-apa,” jawab Cindy.   “Mbak Koila memanggilmu, sepertinya dia sedang marah,” tutur Rina.   “Pernah ya, Mbak Koila baik sama aku? Perasaan marah mulu.”   “Ha ha, tahu saja kamu,” kekeh Rina.   “Baiklah. Aku temuin mak lampir dulu.”   Cindy masuk ke ruangan Koila. Ruangan managernya itu berantakan, banyak kertas sobekan yang berhamburan di setiap sudut. Cindy menghela napas. Cindy siap pasang badan, meski harus di marahi, karena ia sudah biasa.   “Darimana saja kamu? Bukannya kerja malah keluyuran.” Koila menatap Cindy penuh amarah.   “Saya dari toilet.”   “Kamu b**o apa memang sudah tidak punya pikiran? Laporan yang kamu bawa itu semuanya salah! Kita jadi dikritik orang atas karena memberikan mereka laporan yang ngawur, jumlahnya tidak sesuai laporan bulan lalu.” Koila berteriak, membuat seluruh staf keuangan hanya mendengarkan, karena kemarahan Koila bukan kali pertamanya, namun sudah sering kali terjadi.   “Maaf, Mbak. Tapi saya sangat yakin dengan laporan yang saya buat, saya sudah memeriksanya beberapa kali, jika itu mengandung kesalagan, saya yakin, bukan kesalahan dari saya.”   “Terus kesalahan siapa? Saya? Kamu jangan main-main, Cindy, kamu tidak tahu karena laporan ini bisa saja membuat kita semua ditendang keluar dari perusahaan ini!”   “Saya minta maaf.” Cindy merunduk.   “Perbaiki semua laporan itu dan jangan pulang jika semuanya belum selesai!”   “Tapi, Mbak, saya harus pulang cepat.”   “Terserah kamu, pilih saja, kamu dipecat atau selesaikan hari ini laporan yang sudah kamu buat!”   “Baiklah. Akan saya selesaikan hari ini.” Cindy menghela napas, ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.   Cindy keluar dari ruangan Koila dan duduk di kursi kerjanya, entah mengapa setiap hal yang ia kerjakan selalu saja ada kesalahan, meski ia sudah berusaha sebaik mungkin agar tidak sampai membuat kesalahan.   “Ada apa lagi kali ini? Kesalahan apa lagi yang kamu buat?” bisik Rina.   “Aku nggak tahu loh, laporan keuangan kan kita berdua yang ngecek, udah benar, kan? Tapi, kok masih salah?”   “Haa? Masih salah? Kok bisa?”   “Lah itu yang buat aku bingung. Aku harus lembur dan telat pulang.”   “Aku pengen sih bantuin, tapi aku ada acara keluarga.”   “Ya udah nggak apa-apa.”   ****   Sesekali Cindy melihat jam tangannya, malam menunjukkan pukul 9, namun pekerjaannya belum juga selesai, sedangkan Radil dan ibunya pasti belum makan malam, kantor pun sudah sangat sunyi, hanya ada dia dan cahaya ruangan staf keuangan.   Cindy menghela napas gusar, sesekali memukul pelan bahunya untuk meregangkan ototnya yang sejak tadi belum bertemu bantal.   Erlan hendak melangkah keluar kantor, namun cahaya ruangan mengganggu pikirannya, Erlan berjalan menghampiri cahaya lampu dan melihat Erlan masih bekerja seraya menguap.   Erlan menatap Cindy dari kejauhan dan sesekali tersenyum kecil ketika melihat Cindy menguap dan hampir menjatuhkan kepalanya. Cindy tak sadar jika atasannya itu kini tengah menatapnya. Entah mengapa, Erlan merasa lebih bersemangat saja ketika melihat Cindy. Persis bagaimana perasaannya dulu.   Erlan mengetuk pintu, berhasil membuat Cindy terlonjak kaget.   “Apaan, sih.” Cindy mengumpat, membuat Erlan tertawa kecil.   “Kamu lagi apa? Belum pulang?” tanya Erlan.   Cindy menggeleng. “Belum. Lagi ada pekerjaan.”   “Pekerjaan apa?” Erlan melihat arah komputer. “Laporan keuangan bulan ini? Oh iya … aku mendapatkan keluhan katanya laporan ini salah.”   “Iya. Semuanya hampir salah.” Cindy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.   “Terus kenapa belum selesai? Ini kan kerjanya gampang.” Erlan sejenak menatap Cindy.   “Gampang? Gampang darimana? Aku tidak bisa memecahkannya.”   “Ya sudah, geser sana.” Erlan mengambil kursi dan duduk tepat disamping Cindy. Baru saja pagi tadi mereka berdebat dan kali ini Erlan kembali terlihat manis tidak seperti tadi pagi.   “Kamu kerja di sini lulus sendiri apa karena rekomendasi? Kok hal segampang ini sampai tidak tahu.” Erlan menggeleng.   “Aku lulus sendiri kok tanpa rekomendasi atau pun orang dalam.”   “Terus kenapa hal seperti ini sampai tidak tahu? Jangan terlalu bodoh!”   “Iya, Tuan yang pintar.”   Erlan tersenyum. “Ya sudah, aku beritahu cara kerjanya.”   “Bagaimana?”   “Cocokkan data ini ke sistem dan rumusnya seperti ini, scroll sampai ke bagian akhir agar jumlahnya tidak sampai selisih.” Erlan menjelaskan, sesekali membuat Cindy tanpa sadar menatap kagum kewajah sang CEO.   “Lihat saja. Dari jumlahnya saja sudah kelihatan salah dan selisih banyak, jika selisih sedikit saja, perusahaan bisa kehilangan keuntungan.” sambung Erlan.   “Jadi, kerjanya begini?” Cindy mengambil alih. “Kok masih tidak bisa?”   Erlan menggenggam tangan Cindy dan mengarahkan mouse di atas tangan wanita yang pernah membuatnya memperjuangkan. “Caranya begini, Neng.”   Cindy merasakan jantungnya berdetak kencang, hanya ada mereka berdua, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak di harapkan Cindy. Cindy menggelengkan kepalanya membuang jauh pikirannya.   “Kamu paham, kan sekarang?” Erlan menatap Cindy dan mendapati wanita itu tengah menatapnya, tatapan mereka saling menghujam lembut, hangatpun menyeruak hebat. Cindy kembali menggelengkan kepala ketika sadar bahwa ia terlalu larut dalam suasana.   Entah keberanian apa yang dimiliki Erlan, membuatnya berani mengecup pipi Cindy. Cindy membulatkan matanya penuh mendapatkan kecupan itu, kecupan yang berhasil membuat pipinya memerah padam.   “Kamu ngapain? Kenapa melakukan hal itu kepadaku? Aku sudah memiliki kekasih” Cindy menggeser kursinya.   “Aku minta maaf, Cin, sepertinya aku terbawa suasana.” Erlan menggeleng.   “Kamu jangan melakukan hal seperti itu lain kali, aku sudah memiliki pacar dan kamu sendiri pun pasti sudah memilikinya.” Cindy menggeleng, berusaha membuat jantungnya bisa berdetak normal.   “Baiklah. Lanjutkan pekerjaanmu, aku akan menunggumu dan mengantarmu pulang.” Erlan menggeser kursinya menjauhi meja kerja Cindy agar Cindy bisa kembali ke posisinya.   “Kamu tidak perlu mengantar aku pulang.”   “Lalu suruh pacarmu untuk menjemputmu, seharusnya dia tidak membiarkan pacarnya pulang malam.”   “Dia sedang sibuk.”   “Sibuk? Jika saya pacarmu, aku tidak akan membiarkanmu sampai pulang sendirian, mengingat ini kota yang rawan yang bisa saja terjadi pembegalan.”   “Aku—“   “Cukup! Kerjakan pekerjaanmu dan aku akan tetap menunggumu.”   Cindy menghela napas, tak ada gunanya menyuruh atasannya itu pulang duluan mengingat jika Erlan orangnya selalu memaksakan kehendaknya.   ****   Sampai di depan pagar rumahnya, Cindy melihat Bara tengah menunggunya.   “Terima kasih karena kamu sudah mau merepotkan diri mengantarkan aku pulang.” ucap Cindy.   “Baiklah, dia pasti pacarmu, ya sudah saya pergi dulu.” Erlan mengemudikan mobilnya meninggalkan rumah Cindy.   “Siapa yang mengantarmu pulang?” tanya Bara, terlihat menginterogasi.   “Dia atasanku,” jawab Cindy .   “Kenapa dia mengantarmu pulang? Ada urusan apa?”   “Aku lembur, jadi dia mengantarku pulang.”   “Tapi—“   “Kamu mau menginterogasiku? Aku nggak ada hubungan apa-apa sama atasanku itu. Terus kenapa kamu di sini? Aku menyuruhmu menjemputku tapi jawabanmu sibuk.”   “Aku baru saja sampai di sini, hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja.”   “Tapi, setidaknya kamu kan bisa menjemputku.” Cindy mulai merasa ragu.   “Aku telpon nggak kamu angkat,”   “Aku udah dijalan dan hpku mati.”   “Ya sudah, kita nggak usah bahas itu, kamu sudah makan?” tanya Bara.   “Udah.”   “Aku beliin soto betawi loh.”   “Aku udah makan, tapi nggak apa-apa deh makan malam untuk kedua kalinya.”   Bara tersenyum. “Aku beli empat, kita makan bareng sama Ibu.”   “Ibu belum makan?”   “Katanya nungguin kamu, padahal aku udah maksa.”   “Ya udah, ayo kita masuk ke rumah.”   Ketika Cindy bersama Erlan, ia selalu meragukan perasaannya pada Bara, namun jika ia bertemu Bara, Cindy sangat yakin bahwa hatinya hanya untuk Bara, pria sederhana yang selama ini mengajarkan banyak hal padanya.   “Besok, Mama menyuruhku untuk membawamu makan malam di rumah,” tutur Bara.   “Baiklah, beritahu Mama kamu, aku pasti akan datang,” jawab Cindy.   “Mama akan menambahkan uang beli rumah.”   “Yang bener? Mama kamu nggak berat, kan? Toko kan pasti lagi butuh dana besar.”   “Aku sih udah nolak, tapi Mama tetap keukeuh untuk membantu kita membeli rumah yang lebih sederhana, namun layak di tinggali.”   “Alhamdulillah kalau begitu.” Cindy tersenyum mendengar jika calon Mama mertuanya itu sudah bisa diandalkan, dulu jangankan membantu uang untuk membeli rumah, membayar biaya kuliah adiknya Bara saja Mama Bara enggan.   ****   “Apa kabar, Ma?” tanya Erlan pada sang Mama lewat VC.   “Alhamdulillah, Mama baik-baik saja, papamu juga begitu.”   “Apa kemarahan Papa belum reda?”   “Belum, Sayang, kamu tenang saja, Papa kamu itu marahnya hanya sebentar kok, yang terpenting bagi kami berdua, kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan,” tutur Andini pada putranya.   “Ucapkan kata maaf Erlan untuk Papa, Erlan bukannya menolak untuk melanjutkan usaha Papa di sana, tapi Erlan ingin mandiri dan tidak bergantung kepada Papa juga Mama.”   “Sayang, cepat atau lambat Mama dan Papa kamu akan pergi menghadap ilahi, kami sudah tua, Nak, jadi siapa lagi yang akan meneruskan bisnis Papa kamu jika bukan kamu?”   “Karena itu biarkan Erlan belajar dari perusahaan orang lain.”   “Baiklah, kamu baik-baik ya di sana, apa kamu sudah bertemu Aleia?”   “Sudah, Ma.”   “Aleia sekarang kerja dan tinggal dimana?”   “Dia kerja sebagai perawat rumah sakit, Ma dan dia juga tinggal di apartemennya.”   “Kamu harus menjaganya.”   “Dia bukan anak kecil untuk Erlan jaga.”   “Tapi, dia tunanganmu, Nak.”   “Mama jangan terlalu memanjakannya.”   “Baiklah, papamu memanggil Mama, sudah dulu ya, Nak. Kamu hati-hati di sana, Mama akan menelponmu lagi nanti.”   “Iya, Ma. Assalamualaikum.”   “Wa’alaikumssalam.”   Erlan mendengkus, papanya menentang keras keputusan Erlan untuk menjadi CEO di perusahaan ini, karena mengingat jika Erlan adalah ahli waris satu-satunya yang bisa meneruskan bisnis dan usaha papanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN