Bagian 8

2944 Kata
Cindy berjalan memasuki ruangan Koila, karena panggilan managernya itu.   “Ada apa, Mbak? Apa saya membuat kesalahan lagi?” tanya Cindy, ragu.   “Tidak. Pekerjaanmu sangat sempurna, saya memanggilmu karena CEO menyuruh kamu untuk membawakan laporan ini ke ruangannya sebelum rapat.”   “Apa harus saya, Mbak? Kan ada yang lain.”   “Pak Erlan meminta saya untuk menyuruh kamu, bukan orang lain, kamu mau menolak perintah atasan kita?”   “Baik, Mbak, akan saya bawa laporan itu ke atas.”   Cindy menghela napas, ia sebenarnya malas bertemu Erlan, apalagi mengingat jika setiap bertemu Erlan, pria itu akan mengganggunya dan membuat perasaan Cindy kepada Bara menjadi ragu.   “Maaf, Mbak Jennifer, saya kemari mau menitipkan laporan keuangan untuk Pak Erlan.” Cindy menyerahkan dokumen kepada Jennifer.   Suara pintu terbuka, membuat Cindy terkejut bukan main. “Pak Rubi?”   “Kamu membawa laporannya? Silahkan masuk, Pak Erlan sudah menunggu.” tutur Rubi.   “Saya titip saja kepada Mbak Jen, saya masih ada pekerjaan,” Cindy menolak.   “Kamu jangan menolak perintah Pak Erlan, kamu mau dipecat?” tanya Jennifer, membuat Cindy menghela napas pelan.   “Baiklah, saya masuk dulu.” Cindy berjalan memasuki ruangan atasannya itu dan melihat Erlan seperti biasa tengah menginput sesuatu dengan kacamata baca yang ia kenakan.   “Pak, saya membawa laporan keuangan yang anda minta.” Cindy mencoba santun dan menaruh laporannya di atas meja Erlan. “Saya permisi, Pak.”   “Kamu mau langsung pergi?” tanya Erlan, mendongak dan membuka kacamatanya.   “Maksudnya?”   “Kamu sudah tidak membutuhkan buku catatanmu lagi?”   Satu hal yang di lupakan Cindy, buku catatannya masih ada pada Erlan.   “Aku minta buku catatanku untuk kembali,” kata Cindy.   “Aku baru selesai membacanya jadi saya kembalikan, cerita didalamnya menyentuh sekali.” Erlan sengaja menyindir. Membuat Cindy menghela napas.   “Kamu sudah tahu siapa pemiliknya, kenapa kamu masih membacanya? Itu mengganggu privasiku, semua orang memiliki privasi masing-masing, jadi kamu tidak berhak untuk membaca rahasiaku.” Cindy tanpa jeda.   “Tapi … aku sudah terlanjur membacanya.”   “Kembalikan buku catatan milikku sekarang juga!”   “Aku baru tahu jika kamu dan pacarmu itu memiliki rencana untuk membeli rumah yang sangat sederhana, namun layak dihuni.” Sejenak Erlan tertawa kecil, tawa khasnya yang penuh dengan kesombongan. “Dan sudah lima bulan kamu dan pacarmu tidak pernah berhasil mendapatkan rumah.”   “Seperti apa yang kamu tulis, aku jadi merasa pacarmu itu tidak berniat menikahimu.” Erlan menyeringai karena rasa cemburu membakarnya.   Cindy mendengkus. “Cukup! Aku tidak meminta pendapat kamu setelah membacanya, kembalikan saja buku catatanku!” tekan Cindy.   “Tinggalkan pacarmu! Jangan bertahan hidup dengan seseorang seperti itu. Pria itu harus rela berkorban bukan malah sebaliknya.” Erlan kembali menambahkan. Cindy mencoba menahan amarahnya.   “Kamu siapa menyuruhku memutuskan hubunganku? Kamu tidak memiliki hak dan kewajiban untuk menyuruhku. Kita memang saling mengenal di masa lalu, namun masa depan kita sudah ada di depan mata, jadi lebih baik jangan pernah mengangguku dan mengganggu privasiku,” Cindy menahan napasnya.   “Kamu sebenarnya bodoh atau pura-pura bodoh? Kamu sudah lama menyadari hubunganmu dengan pacarmu itu tidak sehat, dimana seorang wanita yang harusnya memiliki kehidupan, namun malah disuruh kerja keras bekerja didua tempat untuk menambah uang nikah? Ujung-ujungnya jika nikah di KUA juga, bagaimana? Sia-sia donk perjuangan kamu yang selama ini menahan diri untuk makan makanan kesukaan kamu.” Erlan tidak paham dengan apa yang kini dilakukannya, tapi menyuruh Cindy memutuskan hubungannya dengan Bara, membuat Erlan lupa bahwa dia bukan siapa-siapa.   “Meski aku kelaparan dan harus bekerja di lima tempat sekaligus, itu tidak masalah bagiku, karena aku sangat mencintai pacarku, dia akan menjadi suami dan masa depanku sebentar lagi, karena perasaan itu tidak semudah apa yang kamu katakan,” Cindy mendengkus, berusaha mendapatkan buku catatannya lagi.   “Aku yakin, kamu tidak akan bahagia menikah dengan pria yang melebihi hemat seperti pacarmu itu.” Erlan keukeuh.   “Itu sudah menjadi hidupku, kamu tidak usah ikut campur.” Cindy merebut bukunya dan meninggalkan Erlan yang masih menatap punggungnya.   “Apa yang aku lakukan? Kenapa aku harus ikut campur dengan kehidupan asmaranya? Aneh,” gumam Erlan.   Cindy berjalan meninggalkan ruangan Erlan tanpa menoleh melihat Rubi dan Jennifer yang tengah menautkan alis melihatnya keluar dari ruangan Erlan dengan tergesah-gesah.   “Kapan sih aku bisa menjauh dari pria itu?” gumam Cindy.   “Siapa yang ingin kamu jauhi?” tanya Rina, ketika melihat sahabatnya itu tengah bergumam sendirian.   ****   “Ada apa, Sob? Kenapa wajah lo masam seperti itu? Tumben juga lo ngajakin gue ke club siang hari?” tanya Deris.   Saat ini, Erlan dan Deris tengah menghibur diri di club, melihat semua orang happy mendengarkan dentuman musik yang keras. Erlan dan Deris sengaja duduk menjauh dari keramaian agar bisa mengobrol.   “Gue mau tanya, jika ada seorang pria ikut campur dalam urusan asmara seorang wanita yang baru dikenalinya itu, menurut lo gimana?” tanya Erlan.   “Lo maksudnya?”   “Ya.”   “Lo ngurusin hubungan asmara siapa emangnya?”   “Karyawan di kantor.”   “Cantik dia?”   “Iya.”   “Jawabannya mah hanya satu, lo suka sama dia, ada perasaan nyaman ketika dia ada didekat lo.”   “Masa?”   “Lo tanya hati lo aja, gue mah nggak tahu hati lo ngomong apaan sekarang,” kekeh Deris. “Lo suka sama wanita lain, apa nggak masalah dengan Aleia?”   “Lo kan tahu gue sama Aleia kayak gimana, kita udah nggak kayak dulu.”   “Tapi, setidaknya jangan memberikan harapan ke Aleia, dia itu cewek lo dan dia hampir jadi bini lo, jadi lo jangan nyakitin dia hanya karena lo suka sama wanita lain.”   Erlan mendengkus, ada perasaan bersalah pada Aleia tentang perasaan nyamannya pada Cindy wanita pertama yang ia kenal selama masa hidupnya.   “Gue tahu perasaan itu bisa berubah kapan aja, nggak ada yang menjamin bahwa lo bakal cinta selamanya sama Aleia, tapi setidaknya lo harus menyelesaikan Aleia sebelum lo mencintai wanita lain.” Deris menambahkan.   “Gue? Cinta? Sama wanita itu? Nggak sejauh itu juga, Der.”   “Perasaan suka mah sudah bisa dipastikan bakal jatuhnya ke cinta.”   “Itu mah lo, bukan gue.” Erlan menggeleng.   ****   Cindy dan Rina masuk ke restoran disamping kantor, kali ini Rina mentraktir Cindy dan tidak membiarkan sahabatnya itu memakan bekal nasi yang di bawah Cindy dari rumah. Rina sudah sering kali mengajak Cindy makan di restoran, namun Cindy selalu menolak karena tidak ingin merepotkan sahabatnya.   “Apaan sih, Rin? Di sini kan makanannya mahal-mahal, jangan deh kita ke tempat lain saja.” Cindy menolak.   “Aku yang bayar, kamu tenang saja, aku nggak akan menyuruh kamu bayar.” Rina menggeleng. Lalu membuka daftar menu.   “Tapi, kamu hanya membuang uangmu.”   “Aku nggak membuang uang, Cindy, aku memakai uangku untuk makan, kita membutuhkan makan agar bisa bekerja, ‘kan?”   “Tapi—“   “Stop! Nikmatin saja makanannya.”   Erlan tersenyum ketika melihat Cindy tengah duduk di salah satu kursi di pojokan bersama temannya. Erlan menghampiri Cindy dengan senyum sumringah.   “Hai!” sapa Erlan.   Cindy mendongak menatap Erlan tengah melempar senyum kepadanya. Rina menatap atasannya tanpa berkedip, baru kali ini ia menatap Erlan begitu dekat seperti ini.   “Ternyata makin tampan jika di lihat lebih dekat seperti ini.” Rina bergumam sendirian.   “Kalian mau makan siang? Kebetulan aku sendiri, biarkan aku bergabung dengan kalian, tenang aku yang akan traktir.” Erlan tersenyum.   “Tidak! Kamu cari teman yang lain saja, kita tidak membutuhkan teman,” tekan Cindy. Rina menendang kaki Cindy, membuat Cindy meringis kesakitan.   “Apaan, sih?”   “Silahkan duduk, Pak, kita juga hanya berdua kok,” Rina mempersilahkan Erlan untuk duduk.   “Rina, apaan sih kamu? Aku nggak mau!”   “Dia atasan kita, kamu yang apa-apaan, hargain donk,” bisik Rina.   “Aku nggak suka sama dia.”   “Nggak suka sama dia? Itu urusan belakang.” Rina berbisik, sesekali menatap Erlan yang tengah memesan makanan lewat daftar menu.   “Rin—“   “Diam, Cin, kita ditraktir loh ini, ini bisa jadi bahan pamer sama Jojo dan gengnya.” Rina tersenyum sumringah.   “Aku akan membayar makananku sendirian,” kata Cindy.   “Apaan sih kamu, kita belum juga memulai makan, tapi kamu sudah merusak suasana.” Rina menggeleng.   “Pokoknya aku akan membayarnya sendiri, tidak ada traktir hari ini!” tekan Cindy . “Baiklah, terserah kamu,” jawab Erlan.   “Ada apa dengan kamu dan Pak Erlan?” tanya Rina.   “Kita nggak ada apa-apa.”   “Terus kenapa kedengarannya kamu sangat membencinya?”   “Karena dia patut di BENCI!” Cindy sengaja berbicara nyaring agar Erlan mendengarnya. Erlan hanya tersenyum menanggapi perkataan Cindy.   Rina mendapatkan telpon ketika makanan baru saja datang.   “Maafkan saya, Pak, saya harus pergi, ada urusan.” Rina mencari alasan agar Cindy dan Erlan bisa mengobrol tanpanya.   “Kamu mau kemana?” tanya Cindy.   “Mbak Koila menelponku,” jawab Rina.   “Aku ikut!”   “Kamu mau membuang makanan? Katanya kamu yang akan membayar makananmu sendiri. Bukannya kamu anti membuang makanan?” tanya Rina, membuat Cindy memberi isyarat agar ia bisa pergi dari sini.   “Maaf ya, Pak, saya pergi dulu.” Rina berjalan meninggalkan Cindy dan Erlan yang tengah saling mencuri pandang.   Sepeninggalan Rina, Cindy berdeham membuat Erlan tertawa kecil tanpa disadari Cindy, hanya seperti ini yang membuat Erlan merasa nyaman dan tenang.   “Kenapa kamu menunduk? Apa aku telah membuat moodmu hilang?” tanya Erlan.   “Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih mengejar dan menggangguku? Sepertinya aku tidak pantas menerima perlakuan santunku, mulai sekarang biarkan aku berbicara banmal.” Cindy memberi jeda.   “Kamu memang selalu bicara banmal padaku, jadi aku tidak membutuhkan izin darimu,” kata Erlan.   “Please, jangan menggangguku, aku nggak tahu apa yang kamu inginkan dariku, tapi sikapmu ini salah.” Cindy menggeleng.   “Salah? Beginilah caraku menyukai seseorang, aku pasti akan mengejarnya meski dia sudah memiliki kekasih, bahkan jika dia memiliki suami.” Erlan menyatakan hal yang membuat mata Cindy membulat.   “Jangan becanda, kamu nggak menyukaiku, hanya saja kamu–“   “Aku paling tahu bagaimana perasaanku, aku menyukaimu.”   Cindy berusaha mengatur detak jantungnya.   “Pertemuan kita sangat singkat, namun kamu sudah menyatakan perasaan suka terhadapku? Apa itu masuk akal?”   “Menurutku itu gak singkat, Cin, kita sudah mengenal sebelum kita bertemu setelah lima tahun berlalu. Dan … seperti dulu, aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menyukai seseorang, jadi jujur pada hatimu dan lihat aku sebentar saja.”   “Itu tidak perlu.” Cindy menggeleng, menolak dengan tegas.   “Kenapa?” Erlan memberi jeda. “Kamu takut bahwa ketika kamu melihatku, hatimu akan goyah?”   Cindy  menghela napas. “Kamu pikir, kamu siapa?”   “Sudah, kan? Aku perduli terhadapmu.”   Cindy sejenak memalingkan wajah dan mengedarkan pandangan seraya menarik napas dalam-dalam, ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi sikap atasannya itu, yang sudah berhasil membuat hatinya goyah akan perasaannya terhadap Bara.   Erlan menatap Cindy yang memilih memalingkan wajah dan tidak melihatnya.   “Tidak masalah jika kamu tidak mau menatapku. Aku hanya ingin kamu menyadari perasaanku dan perasaanmu sendiri.”   “Aku tidak menyukaimu, aku sudah memiliki kekasih, kamu jangan selalu berpikir bahwa perasaanku meragukan kekasihku.” Cindy menunjuk Erlan, sejenak menatap pria yang sudah berhasil mengganggu harinya.   ****   Cindy berjalan memasuki bar dimana Rina menunggunya, setelah bertemu Erlan, Cindy memilih menenangkan perasaannya di bar.   “Tumben kamu mengajakku kemari? Bukannya kamu sudah lama hijrah?” Rina terkekeh.   “Aku ingin minum, semoga saja Tuhan mengampuniku, jika hari ini aku pulang dalam keadaan mabuk.”   “Aku nggak kepengen minum, sih. Tapi, karena kamu memaksa, aku jadi kemari.”   “Baiklah.”   “Kamu tenang saja, aku yang akan mentraktirmu,”   “Hari ini, biarkan aku menikmati waktu dengan uangku sendiri.”   “Bara menyuruhmu berhemat.”   “Biarkan saja aku boros untuk hari ini saja.” Cindy meyakinkan diri, bahwa yang ia lakukan memang benar. Ia ingin sesekali tidak mengikuti arahan Bara tentang hemat dan tidak terlalu boros. Rina tersenyum melihat perubahan sikap CIndy. Erlan berhasil membuat Cindy bingung dengan perasaannya.   “Sepertinya aku harus mengatakan ini deh, apa Pak Erlan sudah berhasil membuat hatimu goyah? Jika iya, berarti kamu menyukainya.” Rina mencoba menyelidiki perasaan sahabatnya.   “Aku tidak menyukainya, Rina.”   “Terus kenapa kamu mengajakku minum setelah bertemu dengannya?”   “Apa kamu harus bertanya? Bisa kan kita tidak membahas Arsen?”   “Aku ingin tahu apa yang kamu lakukan dan yang kamu bicarakan dengannya setelah aku meninggalkan restoran.”   “Apa yang harusnya ku lakukan dengan Erlan? Aku bahkan belum memarahimu karena meninggalkanku berdua dengan Erlan, sedangkan kamu tahu sendiri, aku sedang menghindarinya.” Cindy menatap sahabatnya.   “Aku pergi karena Mbak Koila memintaku datang secepatnya,”   “Jangan bohong!”   “Baiklah. Aku pergi karena ingin membebaskan diriku dari percakapan kalian, aku memang seharusnya tidak di sana … seharusnya kamu sadar, jika Erlan jelas mengejarmu.”   “Bukan begitu, kamu salah paham, kita hanya … sudahlah, aku juga akan menikah, tidak baik membahas pria lain.” Cindy menggeleng.   “Kau akan menikah dengan Bara adalah masa depan. Sedangkan Erlan mengejarmu adalah masalah saat ini. Terus terang, bahkan jika kamu sudah menikah, kamu tidak bisa menghentikan seseorang untuk mengejarmu.”   Cindy terdiam, jelas perkataan Rina masuk ke telinganya dengan menyaring setiap kata. Cindy menoleh menatap sahabatnya.   “Tidak bisakah kita membicarakan topik lain?”   “Kenapa kita tidak bisa membicarakan masalah ini? Apa karena aku benar?”   “Tidak sama sekali.”   “Jujur padaku … aku benar, kan? Bagaimana perasaanmu?” Rina menatap sahabatnya.   “Aku tidak menyukainya,”   “Benar?”   “Iya.”   “Tapi matamu terlihat jelas, bahwa kamu menyimpan rasa pada Pak Erlan. Dia memang lebih baik dari Bara.” tutur Rina. CIndy menoleh menatap sahabatnya.   “Erlan lebih baik dari Bara? Itu salah!”   “Salah? Terus apa yang ku katakan tentang perasaanmu, benar?”   “Jangan memancingku, Rin, aku tidak menyukai pria itu dan aku bukan siapa-siapa untuk dikejar pria seperti Erlan.” Cindy menggeleng, membuang jauh pikirannya tentang perkataan Rina.   “Rasa nyaman dan rasa suka, tidak melihat dari kamu siapa dan asal usulmu.”   “Jangan memulai berspekulasi, Rin. Aku bilang tidak, ya tidak!” tekan Helena.   “Baiklah. Anggap saja kau benar.”   “Lagian aku sudah mau menikah, jangan membahas tentang perasaan yang tidak pernah ada di antara aku dan Erlan.”   “Apa kamu mempertahankan perasaanmu terhadap Bara, karena kamu akan menikah? Jika tidak? Apa perasaanmu akan memilih Pak Erlan?” Rina benar-benar menyelidiki perasaan Cindy, ia sangat tahu apa yang kini dipikirkan sahabatnya dan apa yang membuat sahabatnya gelisah.   “Tidak! Aku bilang tidak! Tetap tidak!”   Rina menghela napas. “Mungkin kamu belum menyadarinya saja.”   “Sudahlah, Rin, kamu jangan menganggap Erlan lebih baik karena dia kaya raya dan mengabaikan perasaanku terhadap Bara karena dia miskin,”   ****   “Aku mengadakan pesta ini demi kamu, demi jabatan barumu,” tutur Aleia.   “Demi aku? Kamu tidak berdiskusi denganku untuk mengadakan pesta untukku, jadi aku tidak pernah menganggap pesta ini untukku.”   “Jangan terus mengabaikanku, Erlan.”   “Aku tidak pernah mengabaikanmu, tapi kamu yang memaksaku untuk menganggapmu tidak ada.”   “Erlan, aku melakukan semua ini demi kamu, demi masa depan kita.”   “Kita? Ini bukan hidupku, tapi hidupmu. Semua orang mengatakan bahwa aku berada dititik ini karena kamu, karena kerja kerasmu, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ini kerja kerasku. Aku sangat berterima kasih jika memang kamu ikut andil dalam kesuksesanku.”   “Sayang, mereka tidak bermaksud begitu, mereka hanya–“ Aleia hendak menggenggam tangan Erlan, namun Erlan menghindarkan tangannya.   “Jangan menyentuhku! Kamu sudah membuatku sadar bahwa usahaku selama lima tahun ini sia-sia, semua orang lebih memujimu dibandingkan aku yang sedang menjalaninya.” Erlan mencoba menahan emosinya, apalagi party ini dibuat khusus untuknya, banyak rekan kerja dan rekan kuliah yang diundang Aleia untuk hadir ikut meramaikan acara ini.   “Apa kamu berpikir bahwa semua ini tidak sulit untukku? Semuanya sangat sulit, hanya saja aku berusaha demi kamu, karena aku sangat mencintaimu.”   “Aku tidak butuh kerja kerasmu untuk berada dititik ini!”   “Sayang, aku–“   Suara ponsel Erlan terdengar, Erlan merogoh kantong celananya dan mengambil ponselnya. Ia membulatkan matanya penuh seraya tersenyum.   “Hallo!” tanya Erlan. Sengaja mengangkat telponnya dihadapan Aleia.   “Hallo, Erlangga Putra Hermawan!” Cindy sudah mabuk, ia tidak menyadari jika saat ini, ia menelpon Erlan.   “Ada apa?”   “Aku ingin mengatakan sesuatu, aku ingin kamu mendengarnya malam ini, datang kemari sekarang juga.” Cindy terdengar mabuk, suaranya serak.   “Kamu mabuk?”   “KESINI SEKARANG JUGA!”   “Kamu dimana?”   “Aku di bar, Tuan CEO,”   “Baiklah, aku akan ke sana sekarang juga.”   Erlan mengakhiri telpon lalu menatap Aleia yang tengah penasaran siapa yang menelpon Erlan.   “Aku harus pergi.” Erlan beranjak dari duduknya.   “Kamu mau kemana? Bagaimana dengan pestanya? Pesta ini adalah pestamu.”   “Aku sedang ada urusan yang lebih penting dari ini, satu hal yang harus kamu sadari, ini bukan pestaku tapi pestamu.” Erlan berjalan meninggalkan Aleia.   “Erlan! Kamu mau kemana? Erlan! ERLAN!” teriak Aleia, namun Erlan mengabaikannya. Aleia menitikkan air mata, hatinya begitu terluka ketika Erlan lebih mementingkan orang yang menelponnya dibandingkan pesta ini dan dirinya.   “Aleia!” panggil seseorang, Aleia dengan cepat menyeka airmatanya.   “Iya?”   “Erlan kemana?” tanya Dini, sahabatnya.   “Dia harus ke kantor, ada pekerjaan mendadak yang harus selesai malam ini.”   “Apa kalian berantem?”   Aleia menggeleng. “Tidak,”   “Ya sudah. Rekan kerja Erlan memanggilmu untuk menemuinya.”   “Baiklah. Ayo kita ke sana.” Aleia menggandeng sahabatnya dan berjalan mendekati rekan kerja Erlan yang kini tengah mengangkat gelasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN