Takdir Allah 10 - Destiny

2109 Kata
‘Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu k ekiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahya,…’ (QS. Al-Baqarah: 144) Ezra  berniat merapikan wajahnya, ia mencukur sedikit cambang di pipi dan dagunya. Setelah selesai, ia terlihat lebih rapi, walaupun masih tersisa sedikit rambut tipis karena ia tidak mencukurnya hingga bersih. Hari ini, ia akan memeriksa cabang perusahaan dan memantau proses pembangunan. Tadi malam, ia sudah membaca siapa yang memenangkan tender untuk mengelola pembangunan gedung. Vinci CA adalah perusahaan yang berasal dari Prancis yang berdiri semenjak tahun 1899 di Rueil Malmaison. Vinci CA berhasil mendapat kepercayaan oleh perusahaan karena terbilang sukses menjadi kontraktor dengan kredibiltas dan reputasi global. Vinci SA telah banyak berkontribusi untuk pembangunan konstruksi, pembiayaan dan managemen berbagai fasilitas. Salah satu bangunan yang berhasil ia bangun dan menjadi sejarah adalah museum Louvre di Prancis. “Pagi, Pak.” Sapa seorang pria yang memakai topi keamanan. Ezra membalasnya dengan tersenyum. “Perkenalkan saya, Frank Dord. Anda bisa memanggil saya, Frank.” Terang pria itu sembari mengulurkan tangan. “Ezra Sulwyn.” Ezra membalas jabat tangan itu dengan sopan. Mereka berjalan beriringan menuju lobi gedung yang masih separuh selesai di tata. Beberapa pekerja menyapa mereka dengan hormat ketika berjalan melewati ruangan yang sedang dikerjakan. Ezra dapat melihat bagaimana kualitas dari pekerjaan mereka, dinding dan lantai terlihat solid jika dilihat secara langsung. PM itu juga menjelaskan dengan sangat fasih ketika Ezra bertanya beberapa pertanyaan. “Kami juga sudah menyiapkan beberapa ruangan yang akan digunakan untuk prayer atau bisa dikatakan tempat ibadah. Akan ada 1 ruangan khusus di setiap lantai yang bisa digunakan untuk tempat ibadah.” Ucap Frank. Ezra mengerutkan kening, “Tempat ibadah? Apa gunanya tempat itu?” “Itu akan digunakan oleh karyawan jia gedung ini telah di resmikan, Sir. Pastinya, karyawan yang diterima juga dari berbagai latar belakang yang akan diseleksi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.” Jawab Frank lugas. Ezra berpikir, “Apa ruangan ini termasuk yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak?” “Yes, Sir. Sebenarnya pembahasan tentang ruangan ini juga cukup lama di bahas. Saya sendiri menghadiri rapatnya saat diskusi terakhir tahun lalu di London.” Terang Frank. Mereka masih berjalan di sekeliling bangunan. Ezra menaiki lift yang sudah selesai di kerjakan. Di perusahaan itu ada dua buah lift, satu private lift dan satu transparan lift. Mereka menaiki lift transparan yang menggunakan kaca bening sehingga dapat dilihat orang lain. “Ini lift yang akan digunakan oleh karyawan, sebenarnya bisa juga menggunakan private lift tapi, lebih di proritaskan kepada petinggi perusahaan atau klien yang sedang berkunjung. Tergantung mereka ingin menaiki yang mana yang sedang kosong.” Terang Frank. Mereka sekarang sudah berada di lantai tiga, beberapa pekerja sedang memasang plafon dan mengecet dinding. “Nah, ini ruangan yang saya katakan tadi, Sir.” Ezra memasuki ruangan itu, yang ternyata cukup besar, selebar 3x3 meter lengkap dengan jendela serta kamar mandi yang bentuknya cukup aneh. Di sana hanya ada keran air berjejeran  yang ia tidak tahu digunakan untuk apa. “Keran air itu digunakan untuk mengambil air. Singkatnya digunakan untuk membersihkan diri lalu beribadah.” Jelas Frank. Ezra terkejut, “Bagaimana kau bisa mengetahuinya?” “Anak saya seroang muslim. Jadi, saya sedikit mengetahuinya dari penjelasan anak saya.” Jawab Frank. “…ruangan ini akan digunakan untuk tempat beribadah orang muslim, Sir.” “Apa maksudmu? Saya pikir tempat ini untuk semua orang? Kenapa hanya dibangun hanya untuk orang muslim saja? Kenapa tidak diperuntukkan untuk semua orang?” tanya Ezra. “Ah, karena akan sangat sulit bagi mereka untuk melakukan ibadah dan itu bisa mengganggu kerja mereka. Setahu saya, ibadah orang muslin itu banyak sekali. Mungkin sekitar 5 atau 6 kali sehari.” Frank tampak berpikir, “…saya tidak tahu pasti. Saya hanya melihat anak saya melakukannya di waktu-waktu yang tidak bisa saya mengerti.” “Bukannya mereka bisa keluar untuk mencari tempat ibadah yang sudah disediakan di sekitar gedung perusahaan?” Frank tersenyum, “Seperti yang saya katakan tadi, mereka butuh beribadah beberapa kali dalam sehari. Sangat tidak mungkin mengorbankan jam kerja hanya untuk mencari tempat ibadah, maka dari itu tempat ini dibuat.” Ezra masih tidak mengerti, kenapa Ayahnya menyetujui pengadaan ruangan ini. Mungkin akan sangat efektif jika cabang berada di negara Timur Tengah tetapi di Korea Selatan, yang terkenal dengan insdustri hiburan yang kemungkinan mendapat seorang muslim hanya 1 berbanding 100. Tetapi, Ezra merasa baik-baik saja jika sudah disetujui, lagipula tugasnya disini buka untuk merombak apa yang ada. Tugasnya hanya meninjau bagaimana pembangunan ini berjalan baik atau tidak. “Sepertinya terdengar sangat merepotkan.” Ucap Ezra. Frank terkekeh pelan, “Saya pikir juga begitu, Sir. Begitu anak saya menjelaskan hal itu, saya pikir itu akan menghabiskan waktu hanya untuk melakukan kegiatannya. Tetapi, setelah sering melihatnya, itu sudah menjadi hal yang normal saja.” Ezra hanya menggeleng pelan dan tidak menanggapi ucapan Frank. Mereka berjalan keluar dari ruangan itu menuju ruangan yang lebih besar. “Ini ruang rapat, akan ada dua ruangan yang akan digunakan bergantian dari setiap divisi. Sir, mari kita ke lantai paling atas.” Ajak Frank lalu memasuki lift. Ezra mengikuti pria itu, memperhatikannya diam-diam. Dari yang ia lihat Frank sudah berumur, mungkin dapat ia sebut pria paruh baya tetapi rambutnya belum memutih. Dari yang ia ketahui, orang yang rambutnya belum memutih padahal sudah berumur merupakan orang yang bahagia dan tidak gampang stres. Padahal Frank bekerja di kontruksi yang juga memiliki medan pekerjaan yang sangat berat. Beberapa menit kemudian mereka sampai di lantai paling tinggi dari bangunan ini. Cabang perusahaan ini dibangun dengan 60 lantai, sementara fungsi lantai teratas hanya untuk pemimpin perusahaan. “Lantai ini hanya memiliki beberapa ruangan, terdiri dari Ruangan CEO, co-CEO, dua ruangan sekretaris, satu pantry, rooftop, satu ruang meeting.” Terang Frank.   Mereka masuk di ruangan CEO yang hampir rampung. Ruangan itu kosong dan hanya berisi kaleng cat dan tangga. “Di ruangan CEO ada ruangan khusus yang dapat digunakan untuk beristirahat.” Frank mengajak  Ezra untuk melihat ruangan itu. Cukup luas untuk diisi beberapa prabot seperti tempat tidur, sofa dan beberapa benda besar lainnya. Ini akan sangat bagus untuk ruang beristirahat dan juga ruangan bersenang-senang. Ezra tersenyum miring. “Apa ruangan ini juga ada di dalam laporan?” tanya Ezra. Ezra tidak mengetahui ruangan ini ada, mungkin ia melewatkan satu lembar saat membaca lapoaran yang dikirimkan oleh ayahnya. “Tentu saja, Sir. Dari pengalaman saya bertahun-tahun bekerja sebagai PM, ruangan pemimpin perusahaan pasti memiliki ini. Sudah sangat banyak yang meminta, jadi ini hampir normal untuk dibuat sebagai tempat rahasia di dalam ruangan CEO.” Terang Frank. Setelah melihat tempat lain, akhirnya Ezra dan Frank kembali ke lobi perusahaan. Butuh dua jam lebih untuk melihat-lihat, padahal ia hanya mengunjungi beberapa tempat penting, tidak melihat keseluruhan ruangan di semua lantai. Ketika mereka tiba di lobi, ponsel Frank berbunyi. Ezra memperhatikan pria itu tersenyum lalu megangkat ponselnya. Ezra sempat melihat jika seorang gadis berada tepat di depan layar, memakai pembungkus kepala sedang tersenyum riang. Ezra meninggalkan Frank, membiarkan lelaki itu mengobrol. Ia pergi mengobrol dengan para pekerja, bertanya beberapa pertanyaan singkat. “Maaf, Sir. Anak saya tadi menelepon.” Ucap Frank. Ezra mengangguk pelan, “Tidak apa-apa. Lagipula pekerjaan kita sudah selesai.” “Saya beruntung telah memilikinya. Ia adalah keajaiban yang diberikan tuhan untuk saya.” Frank tertawa pelan. “Apalagi setelah ia berubah keyakinan, anak itu sudah tidak pernah keluar malam lagi dan berpakaian tertutup.” Frank tampak sedang membayangkan anaknya, pria itu tersenyum lembut dan tampak bangga. “Apakah anda tidak takut?” tanya Ezra langsung. “Takut?” tanya Frank, “…kenapa? Karena anakku bisa menjadi seorang teroris?” Ezra lagi-lagi terkejut ketika Frank langsung paham arah pembicaraannya. “Bagiku, itu tidak perlu dipusingkan. Lagipula, aku mempercayai anakku. Aku bisa tahu kapan dia berbohong, selama ini dia terus emgnarah ke hal-hal positif, itu membuatku tenang dan membebaskannya selam ia melakukan hal yang baik.” Jawab Frank, “…terus terang, awalnya aku sempat takut. Apalagi sangat banyak kejadian yang melibatkan teroris terutama di negara Eropa dan Amerika. Tetapi, jadi penjelasan yang kuketahui agama islam tidak pernah mengajak untuk membunuh.” Ezra dan Frank terus bertukar cerita. Mereka mengobrol sampai waktu jam makan siang. Saat itu juga Ezra pamit, ada hal yang harus ia urus. Setelah masuk ke dalam mobil, Ezra menghubungi Ayahnya. “Hai, Za.” Sapa Robert. “Baru selesai meeting, bagaimana di Seoul?” Ayahnya mengangkat panggilan Ezra pada panggilan ke lima. “Semuanya berjalan dengan lancar, Dad. Aku sangat puas dengan kecepatan pembangunannya yang baru beberapa bulan. Mereka bekerja keras.” Ucap Ezra.  “Syukurlah kalau begitu. Dad juga percaya mereka akan bekerja semaksimal mungkin karena nama mereka akan rusak jika bangunan itu salah kontruksi.” Terang Robert. “Kau dimana sekarang? Ini sudah larut malam, Za!” Ezra mengerutkan kening, “Eh, disini masih siang Dad. Kita memiliki perbedaan waktu.” “Ah, kau benar. Sorry, Dad lupa.” Balas Robert. Mereka berbicang sebentar tentang pekerjaan, ternyata Ayahnya belum memutuskan siapa yang akan memimpin cabang itu. Ternyata, para pemegang saham belum melakukan rapat untuk menunjuk pemimpinnya. Ezra mematikan panggilan, ia kembali melajukan mobil dalam kecepatan sedang. Sekarang, ia sedang mencari restoran seafood untuk makan siang. Ezra menemukannya setelah sempat tersesat dua kali. Ia menggunakan maps yang petunjuk arahnya tidak begitu tepat dan membuatnya menemukan alamat yang salah. … Aisyah baru saja kembali dari kamar mandi. Wajahnya masih basah, ia merapikan lengan bajunya yang tadi ia gulung. Aisyah memakai mukenah lalu melaksanakan shalat duhur. Ketika sedang tahiat akhir, Aisyah merasakan pintu ruang kerjanya terbuka dan ia tahu jika ada orang yang masuk ke dalam ruangannya. Aisyah tidak bisa melihat siapa yang masuk ke ruangannya, karena arah kiblat tepat membelakangi pintu. Aisyah bersyukur karena oang yang masuk ke ruangannya itu tidak berisik dan mengatakan apapun hingga ia selesai selesai melaksanakan shalat. Ketika membuka mukenah. Ia mendapati Rere sedang bermain ponsel di sofa. Gadis itu menatapnya dengan senyum, entah kenapa tatapan Rere terlihat senang sekaligus terkejut. “Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanya Rere dengan suara menuntut. Aisyah sedang melipat mukenahnya mengalihkan tatapannya ke arah Rere. “Ini?” tanya Aisyah lalu mengangkat mukenahnya, yang dijawab langsung dnegan anggukan oleh Rere. “Aku masih belajar, Re. Aku masih malu memberitahunya kepadamu.” Ucap Aisyah. “Ku rasa kau tidak perlu malu. Berubah ke arah yang baik itu tidak memiliki alasan untuk malu. Aku bangga kau mau berubah.” Rere tersenyum. “…pantas saja kau tidak pernah menerima ajakkanku untuk pergi ke kelab, ku pikir kau dapat teman lain untuk besenang-senang. Ternyata memang sudah tidak bisa.” Aisyah tersenyum, “Sebaiknya kau cari teman lain untuk bersenang-senang. Atau pergi sendiri.” “Tidak akan seru jika aku sendiri, apa kita minum soda saja?” Aisyah berdiri memasukkan mukenahnya ke dalam tas. “Memangnya kau mau? Rasanya sangat berbeda dari alkohol. Kau masih bisa bersenang-senang, Re. Jangan perdulikan aku.” Rere mengangkat bahu, “Okelah, itu urusan nanti. Nah, sekarang aku butuh tanda tanganmu untuk meneruskan beberapa video ke GM.” Rere memberikan Aisyah beberapa lembar kertas untuk di tanda-tangani. Aisyah mengambil pulpen lalu membubuhkan tanda tangannya di sana. Terkadang Rere membutuhkan persetujuannya, karena hanya dialah yang tahu jadwal artis dan jika ada video baru yang memiliki tanggal sama maka akan di diskusikan ulang, berbeda jika jadwal kososng. Ia bisa langsung memasukkannya ke dalam jadwal. “Kau, sudah makan siang?” tanya Aisyah. Rere menggeleng, “Aku baru keluar dari ruangan itu sejak masuk tadi pagi. Mau makan siang bersama?” “Mau, makan di luar? Aku ingin seafood,” ucap Aisyah. “Setuju! Sekarang temani aku menghadap ke GM.” Mereka berdua sama-sama pergi ke ruang kerja General Manajer, menyerahkan laporan itu. Setelah tanya jawab singkat mereka akhirnya keluar, sebelum itu mereka meminta ijin agar sedikit terlambat.  Aisyah dan Rere menuju sebuah restoran seafood favorit mereka yang terletak di Hannam-dong, Yongsan-gu. Restoran itu menyediakan seafood halal yang sangat enak. Butuh beberapa menit untuk sampai di restoran itu menggunakan mobil, Rere memarkir mobil tepat di depan restoran. Tepat saat mereka turun dari mobil, Aisyah melihat seseorang yang familiar, Ezra. “Hai.” Sapa Ezra ketika berpapasan dengan mereka. Rere terkejut ketika melihat Ezra lalu melirik Aisyah yang terus saja menatap pria itu. Ia berdehem pelan lalu membuat gestur akan menunggu di dalam. “Hai, apa kabar?” tanya Aisyah. Ezra mengangkat kedua alisnya, “Baik. Kau?” “Well, aku sedikit lelah dan,” Aisyah menghentikan ucapannya ketika perutnya berbunyi. “…yah, lapar.” Ezra tertawa, tawanya lepas hingga membuat Aisyah menatapnya sedikit kesal. “Ah, sorry! You’re cute. Sayang sekali aku sudah selesai makan. Jika tidak, aku akan senang hati bergabung dengan kalian.” “Memangnya aku mengundangmu,” ucap Aisyah masih sebal. Ezra kembali tertawa, “Baiklah-baiklah, mungkin lain kali,” Ezra menggantung kalimatnya, menatap Aisyah yang masih menatapnya sebal. “…saat kau mengajakku. Sampai bertemu lagi.” Aisyah mengabaikan ucapan pria itu lalu masuk ke dalam restoran. Ia mencari Rere, setelah menemukan sahabatnya itu. Rere menatapnya dengan tatapan aneh. “Apa?” tanya Aisyah lalu duduk di depan Rere. Rere menaik turunkan alisnya, menggoda Aisyah. “Sepertinya aku mengenal pria tadi. Dimana ya?” Rere tampak berpikir. “Di Amerika! Saat kita tour!” pekiknya pelan. Aisyah mengangguk, membenarkan ucapan Rere. “Kau menyenggol tangannya dan membuat sendok serta kue pria itu terjatuh ke lantai.” Aisyah menunduk pelan, “Jangan mengucapkannya dengan keras jika kau mengingatnya!”   Aisyah malu ditatap oleh pelanggan lain akibat suara keras Rere. Namun, ketika peramusaji datang membawakan pesanan mereka, Aisyah langsung melupakan ucapan Rere. Ia memesan, Ojingeo-tonggui (cumi bakar pedas), Jogae Gui (kerang panggang), muneo jorim (kerang panggang), kkotgetang (sup kepiting), nasi dan air mineral. “Wah, semua makanan ini sangat enak.” Ucap Aisyah. Rere mengangguk setuju. Ia juga menikmati seafood yang mereka pesan. Mereka makan dalam diam ketika tiba-tiba Rere mengucapkan sesuatu yang membuat Aisyah tersedak. “Kau menyukai pria tadi, bukan?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN