“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah ialah orang-orang yang paling takwa di antara kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al-Hujurat:13).
.
.
.
Aisyah melotot ke arah Rere. Ia meminum air mineral hingga tersisa separuh, tenggorokannya terasa panas akibat tersedak sup pedas. Ucapan Rere yang tiba-tiba membuatnya sangat terkejut.
Bahkan ia tidak pernah memikirkan pria itu kecuali di hari yang sama saat mereka bertemu. Aisyah bahkan melupakannya jika mereka tidak bertemu lagi hari ini.
“Aku sama sekali tidak menyukainya, Re. Apa kau bercanda! Aku baru saja bertemu beberapa hari yang lalu, secara tidak sengaja tentunya.” Jawab Aisyah.
Tenggorokan Aisyah masih perih, ia meminum air hingga tandas dan menghirup napas cukup panjang lalu menghembuskannya. Ia masih lapar tetapi karena tersedak selera makannya hilang.
“Bagaimana kalian bertemu?” tanya Rere. “Ayolah, aku sangat penasaran! Ceritakan kepadaku!”
Aisyah memasukkan kerang cukup besar ke dalam mulutnya. Membiarkan Rere menatapnya dengan penasaran. Ketika Aisyah ingin menambah kerang lain, Rere menarik piring kerang begitu saja karena ia tidak menjawab pertanyaanya.
“Kami betemu di supermarket di dekat kantor. Aku sedang membeli mie instan, dia mengenaliku begitu saja.” Jawab Aisyah lalu mengambil kerang dan memakannya dengan nikmat.
“Kau tidak bertanya kenapa pria itu berada di sini? Ngomong-ngomong siapa nama pria itu?” Rere mengambil kerang yang tersisa ke piringnya.
Aisyah menyeruput sup kepiting, “Namanya Ezra. Jika aku tidak salah ingat, dia sedang liburan.”
“Wah, kalian sudah berbicara sebanyak itu? Ku kira dia tipe-tipe pria yang dingin. Dari wajahnya pria itu terlihat seperti seoarng eksekutif muda.” Ucap Rere yakin.
Aisyah mengangguk pelan, “Aku juga berpendapat sama. Dia memakai pakaian bermerek yang hanya bisa dibeli kalangan atas.”
“Nah, benarkan!” Rere meminum soju.
Di meja mereka terdapat satu botol soju khusus dipesan Rere. Soju pasangan terbaik saat memakan makanan pedas. Apalagi Seafood, Rere sangat menyukainya. Sebenarnya itu kegemaran mereka berdua, tetapi karena Aisyah sudah berhenti meminumnya. Maka Rere hanya memesan satu botol mengingat mereka masih harus bekerja.
“Jangan meminum terlalu banyak dan sebaiknya kau memakan sesuatu untuk menyamarkan bau alkohol itu saat di kantor nanti.” Saran Aisyah.
Sebenarnya minum saat jam kerja sangat dilarang, apalagi mereka bekerja di perusahaan yang berada di industri hiburan, membuat kesalahan sedikit saja itu bisa mencemari nama perusahaan dan akan langsung diberhentikan.
“Aku tahu, ini gelas terakhirku. Aku juga masih sayang pekerjaanku, dimana lagi bisa mendapat gaji yang banyak jika bukan di industri hiburan. Lagipula, mencari pekerjaan sangat sulit.” Rere menjauhkan botol sojunya.
Rere tiba-tiba menatap Aisyah, “Bagaimana rasanya tidak meminum alkohol? Apakah enak?”
“Rasanya? Biasa saja, aku sempat ingin meminumnya lagi karena sudah terbiasa. Apalagi saat makanan seperti ini, soju sudah menjadi bagian penting saat makan. Tapi, aku tidak boleh meminumnya lagi.” Jawab Aisyah.
“Memang kenapa kau dilarang minum alkohol? Siapa yang membuat peraturannya?” tanya Rere.
Aisyah menghela napas pelan, “Di dalam agamaku, sangat dilarang untuk meminum alkohol, bahkan makanan biasa yang sudah di fermentasi pun jika mengandung alkohol sedikit saja itu sangat dilarang. Untuk penjelasan siapa yang membuat peraturannya,” Aisyah menggantung ucapannya, berpikir sejenak. “…aku memiliki kitab yang digunakan sebagai pedoman, di dalam kitab itu ada aturan yang melarang minum alkohol, terdapat ayat yang mengaturnya dan ayat itu melalui proses yang sangat panjang.”
Rere mengerutkan kening, ia pusing mendengar penjelasan Aisyah. “Okelah, ada peraturan lain yang melarangmu melakukan sesuatu?” tanyanya penasaran.
Rere tidak mengetahui apa agama Islam sebenarnya, ia tidak pernah bertemu dengan orang dengan agama itu kecuali Aisyah. Ia pun hanya sekedar mengetahui informasi dari internet yang tentu saja belum dapat dipercaya kebenarannya.
Aisyah berpikir, ia sebenarnya sangat payah dalam menjelaskan. Apalgi ia masih perlu banyak belajar, pengetahuannya sama hampir tidak ada. “Cukup banyak, beberapa di antaranya seperti dilarang memakan hewan yang bertaring seperti Babi, anjing, dan kucing.”
“Really?” ucap Rere terkejut, memotong perkataan Aisyah.
“Kami juga dilarang untuk memakan makanan yang berada di dalam wadah atau bejana emas karena itu bentuk hal yang berlebih-lebihan dan prilaku orang kafir. Masih banyak larangan lainnya tetapi aku lupa.” Terang Aisyah.
Rere mengangguk pelan, ternyata aturan untuk makan saja berbagai macam. Mereka berpindah membahas hal lain, Rere takut jika Aisyah akan merasa tertekan jika ia bertanya tentang hal yang bisa dibilang adalah hal yang sangat privasi itu.
Aisyah dan Rere sedang berada dalam perjalanan kembali ke kantor. Rere berhenti di lampu merah, ia teringat tentang pria yang menyapa Aisyah tadi.
“Kalau dilihat-lihat, Ezra termasuk dalam pria yang sangat tampan. Apalagi ia memiliki cambang tipis di rahangnya. Wah, kalau ciuman dengannya pasti geli-geli enak.” Ucap Rere.
Aisyah yang sedang menghayal langsung menoleh menatap Rere, ini kesekian kalinya ia kaget karena ucapan gadis itu. Tetapi,apa yang diucapkan Rere langsung terbayang di benaknya. Seketika Aisyah tertawa pelan, lalu salah tingkah.
“Benar, kan. Kalau saja, aku yang duluan mengenalnya, sayangnya kau yang duluan bertemu dengan pria tampan itu.” Rere terkekeh pelan.
Rere membelokkan mobil memasuki tempat parkir kantor.
“Ck, kalau mau. Coba saja dekati dia, tapi aku tidak punya kontak pria itu. Mungkin lain kali aku akan memintakannya untukmu.” Tawar Aisyah.
Rere berhasil memarkirkan mobil. “Hei! Aku bukan tipe perempuan seperti itu. Ezra sudah bagian dari takdirmu saat kalian tidak sengaja bertemu di Amerika, masih banyak pria lain yang bisa kudapatkan.”
Aisyah tertawa pelan, mereka menaiki lift menuju lantai kantor tempat mereka bekerja.
“Tapi, aku benar-benar bisa memintakan kontaknya untukmu.” Tawar Aisyah untuk kedua kali.
Rere mendengkus, “Tidak! Aku hanya menggodamu tadi, ternyata sangat susah untuk memancingmu. Berarti rasa sukamu baru serpihan-serpihan.”
Mereka bedua tertawa, “Sudahlah, jangan mengarang terlalu jauh. Ingat, jangan ada siapapun yang tau kalau kau minum tadi.”
Rere mengangguk pelan, mereka berdua berpisah di ujung lorong karena ruangan dan divisi mereka berbeda. Aisyah menyalakan komputer lalu duduk di kursi kerjanya. Tanpa sadar ia kembali membayangkan apa yang diucapkan Rere tadi.
Aisyah menghela napas pelan, menundukkan kepalanya di atas meja. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan bayangan dikepalanya. Ini salah Rere karena mengucapkan hal yang aneh.
Aisyah menarik napas panjang lalu berusaha fokus melanjutkan pekerjaannya. Ia masih harus menyelesaikan susunan jadwal yang sudah harus ia berikan kepada GM besok pagi, dan ratusan jadwal masih menunggu untuk di susun. Jadwal itu untuk setengah tahun, jadwal untuk perilisan album baru juga sudah termasuk di dalamnya.
Aisyah harus menyusun waktu agar tepat, mereka juga telah merilis berbagai angka sebagai kode, baik dai musik video ataupun saat sedang tampil. Jika tidak teliti, Aisyah bisa pusing sendiri dan tidak akan menyelesaikannya dalam waktu beberapa hari.
…
Aiysah baru saja menyelesaikan shalat subuh ketika ponselnya bordering. Nama Abimanyu tertera jelas di layar ponselnya, Aisyah mengerutkan kening, tumben sekali kakaknya menelponnya pagi-pagi buta seperti ini.
Aisyah duduk di ranjang lalu mengangkat tpanggilan kakaknya, ia menjauhkan ponsel dari wajahnya karena panggilan itu berupa panggilan video.
“Assalamualaikum, Kak.” Sapa Aisyah.
Abimanyu tersenyum, ia kaget ketika melihat Aisyah terlihat sedang memakai mukenah. Padhaal ia akan mengira adiknya itu akan terlihat seperti orang yang baru bangun tidur dengan wajah bengkak dan rambut kusut.
“Ayah! Bunda!” teriak Abimanyu.
Aisyah memperhatikan Abimanyu berjalan keluar dari kamar.
“Eh, kenapa kak?” tanya Aisyah, ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan kakaknya.
Tiba-tiba Abimanyu memindahkan arah kamera, Aisyah tidak lagi melihat wajah Abimanyu. Kamera itu mengarah ke dapur rumahnya, Aisyah masih tidak mengerti apa yang Abimanyu lakukan hingga ketika Ayah dan Ibunya masuk membawa mangkuk berkuah coklat.
Aisyah menelan liurnya, ia tahu apa isi mangkuk itu. Makanan kesukaannya, coto makassar. Makanan yang khusus berisi daging sapi kesukaannya. Sebenarnya coto makassar berisi jeroan dan daging sapi, tetapi Aisyah lebih menyukai jika dibuat berisi daging sapi. Lebih enak, menurutnya.
“Selamat ulang tahun, Dek. Semoga panjang umur, di beri kesehatan dan rejeki lancar. Keberkahan dan doa kami menyertaimu.” Ucap mereka bersamaan.
Asiyah melebarkan matanya, “Eh!”
Ia buru-buru melihat tanggal hari ini dan sadar jika hari ini tepat hari kelahirannya. Mata Aisyah berkaca-kaca, tidak menyangka akan mendapatkan kejutan seperti ini dari keluarganya.
“Kok nangis, harusnya kan senang, Nak.” Zakaria mengambil alih ponsel dari tangan Abimanyu.
Tangis Aisyah semakin kencang ketika melihat wajah ayahnya. Ia sesungukan, apalagi ketika melihat ayahnya ikut berkaca-kaca saat melihatnya menangis.
Ketika tangis Aisyah mereda, Zakaria tersenyum menatap wajah Aisyah. “Alhamdulillah, sekarang kamu sudah melaksanakan shalat.” Ucap Zakaria. “…besok-besok di tambah ngaji, satu ayat juga nggak apa-apa. Lama-lama pasti bertabah dengan sendirinya.”
Ibu Aisyah ikut duduk di samping Ayahnya, wanita i[aruh baya itu mengangguk pelan. Membenarkan ucapan suaminya, Aisyah menjawab dengan anggukan.
“Aisyah tambah cantik ya, Yah.” Puji Atiqah.
Aisyah yang dipuji hanya mengusap air matanya yang masih menetes dengan mengerucutkan bibir. Tiba-tiba arah kamera berubah menampilkan wajah Abimanyu yang sedang menjilat tulang, sontak membuat Aisyah tertawa.
“Nah, kalau menurut Ayah lebih cantik pas Aisyah tersenyum juga.” Puji Zakaria.
Aisyah mengambil tissu dan membuang lender dihidungnya.
“Ih! Jorok, Dek! Kakak lagi makan!” protes Abimanyu.
Aisyah terkekeh karena mendengar ucapan kakaknya. Kamera kembali memperlihatkan kedua orangtuanya, Aisyah tersenyum lembut menatap mereka. Zakaria tertawa pelan, sementara ibunya menghilang dari layar.
Terdengar keributan yang menyebabkan Aisyah terkaget, sementara Zakaria menepuk keningnya pelan.
“Ada apa, Yah?” tanya Aisyah.
Zakaria mengalihkan tatapannya ke layar ponsel.
“Bunda sama Abi, jatuhin tutup panci sama mangkok. Untung semua besi.” Zakaria masih tersenyum, ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel ke dapur berulang kali.
“Aduh, Bunda sama Kakak ada-ada aja. Masih subuh, nanti di teriakin tetangga.” Aisyah ikut tertawa.
“Nah, yang jelas kalau ada tetangga yang ketok pintu rumah. Ayah bakalan pura-pura itudr, biar Bunda sama Kakak yang urus.” Ucap Zakaria pelan.
Tiba-tiba sebuah tangan mencubit pipi Zakaria, “Ih, jangan gitu dong, Yah! Abi aja yang bukain pintu, kita berdua pura-pura tidur aja. Kan dia yang jatuhin tutup panci sama mangkok.” lapor Atiqah.
Mereka bertiga berdebat, tidak ada yang ingin disalahkan. Sementara Abimanyu mengucapkan alasan, katanya tutup panci dan mangkok itu panas makanya ia tidak sengaja menjatuhkannya.
Tiba-tiba arah kamera berubah lagi. Zakaria meletakkan ponsel itu dengan sanggahan toples lalu agar Aisyah bisa melihat mereka bertiga sekaligus. Tiba-tiba ekspresi Aisyah berubah masam ketika melihat keluarganya dengan nikmat menyantap coto.
Ada ketupat yang sudah di potong-potong di atas meja lengkap dengan mangkuk besar berisi coto makassar.
“Ah, Aisyah juga mau!” protes Aisyah.
Abimanyu yang sedang mengunyah menoleh menatap ponsel, lalu menjulurkan lidah kepadanya.
“Makanya pulang, Dek. Bunda pasti buatin satu panci penuh cuma buat kamu!” ucap Abimanyu.
Aisyah mengerucutkan bibir, perutnya berbunyi melihat mereka dengan enaknya makan. Mulutnya berair karena menginginkan makanan itu.
“Beneran?” tanya Aisyah memastikan.
Abimanyu dan Zakaria mengangguk mengiakan, sementara Atiqah sibuk mengiris ketupat yang sudah habis di atas meja.
“Oke! Aisyah pulang besok!”
Ucapan Aisyah membuat Abimanyu dan Zakaria tersedak, mereka menatap Aisyah dengan mata membulat. Gerakan mereka semua berhenti lalu satu detik kemudian, sibuk meminum air untuk melegakan tenggorokan.
“Dek!” tegus Atiqah setelah keadaan kembali kondusif.
Aisyah tertawa kecil lalu meminta maaf. Mereka lalu melanjutkan pembicaraan dengan obrolan ringan. Satu jam kemudian, Aisyah pamit karena akan siap-siap untuk bekerja.
…
Aisyah tiba di kantor dengan perasan yang sangat baik. Ia tersenyum dan menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. Aisyah bahkan bisa menyelesaikan pekerjaanya yang bertumpuk sejak kemarin hanya karena moodnya sangat bagus.
Jam sudah menunjukkan waktu duhur ketika Aisyah sedang bermalas-malasan di sofa, ia menuju toilet untuk buang air kecil setelah itu mengambil air wudhu.
Ketika Aisyah masuk ke dalam bilik ke kamar mandi, ia mendegar ada suara langkah lalu berenti di depan wastafel. Aisyah tidak mendengarkan pembicaraan mereka tetapi ketika mendengar namanya di sebut, Aisyah menajamkan pendengarannya.
“…Aisyah yang di divisi Social Marketing?”
Tangan Aisyah yang ingin membuka pintu bilik toilet terhenti. Ia membeku, berusaha mendengar lebih jauh. Ternyata ada karyawan lain yang sedang membicarakannya.
“Iya. Dia digosipkan dekat dengan salah satu idol yang ia tangani. Bahkan, dari kabar yang kudengar, jalang itu sering ke ruang kerja idol itu saat sedang jam istirahat agar tidak ada yang melihatnya!” ucap seorang perempuan dengan nada berapi-api.
Perempuan itu tertawa, tiba-tiba Aisyah mendengar suara air yang mengalir. “Aku tidak menyangka, dia orang yang seperti itu. Ku kira dia orang yang prefosional, dia tampak sangat baik saat melakukan briefing dan presentasi.”
“Huh?”
“Ku dengar bahkan, jalang itu sudah berkencan dengna salah satu idol tapi menyembunyiannya. Dia pasti dalang yang membocorkan informasi pribadi kepada penguntit.”
Kepala Aisyah memanas. Ia tidak terima di tuduh seperti itu, semua omongan perempuan itu bohong. Aisyah tidak pernah melakukan apapun yang diucapkannya, bahkan bertemu dengan idola hanya beberapa kali dalam jangka waktu satu bulan. Itupun hanya dalam rapat penting ataupun ada permintaaan jadwal pribadi dari salah satu anggota.
Aisyah sudah tidak dapat menahan emosinya, ketika ia ingin membuka kunci pintu. Suara pintu di tendang kuat tiba-tiba terdengar.
“Serahkan surat pengunduran diri kalian ke kepala Divisi hari ini juga!”
Aisyah tersentak begitu mendengar suara itu.
“Aku akan memberi waktu kalian selama 2 jam! Jika tidak, aku akan memberikan rekaman suara ini kepada GM agar kalian di pecat dan membayar pinalti sebanyak sepuluh kali lipat dari gaji kalian karena menuduh orang sembarangan!”
Aisyah membuka pintu bilik, munculnya Aisyah membuat ketiga orang yang sedang berbicara di depan wastafel terkejut. Terlebih dua karyawan yang menggosipinya.
Aisyah membaca tanda pengenal mereka lalu tersenyum sinis. Mereka adalah karyawan yang baru saja diterima beberapa bulan lalu. Aisyah menyapa seroang wanita paruh baya yang sangat ia kenal, wanita itu adalah kepala divisinya.
Kedua perempuan itu semakin tertunduk takut. Mereka pergi dari toilet itu tanpa permisi. Aisyah lalu menghela napas panjang.
“Terimakasih.” Ucapnya pelan kepada atasannya.
Wanita paruh baya itu menepuk punggung Aisyah pelan. “Sama-sama. Kerja di industri hiburan memang sangat sulit. Aku tidak akan percaya omongan mereka karena aku lebih percaya kepadamu, pasti GM juga mempercayaimu karena selama ini prestasimu sangat bagus di bandingkan dua karyawan baru itu.” Terang wanita itu.
Aisyah kembali mengucapkan terimakasih. Mereka berdua berpisah di koridor. Aisyah kembali masuk ke dalam toilet untuk mengambil air wudhu. Ia ia menghela napas untuk kesekian kalinya, persaaannya berubah sedikit buruk karena insiden tadi.
Di dalam shalatnya, Aisah berdoa agar terus dituntun menuju kebaikan dan jalan yang dipenuhi ridha Allah. SWT. Ia berharap tidak mengalami masalah di dalam pekerjaannya dan selalu dalam lindungan Allah. SWT.
Setelah selesai melaksanakan shalat duhur, Aisyah terdiam di atas sejadahnya. Ia masih memikirkan kejadian tadi, mungkin masih banyak lagi yang membirakannya.
Aiysah mengusap wajahnya pelan lalu menghela napas panjang. Mencoba menghilangkan pikiran buruk di dalam kepalanya. Ia takut rumor tidak berdasar itu akan menyebar dan akan terdengar oleh media.
Aisyah beristigfhar beberapa kali, hingga pikirannya itu sedikit hilang dari benaknya. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Aisyah berdiri lalu melipat mukenah dan sejadahnya, kembali duduk di depan komputer, memeriksa siapa tahu ada pekerjaan baru yang harus ia kerjakan.