Ezra masih bertanya-tanya apakah orang yang berpapasan dengannya adalah orang yang dimaksud oleh pihak kepolisian. Ia mengambil ponsel dari saku celananya lalu menghubungi pos keamanan.
Ezra menceritakan ciri-ciri yang sempat ia tangkap dari orang yang memakai pakaian serba hitam itu tadi. Pihak keamanan itu mengatakan akan segera mengecekk CCTV lantai empat dan berterimakasih atas laporan Ezra.
Setengah jam kemudian ponsel Ezra berbunyi ketika ia akan berbaring di tempat tidur.
“Halo, selamat malam.”
“Selamat malam, Pak. Kami ingin berterimakasih karena laporan bapak, kami berhasil mendapatkan bukti jika orang itu benar-benar ke apartemen ini.” ucap seseorang yang Ezra kenali sebagai pihak keamanan apartemen yang berjaga di pos.
Ezra terkejut, seketika merubah posisinya yang sedang berbaring menjadi duduk. “Sebenarnya orang itu siapa, Pak? Kenapa dia ke lantai empat?”
“Ah, dia adalah pelaku tindakan kekerasan yang pernah terjadi di lantai itu, Pak. Tapi, untuk menjaga kerahasiaan korban saya tidak dapat memberitahu anda siapa orangnya. Saya hanya dapat memberitahu jika pelakunya seorang pria.” Ucap petugas keamanan itu.
Walaupun tidak diberitahu banyak, Ezra tetap berterimakasih atas informasi yang diberikan kepadanya. Lagipula itu bukan urusannya walaupun mereka tinggal di apartemen yang sama.
Ezra mencoba tertidur, tetapi bayangan tetang pria tadi terus terulang dibenaknya. Ezra membuka matanya ketika ia menyadari sesuatu, arah pergi pria itu berlawanan dengannya. Otomatis, pria itu sebelumnya berjalan ke arah apartennya.
Apartemen terbagi menjadi dua bagian yakni sebelah kanan dan kiri yang dipisahkan oleh lift. Unit apartemen ada 12 setiap lantai, otomatis, enam unit berada di sebelah kiri dan juga kanan.
Ezra mengerjabkan matanya pelan, dari lift ia berjalan berbelok ke kiri. Sementara itu berasal dari sebelah kiri lalu berjalan ke arah lift. Otomatis, pria itu dari lorong apartemennya.
“Bukannya, 2 unit apartemen di sebelahku kosong. Sementara yang terisi hanya unit miliknaya, milik Aisyah dan dua lagi milik dua keluarga yang besaudara.” Gumam Ezra.
Tadi siang, ia sempat berkenalan dengan mereka ketika sedang memindahkan barang. Mereka yang memberitahunya jika ada dua apartemen yang masih kosong karena pemiliknya sering pergi ke luar negeri.
Ezra membulatkan matanya ketika berhasil menarik kesimpulan. Ia memikirkan tidak mungkin pria itu melakukan tindakan kekerasan kepada wanita yang sudah memiliki suami.
Hanya satu orang yang bisa menjadi korban dari serangan pria penguntit itu dan kemungkinan yang terbesar adalah Aisyah. Ezra mengambil ponselnya, lalu melihat kontak di dalam benda pipih itu. Ia mencari nama Aisyah tetapi tidak menemukannya.
“Ah, sial! Aku belum meminta kontak gadis itu.” Gumam Ezra.
Ezra meletakkan kembali ponsel di bawah bantalnya. Ia memejamkan mata lalu meletakkan lengannya tepat di atas matanya yang tertutup. Entah kenapa cara ini ampuh membuatnya tidur lebih cepat dan lebih pulas.
Ezra menghela napas panjang, entah kenapa Aisyah akhir-akhir ini selalu melintas dibenaknya dan kejadian sekarang membuat pikirannnya penuh dengan gadis itu.
…
Ezra berdiri di depan pintu apartemennya. Pria itu sudah terlihat rapi dengan rambut basah sehabis mandi. Ia sengaja bangun lebih pagi agar bisa bertemu dengan Aisyah, padahal tadi malam ia menekan pada dirinya jika itu bukanlah urusannya.
Apalagi ia dan Aisyah hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu. Mereka bahkan belum akrab sama sekali. Entah kenapa jika mengobrol dengan gadis itu ia merasa telah mengenalnya sejak lama.
Ezra menunggu sembari memainkan ponsel, ketika ia sedang bermain game tiba-tiba pintu apartemen Aisyah terbuka dan gadis itu keluar dengan menggunakan pakaian yang biasa ia gunakan saat pergi bekerja.
“Hai,” sapa Ezra.
Aisyah terkejut begitu mendapati Ezra berdiri disebuah pintu apartemen lain tidak jauh dari pintu unitnya. Ia bingung lalu membalas sapaan Ezra hanya dengan melambaikan tangan.
Mereka berdua berjalan menuju lift ketika mereka melihat seorang wanita paruh baya yang kembarin sore bertemu dengan mereka sebelumnya. Wanita itu menarik Aisyah pelan sejauh satu meter dari Ezra.
Ezra yang baru saja akan bertanya kepada Aisyah akan pergi ke mana untuk basa-basi hanya terdiam ditempatnya. Mereka berbisik-bisik, kali ini Ezra tidak dapat mendengar pembicaraan mereka.
Dari jauh, Ezra memperhatikan ekspresi wajah mereka bedua. Ketika melihat Aisyah terkejut, ia menerka-nerka apa yang sedang mereka bicarakan. Ketika Ezra ingin menghampiri mereka seorang pria paruh baya ikut berbicang dengan mereka berdua.
Pria paruh baya itu menepuk kepala Aisyah pelan, mereka tampak berbicara sebentar sebelum Aisyah meninggalkan mereka.
“Ada apa?” tanya Ezra penasaran.
Aisyah menjawab dengan menggelengkan kepala lalu masuk ke dalam lift. Ezra mengikuti gadis itu dengan rasa penasaran, ketika melihat Aisyah tampak sedikit diam. Ezra mengurungkan niat untuk kembali bertanya.
“Boleh aku bertanya?”
Aisyah menoleh menatap Ezra. Memalingkan tatapannya dari lantai lalu menatap pria itu.
“Apakah kau tahu di mana HIT Entertaiment?” tanya Ezra.
Selain menunggu Aisyah untuk turun bersama, ia juga harus ke perusahaan HIT Entertaiment, ia menunggu Aisyah untuk bertanya diaman lokasi agensi itu. Lift tiba di lobi apartemen ketika Ezra bertanya.
“Itu tempatku bekerja, kenapa?” jawab Aisyah.
Ezra menghentikan langkah, “Aku ada urusan dengan Agensi itu. Bisa kah kau mengantarku ke sana?”
Aisyah berpikir sejenak lalu mengiyakan ajakan Ezra.
“Nah, kalau begitu kita ke tempat parkir. Kita akan naik mobil ke sana.” Ajak Ezra.
Mereka berjalan menuju tempat parkir, mereka berdua tidak berbicara sama sekali bahkan ketika telah berada di dalam mobil. Aisyah sibuk memikirkan ucapan wanita paruh baya yang dulu pernah menyelamatkannya.
Aisyah menggenggam tangannya gelisah, ia menduga orang yang mengikutinya selama ini adalah Dae-Ho. Mantan pacarnya yang memukulinya beberapa bulan yang lalu.
Ezra mengamati Aisyah, perempuan itu tampak menatap jendela dengan tatapan kosong. Belum lagi ia meremas tangannya berkali-kali, Ezra menghiraukan Aisyah. Ia sibuk memperhatikan maps yang telah Aisyah aturkan untuknya untuk menemukan gedung agensi yang mereka tuju.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di depan gedung, Aisyah memberikan tanda pengenalnya sementara Ezra mengeluarkan kartu namanya. Karena Ezra baru pertama kali berkunjung, maka pihak keamanan harus menghubungi staf apakah benar Ezra bisa masuk.
Setelah menunggu sepuluh menit Ezra diperbolehkan masuk, ia juga di beri tanda pengenal sebagai pengunjung.
“Sebenarnya kau ada urusan apa ke sini? Ku pikir kau sedang liburan?” tanya Aisyah lalu melepaskan seatbelt.
Ezra membuka pintu mobil, “Ada meeting.” Jawabnya singkat.
“Meeting?”
“Iya, aku perwakilan salah satu perusahaan yang dijadwalkan meeting hari ini.” Jawab Ezra.
Mereka berjalan bersama-sama, sebenarnya ia mengikuti langkah Aisyah yang entah akan kemana. Beberapa orang memandangi saat mereka tiba di lobi utama.
Tiba-tiba seorang resepsionis kaget melihat kedatangan Ezra. Ia menyambut pria itu, mengganti tanda pengenal pengunjung menjadi tamu VIP. Sebenarnya Ezra tidak mempermasalahkannya karena ia mewakili hanya Jeff untuk meeting.
“Eh, kau ternyata tamu penting, huh?”
Ezra tertawa pelan melihat keterkejutan Aisyah, ekspresi mendung sudah tidak terlihat di wajah gadis itu. Mereka berpisah saat Aisyah lebih dulu keluar dari lift. Ezra ikut melangkahkan kaki ke luar lift.
“Aisyah!” panggil Ezra.
Gadis itu berbalik dengan alis terangkat.
“Lain kali, kalau kita ketemu lagi. Ingatkan aku untuk meminta nomor ponselmu.” Ezra beteriak lalu kembali masuk ke dalam lift yang akan tertutup.
Sementara Aisyah hanya mematung mendegar ucapan Ezra. Ia menatap ruang kosong tempat pria itu tadi berdiri. Aisyah menutup wajahnya, ia tidak sadar jika sedang dilihat oleh divisi lain.
…
Tiba-tiba suara riuh datang dari kanan dan kirinya, setelah itu beberapa orang datang untuk menepuk pundaknya lalu menggodanya karena diteriaki seperti itu oleh orang asing.
Aisyah menunduk malu, ia segera berjalan cepat menuju ruang kerjanya. Aisyah berteriak di ruang kerjanya, ia sangat malu. Belum lagi saat ia mengingat perkataannya kepada Ezra semalam.
Sebenarnya ia mengingatnya ketika pertama melihat Ezra tadi pagi. Tetapi, ketika sadar jika pria itu tidak mengingat kejadian semalam karena tidak menggodanya lagi, Aisyah bersikap seperti tidak terjadi apa-apa padahal ia ingin menjadi kecil dan terselip di manapun agar menghilang dari pria itu karena malu.
Aisyah bekerja serius hingga larut malam. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam saat ia selesai bekerja, Aisyah keluar menuju ruang kerja Rere. Beruntung ia menemukan sahabatnya itu masih berada di ruangannya.
“Hei,” sapa Rere.
Gadis itu sedang duduk di sofa saat Aisyah masuk. Komputer yang ia gunakan untuk bekerja juga sudah padam.
“Kenapa belum pulang?” tanya Aisyah.
Rere meletakkan ponselnya di atas meja, “Aku baru saja beristirahat. Akhir-akhir ini pekerjaan sangat banyak. Apa karena sudah memasuki akhir tahun?”
“Tentu saja dan masih banyak lagi pekerjaan yang akan datang mendekati acara festival akhir tahun. Semua akan menumpuk dan kita harus mengerjakannya dengan deadline satu hari atau bahkan beberapa jam.” Ucap Aisyah lalu dudk tepat di samping Rere.
Rere mengamati Aisyah, sahabatnya itu tumben menyapanya duluan. Biasanya dia yang akan ke ruang kerja gadis itu ketika melihat lampu ruang kerjanya masih menyala.
“Ada apa? Tumben ke sini.” Ucap Rere lalu kembali bermain ponsel.
Aisyah ragu, ia meremas jari-jarinya pelan. “Dia kembali, Re.”
“Siapa?”
Rere masih belum mengerti maksud dari perkataan Aisyah. Ia asik memainkan game tebaru yang baru saja ia unduh di ponselnya.
“Dae-Ho, pria itu datang ke apartemenku tadi malam.” Aisyah menelan ludah setelah mengatakannya.
Seketika Rere menyimpan kembali ponselnya, ia berbalik menghadap Aisyah. Rere mendapati mata Aisyah berkaca-kaca, ia langsung saja memeluk Aisyah, menepuk-nepuk punggung gadis itu.
Beberapa menit kemudian, setelah Aisyah tenang. Rere memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.
“Bagaimana bisa pria berengsek itu datang ke apartemenmu? Bukannya dia masih dipenjara?” tanya Rere.
Aisyah meminum air mineral yang berada dalam genggamannya. “Entahlah, tadi pagi aku diberitahu oleh tetangga apartemenku jika ada seorang laki-laki memakai pakaian serba hitam yang datang ke lantai tempat apartemenku. Ciri-cirinya sangat mirip dengan Dae-Ho.”
Rere mengerutkan kening, ia langsung menghubungi pihak keamanan apartemen Aisyah. Ia sempat meminta nomor pihak keamanan saat setelah kejadian itu menimpa sahabatnya.
Setelah mengkonfirmasi bahwa sosok itu benar-benar datang ke apartemen Aisyah tadi malam. Rere memutuskan sambungan, ia tidak percaya jika mantan pacar Aisyah yang telah memukul sahabatnya itu sudah bebas.
“Aku tidak yakin jika itu benar-benar dia. Apa kau melihatnya secara langsung?” tanya Rere.
Aisyah menggeleng, “Hanya tetanggaku yang melihatnya. Tadi malam polisi sempat patroli di sekitar apartemen tapi tidak menemukan siapapun.”
“Kalau begitu mulai dari sekarang kau harus lebih waspada dan sepertinya ada sesuatu yang belum kau beritahukan kepadaku?” tanya Rere.
Aisyah menyandarkan tubuhnya di sofa, “Akhir-akhir ini ada yang mengikutiku saat pulang ke apartemen. Tadi malam kedua kalinya orang itu mengikutiku tetapi saat setelah aku bertemu dengan Ezra, dia menghilang.”
Rere mengerutkan kening, “Ezra? Kau sepertinya sangat sering bertemu dengan pria itu.”
“Dia pindah ke gedung apartemenku. Kebetulan unitnya berada tidak jauh dengan milikku.” jawab Rere.
“Benarkah?” Rere terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu ketika tidak lama ia mengingatnya, “…kau ingat? Saat ke apartemenku? Ada seorang pria yang akan masuk ke apartemennya? Pria itu sepertinya Ezra. Kau tahu kenapa dia pindah?”
“Katanya ia tidak tahan dengan tetangganya karena terlalu ribut.” Ucap Aisyah.
Rere membenarkan, “Memang ada salah satu penghuni apartemen yang di waktu-waktu tertentu akan membuat keributan ditengah malam. Petugas keamanan sudah datang memeriksa apartemen itu berulang kali untuk melihat apakah ada sesuatu yang mencurigakan sedang dilakukan tetapi tidak menemukan apapun. Itu suda terjadi sebelum aku tinggal di apartemen itu, rumor yang beredar dia adalah seorang psiko, tetapi orang itu beralasan sedang memperbaiki pipa yang rusak.”
“…karena sudah memeriksa berulang kali dan tidak menemukan apapun, penghuni apartemen lain membiarkannya sampai sekarang. Aku tidak pernah mendengarnya lagi karena selalu pulang larut malam dan banyak yang pindah apartemen karena suara itu tetapi aku tidak masalah toh, apartemenku hanya untuk beristirahat.” terang Rere.
Aisyah mengangguk, pantas saja Ezra pindah. Ia juga tidak akan bisa dengan tetangga yang berisik walaupun masing-masin apartemen sudah kedap suara. Mereka berbincang sebentar lalu memutuskan untuk pulang bersama-sama.
Rere mengantar Aisyah ke apartemennya, ketika sampai di sana. Mereka melihat Ezra sedang duduk di taman. Rere mamandang Aisyah dengan penuh arti ketika pria itu menatap ke arah mereka.
“Sepertinya dia sengaja menunggumu.” Ucap Rere sembari tersenyum kecil.
Aisyah mengerucutkan bibirnya, “Menurutku tidak, dia memang biasa olahraga atau sekedar berjalan-jalan saat malam.”
“Oh! Kau sudah tahu kebiasaan pria itu ternyata.” Ejek Rere.
Aisyah mencubit pinggang Rere, “I’m not! Bye! Terimakasih telah mengantarku.”
Asiyah melambaikan tangan ke arah Rere yang sudah mengemudikan mobilnya di jalan raya. Ia berjalan pelan, ingin langsung melewati Ezra tetapi matanya tidak mengikuti perintahnya, ia tetap melirik pria yang sedang santai makan sesuatu di kursi taman.
Aisyah mengangkat bahu lalu berjalan melewati Ezra.
“Hei! Aku menunggumu sejak tadi dan kau melewatiku begitu saja?” panggil Ezra.
Aisyah berhenti melangkah lalu berbalik, ia bahkan sama sekali tidak menduga Ezra akan berteriak seperti itu. Aisyah melihat sekitar dan tidak menemukan seorang pun bahkan pejalanan kaki. Memang siapa yang pulang kantor di tengah malam seperti ini kecuali dirinya.
Setelah menimbang-nimbang, Aisyah melangkah mendekat dan duduk di ujung kursi yang sama dengan Ezra.
“Ada apa?” tanya Aisyah.
Ezra mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Karena tadi siang, kau sudah berjanji akan memberikan nomor ponselmu ketika kita bertemu lagi. Nah, sekarang aku akan menagih janjimu.”
“Hah? Aku tidak pernah berjanji kepadamu.” Ucap Aiysah.
Ezra tertawa pelan, “Apa aku perlu ke kantormu lagi dan menanyakan kepada semua orang yang berada di sana saat itu?”
Membayangkan akan digoda satu divisi membuat Aisyah bergidik, ia mengambil ponsel Ezra dengan setengah hati. Ia memang tidak pernah menjanjikan apapun kepada pria itu, yang ia lakukan tadi siang hanya berdiri tanpa melakukan apapaun. Berjanji dimananya?
Ketika memegang ponsel Ezra tiba-tiba jantungnya berdetak cepat. Ia merasa aneh padahal tidak melakukan apa-apa, setelah ia menyimpan nomornya, Aisyah melihat wallpaper ponsel Ezra yang hanya menampilkan wallpaper bawaan ponsel.
“I’ll call you.”
Aisyah mengambil ponselnya di saku baju lalu menekan tombol tolak. Ia menyimpan nomor ponsel Ezra yang ternyata nomor ponsel Seoul. Setelah selesai, ia meletakkan ponselnya, melirik beberapa bungkus pelastik berisi eomuk.
“Are you want?” tanya Ezra.
Aisyah menggeleng pelan tetapi seketika membeku mendengar suara perutnya. Lord! Sekali lagi ia ingin menenggelamkan tubuhnya dimana saja. Kenapa ia terlihat sangat memalukan di depan pria itu.
Ezra tertawa pelan lalu memberikan satu bungkusan kepada Aisyah.
“Will you be my friend?”