Aisyah menaikkan alisnya ketika mendengar pertanyaan Ezra. Ia tersenyum, bersyukur karena pria itutidak membahas tentang perutnya yang berbunyi.
“Sure. Why not, kamu adalah pria baik.” Ucap Aisyah.
Ezra tersenyum lebar, “Aku pikir kau tidak akan menerimaku sebagai seorang teman. Well, you are very beautifull, funny and easy going. Semua orang pasti sangat suka berteman dengan gadis sepertimu.”
Aisyah salah tingkah karena dipuji oleh Ezra. “Tidak semua orang. Yah, ada beberapa yang tidak menyukaiku. Apalagi di tempat kerja, semua orang menjadi pesaing jika satu divisi. Tetapi, belum tentu berbeda divisi mereka akan menyukaiku. Tergantunglah.”
“Kau sendiri juga memiliki karakter yang unik. Aku pikir saat pertemu pertama kali dengamu di Amerika, kau adalah pria yang dingin. Apalagi melihatmu memakai pakaian bermerek.”
“…tetapi perkiraanku salah. Kau bahkan lebih baik dari yang kuduga. Buktinya siapa yang akan menunggu orang asing sepertiku di tengah malam buta seperti ini selain kau.” Terang Aisyah.
“Orang asing?”
Aisyah mengangguk, “Sebelum berteman secara resmi, kita masih orang asing walau sering berbicara satu sama lain. Aku juga sebenarnya tidak mengerti kenapa kau mau menungguku saat sudah larut seperti ini.”
“Aku hanya khawatir. Tentang orang yang mengikutimu dan orang yang datang kemarin malam.” ucap Ezra.
Aisyah terkejut, “Apa kau juga tahu tentang itu?”
“Aku baru tahu kemarin malam. Tepatnya karena aku melupakan barangku di apartemen lama dan saat kembali ada mobil patroli polisi berada di depan apartemen. Mereka memberitahuku tentang kejadian itu,”
Mereka sama-sama-sama beranjak masuk ke gedung apartemen karena merasa udara semakin dingin.
“Akulah orang yang melihat pria asing itu. Tepatnya kami berpapasan saat naik ke lantai empat dan dia ingin masuk ke lift.” Ucap Ezra.
“Benarkah? Kenapa tidak bilang kalau kau yang melihatnya? Ingat wanita tadi pagi. Dialah yang memberitahuku kejadian semalam, aku tidak menyangka jika aku yang melihatnya secara langsung. Bagaimana ciri-ciri pria asing itu?”
Ezra meningat-ingat kejadian semalam, “Pria itu memakai pakaian serba hitam dan memakai topi. Jalannya tidak terlalu terburu-buru dan tinggi badannya mungkin hanya sampai leherku.”
“Apa kau tidak salah lihat? Mungkin bukan seorang pria melainkan seorang perempuan?”
Aisyah mensejajarkan tingginya dengan Ezra, mengira bahwa ia setara dengan leher pria itu tetapi setelah di ukur, tinggi badan Aisyah hanya sampai di bahu Ezra.
“Nah, coba lihat. Tinggiku sama dengan orang yang kau deskripsikan. Benar, bukan?” tanya Aisyah yang belum tahu jika tingginya tidak sampai.
Ezra menjauhkan kepala Aisyah dengan telunjuk, “Tinggimu bahkan hanya sampai pundakku.”
“Eh, benarkah?”
Mereka tiba di depan pintu lift, Aisyah melihat jika yang dikatakan Ezra benar. Tingginya bahkan tidak sampai pundak pria itu, ketika melihat pantulan diri mereka dari pintu lift.
Aisyah menghela napas panjang, “Apa kau yakin itu seorang pria? Bukan wanita?”
“Entahlah, sekilas aku melihat jika orang asing tadi malam itu pria. Tubuhnya tampak seperti pria, rambutnya pendek. Tetapi, dia juga memakai jaket berwarna hitam, yang membuat bentuk tubuhnya tidak terlalu kelihatan jika dilihat sekilas.” Ucap Ezra.
Ezra menatap Aisyah tajam, “Kenapa kau membuatku menjadi bingung? Sekarang aku jadi tidak bisa membedakan apa itu laki-laki atau seorang perempuan. Padahal aku yang melihatnya!”
“Yah, selama ini aku sudah paham menghadapi seorang stalker ataupun orang yang diam-diam mengamati seperti itu. Gender mereka tidak bisa langsung di tentukan ketika melihat bentuk fisik mereka. Aku sudah sering melihat kasus dimana yang tadinya diduga seorang perempuan tetapi yang hasil yang didapatkan adalah seorang laki-laki dan begitu juga sebaliknya.” Ucap Aisyah.
“Jadi, kau sudah paham dengan orang seperti itu? Tetapi kenapa takut saat diikuti?” tanya Ezra.
Aisyah berdecak, “Ya, karena aku dulu belum merasakannya. Sekarang aku mengerti kenapa korban stalker sangat ketakutan, rasanya menyeramkan. Diintai diam-diam tanpa diketahui, rasanya seperti monster akan menerkamku dari belakang.”
Lift berbunyi pelan ketika mereka sampai, mereka melangkah menuju apartemen masing-masing. Aisyah mengerutkan kening ketika melihat sebuah paket berada di depan pintu apartemennya.
Aisyah melangkah mendahului Ezra, ia melihat paket apa itu.
“Ada apa?” tanya Ezra yang menyusul dari belakang.
Aisyah sedang membaca deskripsi yang tertera dipaket itu.
“Paket.”
Ezra gemas ingin mengetuk kepala Aisyah, ya semua orang juga tahu yang gadis itu pegang adalah sebuah paket.
“Iya, maksudku itu hanya paket tetapi kenapa kau melihatnya sangat serius seperti itu.”
Ezra ikut mengamati paket yang sedang dibolak-balik oleh Aisyah.
“Aku tidak pernah memesan barang akhir-akhir ini. Apa mungkin salah alamat? Tapi di sini sangat jelas tertera nama dan juga alamat apartemenku.”
Ezra mengambil paket itu dari tangan Aisyah, melihat nama dan juga alamatnya.
“Apa kau mengenal nama pengirim ini?” tanya Ezra.
“Sama sekali tidak.”
Aisyah merasakan perasaannya kembali tidak enak, ia harus mengambil tindakan agar apa yang ia alami sekarang ini berakhir. Tetapi, yang ia pikirkan hanya melaporkan kepada polisi.
Ezra menimbang-nimbang apa isi paket itu. Paket itu tidak bisa dibilang ringan juga tidak berat, Ezra terus mengguncangnya tetapi tidak mendengar apapun dari dalam paket itu.
“Mau membukanya?” tawar Ezra.
Jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan mereka masih tertahan di depan pintu masing-masing. Jujur Aisyah sangat penasaran apa isi paket itu, tetapi di sisi lain ia juga takut. Bisa saja isinya sesuatu yang berbahaya.
“Kau yakin? Apa kita tidak lapor polisi terlebih dahulu?”
Ezra diam, tidak menanggapi Aisyah.
“…tapi jika kau ingin membuka paket itu. Kau bisa melakukannya.” Lanjut Aisyah.
Mereka berdua masih bediri di tempat yang sama, Aisyah menyenderkan tubuhnya di pintu apartemen. Tiba-tiba rasa lelahnya bertambah, kepalanya pusing karena berpikir terlalu keras.
Ezra melirik Aisyah, gadis itu tampak mengerjabkan matanya berkali-kali.
“Baiklah. Tapi, kita akan membukanya besok. Sekarang, waktunya istriahat.” Ezra melangkah menuju pintu apartemennya.
Aisyah mengangguk tetapi tersadar ketika Ezra membawa paket itu. “Eh, paketnya?”
“Karena sekarang kita berteman, aku akan membawa paket ini ke apartemenku untuk keamananmu.” Jawab Ezra. “Nah, kau masuk duluan.”
Aisyah mengikuti saran Ezra, ia masuk ke dalam apartemennya lebih dahulu dibandingkan pria itu. Ketika masuk ke apartemennya, Aisyah merasakan sesuatu yang ganjil.
Entah kenapa ia merasa asing dengan apartemennya, ia terdiam di depan pintu. Saat ia akan menyimpan sepatu, ia merasa ada yang berbeda dari rak sepatunya.
Aisyah melangkah pelan, ia meneliti setiap jengkal apartemennya. Merasa semakin janggal dengan tempat itu. Ketika Aisyah memasuki kamarnya, ia menjerit histeris.
Sekujur tubuhnya merinding, ia berbalik lalu berlari untuk keluar dari apartemen. Tanpa alas kaki, ia menuju apartemen milik Ezra, memencet bel berkali-kali dengan panik.
Ezra membuka pintu cukup lama. Pria itu hanya memakai baju kaos dan celana pendek ketika membuka pintu. Aisyah seketika menerobos tubuh Ezra lalu jatuh terduduk tidak jauh dari pintu.
“Ada apa? Apa yang terjadi padamu?” tanya Ezra ia terkejut melihat Aisyah datang ke apartemennya lalu menabrak tubuhnya begitu saja.
Aisyah menatap lantai dengan tatapan kosong. Gadis itu tampak pucat pasi dan ekspresi syok sangat terlihat di wajahnya. Tidak mendapat jawaban dari Aisyah, Ezra keluar untuk mengecek apartemen Aisyah.
Ini adalah hal tergila yang ia lakukan seumur hidupnya, ia sangat peduli dengan Aisyah yang baru saja ia kenal selama satu minggu terakhir. Ketika Ezra memasuki apartemen gadis itu tidak ada yang tampak aneh, ia melihat tas yang tadi dipakai Aisyah berada di depan pintu yang ia duga adalah kamar gadis itu.
Ezra melangkah ke sana, ketika ia melihat ke dalam. Ia menemukan tiga buah boneka sangat kotor dan berbau busuk tepat berada di atas tempat tidur. Ezra refleks menutup hidunya, memeriksa boneka itu.
Ezra kembali ke apartemennya dengan membawa tas Aisyah. Ia menduga gadis itu akan membutuhkan tasnya. Aisyah masih di tempat yang sama ketika ia kembali.
Ezra berjongkok di depan gadis itu, “It’s okay! I’m here to save you!”
Tiba-tiba Aisyah menangis, Ezra relfleks memeluk gadis itu untuk menenangkannya. Tangis Aisyah bertambah parah ketika Ezra menepuk punggungnya pelan.
Sepuluh menit kemudian, Aisyah lebih tenang. Ezra mengajak Aisyah untuk pindah ke ruang tamu, pria itu mengambil air mineral untuk gadis itu.
“Kau harus menghubungi gadis yang mengantarmu tadi. You need her.” Tawar Ezra yang langsung disetujui Aisyah.
Aisyah langsung menghubungi Rere, ia bersyukur di dering ketiga Rere menerima panggilannya dan mengatakan beberapa menit lagi ia akan sampai. Aisyah menghayal selama menunggu kedatangan Rere. Sementara Ezra hanya duduk di sofa menemani gadis itu.
Malam ini menjadi malam aneh untuk mereka berdua. Rere datang langsung ke apartemen Ezra. Ia masuk hanya menggunakan piama dan sandal kamar. Gadis itu datang dengan ekspresi tidak bisa ditebak.
“Aku sudah mengecek apartemenmu!” ucap Rere kepada Aisyah. “Perkenalkan namaku, Rere. Sudah menghubungi polisi?” tanya Rere lalu menatap Ezra.
“Belum. But I’ll call police right now.” Ezra memberikan kode kepada Rere untuk menghibur Aisyah. “Kau bisa membawanya ke kamarku. Kalian bisa menggunakannya untuk sementara. Ah, untuk pakaian, kau bisa mengambil pakaian dari lemari paling ujung.”
Setelah mengatakan itu, Ezra segera keluar untuk menghubungi polisi. Sebelumnya ia sudah mengabadikan dalam bentuk video dan foto keadaan kamar Aisyah.
Polisi segera datang dan memeriksa kamar Aisyah seketika penghuni apartemen itu satu persatu keluar karena penasaran dengan apa yang terjadi. Ezra hanya mengamati proses penyelidikan dari luar karena ia tidak diperbolehkan masuk.
Tepat pukul tiga dini hari para polisi selesai melakukan penyelidikan. Apartemen Aisyah di pasangi garis polisi, sementara Ezra kembalu ke apartemennya untuk beristirhat. Rere keluar dari kamar miliknya ketika ia masuk.
Gadis itu duduk di sofa lalu menghela napas panjang.
“Dia baru saja tertidur.” Ucap Rere.
Ezra ikut duduk di sofa, “Bagaimana kondisinya?”
“Sangat baik. Walaupun ia sangat terkejut, Aisyah akan baik-baik saja.” Rere beranjak dari sofa. “…maaf tapi aku harus pulang. Masih ada pekerjaan yang harus ku selesaikan.”
Ezra ikut berdiri, “Wait… how about Aisyah?”
“Dia sudah tertidur dan kau bisa tidur di sofa.” Ucap Rere. “…ah, aku minta maaf karena berbicara tidak formal. Pikiranku kacau.”
Ezra tidak masalah dengan itu, “Kau sungguh meninggalkan dia di apartemenku? Kau tidak ingin membawanya pulang bersamamu? You know, aku seorang pria.”
“Are you teen? I know you interest with her, but you are man, right? You will save her! In this situation I can’t bring her to my apart. I really sorry, my work waiting me in my apart! I believe you.” Rere melangkah menuju pintu. “…katakan kepada Aisyah jika aku akan kembali besok pagi dengan baju ganti.”
Rere benar-benar meninggalkannya, Ezra memutuskan untuk berbaring di atas sofa. Tidak lama kemudian pria itu terlelap, ia benar-benar lelah hari ini setelah meeting panjang dan kejadian barusan membuatnya sangat lelah.
…
Aisyah bangun dari tidurnya ketika ponselnya bergetar pelan. Ia mengerjabkan mata dan terbangun kaget karena tersadar jika ia tidak tidur di kamarnya.
Setelah memulihkan kesadaran, ia akhirnya sadar jika ia menginap di apartemen Ezra. Walaupun bukan pertama kalinya menginap di apartemen pria, Aisyah tetap salah tingkah.
Ia turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan mendapat Ezra sedang terlelap di atas sofa. Ezra masih memakai pakaiannya semalam yang berarti pria itu tidak mengganti pakaiannya karena ia tidur di dalam kamar.
Aisyah membawa selimut yang ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Ezra. Setelah itu ia ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aisyah sangat berterimakasih karena semalam Ezra kembali dengan membawa tas miliknya.
Dari tas itu ia bisa menggunakan alat shalat yang selalu ia bawa saat bekerja. Aisyah menggunakan kompas yang ia unduh di ponsel untuk menentukan arah kiblat. Setelah pas ia melebarkan sejadah dan melaksanakan shalat subuh.
Dalam sujudnya Aisyah menangis, ia memanjatkan doa agar dijauhkan dari kejahatan dan bahaya. Ia bersimpuh di hadapan Allah untuk meminta pertolongan dan perlindungannya.
Aisyah sedang melipat sejadahnya ketika mendengar suara bedebum dari arah ruang tamu. Tanpa membuka mukenah, Aisyah bergegas mengecek, ia terkejut mendengar suara teriakan seorang pria yang ternyata adalah Ezra.
“Apa!” tanya Aisyah sama-sama terkejut.
Ezra mengumpat, “Astaga! Apa yang kau kenakan? Itu menakutiku!”
“Ah, sorry. Aku tidak bermaksud menakutimu.” Aisyah membuka mukenahnya. “…aku buru-buru membuka pintu karena mendengar ada suara benda jatuh.”
Ketika sadar Ezra sedang terbelit selimut akhirnya Aisyah mengerti suara apa yang ia dengar tadi, pria itu jatuh dari sofa karena tubuhnya terbelit selimut. Pria itu sedang bersembunyi di sudut sofa paling jauh karena melihatnya, hampir terjungkal karena kakinya masih berada di tengah-tengah selimut.
Tawa Aisyah meledak saat melihat Ezra benar-benar terjatuh saat mencoba melepaskan diri dari selimut. Ia mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa.
Melihat pria itu kesal sungguh membuat Aisyah terhibur. Di tengah-tengah kekacauan itu, tiba-tiba bel apartemen Ezra berbunyi. Aisyah mengambil langkah untuk membuka pintu, ternyata Rere datang membawa bungkusan pelastik dan goodie bag.
Ketika masuk, Aisyah menahan tawa saat melihat Ezra sudah duduk di atas sofa. Tawanya kembali terdengar ketika melihat ekspresi pria itu masih kesal sembari menatap selimut.
“See, tidak ada dari kita berdua yang perlu mengkhawatirkannya. Lihat, baru beberapa jam, dia sudah bisa tertawa sampai menangis seperti ini.” Rere meletakkan sarapan yang ia beli di atas meja.
Ezra mendengkus, “Benar. Dia sangat puas menertawaiku dan tidak membantuku sama sekali.”
“Nah, aku heran kenapa mentalnya sangat kuat padahal sudah mengalami kejadian mengerikan dua kali. Di mana kau menyimpan piringmu, bung?” tanya Rere.
Ezra menoleh ke arah dapur, “Di lemari tengah, tepat di atas kompor.”
Aisyah mengerucutkan bibir, “Hei! Orang yang kalian bicarakan ada di sini.”
“Biar saja, aku jadi bisa membicarakanmu tanpa menyembunyikan apapun.” Ucap Rere sembari menyiapkan sarapan.
Mereka duduk dan sarapan bersama, ketika itu ponsel Aisyah bordering dari dalam kamar. Ia buru-buru mengambil ponselnya lalu kembali ke ruang tamu. Aisyah mengerutkan kening saat membaca pesan yang masuk ke ponselnya lalu tertawa hampa.
Rere merebut ponsel Aisyah lalu mengetatkan rahang ketika melihat isi pesan itu. Di sana tertulis pesan, aku akan membunuhmu diikuti foto sebuah pisau dengan tetesan cairan berwarna merah.