Aisyah membiarkan ponselnya di oper kepada Ezra Ia melanjutkan makan tanpa memperdulikan pesan itu. Aisyah hanya menghela napas lalu mengangkat bahu tak acuh.
“Sepertinya aku tahu pelakunya siapa.” Gumam Aisyah.
Rere mengangkat alisnya, “Apa kita punya pikiran yang sama?”
“Siapa?” tanya Ezra.
Aisyah mengehla napas untuk sekian kalinya, “Kemungkinan yang menerorku adalah penggemar fanatik dari kelompok penyanyi yang berada dalam pengelolaanku.”
“Kenapa kau bisa mengetahuinya?”
Rere kembali mengambil ponsel Aisyah, lalu mengambil ponselnya di dalam saku bajunya. “Akhir-akhir ini beberapa staf kantor sedang di teror, kami sudah melaporkannya kepada polisi tapi sepertinya peneror masih berani melakukannya setelah menjadi DPO.”
“Lihat. Gambarnya sama bukan? Walaupun di ambil dari sudut berbeda.” Rere memperlihatkan beberapa foto yang mirip dengan foto yang dikirimkan kepada Aisyah.
Ezra terkejut melihat kumpulan foto itu, “Jadi, yang melakukannya bukan orang asing kemarin?”
“Dae-Ho? Aku juga tidak tahu. Sebenarnya berapa banyak orang yang melakukan ini kepadamu, huh?”
Ezra meminum air mineral yang tersedia di atas meja, “Jadi, itu nama pria yang melakukan kekerasan kepada Aisyah?”
“Iya, aku sudah mendapat kabar jika pria berengsek itu memang sudah keluar dari penjara karena dijamin oleh seseorang dan membayar sejulah uang. Walaupun begitu, pria itu tetap di pasangi gelang kaki berisi pelacak yang berfungi untuk mengetahui dimana keberadaannya.” Terang Rere.
“Setahuku, area terlarangnya berada di apartemen ini. Jadi, jika dia ke apartemenmu, tidak mungkin polisi tidak mengetahuinya karena alat pelacak itu.” Rere menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Omong-omong, kenapa kita sudah akrab begini? Apa kalian sudah berpacaran?” tanya Rere sukses membuat Aisyah yang sedang minum, tersedak.
Aisyah menatap Rere tajam, menyuruh gadis itu untuk berhenti. “We just friend!”
“Right now.” Lanjut Ezra.
Rere tertawa pelan, “Kalian cocok.”
Aisyah heran, ia seperti bingung berada dimana. Aisyah tidak tahu jika Ezra akan mengatakan itu. Ia mengerucutkan bibir pelan, ia tahu Ezra sangat tampan, siapa yang tidak tertarik dengan pria itu.
Tapi, sekarang Aisyah tidak ingin berhubungan lebih dari sekedar teman. Masih banyak yang harus ia perbaiki terutama di hidupnya, Aisyah baru saja selangkah lebih dekat dengan Allah, setelah menjauhi penciptanya itu selama ini.
“Ini aku belikan pakaian untukmu, hari ini kau tidak bisa bolos bekerja. Ini hari sibuk-sibuknya. I’m sorry, tapi aku tidak berhasil memberimu ijin agar tidak bekerja.” Ucap Rere lalu beranjak dari sofa, “Aku duluan.”
Setelah kepergian Rere, tinggal mereka berdua di ruang tamu. Aisyah berubah gugup, ia tidak tahu harus berbicara apa. Kemudian, ia mengambil inisiatif untuk membawa piring kotor ke dapur agar bisa menjauh sedikit dari Ezra.
Aisyah merutuk pelan dalam hati, jika Abimanyu mengetahui ia sedang berduaan dengan seorang pria di dalam apartemen, ia akan langsung dibawa ke Indonesia.
Aisyah terkejut ketika mendapati Ezra di dekatnya, pria itu membawa piring kotor dan memberikan benda putih pipih itu kepadanya untuk di cuci. Pria itu bersandar di kulkas, mengamatinya mencuci piring.
“Jangan dengarkan Rere, dia hanya bercanda.” Ucap Aisyah.
Ezra mengerutkan kening, “Ucapan yang mana? Tentang kita yang terlihat cocok?”
Aisyah menjawabnya dengan gumaman pelan, ia sibuk mencuci piring. “Kenapa kau tidak mengakuinya? Bukankah memang iya? Bayangkan saja, kita baru satu minggu berkenalan dan kau sudah mencuci piring di apartemenku.”
“Ya! Saekkia! (Hei!)”
Aisyah menjulurkan lidahnya lalu tertawa pelan, sementara Ezra menatap gadis itu bingung karena tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Kau baru saja mengumpatiku, bukan?” tebak Ezra.
“Tidak! Itu kata-kata normal.” Jawab Aisyah ia menyelesaikan cucian piringnya dengan cepat.
Ezra menyipitkan mata, ia sepertinya tidak percaya dengan kata-kata Aisyah. Ezra mencari kalimat yang baru saja gadis itu ucapkan di internet dan menemukan artinya.
“Apa yang kata-kata biasa, kau barusan benar-benar mengumpatku!” Ezra menciprat gadis itu dengan air keran.
Asiyah tertawa, ia pikir Ezra tidak akan bisa mendapatkan arti dari ucapannya. Tetapi ia salah, pria itu behasil akibat bantuan internet. Mereka saling perang air, tiba-tiba mereka mendengar dering ponsel.
“Be carefull!”
Ezra menggapai punggung Aisyah saat hampir terpeleset akibat ulah mereka, pria itu mencengkram kuat baju kaos miliknya yang digunakan Aisyah sejak tadi malam.
“Thank you.” Ucap Aisyah.
Gadis itu mengambil ponselnya yang ada di meja, lalu panik ketika melihat nama Ayahnya tertera di layar ponsel. Aisyah panik karena Zakaria menghubunginya dengn panggilan video, dengan terpaksa Aisyah menekan tombol tolak lalu menghubungi Ayahnya dengan panggilan biasa.
“Assalamualaikum, dek. Lagi sibuk ya?” sapa Ayahnya.
Aisyah meringis, “Iya, Yah! Lagi banyak kerjaan kantor.”
Aisyah mendengar ungkapan kekecewaan Ayahnya, “Padahal, Ayah sama Bunda kangen mau liat kamu.”
“Maaf Ayah, Bunda. Lagi mau akhir tahun jadi kerjanya lumayan banyak. Nanti malam, Aisyah telepon lagi ya.” Ucap Aisyah.
“Ya sudah, Nak. Kerjanya yang rajin, jangan nunda-nunda pekerjaan.” Ucap Zakaria.
Aisyah mengakhiri panggilan setelah berbicara sebentar dengan Ibunya. Ia terduduk lemas di sofa. Jika saja kejadian itu tidak menimpanya tadi malam, ia tidak akan berbohong seperti ini kepada orangtuanya.
“Aisyah, kamu orang Indonesia?” tanya Ezra dengan Bahasa Indonesia yang fasih.
Aisyah berbalik, ia terkejut mendengar Ezra berbahasa Indonesia.
“Iya, aku orang Indonesia.” Jawab Aisyah. “Aku pikir kamu orang Eropa? Kok bisa berbahasa Indonesia?”
Ezra tertawa pelan, “Ibuku orang Indonesia. Aku sudah fasih berbahasa indonesia sejak kecil.”
“Ah, kenapa tidak bilang dari awal? Kita susah-susah berbicara menggunakan Bahasa inggris.” Aisyah ikut tertawa.
“Aku juga baru tahu, ternyata kau orang Indonesia. Kau berasal dari mana? Jakarta? Atau Kalimantan?” tanya Ezra.
Aisyah menggeleng, “Sulawesi, tepatnya Sulawesi selatan.”
“Benarkah? Mamaku akan senang jika mengetahui aku menemukan teman yang satu daerah dengannya. Beliau juga berasal dari Sulawesi tapi aku lupa tepatnya dimana.” Terang Ezra.
Aisyah tersenyum kecil, “Ternyata dunia ini benar-benar sempit.”
“Benar, mungkin juga sejak awal pertemuan kita itu takdir.” Ucap Ezra. “Are you believe, destiny?”
“Tentu saja, semua yang terjadi kebetulan itu sudah di takdirkan. Kecuali, semua hasil usaha yang kita kerjakan.” Jawab Aisyah.
Ezra mengangguk pelan, ia setuju dengan sebagian pendapat Aisyah tetapi ia tidak percaya takdir. Ezra hanya mengucapkannya karena sering mendengarnya dari orang lain.
“Aisyah, boleh aku bertanya?”
Aisyah yang akan beranjak dari ruang tamu kembali ke posisi duduknya, “Boleh, selama itu tidak melanggar privasi. Aku bisa menjawabnya.”
“Eh, ini mungkin agak sedikit privasi. Tapi, aku penasaran.”
Aisyah menunggu pertanyaan yang akan diucapkan oleh Ezra. Pria itu tampak berpikir sebentar sebelum membuka mulut.
“Tadi pagi, apa yang kau gunakan? Sebuah jubah? Atau apa dan apa yang kau lakukan dengan pakaian itu? Apa itu yang kau gunakan saat tidur?” tanya Ezra tidak berhenti.
Aisyah mengerutkan keningnya, ia tidak menyangka itu yang akan Ezra tanyakan. “Oke, aku akan mnjawabnya mungkin secara tidak berurut.” Aisyah mencoba menyusun kata-katanya dikepala, “…yang aku gunakan tadi pagi itu disebut mukenah, itu tidak kupakai saat tidur dan aku menggunakannya untuk beribadah.”
“Hah?”
Ponsel Aisyah bedering, nama Rere tertera di layar ponselnya. Ia memberikan isyarat kepada Ezra untuk menjawab panggilan Rere.
“Hei! Apa yang kau kerjakan, huh? Satu jam lagi kita meeting dengan pimpinan perusahaan dan kau masih belum sampai di kantor.”
“Aku bahkan masih belum mandi, Re. Sabar, aku akan tiba di kantor sebelum rapat.” Jawab Aisyah.
Aisyah dapat mendengar Rere mengumpat, “Jangan-jangan kau sedang b******a dengan pria tampan itu?”
“I will bring chili for your mouth, Re! Jangan bicara sembarangan!”
Rere tertawa kencang di ujung sambungan, sementara Aisyah memutar bola matanya. “Okay, see you there.”
Aisyah mematikan sambungan secara sepihak, menaruh ponselnya di atas meja.
“Terimakasih karena sudah membiarkanmu meminjam bajumu tadi malam. Padahal itu sangat tidak sopan, bolehkah aku menggunakan kamar mandimu sekali lagi?” tanya Aisyah.
“Silahkan dan jangan merasa segan karena aku juga sangat senang menolong, bahkan jika yang terkena masalah bukan kau.” Ucap Ezra.
Aisyah berterimakasih, ia mengambil goodie bag yang sebelumnya diberikan oleh Rere lalu masuk ke kamar Ezra untuk membersihkan diri sebelum pergi bekerja.
Ia mengamati kamar Ezra, kamar pria itu sangat maskulin dengan wallpaper dinding berwarna navy, lengkap dengan seprai dan juga furniture yang ada di dalam.
Pria itu menata kamarnya dengan sangat baik walaupun baru saja pindah satu hari yang lalu. Aisyah melangkah pelan ke arah nakas yang berada tepat di samping tempat tidur.
Di sana ada dua buah foto keluarga, Ezra bersama kedua orangtuanya saat wisuda dan sebuah foto lain yang tampak sudah kusam, di foto itu terdapat seorang ibu yang sedang menggendong anak bayi yang ia duga adalah Ezra saat masih kecil.
Dari foto ini, siapapun bisa menyimpulkan jika Ezra sangat menyayangi keluarganya. Pria yang menyimpan foto kedua orangtuanya dan fotonya saat masih kecil adalah orang yang menghargai kenangan dan perjalanan hidup.
Setelah mengamati, Aisyah masuk ke kamar mandi. Ia buru-buru membersihkan diri, agar tidak terlambat ke kantor. Aisyah sangat terburu-buru hingga keluar dengan kaki yang masih basah.
Aisyah merasakan tubuhnya melayang, ia menjerit kencang sebelum tubuhnya mendarat di lantai dengan keadaan tengkurap. Aisyah merasa ia tidak bisa bergerak selama beberapa menit, dadanya terasa berdenyut akibat menghantam lantai.
Tiba-tiba suara ketukan pintu mengembalikan kesadarannya.
“Aisyah! Are you okay? Aku mendengar suara seperti orang jatuh?” tanya Ezra diiringi suara ketukan yang tidak berhenti.
“I’m okay.” Ucap Aisyah lirih.
“Apa? Aku tidak bisa mendengarmu!” teriak Ezra, pria itu berhenti mengetuk pintu untuk bisa mendengar suara Aisyah lebih jelas.
“Aku baik-baik saja. Please, don’t open the door.”
Aisyah mencoba bangun, seluruh tubuhnya seketika nyeri karena kaget. Dadanya masih berdenyut, rasanya lebih sakit dari pada tidak sengaja disikut orang. Ia tidak bisa menopang tubuhnya saat jatuh karena ia sedang memperbaiki posisi lilitan handuk di tubuhnya.
Aisyah melihat pantulan tubuhnya di cermin, wajahnya terlihat memerah karena masih terkejut. Ia memeriksa bagian lain dan bersyukur karena tidak ada satupun yang terluka.
Ia berpakaian dengan cepat, ketika keluar dari kamar ia mendapati Ezra sudah mengganti pakaian yang menurut Aisyah cukup formal. Rambut pria itu juga masih basah dan wajahnya terlihat lebih segar.
“Za, apa kau punya kamera atau sesuatu yang bisa merekam di dalam kamarmu?” tanya Aisyah terus terang.
Ezra bingung, “Tidak ada. Apa kau benar-benar terjatuh?”
“Syukurlah jika tidak ada.”
Pria itu tertawa pelan, “Kalau ada bagaimana?”
“Aku akan menghapus rekamannya tentu saja!” ucap Aisyah galak. “Ada atau tidak?”
“Ada di dalam, di pojok paling atas lemari di dekat AC.”
Aisyah sontak berlari menuju kamar Ezra, mencari-cari benda yang bisa menjadi alat perekan. Tetapi, sejenak kemudian sadar jika tidak ada lemari di tempat yang pria itu sebutkan.
Ezra yang melihat ekspresi panik Aisyah tergelak, ia memperhatikan gadis itu dari depan pintu. Begitu Aisyah berbalik dan menatapnya galak, Ezra mundur perlahan.
“Kau mengerjaiku!” ucap Aisyah lalu mencubit pinggang Ezra.
Ezra meringis, ia mengelus pinggangnya yang seperti terbakar akibat cubitan gadis itu.
“No! No! Aku hanya bercanda, lagipula bukannya tadi aku sudah bilang kalau tidak ada apapun di dalam kamarku yang bisa merekam.” Ucap Ezra saat melihat Aisyah kembali siap untuk mencubitnya.
Aisyah cemberut, masih menatapnya galak.
“Sudahlah, ayo ke kantor. Ponselmu sudah bordering sejak tadi.” Ajak Ezra.
Aisya setuju, ia mengambil ponsel dan juga tasnya. Mereka keluar dari apartemen, suasana lorong apartemen itu sangat sepi, karena unit apartemennya berada sebelum milik Ezra, jadi ketika ke arah lift maka mereka akan melewati apartemen milik Aisyah.
Apartemen itu tertutup rapat dengan tanda garis kuning menempel di pintu tanda hanya polisi yang boleh masuk. Aisyah mengalihkan pandangannya lalu bergegas menuju lift.
Ketika mereka turun ke bawah, kening Aisyah tiba-tiba berkerut. “Kenapa kau juga mau ke kantorku?”
“Nanti kau akan tahu.” Jawab Ezra.
Aisyah yang penasaran hanya mengankat bahu tak acuh. Ia duduk tenang di dalam mobil sembari melihat pemandangan sekitar. Tidak terasa, beberapa menit kemudian mereka tiba di tempat parkir kantor.
Waktu sudah menunjukkan Sembilan lewat lima puluh lima ketika mereka tiba. Aisyah mengambil ponseldnya dari saku baju, ia menjawab panggilan yang lagi-lagi dari Rere.
“Kau dima,”
“Aku di tempat parkir! Aku akan ke atas sekarang.” Jawab Aisyah sebelum mendengar ucapan Rere.
Mereka bergegas menuju ruang rapat, Aisyah menyempatkan diri untuk memindai tanda pengenalnya di lobi. Gajinya akan dipotong karena terlambat, dua jam.
Mereka naik lift menuju lantai sepuluh, tepat ruang rapat yang sering digunakan berada. Ketika sampai, Aisyah melebarkan bola matanya ketika Ezra memilih pintu rapat bagian depan, karena tidak mengerti dan tidak sempat menarik lengan pria itu, akhirnya Aisyah hanya melongo ketika Ezra sudah melewati pintu masuk.
Aisyah masuk menggunakan pintu belakang, ia duduk tepat di samping Rere. Ketika duduk, pahanya langsung dicubit gadis itu.
“Kenapa baru datang! Astaga, aku hampir mati karena gugup karena kau tidak datang-datang!”
Aisyah mengusap pahanya, ia mengaduh pelan lalu menyembunyikan kepalanya di bawah meja. Cubitan Rere membuatnya mengeluarkan air mata.
“Rapatnya belum dimulai, bukan?” bisik Aisyah.
Rere mengangguk, “Direktur utama belum ada. Selain itu, ada pihak yang akan bekerja sama dengan agensi juga akan datang. Mungkin mereka masih berbicara di ruangan depan.” Jawab Rere.
Aisyah mengangkat kepalanya, tiba-tiba tatapan matanya bertemu dengan kepala divisi dan juga general manajer. Dari ekspresi yang ia lihat, mereka sudah mengetahu apa yang terjadi dengannya semalam.
Ketika melihat orang-orang beridiri, relfleks Aisyah dan Rere mengikuti. Matanya membulat ketika melihat direktur agensi berjalan sembari mengobrol santai dengan pria yang tadi datang bersamanya.
“Itu Ezra, bukan?” tanya Rere menyenggol lengan Aisyah.
Aisyah hanya menjawab dengan bergumam pelan karena ia juga kaget.