POV Kelvin
Dari semua orang yang ada di sini sekarang, kelihatannya cuma gue yang paling banyak menempatkan diri sebagai Pendengar doang.
Ya, sejujurnya gue ini berusaha keras menikmati celoteh riang semua orang di sekitar gue. Gue nggak tahu, apakah teman-teman gue ini paham apa yang gue rasakan sekarang. Berbagai perasaaan bersalah dan menyesal berkecamuk di hati gue.
Perjalanan menuju ke lokasi terbilang lumayan lancar. Gue perhatiin, Bramantyo juga kelihatan enjoy duduk di belakang kemudi. Banyak saat dia mengomentari keadaan jalan dan obyek apa saja yang terlihat di luar sana. Sesekali dia juga bercanda dan terang-terangan memancing tawanya Rheinatta.
Soal yang satu ini, gue enggak tahu harus bersikap bagaimana sebagai reaksinya. Nggak tahu,lah, rasanya nggak enak melihat keakraban berlebih mereka berdua. Bingung gue sama perasaan gue sendiri. Padahal kan biasa juga mereka bergitu.
Tapi sekarang, tepatnya di detik ini memang beda sih.
Gue merasa berada di tempat yang salah. Gue merasa tersisih. Dan andai teman-teman gue ini tahu, gue berusaha keras lho, untuk nggak menunjukkan betapa perasaan gue enggak nyaman, sekarang ini.
Gue enggak paham, mengapa mereka semua mendadak bersandiwara begini.
Maksudnya apa, gue nggak mau berpikiran buruk.
Mungkin malahan seharusnya gue berterima kasih, karena dengan begitu suasana jadi nggak rusuh. Dan ada baiknya gue juga ikut-ikutan bersandiwara?
Nggak tahu.
Bukan gue nggak mau menghargai Teman-teman gue, tapi yang paling gue pikirkan saat ini adalah Rheinatta. Sekali lagi, bukan gue nggak peduli mereka.
Cuma..., tentang Rheinatta..., gue amat sangat terusik karena dia menjadi bagian dari ‘sandiwara’ itu.
Kepengen banget gue tegur dia, “Kenapa Bee? Kenapa kamu lakukan semua ini? Ya oke, aku paham. Aku sadar. Aku yakitin hati kamu. Dan sejujurnya, lewat sikap kamu yang bersikap kamu sekadar Tteman biasa sama aku, itu adalah pembalasan yang sempurna. Jujur aku juga sakit hati, Bee.”
Gue nggak habis pikir, kok bisa Rheinatta seperti itu? Pakah dia melakukan itu karena rasa gengsi yang terlalu tinggi dan untuk melindungi perasaannya sendiri, atukah justru karena dia masih terlalu cinta sama gue?
Kalau ada dinding di dekat gue, mungkin sudah gue jedotin jidat gue ke sana.
Gue benci sama diri gue. Ternyata gue bener-bener cowok b**o yang enggak bisa menghargai Pacar gue.
Sekarang gue baru sadar, dia itu terlalu baik. Ya, biarpun seperti gue sudah sering rasakan, kesukaan dia clubbing itu memang agak susah ditinggalkan, biarpun berulang kali juga gue bilang gue keberatan. Tapi yang jelas, dia masih setia sama gue. Sedangkan gue?
Gue sendiri gimana sebenernya? Siapa sebenernya yang mau gue pilih? Rheinatta yang sudah begitu lama mendampingi gue, atau memilih menjaga perasaan Nicky yang baru belakangan ini saja mengisi hari-hari gue? Dan sebenarnya juga nggak baru belakangan ini juga, melainkan sudah kenal lama, tapi bukan dalam konteks Pacar?
Ah! Gue pusing sama berbagai pertanyaan yang hinggap di kepala gue.
Sat ini, gue merasa bahwa diri gue benar-benar nggak lebih dari Seorang Cowok pengecut yang punya terlalu banyak Temen baik.
*
Begitu sampai di tempat tujuan dan gue mengambil inisiatif untuk mengurus melapor data diri kami ke pos sementara Bramantyo menitipkan mobilnya, kami semua memutuskan untuk beristirahat sebentar.
Sekadar jeda waktu persiapan akhir sebelum memulai pendakian.
Sebagai Orang yang sudah sering mendaki gunung, gue berusaha menghalau semua perasaan yang mengganggu. Gue berusaha keras untuk menegarkan hati gue. Salah satunya, gue sampai menarik napas panjang berkali-kali dan sengaja menjauh sementara dari Teman-teman gue. Termasuk Nicky, tanpa gue kasih kesempatan untuk bertanya.
Gue menyulut sebatang rokok dan mengisapnya pelan.
Gue sadar sepenuhnya, terlalu berbahaya untuk melakukan pendakian gunung tanpa memiliki konsentrasi yang penuh. Ini bukan masalah persiapan fisik semata. Lebih dari itu.
Yang namanya berbaur dengan alam itu nggak boleh sembarangan. Nggak boleh asal ngomong, nggak boleh celetak-celetuk seenak jidat. Dan yang terpenting, A BIG NO kalau dibawa ngelamun segala. Memangnya mau kesambet atau kebawa yang halus-halus, terus terlarut dan dibikin melenceng dari jalur, terpisah sama Teman-teman? Enggak! Gue enggak mau jadi ngetop dengan cara itu. Gue nggak mau jadi omongan di klub pecinta alam yang gue cintai. Sama sekali bukan contoh yang baik!
Huh! Itu baru tanggung jawab menjadi Seorang Pendaki. Nah ini, bisa dibilang selain Bramantyo, gue pasti diandalkan untuk memimpin dalam pendakian ini. Lagi pula, gue merasa wajib buat melindungi Rheinatta biarpun secara diam-diam, tanpa setahu dia. Tadi dia bilang sendiri lagi kurang fit, kan? Terus sekarang dia pasti lagi rapuh juga. Mana bisa gue tinggal diam?
Ya ampun! Sumpah, nggak enak banget posisi gue sekarang. Rasanya gue khawatir kalau-kalau Rheinatta masih terbawa perasaan kesalnya. Kalau Nicky, gue sih percaya bahwa suasana hatinya pasti lagi bagus-bagusnya. Nggak usah nuduh gue ge er dalam hal ini. Faktanya memang begitu.
Gue memang bukan pakar mikro ekspresi. Tapi kalau melihat muka Nicky yang cerah ceria macam artis Pendatang baru yang ditimpa ribuan spot light dan mengangkat piala kemenangan di tangannya, sejuta persen gue yakin hatinya dia pastinya lagi berbunga-bunga.
Tapi Rheinatta? Mau sehalus apa pun dia menghindar, gue tahu bahwa dia itu menjauhi gue, berusaha menutup akses gue untuk berkomunikasi sama dia.
Cewek tersayang itu seperti ogah ngomong sama gue. Kelihatan jelas bagaimana dia terang-terangan nggak mau melihat ke arah gue. Dia sengaja berdekatan sama Bramantyo terus sejak dia datang ke meeting point tadi. Nempel terus macam paket internet yang di-bundling sama nomor perdananya. Sementara Bramantyo, kelihatan kasihan sama dia. Atau..., jangan-jangan dia baper?
Huh! Jangan sampai! Gue nggak mau memikirkan kemungkinan ini. Benar gue adalah Sobat dia, tapi sekarang gue jadi ngaco mikirnya. Mungkin saja kan, dia ada hati sama Rheinatta dan mengagumi diam-diam, jadinya sampai sekarang betah menjomblo? Sebab dia nggak akan menikung Sahabatnya sendiri.
“Hati-hati Syl, pelan-pelan aja ya. Dilihat pijakan kaki kamu. Jalannya licin lho itu,” pesan Kendra berkali-kali. Sesekali Kendra juga mengulurkan tangan, menggandeng Sylvanie pada medan yang dirasanya cukup sulit bagi Gadis itu.
Wajar banget kalau Kendra berulah macam itu. Sepertinya dia paham, Sylvanie ini new bie kalau menyangkut kegiatan mendaki gunung begini. Gue amati, Sylvanie juga begitu patuh sama pesan Kendra yang banyaknya melampaui refrain lagu itu.
Wajah Sylvanie juga terlihat begitu ceria biarpun ada peluh yang mengalir di sana. Dia kelihatan menikmati benar pendakian perdananya ini.
Rasanya gue kepengen teriak sekerasnya, “Bee, kamu juga dulu begitu kan? Kamu sampai nggak kenal yang namanya capek. Kamu tuh begitu excited. Dan kamu sampai kelihatan seperti Orang mau menangis saking terharu, saat menjejakkan kaki kamu di puncak gunung buat pertama kalinya! Dan jujur, saat itu aku hampir lepas kontrol dan mau memeluk kamu karena ikut senang. Ya, aku senang kalau melihat wajah kamu cerah begitu, apalagi gara-gara aku ajak mendaki gunung. Artinya, karena aku, kan? Untung saja Bramantyo yang menangkap gelagat itu berdeham keras, mengingatkan ke aku supaya enggak kebanyakan melakukan kontak fisik apalagi mengumbar kemesraan. Nggak ada bagusnya kalau dilihat Teman-teman kita, dan nggak pantas juga.”
“Duluan deh, Bram,” cetus Rheinatta lirih saat Bramantyo mengisyaratkan Rheinatta untuk menyusul Sylvanie, Nicky dan gue yang sudah lebih dulu melewati tanjakan yang lumayan terjal itu. Jujur, gue enggak tahu maksud dia apa. Gue nggak tahu, apa yang dipikirkan oleh Rheinatta. Ngapain dia pakai ngomong begitu sih?
Gue yang pertama kali melewati tanjakan itu, lalu bersiap di atas sini, mengulurkan tangan membantu satu per satu dari para Cewek yang menyusul setelahnya, yaitu Nicky dan Sylvanie. Tadi itu, sewaktu Nicky menyambut uluran tangan gue yang membantu dia naik, secara nggak sengaja gue melihat Rheinatta sampai sempat memejamkan mata. Dia juga memalingkan wajah dia ke samping. Serius, gue merasa dia pasti sakit hati sama gue. Tapi gue harus bagaimana, coba? Nggak mungkin juga gue nggak nolongin Nicky , kan?
“Hei … ayo dong Non, itu para Cewek sudah di atas semua. Ayo, jalan gih,” gue mendengar bujukan Bramantyo kepada Rheinatta.
“Bram…, please…! Elo naik aja duluan,” pinta Rheinatta sungguh-sungguh. teramat pelan, tetapi toh tertangkap juga sama telinga gue.
Dalam hati, gue mengeluh.
Saat melihat Cewek tersayang itu menyempatkan meneguk minuman dan membenarkan letak carrier di pundaknya, rasanya susah buat gue untuk mencegah keinginan turun lagi dan membimbing dia naik. Malahan kalau perlu, sedikit menyeret Cewek yang kadang bandel dan nggak mau langsung menuruti apa kata gue ini. Iya, gue tahu, gue mulai tahu apa yang ada di otak Rheinatta sekarang. Gue nggak b**o-b**o amat kok. Dia pasti berharap, Bramantyo yang sampai duluan di atas sebelum dia akan membantunya, bukannya gue. Nyesek rasanya d**a gue!
Mau rasanya gue tegur dia, “Bee! Begini cara kamu membalas ke aku? Sumpah, ini nggak enak banget Bee! Dari pada kamu begini, mending kamu gamparin muka aku sampai puas, kamu tonjokin perut aku, kamu maki aku pakai kata-kata makian yang paling kotor juga boleh. Atau kamu mau mukulin d**a aku? Nggak apa Bee! Aku layak untuk diperlakukan seperti itu sama kamu!”
“Ya udahlah Bram, nggak masalah. Elo naik dulu. Kan masih ada gue di belakang sini. Amit-amit, kalau Rheinatta perlu bantuan, gue kan bisa tolongin dia. Gih, jalan sekarang!” suruh Kendra akhirnya., seolah memberikan solusi.
Sial banget! Sepertinya Kendra memahami keinginan Rheinatta, walau Cewek itu sama sekali tak mengucapkan secara verbal. Rasanya kepengen gue jitak tuh Anak! Bikin gue jadi mikir, dia itu Teman gue atau bukan sih? Masa dia malahan membela Cewek itu? Lupa banget atau sekadar lupa, kekompakan kami di klub pecinta alam kampus? Dasar kutu kupret Si Kendra ini!
Gue mengamati Bramantyo yang menatap Rheinatta dan Kendra bergantian. Juga saat dia menepuk pundak Rheinatta yang terlihat mengembangkan sebuah senyum. Gila, di detik itu, yang gue rasakan mirip-mirip sama perasaan kontestan Idol saat mendengar Sang Pemandu Acara membacakan jumlah vote dan bilang, “Kelvin, posisi kamu tidak aman.” Asem. Dasar asem!
“Oke. Titip Rheinatta ya Ken,” kata Bramantyo setelahnya.
Lalu Bramantyo mulai melangkahkan kaki. Secepat kilat Bramantyo melewati tanjakan itu. Maklum, selain tanjakan itu memang sudah lumayan ‘akrab’ sama dia, Sahabat gue yang satu ini memang sedang nggak punya beban. Di ayang paling nggak berbeban sepertinya.
“Biar gue aja yang tolongin dia.”
Itu sambutan gue begitu Bramantyo baru saja melewati tanjakan dan langsung mengambil posisi berdiri di dekat gue. Serius, itu bukan kalimat berita. Itu kalimat perintah! Perintah yang harus ditaati. Biar dia sadar diri, bahwa gue lebih berhak untuk membantu Rheinatta. Gue ini Pacarnya!
Aneh. Bramantyo malahan menatap mata gue. Seolah-olah dia mau memastikan, gue sungguh-sungguh dengan apa yang gue ucapkan barusan. Atau..., entahlah! Apa dia meragukan gue? Kesal gue jadinya. Huh! Dalam kapasitas apa? Punya hak apa dia melakukannya?
Akhirnya, Bramantyo mengembuskan napas tanpa mengatakan apa-apa. Cuma kedikan bahunya yang gue lihat secara samar. Gue juga malas dan merasa enggak perlu-perlu banget, buat mengatakan apapun ke dia. Sejujurnya, gue malah terusik, melihat dia pakai acara menatap ke bawah, ke arah Rheinatta yang sudah mulai naik.
Bramantyo seperti mengamati gerakan Rheinatta yang jelas jauh lebih cepat daripada Sylvanie maupun Nicky. Rheinatta sudah hampir sampai di dekat kami berdua, ketika sekali lagi gue merasa perlu untuk menegaskan ke Bramantyo supaya menggeser sedikit posisinya. Maksud gue, supaya gue lebih leluasa untuk mengulurkan tangan gue ke Rheinatta sebentar lagi. Iyalah, area di mana kami berdua berdiri itu kan lumayan sempit. Nggak lucu kalau berdiri dempet-dempetan macam di gang senggol.
“Terserah,” kata Bramantyo kemudian, seiring gerakan badannya menggeser posisi ke belakang tubuh gue.
Gue nyaris tersenyum miring, merasa puas karena sudah ‘memenangkan’ momen ini. Tapi apa yang gue saksikan kemudian malah membuat hati gue sakit. Sakit banget!
Siapa sangka, gerakan Bramantyo yang mendadak itu nggak luput dari pandangan Rheinatta? Dan..., ya ampun! Konsentrasi Rheinatta kelihatannya terpecah. Akibatnya, salah satu pijakkan kakinya meleset. Meski tangannya sigap meraih batu besar untuk berpegangan supaya nggak jatuh dan mencari pijakan yang baru bersamaan dengan itu, betisnya nggak luput dari goresan batu tajam. Celana panjangnya terkoyak beberapa senti di bagian betis kanannya.
Gue bisa menangkap ekspresi kaget di wajah Kendra yang masih ada di bawah sana.
“Aduh!” teriak Rheinatta sambil meringis kesakitan.
Mata gue yang terus mengawasi dia melihat adanya darah yang mulai menetes dari lukanya.
Gue benar-benar tersentak. Cepat-cepat gue mengulurkan tangan gue. Dalam hitungan detik, gue bahkan menggapai tangan Rheinatta dan menggenggamnya erat. OMG! Rasa cemas gue sudah sampai ke puncak tertinggi, ini!
Tapi apa reaksi Rheinatta?
Alih-alih bersikap manis, Rheinatta yang sudah mantap lagi pijakan maupun cekalan tangannya menepis dengan kasar tangan gue sehingga genggaman gue ke tangan dia terlepas. Hampir saja badan gue limbung.
Tapi syukurlah, hanya Bramantyo dan Kendra yang melihat jelas kejadian itu. Sahabat gue itu langsung menepuk keras bahu gue.
“Elo keterlaluan. Tolong minggir Bro,” perintah Bramantyo, super tegas. Seakan-akan, sudah cukup lama dia berjuang menahan kekesalan, hanya karena menghargai privasi gue dan Rheinatta. Seakan-akan, sudah cukup dia menahan diri. Dan sekarang, akhirnya meluap juga kekesalannya ke gue.
Dengan berat hati gue menggeser posisi gue, lantas membiarkan Bramantyo mengulurkan tangannya, membantu Rheinatta melewati tanjakan itu.
Kepala gue panas. Gue curiga jangan-jangan ada asap keluar dari kepala gue.
“Thanks, ya Bram,” ucap Rheinatta.
Bramantyo mengangguk.
“Kendra, pelan-pelan, agak licin tuh di batu yang itu.”
Begitu sampai di atas, Rheinatta malah sibuk meneriaki Kendra. Rheinatta sudah melupakan rasa sakitnya. Kendra mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum.
Gue baru mengatur strategi untuk mendekati Rheinatta dan mencari tahu seberapa parah lukanya, tapi Cewek itu dengan bahasa tubuhnya, membloking gue.
Dan sialnya, pada saat itu juga, Nicky terlihat menatap ke arah kami.
“Oke, lanjut kita,” ujar Kendra bergabung dengan yang lainnya.
“Sip,” Rheinatta memberikan ‘toss’ ke Kendra yang naik terakhir.
Ketika itulah, gue mendapati Rheinatta meringis.
Gue menduga, dia merasakan kembali nyeri di betis kanannya.
Gue nggak mikirin apa-apa lagi.
Langsung gue sedikit mendorong Kendra supaya memberi gue jalan untuk mendekati Rheinatta.
Kendra menggeleng-gelengkan kepala, tapi bergeming juga.
Bramantyo mengawasi dengan tatapan mata bak mata elang. Entah apa maksudnya.
Gue nggak peduli. Ngapain sih pada aneh semua begini!
“Bee, kenapa?” tanya gue dalam cemas yang nggak tertahankan lagi, meski masih sanggup memelankan suara gue sampai ke level paling minim. Ya, gue berharap hanya Rheinatta yang mendengar gue memanggilnya ‘Bee’.
Gue mengamati raut wajah Rheinatta secara intens, lalu ke kaki kanan Rheinatta.
Tanpa pikir panjang lagi, gue menuntun Rheinatta ke dataran yang cukup lebar untuk bisa diduduki.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $