POV Rheinatta
Aku sibuk menghibur diriku sendiri dan berusaha bersikap tenang. Semua itu aku lakukan dalam diam. Padahal di dalam hatiku, rasanya sungguh pedih.
Cewek yang tampak percaya diri dan super ceria ini mengulurkan tangan kepadaku. Harus aku sambut, kan? Sikapnya yang hangat, wajahnya yang semringah, mana mungkin aku balas dengan kemurungan? Itu sungguh nggak adil, kan?
Jauh di lubuk hatiku, ada peperangan yang nggak bisa aku abaikan begitu saja.
Jadi ini jawaban atas rasa gamangku sewaktu menuju kemari tadi? Jadi ni sebabnya mengapa aku kurang semangat? Karena aku akan menyaksikan Pacarku sendiri bermesraan dengan Selingkuhannya di depan mataku? Jadi bukan karena aku sedang marahan saja dengannya? Aku juga ngapain sih, pakai tetap ngotot buat datang, bukannya menuruti perasaanku yang nggak mantap, dan bukan menuruti kata hatiku untuk bersantai saja di rumah?
Namun ketika pemikiran itu muncul, justru pemikiran bertentangan yang melawannya.
Aku merasa keberadaanku di sini sudah sangat tepat. Dengan begini, Kelvin tidak akan dapat mengelak lagi. Ya. Ini jawaban! Ini kepastian, atas rasa ragu yang kian kerap muncul menggangguku, atas pertanyan berulang yang senantiasa sulit untuk aku jawab : Putus atau terus?
Hufht.
Inilah kenyataan yang terhapar di depan mataku.
Pasti Kelvin mempunyai sebuah hubungan khusus sama Cewek di depanku ini. Pasti dia yang sering telepon ke Kelvin. Dan bisa jadi, sebenarnya mereka berdua sudah ‘jalan bareng’ tanpa setahu aku.
Aku salah apa Hon? Kalau kamu sudah bosan sama aku, atau kamu terganggu dengan sikap ekspresif atau apa deh yang kadang kamu keluhkan, atau bahkan..., seandainya kamu sudah mendengar selentingan tentang latar belakangku yang adalah ‘Anak hasil dari sebuah perselingkuhan’, semestinya kamu bicarakan ini secara baik-baik ke aku. Bukan dengan cara mendua hati begini. Sepahit apa pun kejujuran, aku akan berusaha untuk menerimanya. Aku sudah pernah mengalami yang lebih pahit kok, apalagi itu menyangkut asal-usulku dan bagaiman alatar belakang keluargaku. Sekarang juga aku sedang dalam proses pemulihan. Bukan yang aku mau sombong mengatakan bahwa hal yang seberat itu saja bisa aku terima. Enggak. Kalau malam saja aku masih sering menyesali apa yang terjadi. Aku tahu aku nggak bisa merubah semua dan memutuskan untuk berdamai dengan semua itu. Tapi kan butuh proses. Aku saja nggak cerita ke kamu untuk memperingan beban batinku. Karena kalau aku cerita..., yang ada kamu mungkin akan lebih cepat meninggalkan aku, ungkapku dalam diam.
Pada saat begini, mendadak Bramantyo mendekat.
Dia nggak mengatakan apa-apa, tapi berdiri tak jauh dari aku.
Aku mengelak dari tatapan Bramantyo. Aku nggak mau dia melihat ada luka di dalam mataku. Nggak! Aku nggak secengeng itu! Walaupun aku sakit hati, ternyata Cowok yang aku ceintai selama bertahun-tahun, Sahabat kentalnya itu, adalah Seorang yang Pengecut, Seorang yang tidak setia!
Aku memaksakan sebuah senyum, membalas keceriaan dan keramahan yang diperlihatkan oleh Nicky.
“Rheina, Nicky ini Penyiar radio. Mungkin kamu pernah dengar radio Youth Soul? Nah, itu dia salah satu Penyiar di sana,” jelas Kelvin. Barangkali dia bingung hendak mengucapkan apa, dan mungkin juga dia sedang mengantisipasi, jangan sampai ada kekakuan di antara aku dan Nicky.
Tapi apa yang diucapkannya seketika membuatku mengernyitkan dahi. Tak terhindarkan, ada rasa nyeri yang terasa menusuk di dalam d**a ini. Rasa sakit yang demikian sulit untuk aku halau. Hampir saja aku menggigit pipi bagian dalamku.
Rheina? Sejak kapan kamu memanggil aku begitu? Iya, nama aku memang Rheinatta. Tapi semenjak kita berdua jadian, nggak pernah kamu memanggil aku dengan sebutan Rheinatta lagi! Dan itu sudah lama sekali. Kamu itu selalu memanggil aku dengan panggilan Bee. Dan satu hal lag, kamu itu nggak pernah memanggil aku dengan nada sedatar itu. Bahkan pada saat kamu sedang kesal sama aku! Apa maksud semua ini! Jeritku di dalam hati. Alangkah sulit untuk berbesar hati pada saat ini.
Aku mengumpulkan sisa-sisa ‘kekuatan’ yang aku miliki.
“Ooo … Penyiar radio Youth Soul? Pantes suaranya bagus,” komentarku kemudian. Aku sibuk berdoa semoga komentarku itu tidak terdengar asal-asalan. Walau sejatinya, berbagai perasaan tengah berkecamuk di dalam hatiku pada saat ini.
Radio Youth Soul? Siapa yang nggak tahu? Jangan bilang pecinta lagu R & B kalau nggak tahu radio yang satu itu. Rasanya nama Nicky juga nggak terlalu asing. Dia ini kan yang memegang acara bincang-bincang dengan Penyanyi Pendatang baru. Setahuku, kalau pagi dia juga memutarkan deretan lagu-lagu yang sedang hits. Jadi dia adalah Nicky yang itu? Ya ampun! Semestinya dari awal tadi aku sudah mengenali suaranya yang begitu familiar. Bukankah aku sendiri juga senang dengan caranya siaran yang selalu saja tidak monoton? Tapi setelah aku tahu bahwa dia adalah Cewek yang merebut Kelvin dariku, aku nggak yakin aku masih akan mendengarkan lagi siarannya. Kecuali..., ya, kecuali kalau ternyata Nickyyang ini berbeda dengan Nick yang ada dalam pikiranku.
“Nunggu siapa lagi? Kita bisa jalan sekarang saja, supaya nggak buang-buang waktu? Ayo, pada masuk,” ajak Bramantyo, membuyarkan suasana yang kurang nyaman itu.
Ah! Dia ini benar-benar Penyelamat. Aku menarik napas lega, meski aku lakukan secara sangat hati-hati.
Aku rasa, dia tahu bahwa aku tengah berada di dalam situasi yang nggak aku kehendaki. Bisa jadi demikian pula dengan Kelvin Wiryawan. Sementara Nicky? Ah! Entahlah! Dari sikapnya yang santai dan ceria itu, aku curiga jangan-jangan dia nggak tahu bahwa Kelvin itu sudah punya Pacar, dan aku adalah Pacarnya. Pacar yang hubungannya sudah di ujung tanduk, maksudku. Karena sejujurnya pada detik ini..., aku sudah mulai mendekatkan hatiku ke opsi pertama dari pertanyaan yang menghantuiku akhir-akhir ini, yakni Putus atau terus?
Aku sedang menerka-nerka, apakah Bram juga tahu mengenai apa yang diperbuat oleh Sahabat kentalnya kepadaku? Dan apakah Bram menyadari bahwa Kelvin tampak terkejut karena aku dan Nicky bertemu di luar rencananya begini?
Tapi buat apa aku memikirkannya lebih jauh?
Mau Kelvin itu menginginkan Nicky yang ada di sini, itu juga sudah tak terlalu penting bagiku. Keadaan toh nggak akan berbalik jadi menyenangkan hatiku. Karena nggak mungkin dia berharap aku yang ada di sini. Atau jangan-jangan, dia justru berharap aku dan Nicky sama-sama tidak berada di sini sekarang? Masa bodoh!
Bramantyo membuka pintu mobil.
Dia langung duduk di kursi Pengemudi.
Sekilas, aku sempat memergoki kerlingan mata Bramantyo ke aku, yang menyiratkan dia kasihan sama aku. Bukannya senang, aku malah kepengen marah rasanya.
Sementara Kelvin? Ah! Masih haruskah aku menerka-nerka apa yang tengah dia pikirkan saat ini? Mungkin dia sedang sibuk untuk membangun narasi dan menjelaskan bahwa Nicky adalah ‘Teman biasa’. Atau mungkin sebaliknya, dia akan mencari celah untuk bicara ke aku dan mengakui bahwa dia ‘lebih mencintai Nicky’ dan memilih untuk putus sama aku. Dan untuk kedua pilihan itu, mungkin sekarang Kelvin sedang bingung sendiri untuk memutuskan yang ‘paling aman dan nyaman’ buatnya.
Dan untuk apa aku memikirkannya? Untuk apa aku membebani hatiku yang memang sudah terasa berat ini? Dia sendiri yang sudah menyeburkan dirinya ke dalam situasi ini. Dia sudah menyakiti aku dan menduakan aku entah semenjak kapan. Tapi satu yang jelas, dia nggak boleh memilih aku dan Nicky. Dia harus memilih salah satunya, meski aku nggak yakin aku akan bisa menerima dia kembali. Dia sudah mencurangiku. Dan sulit buat aku untuk memaafkan dia.
Kalau mendengar selintas percakapan Nicky sama Bramantyo tadi, sepertinya memang Nicky ini kenal sama Kelvin juga baru-baru ini dong? Artinya, aku yang datang lebih dulu. Dia yang menjadi Penggoda, dia yang hadir sebagai Orang ketiga dalam hubungan kami. Itu saja. Dan yang pasti, sekali Orang berselingkuh, dia akan mengulanginya, lagi dan lagi.
“Lo yang nyetir kan, Bram? Gue duduk di depan, ya,” pintaku dengan tegas.
Sungguh pertanyaan yang tidak penting, mengingat itu adalah mobilnya Bramantyo, bukan mobil Kelvin atau Kendra. Lagi pula, Bramantyo sudah duduk di belakang kemudi. Tapi aku perlu kan mengeluarkan pernyataan macam itu?
Dan sebelum Bram menjawab ataupun Kelvin sempat mengomentari, aku sudah langsung membuka pintu mobil.
“Ya sudah. Terserah saja. Langsung pakai safety belt-nya ya Non,” sahut Bramantyo.
“He eh.”
“Hari ini bawa bekalnya banyak nggak? Kalau banyak, gue memang harus pakai mode posesif. Elo musti deket-deket gue terus, biar gue dulu yang kecipratan makanan. Yang lain mah, masa bodoh, biar urus diri masing-masing,” cetus Bramantyo.
Jujur, aku terhibur mendengar kalimatnya.
“Ah, elo ya Bram. Paling bisa deh,” sahutku.
Diam-diam aku salut sama sikap Bramantyo ini.
Aku bisa merasakan kalau Bramantyomelindungi aku tanpa bermaksud ikut campur urusan pribadiku sama Kelvin dan Nicky. Kalimat Bramantyo yang netral barusan ampuh untuk sedikit menentramkan hatiku.
Ini membuat aku berandai-andai dalam diam.
Bram, Bram, gue nggak nyangka bahwa orang yang bengal kayak lo malah hatinya lebih lembut dan baik dari Kelvin. Andai saja gue bisa bantu elo untuk jadian sama Kalista. Andai saja beberapa bulan setelah Art Hours itu elo dan Kelvin enggak yang sibuk sama kegiatan di luar kampus yang bikin gue jadi nggak enak dan susah cari celah buat mengorek-ngorek sejauh mana usaha elo untuk mengejar Kalista. Dan andai saja gue sendiri juga nggak menghadapi kenyataan pahit seputar rahasia di dalam keluarga gue, batinku dengan sedih.
Apa yang berlangsung kemudian membuat aku menjadi yakin, bahwa Nicky benar-benar tidak tahu bahwa aku adalah Pacarnya Kelvin.
Kenapa?
Sebab sepanjang perjalanan, kecuali Nicky, tentunya, aku merasa semua Orang di dalam kendaraan mendadak menjadi ‘pemain sinetron’ dadakan semua.
Dan walau hati aku pedih, aku nggak bisa menyangkal bahwa aku memikirkan Kelvin. Aku berpikir, adakah di dalam hatinya ada perasaan bersalah kepadaku? Adakah dia dalam keadaan bingung dan panik saat ini? Ataukah dia, dengan ketenangan ala Scorpio-nya, tidak kesulitan untuk bersikap ‘biasa’?
Kamu itu harusnya berterima kasih atas pengertian dan ‘pengorbanan’ orang-orang terdekat kamu, tahu nggak! Ketusku dalam diam. Sudah nggak pakai didahului panggilan sayang ‘Hon-Hon’ lagi biarpun dia nggak mendengarnya. Buat apa? Lha Dia saja sudah membuang panggilan sayangnya ke aku, kan?
Ya, jelas dia harus berterima kasih pada semuanya.
Pertama, kepada Bramantyo yang langsung mengiyakan sewaktu aku mengambil posisi duduk di sebelahnya.
Harusnya dia tahu, betapa hati aku remuk saat ini. Tapi karena Bram mengajakku bercanda, aku berusaha untuk menyetel ekspresi wajahku setenang mungkin.
Di depan Nicky, aku bersikap seakan-akan diriku bukan Kekasih dari Seorang Kelvin.
Ya, aku masih Kekasihnya, kan? Belum ada kata ‘putus’ di antara kami hingga saat ini.
Sedari tadi, aku mencoba bersenda gurau dengan Bramantyo, dan Bramantyo menimpaliku dengan heboh. Itu bukan kebiasaan Bramantyo. Ya biarpun kalau dibandingkan dengan dulu sebelum kami sama-sama menikmati Art Hours dan beberapa saat setelahnya. Kami memang kerap saling olok, tapi juga seingatku nggak seheboh ini. Biasanya pembawannya Bramantyo itu sok cuek.
Aku tahu, Bramantyo hanya sedang menutupi keadaan yang sebenarnya.
Dan kalau mengingat bahwa dia juga menganal Nicky, mungkin saat ini Bramantyo juga mau adil pada Nicky, dengan membuat Nicky merasa nyaman berada di antara mereka. Kan Nicky juga kelihatan ramah?
Aku perkirakan, mungkin itu juga yang dirasakan oleh Bramantyo ketika dia bergabung dalam acaranya Nicky dengan Teman-temannya.
Dalam satu kesempatan ketika Bramantyo mengisi bensin dan aku mengatakan akan membeli tambahan cemilan di mini market di area pom bensin yang menyebabkan Bramantyo memutuskan untuk memarkir sejenak kendarannya dengan alasan akan ke toilet, Bramantyo berjalan di sebelahku. Soalnya, letak toilet dengan mini market itu saling berdekatan.
“Rhein, elo nggak apa-apa?” tanya Bramantyo.
Aku menangkap keraguan dalam nada suaranya. Seolah dia takut pertanyaannya itu akan berbuah protes dariku yang merasa terusik karena dia ikut campur.
Tapi aku mengangguk.
“Bagus kalau begitu. Jujur, tadi gue agak khawatir. Soalnya, bukan hal yang biasa kalau Seorang Rheinatta ‘mengalah’ seperti itu.”
Usai mengatakannya, dia mempercepat langkahnya. Namun aku masih sempat bersikap iseng, memukul punggungnya dengan pelan. Dan dia terbahak lalu meninggalkanku. Aku sendiri juga tak tahu, mengapa aku harus melakukan hal itu. Seolah dengan begitu, sebagian beban yang menindih di hatiku terangkat. Aku tak peduli apa anggapan Teman-teman lain yang menunggu kami di dalam mobil Bramantyo.
Dan Kelvin seharusnya juga berterima kasih sama Kendra. Ya, Kendra yang sering mengeluh bahwa dia terusik sama celetak-celetukku.
Sikap Kendra sungguh berbeda kali ini.
Dia terlihat jelas, ‘mendu-kung’ aku yang ‘berpura-pura’ nggak ada hubungan spe-sial dengan Kelvin, tanpa harus diminta. Sepertinya pesan yang kukirim lewat pikiranku ke Teman-teman, agar mereka tidak membuat Nicky jadi tak enak hati, tersampaikan dengan sempurna.
Kelvin juga harus berterima kasih sama Sylvanie.
Dia dan Kendra itu belum lama jadian, lagi mesra-mesranya, kan?
Tapi sepertinya karena mereka memikirkan perasaan aku, Dia mempersilakan Nicky duduk di jok tengah, bersebelahan sama dia setelah Kendra membisikkan sesuatu ke dia.
Setelahnya, Kendra juga mengisyaratkan Kelvin untuk duduk di jok paling belakang, bersebelahan dengannya.
Apa yang dilakukan Sylvanie benar-benar membuat aku tercengang tadi.
Sylvanie, Si Adik Kelas itu rupanya cukup perasa.
Tadi itu dia jelas-jelas mengajak Nicky duduk di jok tengah dengan alasan agar mereka bisa mengobrol banyak.
Nicky nggak bisa menolak. Padahal mungkin saja, namanya juga pergi dengan Kelvin, bisa jadi dia mau duduk bersebelahan sama Kelvin, supaya kalau dia mengantuk ada bahu yang bisa dia sandari, dan dia bisa bermanja-manja sama Kelvin. Toh, sebagai ‘Pendatang baru’, Nicky menuruti ajakan Sylvanie dan mencoba mengimbangi percakapan kami.
Dan terakhir, semestinya Kelvin juga berterima kasih pada keadaan, Kelvin telah ‘diselamatkan’ sama situasi yang berpihak ke dia. Nicky sepertinya nggak cukup peka buat menyadari hal yang sebenarnya.
Tuh, kan Vin, semua orang berkorban buat kamu sama Nicky. Buat kelangsungan hubungan kamu sama Nicky, batinku ketika usai membayar cemilan yang aku beli dan membuka pintu mini market. Duh, rasanya sedikit ‘udara segar’ dan suasana berbeda di dalam mini market barusan nggak bisa menghibur hatiku. Diam-diam aku menyesali kenapa aku hanya sebentar berbelanja cemilan dan kenapa tidak ada antrian di Kasir.
“Sudah beres? Sini, gue yang bawain.”
Suara Bramantyo terdengar saat aku membuka pintu mini market.
“Terima kasih.”
“Rhein..”
“Ya?”
“Konsentrasi, ya. Jangan ngelamun. Apalagi sesampai di pos nanti,” kata Bramantyo pelan.
Aku menggigit bibirku, tak sanggup menyahutinya.
Aku benci suasana ini!
Tapi aku juga tak mungkin berlari.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $