POV Rheinatta
Dia sebut aku apa barusan? Bee? Dan apa yang dia lakukan ke aku sekarang? Begitu yakinnya, tanpa memita persetujuanku, mendudukkan aku di sebuah batu yang agak lebar dan seenaknya memegang kaki kananku.
Hampir aku terlarut dalam suasana itu.
Dia kan Pacarku. Wajar kalau dia berbuat ini, kan? Memang sudah sepantasnya dia mengurusi aku, kan?
Tapi selintas, ketika aku melihat ke arah Nicky, tatapan mata kami bertemu.
Aku nggak bisa mengira-ngira bagaimana perasaan Nicky. Ekspresi wajahnya juga tergolong minim. Dia malah terlihat mengangguk ke aku. Bikin aku jadi salah tingkah saja! Tapi yang sebentar itu langsung menggedor kesadaranku. Aku nggak bileh membiarkan Kelvin menunjukkan perhatiannya kepadaku. Apa gunanya dari tadi kami beradu acting? Sia-sia dong!
Segera aku menepis tangan Kelvin.
“Apaan sih? Aku nggak kenapa-napa,” protesku dengan nada sebal.
Sesaat Kelvin menatapku dengan tatapan putus asa.
Ingin rasanya aku mencakar wajah dia saat ini.
Dia kembali berusaha untuk memegang kaki kananku dan menggulung ke atas ujung celana panjangku.
Kan! Dia melakukannya dengan sangat hati-hati. Hampir saja aku terlena dibuatnya. Hampir saja aku membenarkan apa yang dia buat dan juga membenarkan diriku sendiri bahwa kami berdua memang belum putus.
Aku menarik kakiku.
“Bee. Jangan keras kepala. Betis kamu luka. Kamu nggak mau kalau sampai terjadi infeksi, kan Sini, aku bersihkan luka kamu,” bujuk Kelvin pelan.
Berkata begitu, dia mengeluarkan kotak obat dari carier-nya, dan meletakkannya di sisinya.
Lalu dia menatap mataku. Dengan tatapannya yang menghanyutkan itu.
Jujur saja, hatiku merintih. Rasanya tersiksa sekali.
“Sini, Bee,” bujuk Kelvin lagi. Penuh dengan kesabaran.
Dan lagi-lagi aku tersadar, aku ini sedang bermain peran. Ya, peran sebagai “Teman Kuliah’nya Kelvin Wiryawan.
Aku langsung meradang dibuatnya.
“Nggak usah. Aku bisa obatin diri aku sendiri. Kemariin kotaknya,” tolakku dengan kasar.
Dan sekilas serta tanpa kurencanakan, tatapku kembali tertuju kepada Nicky.
Tak sengaja aku memerhatikan gerakan bibirnya yang seperti sedang bergumam tak jelas. Dan lantaran aku cukup dapat membaca gerak bibir, maka aku dapat mengira-ngira apa yang digumamkannya.
Ya, dia memang melihat dari jarak yang tidak terlalu dekat. Tapi sepertinya matanya cukup awas untuk menangkap adanya sesuatu hal yang kurang beres.
Lihat saja gerakan bibirnya yang mengatakan, “Kenapa ini Cewek mau dibantuin dibersihin lukanya malah jutek? Bukannya justru bilang terima kasih? Tadi di mobil juga jarang ngomong sama Kelvin dan lainnya? Apa ada yang gue nggak tahu?”
Kamu nggak perlu tahu, Nicky. Sungguh, kamu benar-benar nggak usah tahu apa-apa, batinku frustasi.
Aku melihat Kelvin menghela napas panjang.
“Bee … aku tahu betapa aku bersalah ke kamu. Aku benar-benar meminta maaf. Tapi please … biarin aku untuk obatin luka kamu,” kata Kelvin penuh sesal. Pelan, mirip sebuah bisikan.
Rasanya aku ingin menjerit sekeras mungkin.
Panggilan Bee itu, mengapa kini terdengar sumbang dan menyakitkan bagiku? Dan mengapa dia mengucapkannya berkali-kali?
Bee? Masih berani panggil aku Bee? Di depan selingkuhan kamu? Dasar kepala kamu berjidat! Umpatku dalam hati.
Aku memejam mata. Aku benar-benar berkonsentrasi untuk merangkai diksi yang akan kukatakan sebentar lagi. Kata-kata yang aku pastikan bakal melukai perasaanku sendiri. Tetapi mau tak mau, aku memang harus mengatakannya. Sekarang!
Aku menggigit pipi bagian dalamku sebelum akhirnya membuka mulut dan mulai berkata-kata dengan suara yang lirih namun penuh kesungguhan.
“Aku nggak butuh bantuan kamu. Kamu tuh mustinya urusi saja Cewek kamu itu. Entar yang ada dia curiga.”
“Bee. Tolong jangan perlakukan aku seperti ini,” pintanya dengan nada rendah. Penuh harap.
Jahat! Dia benar-benar jahat! Dia mau melemahkan hatiku lagi!
Dan aku nggak akan memberikan kesempatan itu kepadanya, setidaknya kali ini. Aku sampai mengingat-ingat, adakah aku memanggilnya dengan panggilan sayang ‘Hon-Hon’ dari tadi. Dan tanpa sadar aku berharap, aku tidak satu kali pun melakukannya. Aku rasa setelah pulang dari pendakian ini nanti, aku sudah harus menyiapkan hatiku, untuk menjemput berbagai kemungkinan. Dan aku sudah siap untuk berbalik badan darinya. Maksudku, siap atau tidak siap, aku toh harus melakukannya. Bukankah sudah jelas, dalam sebuah hubungan cinta segi tiga, pasti ada Pihak yang tersakiti? Kalau begitu, biar saja aku seorang yang tersakiti, dari pada kamu bertiga yang sama-sama menanggung akibatnya.
Berpikir begitu, aku menegarkan hati dan melanjutkan ucapanku, “Kamu ngerti nggak sih, kita semua sudah bela-belain untuk menutupi hal yang dia nggak perlu tahu. Tapi kalau sikap kamu seperti ini, dia pasti curiga. Akibatnya, semua yang dilakukan dari tadi sia-sia. Tolong, hargai usaha Orang.”
Aku tahu, ada perih yang terbersit dalam suaraku yang bergetar menahan marah dan sedih. Dan mustahil kalau Kelvin tidak merasakannya. Bahkan untuk menyebut nama Nicky dan memanggil Kelvin saja ternyata cukup sulit bagiku.
Aku melihat Kelvin bangkit dari duduknya dan menggeleng.
Aku melihat tatapan matanya yang menyiratkan dia terluka oleh kata-kataku barusan.
Rasanya aku kepengen ngamuk.
Berhak apa kamu terluka? Kamu yang jadi Penjahatnya dalam hal ini. Jangan sok bertindak playing victim! Keluhku dalam hati.
Nyatanya, di detik ini aku bahakan sudah kehabisan kata-kata.
Lekas aku mengisyaratkan dengan gerakan kepalaku agar Kelvin segera berlalu pergi.
Tapi Cowok ini keras kepala. Dia masih berdiam di tempatnya.
Aku menatap dengan galak lantas menghardiknya, “Pergi!”
Aku melihatnya bangkit berdiri, menatap lagi kepadaku sebelum akhirnya pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Lantas aku mulai membuka kotak obat yang ditinggalkan Kelvin.
Aku berusaha untuk membersihkan lukaku.
Barangkali karena melihat aku agak kesulitan dalam membersihkan lukaku, Bramantyo mendekat untuk membantuku.
Bramantyo tak mengatakan apa-apa.
Ia hanya mengambil alih kapas yang ada di tanganku.
Bramantyo menumpahkan cairan alkohol ke atas kapas lalu menempelkan ke luka di betisku.
Aku meringis sewaktu cairan alkohol terasa begitu perih di atas lukaku. Tapi lebih perih lagi hatiku. Mendaak saja dadaku terasa sesak. Nggak terasa, air mata mengalir begitu saja di pipiku.
Entah bagaimana, pada saat itu Bramantyo mengambil jeda sesaat dalam mengobatiku.
Aku mamergoki tatapan kasihan dan prihatin yang berpadu di matanya.
Dan aku benci tatapan jenis itu!
Aku lebih rela kalau kami berdua saling mengejek sampai kehabisan bahan ejekan.
“Kelvin keterlaluan.”
Aku mendengar gumaman Bramantyo ini. Gumaman yang sarat berisi kemarahan yang ditahan, sebelum akhirnya dia meniupi lukaku.
Aku berpura-pura tak mendengar gumamannya.
“Gue lanjutin obatin lo lagi ya, sudah mendingan, kan?” tanya Bramantyo.
Aku mengangguk.
Saat itu tatap mata kami kembali tertaut.
Ya ampun, perasaan gue campur aduk sewaktu dia mengulurkan tangannya dan menghapus air mata yang masih mengalir di pipi aku.
“Rheina… yang kuat dong. Gue tahu bukan karena luka ini, lo nangis. Lo itu adalah Cewek yang kuat. Sudah ya, jangan nangis lagi. Paling nggak, tahan dan tata dengan baik emosi lo biar konsentrasi lo nggak buyar lagi. Sebentar lagi kita juga bakalan sampai puncak. Kita istirahat sebentar. Sesudah kita turun, pulang ke Jakarta, terserah deh kalau lo mau luapin emosi lo. Mau nangis, mau marah-marah, banting barang, terserah. Lakukan sepuas elo. Tapi tolong, tahan ya, sampai tiba saatnya nanti gue antar lo ke rumah lo,” bisik Bramantyo dengan lembut.
Ya ampun, rasanya aku malah ingin menangis lagi.
Aku benar-benar merasakan dia ini adalah Sahabat yang baik. Dia memberikan penghiburan dan menguatkan aku pada saat aku benar-benar sedang lemah.
“Thanks ya Bram,” bisikku sambil memaksakan sebuah senyum.
Bramantyo mengangguk dengan matanya.
“Itu baru deh nanamanya Rheinatta, Si cewek yang paling jempol di klub pecinta alam Edelweiss,” hibur Bramantyo kemudian, diiringi senyum.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $