Siapa Yang Main Hati? (7)

1505 Kata
POV KELVIN Jarak antara tempat kost kami berdua memang tidak terlampau jauh. Tapi jangan berpikir bahwa hal itu menjadi alasan buat kami saling mengunjungi. Soal yang satu ini, gue nggak bohong. Walau gue tahu tempat kost dia karena jelas gue gue mendampingi Nicky ke sana, dan sebaliknya, hanya satu kali itu saja kami berdua bertemu di tempat kost gue. Nah dia kan Orang kerja, sedangkan gue masih kuliah, tentu ‘jadwal’ kosongnya bissa dibilang ‘nggak nyambung, kan? Ya memang, gue nggak menyangkal, ada beberapa kali kami berdua ketemu setelah dia resmi pindah ke tempat kost itu. Tapi ketemunya di luar, dan juga sejujurnya nggak janjian lebih dulu. Pernah gue ketemu di sebuah mal sewaktu gue mau beli hadiah untuk Adik gue. Nicky ada di sana, dia lihat gue dan teriak memanggil gue. Pas dia tahu gue mau cari hadiah buat Kezia, dia senang bukan main dan menawarkan jasa untuk ‘membantu memilihkan’. Gue sama sekali enggak keberatan. Soalnya dia kan juga tahu Kezia, kenal malahan. Dan untuk mencari hadiah buat Kezia, nggak mungkin dong gue ajak Rheinatta tanpa harus menjawab sederet pertanyaan yang pastinya bakal muncul dari dia : beneran ini buat Adik kamu, Hon? Bukan buat Cewek lain? Memangnya Adik kamu ada berapa? Umurnya berapa Hon? Dia sukanya apa? Biar nanti aku pikirkan hadiah yang cocok tuh apa. Kok kamu enggak pernah perkenalkan aku sama dia, ya? Padahal kamu juga kenal sama Abang aku, kan? !H! Aku baru ingat deh Hon, sekian lamanya kita pacaran, kamu tuh nggak pernah cerita soal Keluarga kamu. Berasa Aneh nggak sih, Hon? Ngomong-ngomong, kapan dong kamu perkenalkan aku sama Keluarga kamu? Aduh! Jangankan telanjur mendengar sederet pertanyaan itu, yang bisa jadi bakalan disambung dengan srangkaian pertanyaan lainnya yang pastinya bakal mengacak-acak ‘daerah pertahanan’ yang selama ini gue jaga, baru mengira-ngira saja sudah membuat gue malas semalas-malasnya. Bukan karena gue nggak sayang sama Rheinatta. Ah! Gila! Sayang banget gue sama dia. Kalau nggak sayang, mana mungkin sampai sekarang kami masih bersama, walaupun bisa dibilang, semakin kemari gue semakin terganggu sama ekspresifnya dia, dan banyaknya ‘perbedaan’ di antara kami. Nggak tahu deh, gue merasa kadang-kadang gue butuh ruang, perlu sendirian, nggak selalu harus bersama dia. Dan rasa itu semakin meminta porsi lebih besar. Dan juga bukan gue mau mempermainkan Rheinatta, ya. Nggak, nggak begitu! Meskipun saat sambil lalu Bramantyo tanya apakah begitu lulus kuliah nanti gue sama Rheinatta bakal segera menikah atau minimal bertunangan gue timpali dengan tertawa, gue nggak bisa bohong, sejatinya gue belum berpikir sampai ke sana. Ini bukan perkara gue nggak mau serius dan berkomitmen sama dia, lho. Nggak seperti itu. Gue sama Rheinatta masih sama-sama muda. Rasanya kejauhan banget buat mikir mau menikahi dia di usia segini. Walaupun kalau perkara takut ‘nggak bisa kasih makan Anak Orang’, sepertinya gue nggak usah terlalu risau. Dari satu kafe yang dijadikannya awal dia menjalani usaha kuliner, sekarang ini Mama gue sudah punya beberapa. Sangat nggak mungkin kalau Mama gue nggak akan mengijinkan gue untuk mengelola salah satunya, ketimbang dipercayakan ke Orang lain. Itu baru Mama gue. Belum lagi Papa gue. Semuak-muaknya Papa gue sama gue, gue masih yakin berat kalau gengsinya masih terlampau tinggi. Mana mungkin Papa gue rela dirinya ‘direndahkan’ sama Pihak Keluarga Rheinatta kalau sampai gue dan Rheinatta luntang-lantung dan hidup pas-pasan? Papa gue itu punya perusahaan Money Changer. Papa gue juga main saham. Dan setahu gue, dengan ambisinya yang besar itu, Papa gue juga menginvestasikan dananya di berbagai perusahaan lain. Ada yang dia terlibat langsung, ada yang nggak. Salah satunya yang baru-baru ini disebut sama Mama gue adalah perusahaan yang menyediakan alat-alat berat. Dan kalaupun sampai gue juga ogah menerima ‘modal nikah’ dari kedua Orang tua gue, kan gue bisa menghubungi Mas Anton? Gue bisa tanya ke dia apakah tawarannya masih berlaku? Soalnya kan menurut Mas Anton semenjak gue ‘tinggal pergi’, Cheerfull Band juga ikut vacuum sekian lama, terus pernah ganti vocalist beberapa kali dan nggak pernah bertahan lama. Dan yang jelas, sekarang band itu kembali vacuum. Mas Anton dan Teman-teman gue di band itu bilang, gue adalah Sosok yang paling tepat sebagai vocalist-nya, nggak tergantikan kata mereka. Ah! Nggak tahu deh. Atau untuk mengurangi kemungkinan konflik sama Papa gue, gue kan bisa cari penghasilan sebagai Wedding Singer dan nyanyi dari kafe ke kafe? Ya, gue nggak perlu-perlu amat dengan yang namanya popularitas, kok! Dan sampai sekarang tabungan gue juga sudah lumayan banyak. Tanpa setahu Mama gue, gue ini nggak pernah menghabiskan uang bulanan yang dikirim. ‘Taraf hidup’ gue jauh di bawah dari uang yang dikirim setiap bulannya. Yang penting gue sudah cukup bersenang-senang, gue bisa traktir Rheinatta, gue bisa makan sehat, dan bayar semua keperluan gue, termasuk untuk hobby gue. Tanpa setahu Mama gue, tahun lalu gue ikut-ikutan beberapa Teman yang membeli robot untuk trading. Uang yang gue pertaruhkan lumayan sih. Gue beli beberapa ‘unit’ robot sekaligus. Bagusnya, selama setahun terakhir ini, ‘pasar’ lumayan ramah sama gue. Dan sekarang, saldo USD gue di sana sudah ‘lebih’ dari sekadar balik modal biarpun kalau gue bandingkan dengan beda kurs antara beli dan jual yang sampai 2,000 poin per 1 USD. Lumayan pokoknya. Secara nominal USD, angkanya sudah menyentuh satu setengah kali lipat dari awal gue mulai. Dan gue nggak pernah tarik dananya. Gue diamkan saja di situ. Gue juga nggak kepikir untuk menjalankan aneka bisnis lainnya yang ada di dalamnya. Gue hanya mendiamkan saja dana gue. Intinya, kalau soal ‘kasih makan Anak Orang’ seharusnya gue mampu. Tentu dengan standard gue. Tapi gue juga masih kepengen untuk ambil program Magister. Sorry gue ralat. Bbukan kepengen. Ini lebih ke keharusan. Papa gue nggak akan mungkin membiarkan gue hanya menyelesaikan program Strata 1. Mana gue sudah buang waktu setahun, pula, sewaktu di SMA dulu. Malahan kalau kebetulan gue lagi teleponan sama Mama gue, kadang gue sempat dengar sindirannya, “Anak Laki, Anak Pertama, mau berpuas diri cuma jadi Sarjana? Yang sekarang ini saja dia sudah terlalu santai. Sudah kuliahnya Ekonomi doang, pakai sok sibuk nggak pulang-pulang. Semestinya dia juga sekalian kuliah yang lainnya. Mau ambil Hukum kek, Sastra, Tehnik, apa saja. Seharusnya kalau malas, pasti dilakukan.” Selama ini gue hanya menelan semua sindiran itu. Dan Mama gue juga biasanya menjauh supaya gue nggak mendengar sindiran Papa gue lagi. Sudah begitu, apa yang Papa gue bilang tentang Kezia dulu, mengendap di alam bawah sadar gue. Papa gue ‘meminta tanggung jawab’ gue, kan? Nah, sampai sekarang saja gue belum ada dengar Kezia sedang dipacari sama Siapa. Mama gue nggak pernah menyinggung hal itu. Kezia juga lebih asyik membicarakan soal lain kalau kalau berkomunikasi lewat panggilan video. Omongan sama Kezia itu nggak jauh dari pertanyaannya apakah dia boleh mengunjungi gue ke Jakarta dan kapan gue mau pulang dan ajak dia pergi liburan. Kezia minta diajak berlibur berdua karena katanya kangen. Sudah berkali-kali gue menolak dengan alasan dari a-z. Liburan berdua? Gila apa! Entar kalau amit-amit, sampai ada kejadian apa-apa, Papa gue bisa murka. Gue bukannya takut kalau bakalan dihajar atau bahkan diusir atau dicoret nama gue dari daftar Anggota Keluarga atau bahkan Salah Satu Calon Ahli Waris. Bukan itu. Gue sudah trauma dengan apa yang menimpa Kezia. Dan gue juga nggak mau kalau sampai Papa gue nggak bisa mengendalikan kemarahan, terus kena darah tinggi dan berakibat fatal. Sudah cukup apa yang tejadi sama Kezia. Sesuatu yang nggak mungkin bisa gue ubah buat selamanya. Nah, ternyata hadiah yang dipilihkan sama Nicky itu membuat gue melihat lagi senyum matahari milik Adik gue. Sewaktu gue foto dan kirim ke Adik gue untuk menanyakan pendapatnya, dia langsung melakukan panggilan video ke gue. Maka sebagai ucapan terima kasih, gue traktir Nicky makan, di mal itu. Selama makan, kami ngobrol dengan akrab. Dan yang namanya Teman satu kampung halaman, gue sama Nicky itu nggak ragu untuk saling mencoba makanan dan minuman kami masing-masing. Setelah itu, ada beberapa kali lagi kami sempat ketemu. Juga tanpa perjanjian. Nggak disengaja. Dan biasanya paling kami minum kopi atau makan makan sambil ngobrol. Itu saja. Oh, oke, pernah juga kami keluar masuk beberapa toko di sebuah mal. Heran, mau-maunya gue menemani Nicky yang katanya sedang mencari ‘pakaian yang cocok untuk dipakai saat gathering’ di stasiun radio tempatnya kerja magang. Padahal kalau sama Rheinatta....? Dan yang terlucu adalah saat Nicky ketemu sama gue dan Bramantyo. Nicky itu pergi sama Teman-teman dia sesama ‘Dubber’. Kami berada di lokasi yang sama. Unik kan? Saat itu Nicky bilang dia nggak percaya kalau Bramantyo baru sekali mencoba paralayang. Soalnya menurut Nicky, Bramantyo tampak sangat menikmati. Karena gue menangkap pertanda bahwa Nicky tertarik sama Bramantyo, gue tinggalkan mereka mengobrol berdua saat itu, sementara gue bergabung sama yang lainnya.Menurut gue, obrolan mereka berdua lumayan nyambung, kok.  Nggak ada salahnya, kan? Bramantyo kan belum ada 'kelanjutan'nya soal mengejar Kalista. Dan Nicky juga statusnya single and available. Jadi nggak ada yang marah, dong? ... “Hei Vin, Bram! Wah, makan di sini juga kalian rupanya!” Sebuah suara riang membuyarkan lamunan gue. Gue dan Bramantyo menoleh serempak dan terkaget. Tapi nggak hanya gue yang terkaget, ada Sosok lain yang terkejut. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN