POV KELVIN
Shendy tertawa kecil dan berdeham menggoda.
“Hai Nick,” sapa gue.
“Hallo, Nicky,” timpal Bramantyo.
“Kok bisa ada di sini?” tanya Bramantyo.
Hampir gue tendang kaki Bramantyo di bawah meja.
Yang gue lontarkan barusan itu sangat nggak pantas buat diucapkan ke Seorang Cewek.
Merasa mendapat celah, Shendy menambahkan, “Sengaja nyusul, ya? Tapi kok cepat amat? Terus kok tahu kita bakal kemari? Dukunnya kuat juga, lebih-lebih dari gps.”
Nicky tersenyum tipis.
Lalu dia menyahut santai, “Aku memang kebetulan lagi di area sini. Terus karena tadi Shendy bilang kalian sudah beres paralayang-nya dan mau singgah untuk makan, ya aku mampis saja, mana tahu ketemu kalian, kan? Ternyata memang ketemu.”
Gue nggak mau pusing memikirkan pakaah Nicky berbohong atau nggak. Menurut gue itu nggak penting.
“Nick, ini Si Kelvin ajak Teman dia satu lagi, namanya Kendra. Dan gue juga ajak Santo. Nah pada kenalan deh kalian. Kalau sama yang lain sudah kenal, kan?” kata Shendy.
Nicky mengulurkan tangan dan saling menyapa dengan Kendra dan Santo.
Dan gue yang tadinya duduk di sebelah Bramantyo, langsung pindah, memberikan kesempatan ke Cewek itu untuk duduk di sana.
Gue rada menyingkir dan nggak mau tahu apa yang mereka perbincangkan.
Yang gue tahu, Kendra malahan bergabung sama mereka. Dan Kendra itu lebih banyak terdengar suaranya ketimbang Bramantyo.
Ini seperti percakapan antara Nicky sama Kendra saja.
“Oh, jadi kalian bertiga itu sama-sama di klub Pecinta Alam di kampus kalian?”
Gue mendengar sambil lalu pertanyaan Nicky.
Kendra mengiakan.
Kendra pula yang menawari Nicky mau makan apa.
Pada detik itu gue rada mikir, kenapa kok Bramantyo terkesan seperti Orang yang menahan diri? Apa jangan-jangan dia sangat tahu bahwa Nicky naksir sama dia sementara dirinya nggak, lalu berusaha memberikan isyarat itu ke Nicky tanpa harus menyakiti perasaan Cewek itu?
Nggak mungkin gue tanya juga dong. Gue ini bukan Rheinatta.
Dan yach, walau ada keingintahuan dalam diri gue, sedapat mungkin nggak akan gue ucapkan secara lisan, seberapa pun dekatnya gue sama Bramantyo.
Ya kecuali, pada sebuah ‘percakapan ringan’ gue sama dia sewaktu Nicky dan rombongannya lebih dulu meninggalkan kami, dulu itu.
...
Iseng gue tanya ke Bramantyo, “Naga-naganya ada yang langsung kepincut nih sama Paralayang.”
Bramantyo tertawa menanggapi gue dan menyahut, “Bener banget, Vin. Gue rasa minggu depan gue bakal batalin rencana gue buat pergi jetsky bareng Ronald. Nanti gue cari alasan supaya enak di gue juga enak di dia.”
“Waduh! Kalau sudah janjian sama Teman elo itu ya jangan main batalin sepihak. Nggak enak nanti. Tenang, kita bakalan bisa sering kemari, kalau bisa geser-geser sedikit waktu latihan dan kegiatan lain. Asalkan elo happy di sini dan cocok sama mereka,” timpal gue yang menunjuk ke Teman serombongan gue.
Bramantyo tertawa dan membalas, “Iya juga sih. Maunya sih badannya dibagi dua. Setengah di sini, setengah di sana. Tapi sama juga, Teman-teman Ronald sama asyiknya dengan Teman-teman elo di sini. Itu kesan gue. Jadi biarpun gue baru pertama kali gabung begini, karena mereka friendly habis dan wellcome banget, ya gue nggak merasa asing. Yang ada seperti gue sudah lama kenal. Gue rasa itu berpengaruh, Vin. Bikin enjoy. Persis waktu pertama kali gue coba jetskysama Ronald and ganks.”
Berkata begitu, Bramantyo lalu duduk di atas rerumputan, mengisap rokoknya.
Dia menatap langit nan biru dan memuji keindahan alam. Ini dia yang membuat kami menunda-nunda, tak ingin segera beranjak pergi dari sini dan kembali menjemput polusi udara yang juara itu, di Jakarta.
Dan mendadak, mulut gue iseng mengomentari Bramantyo, “Alamak Bram! Baru pertama kali cobain paralayang, elo itu nggak cuma jatuh cinta sama paralayang-nya, tapi juga udara segar di sini. Mau gue tinggal aja atau gimana nih?”
“Serius elo sudah mau pulang? Gue kok nggak yakin! Segitu kangennya sama Rheinatta?” goda Bramantyo.
Gue nggak menyahut.
Nggak tahu kenapa, gue lagi nggak berminat buat membicarakan soal Rheinatta.
Ada beberapa keluhan yang gue dengar soal kebiasaan celetak-celetuk Rheinatta pas gue datang lebih awal di base camp. Ngomongnya bisik-bisik, khas Anak baru.
“Iya, Kelvin kok nggak menertibkan mulutnya Ceweknya ya,” kata sebuah suara.
Gue terusik. Ini yang saling bergunjing sama-sama Cowok. Si Anto sama Rado. Mereka itu sama-sama Anak Semester III.
Dan begitu melihat gue nongol, gue lihat wajah kedua-duanya memucat.
Gue yang semula kepengen menegur mereka langsung membatalkan niat gue. Enggak tahu kenapa, rasa enggan seketika muncul. Gue malas kalau harus ribut-ribut-ribut karena Cewek. Apalagi ini sama-sama Anggota Klub Pecinta Alam. Yang ada nanti suasana jadi nggak kondusif. Ya biarpun tanpa gue minta akhirnya Anto sama Rado yang notabene adalah Junior-nya gue itu meminta maaf ke gue karena membicarakan Rheinatta dan gue.
Gue hanya berpesan ke mereka saat itu supaya nggak membiasakan diri membicarakan Orang di belakang punggung mereka. Gue nggak bisa membayangkan, reaksi Rheinatta bakalan seperti apa kalau mendengar langsung. Untungnya, dia belum sampai ke base camp.
Dan hari itu kami latihan seperti biasa. Seolah tidak pernah ada hal yang kuran gmengenakkan sebelumnya. Bramantyo juga nggak tahu kalau ada kasak-kusuk seperti itu.
Tapi di detik ini mendadak gue terpikir, jangan-jangan sebenarnya Bramantyo tahu tapi pura-pura nggak tahu?
“Vin, elo juga langsung enjoy saat pertama kali diajak sama Sammy kemari, kan?” tanya Bramantyo.
Gue menggeleng.
Bramantyo langsung menyahut, “Jangan bohong. Model elo mah pasti langsung enjoy. Buktinya elo ngeracunin gue buat kemari.”
“Heiii..., Siapa juga yang berusaha untuk ngeracunin gue dengan mencoba snorkeling, ya?” balas gue.
Bramantyo terkekeh.
“He he he! Tepatnya, saling meracuni. Enggak cuma sekarang, kan! Dari jaman masih SMA malahan. Tapi bedanya, elo yang lebih banyak ngeracunin gue.”
“Masa sih?” ejek gue.
Oh ya, ‘ngeracunin’ itu ada istilah kami untuk saling menarik, mengompori satu sama lain untuk mencoba kegiatan yang kami suka.
Bramantyo tersenyum miring.
“Yang ngomporin buat masuk Klub Edelweiss dari awal, siapa? Dan malah akhirnya jadi ‘terjerumus kian dalam’? Hayo ngaku...”
Gue ketawa. Gila bahasanya.
Spontan gue bilang, “Itu diksi elo diksi Anak Sastra banget. Bersambung, sama Si Kalista?”
Mendadak Bramantyo diam.
Gue langsung sadar kalau dia nggka suka ditanya soal itu. Lha lagi pula tadi sudah ngobrol akrab sama Nicky. Siapa tahu kan, kalau sekarang Bramantyo mulai ‘menggeser prioritas’?
“Ngomong-ngomong, itu tadi yang elo bilang bahwa elo nggak langsung enjoy pas pertama kali kemari, memangnya kenapa?” tanya Bramantyo tiba-tiba. Jelas dia mau mengalihkan pembicaraan, ini. Oke deh.
“Oh itu. Jadi waktu itu, keadaan anginnya nggak seperti hari ini. Terus, ya memang gue terlalu tegang saja. Tahu nggak? Hari itu juga, ada Seroang Peserta yang mengalami kecelakaan lumayan serius.”
Bramantyo terperangah.
“Serius?”
Gue mengangguk.
“Kecelakaan apa?”
“Gue nggak jelas kejadiannya bagaimana. Yang pasti, katanya persendian lengan Si Peserta itu sampai tergeser.”
Bramantyo menepuk jidatnya.
“Ya ampun! Terus?”
“Ya langsung dibawa turun ke rumah sakit terdekat dari sini. Coba, bagaimana caranya gue nggak dag dig dug?”
Bramantyo mengangguk-angguk.
“Iya sih. Yang namanya Orang kalau lagi nahas itu ada saja kejadiannya.”
“Makanya. Amit-amit, jangan sampai kita mengalami yang begitu deh.”
“Amin.”
...
“Kita balik sekarang, yuk!”
Ucapan Sammy disertai tepukan di pundak gue, membuat gue langsung bangkit dari duduk gue.
Shendy menghampiri gue.
“Kenapa Shen?” tanya gue.
“Bramantyo tadi kemarinya satu mobil sama elo?”
“Iya.”
Dia manggut-manggut.
“Sempurna.”
“Apa sih?”
“Biar dia satu mobil sama Nicky, ya?”
“Gimana, gimana? Gue usir dia dari mobil gue, begitu? Ngawur!”
“Nggak begitu. Nanti gue yang ngomong deh. Gue buat alasan biar dia menemani Nicky. Nicky itu ternyata kemari nyetir sendiri, lho. Iseng juga kan nggak ada Teman ngobrol di jalan.”
Gue mengangkat bahu.
“Terserah elo deh. Asal elo yang ngomong.”
“Beres.”
Shendy mengacungkan jempol.
Dengan kepercayaan diri yang tinggi, dia menghampiri Bramantyo.
Gue nggak mau tahu apa yang dia katakan.
Yang jelas, pulang dari sana, kami berpisah mobil.
Bramantyo di mobil Nicky. Tentu saja dia yang menyetir. Mana betah dia disupiri sama Cewek! Sementara Kendra tetap di mobil gue. Agak aneh awalnya berduaan sama Kendra tanpa adanya Bramantyo di mobil yang sama, soalnya baru kemarin Kendra ini kan mengeluh tentang Rheinatta. Seolah masaih ada sedikit ganjalan di antara kami.
Tapi berhubung ini mobil gue, gue yang mengambil inisitiaf untuk membuat Kendra nggak canggung dan nggak ada perasaan nggak nyaman. Gue yang lebih dulu menyinggung soal rencana penting Kendra yang mau dieksekusi sama dia dalam beberapa hari ke depan. Gue juga yang bilang kalau sekiranya ada perubahan detail dan butuh bantuan gue, supaya dia nggak ragu untuk bilang ke gue. Dan untung saja jalanan nggak terlalu macet jadi suasana yang kaku nggak kaku itu cepat terlewat.
Semua tampak baik-baik saja sampai kami tiba di Jakarta dan gue drop Kendra ke rumahnya.
Sampai beberapa hari berlalu, dan gue terpaksa harus ekstra menjaga baik-baik agar rencana Kendra bisa terlaksana dengan baik, dan nggak ‘bocor’ sebelum waktunya.
Bahkan untuk itu, gue sampai dicurigai sama Rheinatta.
Rheinatta bilang ada yang gue sembunyikan dari dia.
Ya memang. Tapi nggak ada hubungannya dengan gue dan dia.
Rheinatta nggak langsung percaya. Anehnya, kali ini dia nggak ‘mengajak berdebat’.
Dia punya strategi lain. Yang entah apa.
Tinggallah gue yang bengong karena nggak menyangka sewaktu dia mengatakan sesuatu.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $