POV Kelvin
“Kelvin! Menyingkir! Cepat turun dari situ!”
Itu suara Mas Anton.
Gue nggak peduli.
“Kezia! Keziaaa! Jawab Kak Kelvin!”
Gue sudah hampir mau turun dari panggung dan merangsek sendiri ke lautan Penonton.
Tapi ada sepasang tangan kuat yang menarik gue.
Gue marah-marah.
Gue tepis tangan kuat itu dengan sekuat tenaga.
“Kelvin, jangan nekad! Itu Penggemaar Band Extreme sudah mulai lepar sepatu segala.”
“Mas! Tolong bantu carikan Kezia, Mas!” sahut gue.
Sekarang gue teriak-teriak lagi pakai mikropon.
Gue nekad menghampiri kerumunan Penonton yang tersisa.
Sebagaian besar memang sudah berhasil menyelamatkan diri, meninggalkan area pertunjukkan. Entahkah mereka merelakan harga tiket yang telah dibayar atau akan mengklaim ke Pihak Panitia di depan sana. Yang jelas mereka berebutan keluar lewat pintu yang mereka dorong paksa. Ada teriakan aduh di mana-mana. Sepertinya banyak yang saling sikut.
Perhatian gue terpecah. Antara melihat ke arah pintu keluar atau tetap ke kerumunan Penonton yang tersisa. Tapi firasat gue mengatakan, Kezia nggak mungkin meninggalkan area acara.
Gue langsung menuju tempat di mana dia tadi berada.
Kedua tangan gue aktif menyingkirkan Orang-orang di sekitar gue.
Sayangnya Kezia belum juga kelihatan.
Kepanikan gue memuncak. Rasanya gue sudah kepengen nangis. Gue nggak rela kalau sampai kulit tubuh dia sedikit tergores saja.
Saat itulah, gue seperti mendapat bisikan untuk memusatkan pandangan mata gue ke arah pintu keluar.
Banyak Cewek-cewek yang jatuh di sana. Ada yang terinjak pula.
Dan rasanya gue hampir gila, sewaktu melihat satu di antara Anak-anak Cewek itu, adalah Adik gue!
Kaki Adik gue keinjak-injak.
“Kak... Kelvin... Kezia di sini... tolong Kak!”
Gue mendengar rintihan suaranya.
“Keziaaaa! Ya Tuhan!”
Kepala gue rasanya mau pecah.
Adik gue yang kuat itu jatuh dalam kondisi tertelungkup. Entah sejak kapan. Dia konsisten memegangi kepalanya dengan dua tangannya dan berusaha untuk sedikit bergeser.
“b******k! Minggir! Minggir” Gue berteriak-teriakseperti Orang gila.
Begitu dekat, langsung gue tarik kaki Adik gue.
“Sakitttt! Aduh!”
Gue den teriakan Kezia.
Lalu hening yang panjang.
Gue kalap.
Gue peluk Kezia, gue angkat badannya dan berjuang melepasan diri dari kerumunan.
Gue bopong badan Adik Kesayangan gue, ke arah yang berlawanan dengan pintu keluar.
Gue benar-benar menangis.
Dia memang pakai celana panjang dan t-shirt lengan panjang, jadi gue nggak bisa
“Kezia! Keziaaaa!”
“Kak...”
Itu saja yang sempat gue dengar dari mulutnya.
Dagunya lecet. Pipinya berdarah. Ya ampun! Kalau gue tahu Siapa yang bikin dia begitu, gue hajar sampai minta-minta ampun pasti!
Setelahnya gue merasakan badan dia semakin memberat.
Adik gue pingsan!
“Keziaaaaa!!!!! Jangan pingsan! Mas, tolong Mas!” gue meneriaki Mas Anton yang kelihatan di atas panggung. Sangat nggak mungkin buat gue naik ke panggung yang sangat tinggi itu dengan membopong Kezia. Orang tadi juga gue turunnya lompat.
Mas Anton dan Teman-teman gue menolong gue.
“Bawa ke ambulance.”
Gue nggak tahu bagaimana cara gue naik ke panggung. Mungkin gue kerasukan Siluman Monyet atau apa, yang jelas gue bisa mencapai bagian atas panggung. Mas Anton dan Teman-teman gue sempat bengong.
“Cepaaat! Tadi itu sempat kelihatan kaki dia terinjak. Cuma nggak tahu sudah berapa lama!”
Gue masih menangis meraung-raung.
“Vin, sabar Vin!” Mas Didi menepuk-nepuk pundak gue.
“Vin..., kendalikan diri kamu. Nggak enak kalau nanti kebetulan ada yang lihat, terus motret dan memviralkan kamu lagi nangis begitu. Nggak baik efeknya buat band kita.”
Itu suara Mas Anton.
Ya ampun! Dalam keadaan macam ini masih mikir jaga image??
Ini masalahkeselamatan Adik gue!
“Bodo amat! Terserah!” Sentak gue.
Rasanya saat itu juga gue mau bilang kalau gue ‘cabut’ dari Band Cheerfull.
Mas Anton tersentak.
Dan setelah itu nggak ada percakapan lagi, sampai akhirnya kami tiba di rumah sakit.
Gue meminta tolong supaya Mas Anton dan Teman-teman gue secepatnya meninggalkan rumah sakit saat tahu Papa gue hampir sampai. Gue nggak mau mereka jadi sasaran kemarahan Papa gue. Dan juga, gue nggak mau mempertontonkan drama keluarga di depan mereka. Tadinya mereka masih berkeras, tapi akhirnya mereka pulang juga. Tentu saja mereka bilang supaya gue kasih kabar kalau perlu apa-apa.
Gue sudah nggak peduli.
Saat Mama gue datang, gue sampai minta-minta ampun dan cium kaki Mama gue.
Gue terus mendampingi Mama gue yang mendengarkan keterangan Dokter setelah melakukan berbagai pemeriksaan atas Adik gue.
Rasanya kiamat banget buat gue.
Sebelah kaki Adik gue terancam harus direlakan.
Gue nangis lagi, gue pukul-pukul kepala gue sendiri.
Dan dengan bodoh gue bertanya sama Dokter, “Dok, kan ada yang namanya Donor mata, ada yang namanya donor darah. Bisa nggak Dok, tolong ambil sebelah kaki saya, sambungin itu ke kaki Adik saya, sekiranya harus dipotong.”
Dokter itu menatap gue dengan iba.
Gue dan Mama gue berpelukan.
“Ma, semua gara-gara Kelvin. Kelvin yang salah. Kelvin nggak bisa jagain Kezia. Harusnya Kelvin ikut larang Kezia untuk nonton hari ini. Harusnya Kelvin bantu Papa untuk melarang dia datang.”
Mama gue nggak mengatakan apa-apa.
Kami bertangisan bersama.
Rasa sesal memenuhi d**a gue.
Makanya gue nggak melawan sama sekali sewaktu Papa gue menyeret gue ke salah satu area rumah sakit yang sedikit sepi dan menghajar gue. Gue pantas untuk mendapatkannya. Malah seharusnya lebih dari itu.
Itu adalah hari terakhir gue memakai embel-embel Cheerfull. Nggak, gue bukan Kelvin Cheerfull lagi.
Gue memutuskan untuk keluar dari Cheerfull, tanpa disuruh sama Papa gue.
Dengan sadar gue melakukannya. Gue bahkan nggak mau bersentuhan dengan dunia yang penuh hingar bingar itu. Dan Papa gue dengan sinis menyambut keputusan gue.
“Berapa denda yang harus dibayar? Bilang saja! Saya transfer nanti!”
Itu yang diucapkan kepada Mas Anton dua minggu kemudian, di rumah kami.
Peralatan band sudah disingkirkan dari bekas garasi, setelah dirusak oleh Papa. Gue yakin Pemulung yang membawanya seperti mendapat durian runtuh.
Papa gue melarang Mas Anton dan Siapa pun juga yang bersentuhan dengan urusan band, untuk menemui gue. Papa gue bahkan memperlakukan gue seperti Anak kecil, yang dikunci di kamar kalau ada yang datang ke rumah. Dan herannya, gue nggak protes.
Gue meratap di dalam kamar.
Gue nggak sanggup membayangkan, apa yang akan dilakukan Adik gue setiap kali pelajaran Olahraga nanti? Terus piala-piala yang dia dapat itu, yang dikasih tempat khusus di lemari yang diletakkan di ruang keluarga rumah kami, apakah dia nggak akan sakit hati setiap kali melihatnya?
Dengan kondisinya dia, mana mungkin dia akan lari secepat dulu?
Gue dengar dia harus menjalani banyak perawatan. Dia harus menjalani banyak theraphy. Dan gue dengar-dengar, waktu pemulihannya juga bisa dipengaruhi dari kondisi mental. Makanya Dokter kasih pesan supaya kami, Keluarganya, mendampinginya dan terus mendukung dia melewati masa yang berat itu.
Dokter banyak memberikan pesan kepada kami, untuk bersikap sewajar mungkin dan tidak memperlihatkan tatapan iba. Ya, kami harus menunjukkan ketegaran di depan Kezia.
Itu benar-benar hal terberat buat gue.
Sewaktu dia pulang dari rumah sakit, gue nggak sanggup berlama-lama di dekat dia. Rasa bersalah selalu membebani gue. Dan setiap kali gue meminta maaf, Kezia memaksakan senyum saja.
Geez! Kezia tersayang gue, yang begitu kuat, sekarang jadi tampak sedang struggle. Gue nggak melihat ada tatapan menyalahkan gue di dalampandangan mata dia. Sama sekali nggak. Tapi gue melihat kemurungan yang berusaha dia sembunyikan. Dia pasti sedang dalam proses penyangkalan diri. Dan apa yang bisa gue bantu dalam keadaan begitu? Nggak ada! Kan biasanya dia yang kuat, dia yang membela gue.
Dan gue masih saja menunjukkan kelemehan gue itu. Meminta maaf setiap kali menemani dia yang mogok sekolah dan minta home schooling.
Gue merasa diri gue adalah penjahat yang sudah merampas keceriaan dia.
“Kak Kelvin nggak salah,” kata dia setelah beberapa lama.
Gue nggak bisa ngomong apa-apa, kecuali menghela kepalanya ke d**a gue dan mencium kepalanya. Gue mencoba keras untuk nggak menangis. Gue ini bukan Orang yang cengeng. Sewaktu gue ditindas juga gue nggak pernah menangis. Tapi setiap kali gue melihat Adik gue, rasanya tangis gue begitu mudah meledak. Anehnya, itu sama sekali nggak mengurangi rasa bersalah gue.
Kezia ketinggalan pelajaran. Dia kan nggak langsung mengusulkan mau mengikuti home schooling. Saat itu gue juga menghukum diri. Gue berpikir, dia kehilangan waktu berharganya, biar saja gue sendiri juga rugi umur. Ya, dengan sengaja gue juga keluar dari sekolah gue.
Bukan, bukan karena gue pernah melihat film drama Korea yang berjudul Endless Love lalu menjadi terobsesi, khususnya di adegan di mana Song He Kyo yang terkena penyakit kanker darah terpaksa harus makan bubur yang serba hambar dan ‘Sang Kakak’, Song Seung Hun yang mendampingi dia, juga memakan bubur yang sama hambarnya walau badannya sehat dan bugar, semata karena hendak merasakan penderitaan ‘Sang Adik’.
Papa gue marah-marah. Kata Papa gue, mau jadi apa gue, kalau SMA saja nggak tamat?
Tapi telinga gue sudah kebal.
Dan kembali gue mendengar pertengkaran-pertengakaran nggak penting antara Papa dan Mama gue. Rasanya gue tersiksa sekali.
Sementara waktu terus berlalu.
Aneh. Yang mengalami kecelakaan itu Adik gue. Dan dia juga yang akhirnya mengalami perbedaan panjang kaki hingga 5 cm. Tapi pada saat dia mulai menerima keadaannya, bahkan mulai bersemangat dengan home schooling-nya, sudah bisa tertawa, sudah bisa mencandai gue, sudah bisa menghibur diri dengan bermain piano dan sesekali memaksa gue untuk menyanyi sama dia, tapi gue-nya masih merasa terpuruk. Gue masih merasa dia adalah Kezia yang berbeda. Geraknya nggak sebebas dulu.
Gue ngak mau menebar toxic di rumah gue.
Gue nggak mau Orang tua gue terus bertengkar.
Gue mau ada kedamaian di rumah gue.
Maka akhirnya gue mengusulkan ke Mama gue, untuk melanjutkan sekolah di Jakarta.
Mama gue awalnya keberatan, tapi Papa gue malah bilang, “Biar saja. Anak Laki. Biar belajar mengelola hidup dia di luar. Tapi awas, sekali saja Papa tahu kamu bergabung sama Band apa pun lagi, atau lebih parah dari itu, coba-coba barang haram, Papa sendiri yang akan menjebloskan kamu ke penjara.”
Gue anggap itu sebagai tantangan yang harus gue taklukan.
Gue menerimanya bulat-bulat
Kezia merengek sewaktu tahu bahwa gue mau sekolah di Jakarta. Dia sampai mengunci diri di kamar selama dua hari, nggak mau ketemu gue. Tapi gua harus tega, kan? Dari pada kedamaian di rumah ini hancur karena keberadaan gue?
Mama gue sengaja mencarikan gue tempat kost di tempat yang sekarang ini. Ini adalah kost eksklusif. Kost khusus Cowok. Ini adalah milik salah satu kenalan Mama. Banyak maera cctv di depan, lorong, sampai bagian umum lainnya. Yang jelas, Mama gue nggak mau sampai gue kost di tempat yang asing buat dia. Yang ini sih Pemiliknya juga tinggal di sebelah. Sering datang mengecek juga. Kadang siang, kadang sore, meskipun sudah mengirimkan Asisten Rumah tangga yang setiap pagi membereskan berbagai pekerjaan rumah.
Dan sudah pasti, Sekolah yang dipilihkan buat gue yang nggak jauh-jauh amat dari tempat kost ini. Sekolah di mana gue kenal sama Bramantyo dan akhirnya jadi akrab.
Ya, sampai sekarang gue masih betah tinggal di tempat kost ini.
Nah, gue baru ingat, Si Nicky kan cari tempat kost juga.
“Nick, mau ditemani nggak, cari tempat kost? Kebetulan aku tahu beberapa yang bagus di sekitar sini. Di sini bagusnya, nggak ada yang campur. Jadi selalu yang ada tempat kost khusus Cewek atau khusus Cowok,” kata gue.
“Boleh, ayo,” sambut dia.
Sepertinya kami sama-sama sudah lupa, baru saja membicarakan hal yang ‘berat’.
Lalu persis seperti yang gue perkirakan, Nicky akhirnya memilih tempat kost yang dia bilang ‘agak di depan sana’. Lumayan jauh sih dari tempat gue, mungkin hampir sekilo jaraknya. Ya, Cewek kan memang begitu. Sudah lihat ini, lihat itu, tapi ujung-ujungnya yang dipilih yang nggak terduga.
*
$ $ ucy Liestiyo $$