Siapa Yang Main Hati? (1)

1788 Kata
POV Rheinatta Telepon genggamku kembali berbunyi. Tepat seperti dugaanku. Masih usaha, rupanya! Yup, nomor yang tertera masih sama dengan nomor yang menghubungiku setelah Tante Garnetta. Nomor yang sudah mulai aku hafal. Aku memang sengaja tidak menyimpan nama kontak ini semenjak bertukar nomor tlepon genggam dengannya, untuk berjaga-jaga. Maklum, kadang-kadang aku agak ceroboh kalau sedang makan dengan Kelvin, lalu meninggalkan telepon genggam di meja begitu saja pada saat sedang mencuci tangan di wastafel atau ke toilet. Bukan ceroboh yang parah memang, karena kan ada Kelvin di sana. Hanya saja, bagaimana kalau…, amit-amit, telepon genggam itu berbunyi dan memunculkan nama ketika aku tidak di situ? Bagaimana kalau Kelvin yang mengangkatnya? Nah, kalau tetap dibiarkan tanpa disimpan ke dalam daftar kontak kan semestinya aman-aman saja. Tidak akan ada salah paham maupun kecurigaan. “Angkat saja, Rhein. Atau…, aku perlu pergi sebentar?” tanya Sylvanie, menawariku. Barangkali dia melihat ada keraguan di wajahku. Jelas aku ragu, antara mau menerima panggilan telepon itu atau tidak. Namun akhirnya aku memutuskan tidak. Sylvanie kan baru beberapa saat lalu memuji kerharmonisan hubunganku dengan Kelvin, kan? Buat apa aku cari gara-gara. Eh tapi, aku sebenarnya penasaran mengapa Michael menghubungiku, dua kali pula! Ada apa, ya? Ah, biar saja, nanti aku telepon balik ke dia sewaktu dalam perjalanan pulang. “Nggak ada namanya di daftar kontak aku. Malas ah. Paling juga sales kartu kredit atau pinjaman online,” ujarku apatis. Sylvanie mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, kamu mau baca draft artikel tentang Edelweiss nggak Rhein? Aku itu sudah agak lama mau menayangkan tapi ada beberapa antrian artikel lain. Sudah begitu, kepengen minta pendapat Kelvin sama Bramantyo juga kelihatannya mereka sedang sibuk terus beberapa bulan terakhir ini. Semoga nggak terlalu basi jadinya, saat dipublikasikan nanti,” kata Sylvanie kemudian. Hampir aku tersenyum miring. Memang tuh. Kelvin sama Bramantyo itu keluar kota melulu nyaris tiap akhir pekan. Entah sama-sama atau nggak. Kalau Bram sih nggak masalah, nah nggak ada Pacar yang perlu diapeli sama dia. Nah Kelvin? Aku dianggap apa? Sudah dua kali dia lupa sama janjinya. Bilang iya, iya, minggu depan kita pergi sama-sama deh. Maaf ya soal yang kemarin-kemarin. Ehhh…, pas harinya tetap saja dilakukan lagi. Untung saja beberapa hari ini dia jauh lebih manis ke aku. Lihat tuh akibatnya, bukan cuma urusan pribadi, ini urusan mau mempromosikan Klub Edelweiss juga jadi tertunda kan gara-gara kalian! Gerutuku tanpa suara. Saat itulah, masuk notifikasi pesan teks dari Michael. Tanpa mengklik, aku sudah bisa mengintipnya. Michael mengajakku bertemu di restaurant cepat saji. Wah! Aku jadi dilema. Bagaimana ini? Memang sih, dia itu cukup ‘membantu’ aku mengurangi rasa kesal karena Kelvin yang ‘hilang-hilangan’ melulu. Jujur saja, setelah pertama kalinya kami bertemu di kafe saat Abang aku mengajakku dulu, aku dan Michael sudah tiga kali bertemu setelahnya. Di pertemuan kedua, aku sengaja ke kafe tersebut sendirian, dan ketemu dengan Michael. Kami mengobrol ringan, dan dia sempat agak menyelidik karena melihatku sendirian di akhir pekan begitu. Tapi toh aku bisa membelokkan pembicaraan dan malam itu pula Michael banyak berkisah tentang latihan rutinnya. Lalu dia mengantar aku pulang ke rumah. Itu saja. Pertemuan ketiga terjadi karena disengaja. Michael sengaja menghubungi aku dan bertanya apakah aku mau jika diajak menemaninya ke peresmian klub baru yang merupakan salah satu cabang usaha dari Om-nya. Dia juga mengundang Kelvin sebenarnya. Aku yang mendengar tawarannya, merasa bagaikan Seorang Musafir yang menemukan oase di padang gurun. Tentu saja aku menyambut dengan antusias dan mengatakan bahwa Kelvin sama sekali tidak suka dengan tempat hingar-bingar macam itu. Pun begitu, saat itu Michael bertanya apakah dia perlu meminta ijin ke Kelvin dan Abang aku karena mengajakku. Aku tegaskan tak perlu. Sebagaimana harapanku, suasana di klub baru itu sungguh membuat aku seolah mendapatkan pelepas rindu. Sudah begitu, Michael juga sangat melindungi aku, menjaga aku di keramaian, agar tidak didekati oleh Tamu yang kurang ajar. Saat itu aku sampai berpikir, bukannya Sosok Pacar asyik macam itu yang dulu pernah aku harapkan? Bukan Seorang Pacar yang semakin asyik dengan dunianya sendiri, dan tampaknya semakin larut dengan kegemaran barunya yang entah apa aku juga tidak terlalu berminat untuk tahu lebih jauh? Bukan karena tak ingin tahu, melainkan karena tak mau bertengkar lagi. Pasalnya, aku menangkap gelagat bahwa Kelvin dan Bramantyo sudah mulai ‘bolong-bolong’ latihannya. Aku dengar-dengar sih, mereka sedang tergila-gila dengan olah raga paralayang di Puncak. Juga hal lainnya. Ah. Terserah saja. Aku toh juga nggak diajak sama Kelvin. Biar saja. Maka mengapa aku harus merasa bersalah, kalau kemudian aku mau saja saat lain kali Michael menawari aku untuk sekadar ‘ngopi’ bersama dia? Itu juga bukan hari Sabtu atau Minggu, melainkan hari biasa. Pas Kelvin bolos kuliah, pula. Dan Michael juga bertanya apakah sebaiknya aku mengajak Kelvin, dan kukatakan dia bolos kuliah, waktu itu. Jadilah kami ‘janjian’ ketemu di tempat yang disebutkannya. Itu juga siang hari kok, sepulang kuliah. Kami minum kopi dan banyak berbincang. Memang, ada sempat merasa bahwa Michael tahu sesuatu hal tentang apa yang terjadi antara Kelvin dan aku. Ya, baru terpikir olehku sekarang, sepertinya dia tahu kalau hubungan aku dengan Kelvin sedang sedikit ada gejolak. Soalnya dia berani untuk ‘mengajak aku keluar’. Terus rasanya pertanyaan dia juga ‘agak mancing-mancing’ deh. Dan aku jadi terpikir, jangan-jangan dia tahu sesuatu karena dia ‘nggak merasa bersalah’ mengajak Pacarnya Orang untuk ketemuan. Tapi apa ya? Mana mungkin aku bertanya secara frontal ke dia? Bukannya itu sama dengan tindakan Orang yang kegedean rasa dan juga…, sama saja aku mengesankan kalau aku nggak percaya sama Kelvin? Terus ajakannya yang sekarang untuk ketemu? Apa harus aku tanggapi? Kan aku juga sedang menghindari Tante Garnetta? Lumayan kali ya, buat sedikit bersenang-senang. Lagi pula, aku juga sudah mulai bosan nih, berada di tempatku sekarang. “Bagaimana, Rhein?” tanya Sylvanie. “Boleh di-email saja nggak, Syl? Aku agak pusing lagi, soalnya. Biasa…, lagi halangan. Lagi malas baca,” kataku beralasan. Dia mengangguk-angguk. “Boleh. Email-mu apa?” tanyanya. Aku menyebutkan alamat emailku. Dia tak menunda barang sedikit saja, langsung mengirimkan draft tersebut. Lalu dia bilang, “Sudah terkirim nih.” Aku mengece notifikasi di telepon genggamku. “Sip. Sudah masuk,” sahutku sambil mengacungkan jempol. “Terus sekarang, mau pulang, nih? Wah aku mau mengucapkan banyak terima kasih atas ngobrol-ngobrolnya hari ini. Eng…, semoga…, kamu bisa menyimpan baik-baik, dan nggak keceletukan. Terutama…, eng…, soal Andhika.” Ucapan Sylvanie amatlah lirih. Aku merasakan dengan jelas, ada rasa sungkan di sana. Aku jadi terpacu untuk mengintrospeksi diri. Ya ampun. Dia ini menyesal atau bagaimana sudah bercerita? Dan memangnya mulutku ini se’bocor’ itu? Keluhku dalam hati. “Tenang. Aku lupakan saja deh, kalau begitu, apa yang sudah kamu ceritakan tadi.” Aku melihat betapa dia jadi tak enak hati. “Eng…, bukan begitu. Maaf kalau kamu tersinggung. Tapi sungguh, aku senang kok ngobrol-ngobrol sama kamu hari ini.” Aku memaksakan sebuah senyum. “Aku juga senang kamu percaya mendengar curhatmu. Sudah, serius, karena aku sadar kalau kadang-kadang aku suka keceletukan, memang sebaiknya aku lupakan saja. Nah, kamu masih mau di sini? Aku mau bayar dan pesan taksi online,” ujarku. Dia menarik napas lega. “Ah, syukurlah. Aku takut kamu marah.” “Enggak.” “Oke, aku jua mau bayar. Bagaimana kalau aku yang traktir?” “Jangan!” tolakku segera. “Lho nggak apa, nanti lain kaligantian,” katanya lagi. “Nanti saja kalau kamu sudah jadian sama Kendra.” Dia mengulurkan tangan kepadaku. “Eh? Apa ini?” “Setuju!” ucapnya dengan mimik muka lucu. Aku langsung menjabat tangannya. Saat itu juga aku yakin, sebenarnya Cewek satu ini benar-benar sudah siap menyambut cinta yang baru. Kami berpisah saat taksi online-ku datang beriringan dengan taksi online yang dipesan oleh Sylvanie. Dan begitu aku duduk di jok belakang kendaraan yang menjemputku, aku langsung menghubungi Michael. Cukup beberapa detik menunggu, suara Michael sudah terdengar. “Hallo.” “Hai. Maaf, tadi aku nggak bisa mengangkat telepon. Aku lagi ngobrol.” “Sama Kelvin, ya?” Aneh. Aku merasa bahwa kalimatnya ini hanyalah basa-basi. Seolah dia tahu bahwa aku tidak sedang bersama Kelvin, tadi. Apa jangan-jangan dia ini bisa melihat dari kuku? “Enggak. Sama Sylvanie.” “Hah? Sylvanie?” “Iya. Sylvanie, Teman Kalista, Gebetan kamu.” “Mantan Gebetan,” ralat Michael. Aku tertawa. “Katanya mau ajak aku ketemu?” tanyaku tak tahu malu. Dan begitu sadar arti kalimatku yang mengandung ajakan itu, aku terkejut sendiri. Astaga! Itu sama saja menggoda Michael, kan? Herannya, Michael malah diam. Kepalang tanggung, aku bertanya kepadanya, “Memangnya mau ngomongin apa?” Aku menangkap ada kegugupan di dalam diamnya. “Itu tadi, sih.” Tak sengaja aku mendengar gumamannya. “Hah? Maksudnya bagaimana?” “Oh, enggak. Enggak begitu. Kamu di mana sekarang?” “Di jalan. Ada apa, Michael? Kok seperti gugup begitu? Mau ngomongin apa sih tadinya?” “Enggak. Cuma mau ajak kamu ngobrol.” “Oh, kalau nggak jadi ya sudah. Nggak apa-apa.” “Eh, jadi kok. Tapi mungkin tempatnya pindah saja, ya. Aku itu tadi kebetulan habis dari tempat latihan terus mau singgah untuk beli makanan di drive thru dan kepikir mau ajak kamu. Makanya aku pikir, ya sudah mau sekalian masuk saja. Eh, karena agak lama mendapatkan jawaban dari kamu, aku sudah meninggalkan tempat itu.” “Terus?” “Posisi kamu di mana sekarang?” Aku menoleh ke sekitarku. “Masih agak jauh dari lokasi restaurant cepat saja itu.” “Hah? Kamu mengarah ke sini? Aku susul kamu saja kalau begitu. Tapi kita ganti tempatnya ya.” “Tapi tadi aku sudah makan sama Sylvanie.” “Nggak apa. Aku kan masih lapar. Jadi nanti kamu temani aku makan saja. Kamu kan bisa minum atau makan makanan penutup. Nah, kamu share location saja. Aku jemput ke sana sekarang.” Rasanya aku mau tertawa. Seumur-umur pacaran sama Kelvin atau Cowok lainnya, bahkan saat sedang di-’prospek’ pun, belum pernah aku dijemput di tengah jalan begini. Eh? Lha memangnya Michael sedang mendekati aku? Enggak deh kelihatannya. Tapi… nggak tahu juga deh! “Begini saja. Aku kan naik taksi daring, ya sudah biar Pak Supirnya melambat. Nggak lucu kalau aku turun di jalan. Nah, kamunya mengarah kemari. Jadi nanti pas turun dari taksi daring, aku langsung pindah ke mobilmu,” usulku. “Boleh.” Lucu. Aku merasa bersemangat sekali. Seperti mau ketemu Pacar saja. Eh, Pacarku kan Kelvin. Dan dia memang masih Pacarku. Apalagi tadi dia juga begitu manis, kan? Tapi nggak apa dong, Michael ini kan Teman kuliah, dan aku toh nggak ngapa-ngapain sama dia? Anggap saja ini simbiosis mutualisma. Aku sedang menghindari Tante Garnetta sementara dia perlu ditemani untuk makan. Paling juga ngobrol ringan. Nggak masalah dong. Ini masih sore, lho. Aduh, tapi aku nggak bisa bohong sama diriku sendiri. Hatiku rasanya berbunga-bunga, persis sebagaimana saat aku pulang dari acara camping akbar bertahun lalu. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN