Siapa Yang Main Hati? (2)

1672 Kata
POV Kelvin Gue mengamati ekspresi wajah Kendra, walau dari jarak yang nggak terlalu dekat. Juga tanpa sepengetahuannya sudah pasti. Ya kan gue nggak mau menjatuhkan gengsi dia dong. Gue mendapati mimik muka Kendra yang menyiratkan rasa gugup yang bercampur khawatir yang berusaha Dia tekan selagi mendengarkan arahan dari Bang Lucky, Instruktur yang bakal mendampingi dia sebentar lagi. Duh, gue seolah sedang ketiban ujian berat nih. Bukannya apa, kan gue yang ‘meracuni’ dia, mengompori dia buat ikut-ikutan mencoba olahraga yang satu ini. Dan mungkin karena baik gue, Bramantyo maupun Kendra sedang sedikit jenuh sama kegiatan klub Edelweiiss yang agak monoton belakangan ini sekaligus memberi kesempatan sama Para Anggota baru untuk lebih banyak mengambil inisiatif dan mencari ide segar agar Klub Pecinta Alam kami itu tetap diminati sama Para Calon Anggota baru, maka gue bilang ke Kendra untuk ‘mencari selingan’ di luar kegiatan Klub Edelweiiss. Dan dia langsung mengiakan. Jadilah tadi pagi-pagi sekali kami berangkat dari Jakarta. Sebelum matahari nongol, barangkali. Lalu gue sengaja untuk membawa satu mobil saja supaya praktis serta nggak tunggu-tungguan. Kendra juga sengaja menginap di rumah Bramantyo pas malam Minggu itu. Tahu banget dia ya, menginap di rumah Orang yang jelas lagi nggak punya Pacar. Karenanya serius, ini bukan berarti kami mulai menomor duakan Klub Pecinta Alam sendiri. Sama sekali nggak! Lagi pula Sabtu kemarin kami juga masih latihan di kampus sebagaimana biasanya. Sepulang latihan, gue juga masih bisa malam Mingguan sama Rheinatta, biarpun gue langsung antar dia pulang begitu kami berdua selesai menonton film drama romantis pilihannya. Dia agak sebal sih, tapi menurut juga dan rasanya gue yakin dia nggak akan curi-curi kesempatan untuk pergi keluar sama Teman-temannya lagi tanpa sepengetahuan gue. Soal ini, gue sudah peringatkan dia bahwa gue nggak suka dia ‘nyerempet-nyerempet bahaya’. “Gimana, Ken? Aman, kan?” seru gue. Tanpa menoleh ke gue, Kendra berteriak, “Aman.” Ya. Itu yang gue harap. Biarpun gue masih agak khawatir. Soalnya, ekpresi wajah yang diperlihatkan sama Kendra itu berbeda jauh sama ekspresi wajah Bramantyo sewaktu pertama kali mencicipi Paralayang bareng gue. Dan itu baru dua minggu yang lalu. Gue sangat ingat, waktu itu Bramantyo sangatlah antusias. Nggak ada takut-takutnya. Dia malah seperti Orang yang nggak sabar ketika menunggu gilirannya melayang di udara, setelah berkali-kali mengabadikan gue dan Sammy beraksi dan berteriak lantarang dengan kameranya, Saudara Sepupu gue yang mendapatkan giliran terlebih dulu. Hm. Sejujurnya sempat terlintas sama gue buat menyarankan supaya Kendra membatalkan saja niatnya untuk mencoba olahraga ini kalau memang enggak terlalu yakin. Atau kalau hanya karena masih belum siap tapi tetap penasaran, mungkin ambil waktu berdiam diri sebentar, membiarkan yang lain menyalip gilirannya dulu, baru setelah dia merasa lebih rileks, silakan deh jemput itu pengalaman pertama melayang di udara. Tapi karena Bang Lucky enggak mengatakan apa-apa, gue mengusir rasa ragu gue. Tambahan pula, komunikasi gue sama Kendra kan nggak secair komunikasi gue sama Bramantyo. Nanti yang ada malahan jadi salah paham dan melebar kemana-mana deh. Nggak penting banget. Mending gue percaya deh, Bang Lucky pasti bisa mengkondisikan Kendra. Eh, gue bukan lepas tangan. Gue juga nggak ada niat untuk ‘balas dendam’ karena sedikit kejadian konyol kemarin. Hal kecil yang sempat mengusik gue itu terbayang sama gue. … “Hon, aku sudahan ya, latihannya,” kata Rheinatta setelah melepaskan harness (jangkar yang menghubungkan tali dengan badan) dan tali karmentel dari tubuhnya. Tumben. Baru juga satu kali dia manjat. Kok seperti ogah-ogahan? Apa karena hari ini dia jadi satu-satunya Anggota Cewek yang datang latihan? Pikir gue. Gue mengelus kepalanya dengan sayang dan mengangguk. “Capek, ya?” Dia menggeleng lesu. “Bosan.” “Lho, kok bosan? Ada aku juga, di sini,” godaku. Dia mengedikkan bahu. “Kamu lagi nggak enak badan?” tanya gue. “Enggak.” “Terus kenapa? Kok kelihatannya nggak semangat begitu?” “Hon.., aku kepengen nonton film “My Soulmate” malam ini. Mumpung sudah agak sepi, jadi pasti dapat tiket. Mau, ya?” Tatapan matanya begitu mengharap. Nggak tega deh, buat mengecewakan dia. Sudah tiga minggu dia meminta ditemani nonton film yang satu itu. Gue yang malas-malasan dan memang nggak bisa. Ya masa sekarang gue harus mengecewakan dia lagi? Tanpa pikir panjang, gue langsung mengangguk dengan mata gue. Matanya Rheinatta langsung mengerjap. “Beneran?” tanyanya kurang yakin. “Iya dong. Tapi habis nonton film terus langsung pulang, ya. Kan besok pagi aku mau pergi sama Bram.” Mendengar gue memberi syarat, Rheinatta tersenyum kecut. Ya gue kan sudah berusaha ‘adil’ dong. Sabtu buat dia, Minggu buat diri gue. Nggak usah komplain lagi dong. Kalau yang sudah-sudah oke, Jumat sampai Minggu juga gue pernah nggak ‘absen’ depan dia. Ini kan sudah perbaikan banget. “Iya deh. Kalau begitu aku pulang ke rumah dulu ya. Mau mandi dulu. Masa mau malam mingguan sama kamu langsung dari sini?” “Lho, Bee, ya masa aku harus pulang juga sekarang?” “Nggak usah. Aku pesan taksi daring saja. Nanti kamu juga setelah latihan tuh nggak usah kebanyakan ngobrol-ngobrol dan nongkrong berlama-lama di sini. Kan besok juga masih ketemu sama Bram. Kamu kelar latihan langsung pulang, mandi. Habis itu jemput aku. Biar kita masih sempat makan sebentar di mal setelah beli tiket.” “Iya deh. Mau aku antar sebentar ke gerbang kampus?” Rheinatta menggeleng. “Aku pulang sekarang ya.” Gue mengacak-acak rambutnya. “Hati-hati di jalan.” Rheinatta melambai-lambaikan tangannya ke Bramantyo yang sedang bersiap untuk memanjat wall climbing. “Hei! Mau kemana!” teriak Bramantyo. “Pulang.” “Hei! Mana boleh latihan setengah-setengah,” olok Bramantyo. “Kata Pacar gue boleh,” sahut Rheinatta lalu menatap mesra ke gue. “Iya, elo jangan macem-macam Bram,” kata gue. Bramantyo terkekeh. “Aku pesankan taksi pakai akun aku saja Bee. Biar aku tahu nomor polisi itu taksi dan aku bisa lacak kalau kamu sudah sampai rumah. Jadi lega akunya.” “Terserah.” Gue langsung mengambil tindakan, memesankan taksi buat Rheinatta sambil mencantumkan nomor telepon Rheinatta untuk dihubungi oleh Sang Pengemudi. “Nih. Dua menit lagi dia sampai. Kelihatannya dia memang ada di seputaran kampus,” kata gue sambil mengirimkan screen shot ke Rheinatta. “Ya sudah aku langsung balik.” “Daagh. Hati-hati di jalan ya, Bee.” “Daagh..” Gue meneruskan latihan hari ini. Meskipun Kendra datang terlambat ke tempat latihan, sepertinya diasempat mendengar sedikit pesan dari Rheinatta supaya gue secepatnya pulang seusai latihan. Entah apa yang ada di pikiran Kendra, mungkin dia menyangka gue langsung pulang pas gue meninggalkan base camp Edelweiss. Lebih-lebih, Para Junior juga sudah berpamitan buat pulang. Yang tertinggal di sana cuma Bramantyo dan Kendra. Dan bisa jadi Bramantyo juga mempunyai pemikiran serupa. Padahal gue cuma pergi ke toilet. Dan sewaktu gue balik dari toilet, gue mendengar percakapan Bramantyo sama Kendra di dalam ruangan kecil itu. “Masa sih, sampai sekarang elo belum ‘nembak’ Sylvanie? Kirain sudah..” Itu suara Bramantyo. Gue menghentikan langkah gue. Takut mereka terganggu. Masalahnya bukan apa, ini seperti sesi Boys Talk antara Kendra sama Bramantyo. “Memang belum.” “Why? Bukannya…, sorry, sudah berbulan-bulan kan…?” Ada helaan napas dari Kendra. Macam Orang mau melepaskan beban saja. “Kenapa? Dia belum kasih tanda yang jelas juga?” “Mulanya iya. Bikin gue ragu. Tapi semakin kemari, gue makin yakin, dia juga menunggu gue nembak dia kok.” “Nah, eksekusi dong.” Di Bramantyo ini! Seolah dirinya juga begitu. Lha dia sendiri apa kabarnya tuh, soal usahanya mengejar Kalista? Tenggelam begitu saja, karena nggak diresehin lagi sama Cewek gue tersayang? Widih! Sekarang dia bisa-bisanya ngobrol seakrab ini sama Kendra! “Ya nggak segampang itu juga kali.” “Hei, ada apa Bro? Ada yang bisa gue bantu?” Suara Bramantyo begitu penuh kesungguhan. Gue jadi ingat lagi sama momen setelah kami menyaksikan Art Hours. Bramantyo dari awal memang sudah kasih jalan mulus buat Kendra mendekati Sylvanie kok. “Bisa banget. Begini lho, Sylvanie itu kan penggemar k-drama. Dia pasti kepengen momen ditembaknya itu yang romantis. Dan romantisnya itu nggak bisa cuman mengandalkan kata-kata. Soal merangkai kata mah kalah gue. Dia Anak Sastra gitu lho. Yang jelas, nggak bisa dilakukan secara serampangan.” “Terus maunya elo mau tembak dia pakai cara apa?” “Begini Bram, gue kepengen bikin kejutan buat dia. Dan gue butuh bantuan elo.” “Konsepnya bagaimana?” Diam sesaat. Kendra berkata dengan sangat lirih, menyaingi gaya Cewek ketika bergosip tentang Mahasiswa pindahan yang berbadan atletis. Sudah jelas gue nggak bisa mendengar detailnya. “Gue bisa bantu.” “Thanks sebelumnya. Tapi sebenarnya tadinya gue mau minta bantuan elo dan Kelvin.” “Terus kenapa akhirnya cuma gue?” Terdengar embusan napas berat. Pasti Kendra yang melakukannya. “Kenapa, Ndra? Sungkan sama dia? Ya elah, dia Teman kita juga.” “Bukan begitu. Akhirnya gue memutuskan untuk skip Kelvin. Tahu kan dia sama Ceweknya itu sudah seperti satu otak. Nggak terpisahkan. Nah, gue itu jadi nggak yakin, apakah diabisa menyimpan rahasia ini ke Ceweknya yang super ramai itu. Yang suka celetak-celetuk nggak jelas. Dan kalau Rheinatta sampai tahu, yang terkejut itu bukan Sylvanie, yang ada malah gue deh yang terkaget-kaget, karena kejutannya jadi gagal total.” Bramantyo berdecak. “Jangan terlalu sentimen sama Rheina, apalagi sama Kelvin. Mereka Teman-teman kita juga. Tapi gue hargai kok, kemauan elo.” Hening sesaat. Lalu akhirnya terdengar suara Kendra, “Dan elo boleh tolong gue, kan? Nggak usah bilang soal ini ke Kelvin? Kan akhirnya juga gue nggak minta tolong dia.” “Oke.” Sejujurnya, gue terusik. Ada sedikit ketersinggungan. Ya meskipun benar kata Bramantyo bahwa itu adalah haknya kendra untuk menyiapkan momen spesial buat Sylvanie, tapi apa perlu dia ngomongin gue dan Rheinatta di belakang gue? Gue kuran gsuka dengan sikap macam ini. Dan gue baru mau beranjak sewaktu gue mendengar ada langkah kaki dari dalam ruangan kecil itu. Gue belum sempat menjauh dari sana. Ternyata Kendra yang keluar dari sana. Dia kaget bukan main melihat gue. Mukanya terlihat agak memucat. “Vin. Elo…?” tanyanya ragu. “Apa?”  “Elo sudah lama di sini?” * $ $ Lucy Liestiyo  $$
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN