Teman Curhat? (2)

2402 Kata
POV Rheinatta Sylvanie diam sesaat. “Waduh, jadi dalam nih, omongannya. Kamu nggak keberatan mendengar ini?” tanya Sylvanie. “Sama sekali enggak. Aku malah bakalan marah kalau kamu buat penasaran begini.” Sylvanie diam lagi. Aku rasa, saat ini dia sedang meminggirkan sisa-sisa keraguannya, sekaligus mengumpulkan dan merangkai rasa percaya ke aku. Terserah saja deh. Aku nggak ada niat untuk membujuk dirinya, apalagi memaksa dia untuk percaya ke aku. Rasa percaya itu harus muncul dari hati, bukan diberikan. Sylvanie meneguk habis minumannya, bukan lagi memakai sedotan. Seolah dia akan mengantarkan sebuah permasalahan pelik saja. Ah, untung saja aku sedang agak kekurangan energi biarpun sudah ‘doping’ sama porsi kedua makanan yang aku pesan, jadi aku nggak terlalu tergoda untuk menginterupsi dia. Aku menahan diri, menanti Sylvanie bicara padahal ini bukan perkara mudah buat aku. “Jadi begini, Rhein…, aku pikir…” Good. Akhirnya dia membuka mulut. Biarpun lagi-lagi baru prolog. Aduh, dasar Anak Sastra. Nggak ada matinya deh! Mau curhat saja pakai prolog segala. Tadi itu sudah didului sama synopsis, pula! Sabar, Rheina. Sabar. Ini judulnya kamu itu dapat Teman baru. Sudah begitu, sepertinya kamu juga bisa akrab sama dia nih ke depannya. Bakalan asyik kan? Apalagi kalau dia juga bisa ditarik untuk bergabung sebagai Anggota Klub Edelweiss. Wah! Bisa sering-sering lho, double date tuh kalian berempat. Memang, bukan sama Pacarnya Bram. Bram masih betah jadi Jomblo. Biar deh, Bram-nya jadi Tukang tepuk nyamuk kalau kamu, Kelvin, Kendra dan Sylvanie sedang kencan ganda. Nah kan, dengan akrab sama Sylvanie, siapa tahu sikap Kendra ke kamu juga semakin manis? Iya lah, mau macam-macam memangnya dia? Cowok kok, lama amat marahnya! Nggak bagus lho jadi Cowok jadi mengingat-ingt kesalahan Seseorang. ‘Hak’ itu cuma boleh diberikan kepada Cewek, kata Rheinatta dalam hati, menujukannya kepada dirinya sendiri. “Jadi maksudku…, eng…, sikapku sendiri yang sering berjarak dan suka membelokkan pembicaraan kalau menangkap gelagat bahwa Kendra sudah mau mengungkapkan perasaan dia, aku rasa itu yang membuat dia menahan diri dan belum punya peluang mengatakannya sampai sekarang.” “What? What? What? Syl! Kamu jangan macam-macam sama Anak Edelweiiss, ya! Aku nggak terima lho, kalau ada yang mempermainkan perasaan Anak Edelweiss. Bagaimana pun menyebalkannya Kendra kadang-kadang, tetap saja dia itu satu klub sama aku,” ancamku. Sylvanie terkaget dengan reaksiku. Dia sampai refleks memundurkan badannya. Aku sadar akan hal itu. Kukibaskan tanganku. “Sorry kalau aku berlebihan. Tapi ya terus terang saja, itu sikap pribadiku. Dan kalau soal tadi aku sebut Kendra menyebalkan, eng…, sebenarnya nggak semenyebalkan itu sih. Di antara Teman-teman yang lain, kelihatannya cuma dia yang secara frontal menyebutkan nggak suka dan terganggu sama celetukanku. Kalau yang lainnya kan enggak. He he he. Jangan salah terima,” kataku cepat untuk menghindari salah persepsi dari Sylvanie. Sylvanie manggut. “Aku mengerti. Aku malah semakin salut sama kalian. Rasa setia kawan-nya tinggi. Dan aku mau minta maaf malahan, kalau kamu nggak nyaman dengan sikap Kendra.” Aku tertawa. “Halah. Santai saja. Itu asyiknya di Edelweiss. Bisa ngomong secara blak-blakan. Nggak perlu ngomong di belakang.” Tuh kan! Aku jadi salah fokus sama omongan Sylvanie. Ngapain juga dia mewakili Kendra segala? Katanya belum jadian? “Rhein…, aku sama sekali nggak ada niat buat mempermainkan Kendra atau Siapa pun. Sejujurnya, Kendra itu Orangnya menyenangkan.” “Terus?” “Eng…, aku hanya masih perlu sedikit waktu lagi buat mengenyahkan sisa-sisa kepahitanku, dan aku perlu meyakinkan diri aku sendiri bahwa aku benar-benar mau menjalin hubungan sama Kendra, bukannya menjadikan dia pelarian. Aku..,” tatapan Sylvanie menerawang. Aku memasang wajah menyimak. Sylvanie paham bahwa aku menanti kelanjutan ceritanya. “Rhein, eng…, mungkin kamu pernah tahu, dulu aku itu kan… eng…, suka sama.. Andhika,” kata Sylvanie terbata-bata. Setengah mati aku berusaha untuk menahan diri, mencegah agar mulutku tak mengucapkan apa-apa. Buat Orang lain pasti hal sederhana. Tapi buat aku, perlu perjuangan ekstra. Tapi ketenangan Sylvanie itu cukup membantuku mewujudkannya. Jadilah aku benar-benar menempatkan diri untuk lebih banyak mendengar dari dia. “Sedikit sih,” ucapku. Tentu saja bohong. Tapi jenis ‘hong tih’ alias bohong putih. Biar dia juga nyaman kan buat bercerita ke aku. “Menurutku, mengawali sebuah hubungan itu meskipun namanya baru pacaran, ya harus dengan niat yang baik lah. Kan nggak adil buat Kendra kalau aku belum sepenuhnya melupakan Si Andhika.” Mulutku sudah gatal dan ingin mengatakan, “Gimana? Gimana? Maksudnya sampai sekarang kamu diam-diam masih mengharapkan Si Andhika?” Bagusnya, Sylvanie sudah telanjur menjawab sebelum hal itu terucap. “Bukan berarti aku masih mengharapkan dia. Eng, aku sudah mencoba melupakan hal itu, tepat di hari Art Hours.” Nah, kan? Di sini juga aku hampit keceletukan begini, “Hm. Aku tahu, pasti karena di sana kamu berkenalan sama Kendra. Iya apa iya?” Dan aku salah total. “Soalnya ada kejadian yang nggak mengenakan, dan harus aku saksikan dengan mataku sendiri. Rasanya nggak enak banget pas ngalamin hal itu. Tapi semakin kemari, aku semakin sadar, seharusnya aku bersyukur. Kalau nggak melihat secara langsung begitu, huh, mungkin mataku ini nggak akan terbuka. Aku itu masih saja berharap. Berharap yang nggak pasti. Bodoh banget,” kata Sylvanie. “Hah? Ada kejadian apa?” tanyaku tak sabar. Sylvanie tertawa pahit. “Waktu itu kan Just For Fun tampil beberapa kali. Nah, sewaktu ada jeda, aku itu ke belakang panggung buat menemui Andhika. Teman-teman yang satu band sama dia kelihatannya memang sudah terbiasa, jadi mereka hanya senyum-senyum dan bilang Andhika sedang istirahat di sebuah ruangan kelas. Mereka memang sebetulnya enggak sedang berdekatan sama Andhika sih. Mereka sedang ngobrol di luar kelas. Seperti sengaja mau kasih kesempatan supaya Andhika bisa ngobrol sama aku.” “Terus?” “Di situ aku ketemu sama Manager mereka. Manager-nya ini seperti mencegah aku buat terus mendekat ke kelas di mana Andhika sedang istirahat. Ya dengan sopan, aku bilang bahwa aku nggak akan lama. Aku bilang nggak akan ganggu Andhika, malahan sudah berniat menitipkan kotak makanan yang aku bawakan buat dia.” “Manager-nya reseh, ya?” Sylvanie menggeleng. “Sebaliknya.” “Maksudnya?” “Manager Just For Fun itu kayak berusaha menutupi pandangan mata aku waktu aku rada mengintip ke dalam kelas dengan badannya. Ya Manager mereka juga sudah pernah melihat aku sebelumnya kok. Jadi dia seperti mau jaga perasaan aku.” Aku sudah menahan kesabaran dari tadi deh. Ini ceritanya lama sekali. Langsung ke intinya kenapa, Syl! Jeritku dalam hati. “Kenapa sih Syl? Kamu lihat apa?” kejarku. Sylvanie menelan ludah. Aku masih bisa merasakan sisa-sisa kepahitan itu, walau sedikit saja. Rasa pahit yang aku nggak tahu apa pasalnya. Sekarang yang aku lihat adalah ketegaran. Yang aku juga nggak tahu ketegaran atas apa. Penasaran kan, kalau jadi aku? Dasar aku mujur, Sylvanie menjawab rasa penasaran aku. “Yang aku lihat di dalam kelas itu, Andhika lagi makan, disuapin sama Seorang Cewek yang rambutnya di-highlight. Tinggi semampai, dan cakep. Tepatnya bukan disuapin. Mereka berdua sudah nggak ada bedanya sama Pengantin di pelaminan, suap-suapan. Nggak perlu aku tahu mereka mempercakapkan apa, tapi bahasa tubuh mereka saja sudah mengisyaratkan bahwa mereka berdua sedang melepas kerinduan. Jujur, belum pernah aku melihat wajah Andhika yang secerah itu. Dan Si Cewek yang bareng sama dia juga hapus keringat dia, sementara Andhika ngelus-elus kepala itu Cewek.” Sontak, aku menutup mulutku. Tapi hanya sebentar. Karena mulut ini sudah iseng mengucapkan, “Jangan-jangan salah Satu Penggemar Andhika. Bukannya Andhika itu punya banyak Penggemar? Dan mungkin…, di posisi dia kadang susah buat menolak perlakuan mesra dan perhatian Para Penggemar.” “Penggemar? Faktanya, aku ini juga nggak lebih dari Salah Satu Penggemar band itu, terutama Andhika. Lucu, ya?” Sylvanie melemparkan kalimat retorik. Dan aku refleks menggenggam tangan Sylvanie, hendak mengalirkan dukungan. “Nyebelin Si Andhika,” desisku. “Buat aku dia lebih dari menyebalkan.” “Paham.” Sylvanie melanjutkan. “Tanpa aku minta, waktu itu Manager Just For Fun yang mungkin saja melihat ekspresi wajah aku berubah, bilang bahwa yang sedang bersama Andhika itu sebetulnya Pacar dia.” “Apa? Gila! Jadi selama ini dia punya Pacar?” Suaraku meninggi, memuat emosi yang besar. Sylvanie mengangguk. “Di situ yang aku anggap dia jahat. Jadi rupanya, dia sama Cewek itu sudah lama pacaran. Dari SMA malahan. Gila, kan? Tepatnya pacaran jarak jauh. Ceweknya itu kuliah di Manado. Terus menurut Si Manager, mereka berselisih paham karena sesuatu hal. Ya, semacam break begitu. Nggak tahu deh, gimana ceritanya, Ceweknya itu cari informasi dari Si Manager tentang jadwal Andhika dan dia khusus datang ke kampus hari itu. Mau kasih kejutan. Ending-nya sudah ketebak, kan? Mereka balikan, pasti.” Aku berdecak. “Kurang ajar Si Andhika.” Sylvanie mengembuskan napas. Tapi aku merasa itu adalah embusan napas lega. “Waktu itu perasaan aku campur aduk. Marah, kecewa, kesal. Bukannya apa, Rhein. Aku tahu, banyak Penggemar Andhika yang mencoba mencari perhatian dia. Masalahnya, ke mereka dia itu terkesan jelas menjaga jarak. Beda kalau ke aku. Dia itu nggak pernah menolak pemberian aku. Ya perhatian, ya kalau aku kasih-kasih makanan. Dia juga suka antar aku pulang. Malahan beberapa kali makan bareng. Dan terus terang, aku itu pernah nonton film di bioskop sama dia. Rasanya aku nggak salah-salah banget kalau berharap dong? Tapi ya kenyataannya, entah dia anggap aku apa. Ya buktinya setelah aku menjauh dan sama sekali nggak mau berkomunikasi sama dia, dia juga nggak merasa ada yang berubah. Santai saja. Sampai sekarang juga nggak ada kontak sama sekali.” Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas. “Keterlaluan!” Sylvanie tertawa. “Maka dari itu. Tadinya aku pikir mau memaafkan sikap dia yang nggak jelas. Tapi karena dia sendiri juga kesannya nggak merasa bersalah, ya aku pilih untuk memaafkan kebodohan dan sikap naifku saja. Ehm…, hampir berhasil. Aku mau melupakan apa yang pernah terjadi.” “Keren, Syl. Itu keren sekali.” Sylvanie tersenyum tipis dan berkata, “Rhein, tertima kasih banyak lho mau mendengarkan cerita aku. Rasanya lega setelah bercerita. Selama ini aku pendam sendiri. Dan rasanya aku sudah bercerita ke Orang yang tepat.” Aku balas tersenyum. “Aku yang harus berterima kasih dong ke kamu. Aku merasa dipercaya jadinya.” “You deserve it. Kamu itu Orangnya baik. Dan penuh perhatian. Kalau kata Kendra, itu yang membuat Kelvin selalu cinta sama kamu.” Aku tersipu. “Itu Para Cowok tanpa setahu kita suka ngomongin Cewek mereka. Astaga! Dan aku nggak menyangka, Kendra menyampaikan itu ke kamu.” Sylvanie menggoyang-goyangkan tangannya. “Sebentar, sebentar. Jangan salah sangka. Kendra bukan bergosip ya, sama aku. Ceritanya begini, ingat kan waktu terakhir kita ketemu di kantin atau di mana tuh, yang sepertinya ada sedikit kles antara kamu sama Kendra? Nah, aku sempat bilang ke Kendra, jangan terlalu frontal dong, kalau menunjukkan nggak suka. Aku nggak enak hati. Nah di situ dia jelasin ke aku, bahwa dia cuma rada terganggu sama maaf…, celetak-celetuk kamu saat itu. Tapi dia bukan yang dendam begitu. Dia bilang cuma agak sebal sesat dan paling sebentaran juga sudah mereda sebalnya. Nah, setelah itu dia bilang kalau kamu itu Orangnya baik, ya itu yang dia bilang sampai Kelvin kepincut.” “Wow! Nggak nyangka Kendra bisa begitu.” “Bukan peres lho ya.” Aku mengangguk. “Setelah dengar cerita aku tadi, kamu merasa aku begitu menyedihkan nggak sih? Mengejar dan berharap cinta dari Cowok, di-pehape sekian lama, dikibulin, eeeh…, sampai harus dicolok matanya sama kenyataan.” “Enggak juga.” “Beneran, Rhein?” “Iya. Aku salut kok, kamu bisa bersikap baik. Dan bisa menceritakan dengan tegar. Kalau aku yang jadi kamu, mungkin sudah aku samperin sewaktu di kelas dan langsung tanya ke dia, apa maksud dia ke aku, apa maksud dia mempermainkan perasaan aku?” Sylvanie terbahak. “Semoga kamu segera siap ya, untuk menyambut cintanya Kendra.” “Ya. Terima kasih. Tapi aku jadi tergelitik kalau ingat bagaimana pertama kali kenalan sama Kendra. Itu pas aku lagi jelek-jeleknya pasti. Orang aku lagi galau berat, kan? Habis melihat itu Si Andhika sama Ceweknya, terus jalan nggak lihat-lihat dan tabrakan sama Kendra.” Aku memasang tampang serius. “Kalau menurutku, jangan-jangan itu kode alam.” “Kode alam?” “Iya. Kadang kita susah kan untuk memahami? Tapi coba pikir, kenapa waktunya bersamaan? Di hari yang sama? Nah, mungkin kamu mau dikasih tahu sama semesta, ini lho, Cowok yang baik sama kamu. Ini lho, cinta yang semestinya kamu balas.” Sylvanie mesem kecil. “Mungkin. Tapi kalau aku pikir-pikir, omonganmu itu lebih condong seperti omongan Anak Sastra ketimbang Anak Ekonomi.” “Ah? Masa?” “Fakta.” Selanjutnya kami berdua mengobrolkan hal-hal lain dengan akrab. Mendadak aku terlupa dengan kekesalanku pada Tante Garnetta. “Nanti kalau sudah sepenuhnya siap, semoga perjalanan cintanya lancar ya.” “Seperti kamu dan Kelvin, amin.” “Kamu bisa saja. Wah, Kendra harus terus didukung nih, supaya nggak kendor, perjuangannya. Kamu juga kasih tanda yang jelas dong ke dia. Dan jangan lupa traktir setelah resmi jadian.” “Pasti. Tenang saja.” “Syl, mau dong, gabung sama Klub Edelweiss?” Sylvanie tertegun. Aku buru-buru menarik perkataanku. “Kalau gabung sebagai Anggota, rasanya belum berani untuk komitmen. Kan aku juga dengar, Anggota Cewek banyak yang keluar dari klub saat putus hubungan sama Pacarnya. Tapi ya bukan itu saja. Aku sudah lumayan sibuk sama buletin kampus dan kegiatanku yang lain. Tahu sendiri sekarang Kalista mengurangi keterlibatannya. Tapi kalau hanya mengikuti kegiatannya dan mungkin sesekali ikut latihan, mungkin aku bisa coba.” Aku langsung berdiri dan memeluknya. Sylvanie terkaget-kaget tapi segera membalas pelukanku. “Itu sudah cukup,” kataku. Aduh, senangnya dapat Teman akrab baru! Sayangnya, rasa senangku terusik oleh dering telepon genggamku. Satu kali. Dua kali. “Angkat saja dulu, mana tahu penting,” saran Sylvanie. Aku sudah berpikir negatif. Aku yakin, Si Tante Garnetta pasti sudah tiba di rumah, gagal berakrab ria denganku lalu menghubungiku. Ya, dering telepon yang pertama pasti dari dia. Lalu pasti dia mengadu ke Papa. Dan Papa meneleponku, menegurku yang belum juga pulang. Aku yakin berat, pasti panggian telepon yang kedua adalah dari Papa. “Biar saja. Ganggu momen asyik Girls Talk saja,” kataku ringan. “Lihat dulu. Mana tahu penting,” ujar Sylvanie. Aku mengangkat bahu. Namun kutengok juga layar telepon genggamku. Aku menggulir layar dengan jariku. Nah! Aku memang berbakat jadi Cenayang, kan? Tuh, panggilan tak terjawab yang pertama berasal dari Tante Garnetta! Pasti deh, tebakan yang kedua juga pas! Tapi karena sudah telanjur menggulirkan jari, ya sudah aku lihat juga. Dan seketika aku terkejut. Aku nggak menyangka, bukan Papa yang menghubungiku. Hampir aku tak percaya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN