Siapa Yang Main Hati? (3)

1836 Kata
Gue buru-buru menggeleng. “Baru banget,” dusta gue. Kendra nggak langsung percaya kelihatannya. Tampangnya kelihatan rada mikir begitu. Bramantyo muncul di belakang Kendra kemudian. “Hei, Vin. Gue pikir elo sudah pulang. Rheinatta sudah kepengen banget quality time bareng elo begitu,” kata Bramantyo. Mendadak sebuah ide terbersit di pikiran gue. Gue kepengen membebaskan Kendra dari prasangka. Gue yakin sekarang dia sedang menebak-nebak apa gue sempat mendengar percakapan dia sama Bramantyo. Gue ketawa seolah nggak mendengar apa-apa. “Itu dia. Tadi gue sudah jalan ke tempat parkir, setelah dari toilet. Terus nih ya, mendadak gue ingat, besok kan kita mau ke Puncak.” “Iya. Mau ubah jam berangkatnya?” tanya Bramantyo. Gue menggeleng. “Nggak.” Gue menunjuk Kendra. “Ajak dia sekalian. Gue tanggung bakal ketagihan seperti elo, Bram.” Gue berkata seperti nggak ada beban. Dan Kendra, seperti terbebas dari perasaan bersalah. Dia membalas gue dengan bersemangat waktu balik tanya ke gue, “Paralayang? Sepertinya menarik.” Bramantyo dan gue sontak berseru kompak, “Nah!” Agak lucu reaksi dia sekarang. Padahal pas jeda latihan tadi dan melihat foto-foto Bramantyo, dia nggak terlalu niat. Gue nggak menyia-nyiakan kesempatan. “Ayo deh jangan banyak pikir. Mumpung elo belum dilarang-larang sama Sylvanie kan?” Bramantyo yang tertawa mendengar kalimat gue. “Maklum, Ken, kalau dia sesekali sudah dilarang sama Rheina. Dilarangnya gue rasa bukan karena Rheina takut bahaya. Sebaliknya, dia yang reseh, nggak mau ajak Rheina dengan alasan terlalu beresiko.” “Dasar.” Kendra mencibir. “Berani nggak, terima tantangan?” tanya gue. “Ayo. Siapa takut? Mau berangkat jam berapa besok? Ya dari pada besok juga paling-paling latihan manjat lagi, kan?” Dalam hati gue membatin, “Jadi elo benar-benar sedang menghibur diri dan mencoba meyakinkan diri elo bahwa gue nggak mendengar ucapan elo tadi? Atau apa? Terserah deh. Tapi semoga lain kali elo bisa lebih fair. Gue nggak suka Orang ngomong di belakang gue, apalagi itu menyangkut Cewek gue.” “Perlu minta ijin sama Sylvanie nggak?” tanya gue iseng. Sepertinya gue mulai ketularan Rheinatta. “Ngaco. Belum jadian, gitu,” celetuk Kendra. Gue berlagak kaget. “Serius?” Kendra mengangguk. Dan nggak tahu atas pertimbangan apa, mendadak Kendra mengungkapkan rencananya untuk menggagas momen penembakan yang spesial. Bisa jadi ini yang tadi dibisikkan ke Bramantyo. Soalnya gue melihat Bramantyo nggak berkomentar, selayaknya Orang yang mendengar ulagan berita. “Oooh…, perlu bantuan?” Mendadak gue ngomong asal saja. Dan mungkin dilatar belakangi rasa bersalah atau entah apa, Kendra balik tanya ke gue, “Elo mau bantu gue? Gue berterima kasih banget. Rencananya mau minggu depan sih. Soalnya di alagi sibuk banget cari bahan tulisan sampai hari Jumat nanti. Nah, gue pikir, Sabtu itu kan pas gue juga mau ngundang dia kemari setelah kita selesai latihan. Atau mungkin tempat lain? Mungkin elo ada ide, Vin. Cuma…” Sekarang tampangnya seperti Orang lagi mikir hal berat. “Cuma apa?” Biarpun dia sudah selancar ini bicara dan ‘berubah pikiran’ dari yang nggak mau melibatkan gue sama sekali jadi malah minta saran ke gue, gue masih kepengen memancing dia buat berkata jujur. Kalau perlu semua. Biar nggak dibiasakan nih, di Klub Pecinta Alam yang gue cintai ini ada saling ngomongin Ornag di belakang. Nggak bagus. Suka atau nggak suka, bilang terus terang akan lebih baik, sepahit apa juga gue telan. Kendra menatap sesaat ke Bramantyo, terus ganti menlihat ke gue. “Diomongin saja,” saran Bramantyo. Kendra mengangguk. “Begini Vin. Boleh nggak gue minta tolong, jangan kasih tahu Rheinatta soal ini. Sebentar, sebentar, jangan salah paham. Maksud gue, ya elo tahu kan, Cewek elo kadang suka kelepasan ngomong. Mungkin dia nggak ada maksud begitu. Cuma kalau rencana ini bocor sebelum waktunya kan nggak seru.” Gue diam. “Eh sorry, elo tersinggung ya?” Terusin, ngomongnya Ken. Nggak usah pakai diperhalus segala. Gue mau elo ngomong persis sama dengan yang tadi, kata hati gue. Lagi-lagi gue menggelengkan kepala dengan terpaksa. Apa boleh buat, itumemang kekurangan Rheinatta. Sebelum ini juga bukan satu dua kali kok, Kendra meminta tolong ke gue supaya gue sedikit ‘menertibkan’ mulut Rheinatta, khususnya kalau menyangkut usaha pendekatan Kendra ke Sylvanie. Terus buat apa kaget? “Oke. Rheinatta nggak akan tahu,” janji gue akhirnya. Dan gue melihat kendra menatap gue dengan tatapan mata penuh terima kasih. “Thanks, Vin. Gue sangat menghargai hal ini. Semoga ini nggak membuat elo dan Rheinatta jadi kles.” Gue mengangguk singkat. Hm. Secara nggak langsung, ini alasan Kendra berada di sini dengan gue dan Bramantyo sekarang. Bisa jadi sebetulnya dia nggak terlalu tertarik untuk mencoba paralayang. Dan pasti dia juga masih deg-degan karena baru akan mengeksekusi rencananya seminggu lagi. Tapi ya itu, bisa jadi keberadaannya ini ya buat bahasa pergaulan doang, selain buat mengucapkan terima kasih karena gue mau membantunya melancarkan aksi ‘penembakan’nya hari Sabtu nanti. Dan gue juga yang kasih ide lokasi sama skenario yang bagus, yang langsung disahuti sama Bramantyo, “Nah! Yang begitu tanya sama Pakar Cinta-nya.” … “Habis Shendy, elo, kan?” Sebuah tepukan mendarat di bahu gue. Gue menoleh. Bramantyo. “Iya.” Gue langsung maju dan mengambil posisi, di belakang Shendy. * “Gimana Ken, Bram? Pada enjoy nggak, tadi?” korek Sammy sewaktu kami menikmati jagung bakar. “Kalau yang ini nggak usah ditanya,” tambah Sammy sambil menunjuk ke gue. Bramantyo dan Kendra sama-sama terbahak. “Mantul. Mantap betul,” ucap Kendra. Bramantyo menimpali dengan mengacungkan jempol kanannya. “Dua minggu lagi mau kemari lagi?”tanya Sammy. Kali ini gue dan Bramantyo lihat-lihatan. “Eh kenapa?” tanya Sammy. “Belum tahu,” ucap gue cepat. “Oh ya Bram, ada salam dari Nicky,” ucap Shendy yang baru saja bergabung ke meja kami. Bramantyo tak merespons. Gue mati-matian berusaha supaya nggak ada perubahan ekspresi di wajah gue. Nicky? Nicky Ambarita? “Dari pertama kenal dia sudah naksir elo kelihatannya. Makanya dia agak kecewa waktu minggu depannya elo nggak kemari. Nah hari ini, dia nggak ikut, elo malah ada. Tadi pagi gue kabarin dia.” “Ooo..,” sahut Bramantyo. “Memang Kelvin nggak kasih tahu?” tanya Shendy. Bram hanya menggeleng singkat. Seperti nggak berminat. Gue rasa memang Nicky bukan type Cewek yang dia suka. Nggak ada mirip-miripnya dengan ‘deretan’ Cewek yang pernah dia gebet soalnya. Sedangkan sebaliknya, Nicky naksir Bramantyo? Rasanya memang nggak mustahil. Dan nggak aneh juga kalau Nicky itu nggak jaim. Nicky itu sebenarnya bukan Orang baru buat gue. Bisa dibilang, gue sama dia sudah pernah kenal sewaktu masih usia remaja. Kita masih termasuk Tetangga jauh. Umur dia dua tahun di atas gue, tapi wajahnya itu imut banget. Dia juga suka main sama Anak-anak yang umurnya di bawah dia. Mana gue nggak kaget sewaktu beberapa bulan lalu, mendadak ketemu dia di Jakarta? Dan dia sama kagetnya dengan gue. Kaget yang bercampur excited. Kami berdua bertemu secara nggak sengaja di pelataran parkir plaza ‘Kawula Muda’, sekitar beberapa hari sebelum pertunjukkan Art Hours. Jadi waktu itu, gue sama dia berebut tempat parkir yang memang terbatas. Pas ada Orang yang mau keluar dari tempat parkir, gue langsung sigap mau mengincar kavling itu, tapi mobil di belakang gue mendahului. Hampir saja mobil gue tersenggol sama dia. Gue yang nggak mau kalah, mempercepat laju mobil. Dan karena gue agak serampangan, gue mendengar dia mengklakson keras sekali. “Hei! Hati-hati!” seru gue waktu itu. Gue sudah membayangkan, Pengemudi mobil pastinya Cowok berandalan. Rasanya gue sudah siap-siap buat berantem. Apalagi dia juga akhirnya memenangkan ‘pertarungan memperebutkan kavling parkir’ itu. Huh! Bikin gue harus siap-siap mencari tempat parkir lainnya. Tapi sewaktu gue melihat pintu mobil terbuka, gue terkaget-kaget mendapati Pengemudinya adalah Seorang Cewek. Tepat pada saat itu, mobil di sebelahnya juga keluar dari tempat parkir. Kebetulan banget, kan? Gue parkir bersebelahan sama Orang yang ‘merebut’ hak gue! Dan Orang itu nggak asing ternyata! ... “Nicky?” Itu yang gue ucapkan sewaktu gue akhirnya bisa parkir dengan sempurna dan Si Cewek Pengemudi itu sedang begitu rajinnya memastikan semua pintu mobilnya dalam keadaan terkunci bahkan setelah dia menguncinya dengan kunci remote. Barangkali memang dia pernah mengalami pencurian sebelumnya, makanya sehati-hati itu. Dia menoleh. Gue segera turun dari mobil dan mengunci mobil gue. “Kelvin?” Dia berseru dalam kaget. “Sorry, sorry, tadi tuh aku terburu-buru banget. Tahu sendiri kan, parkir di sini harus perjuangan ekstra,” ucapnya. “Nggak apa. Apa kabar? Kamu ngapain di sini? Kamu... ada di Jakarta juga?” tanya gue. “Sambil jalan, ya Vin. Nggak apa kan? Aku cuma punya waktu sekitar lima belas menit lagi nih soalnya. Iya, aku kerja di sini.” Dia menunjuk pintu masuk plaza, seolah yakin gue bakalan punya keperluan sama plaza ini. Padahal gue kan perlunya sama gedung di samping plaza ini. Ada tempat ngopi yang asyik, yang ditunjuk sama Mas Anton, ‘Mantan Manager’ gue dulu, sebagai tempat ketemu. Kata Mas Anton, mumpung dia ada di Jakarta dan mendapatkan bisa mendapatkan nomor telepon genggam gue. Gue yang masih agak gentar dengan niat Mas Anton buat ketemu gue, jadi mendapat jalan untuk memperlambat pertemuan. Ya meski Mas Anton jelas-jelas bilang cuma mau ngobrol-ngobrol santai. Pas dia telepon ngajak janjian di sini juga sudah mengisyaratkan nggak akan mengorek-ngorek kisah masa lalu. Makanya gue setuju kan, buat ketemu dia. “Kamu kerja di sini?” tanya gue macam Orang b**o, mengulang kata-kata Nicky. “Iya. Belum lama sih. Masih magang. Gue jadi penyiar radio. Pernah dengar radio ‘Youth Soul’ nggak? Nah, itu. Tempat kerja gue di lantai paling atas.” Gue terpelongo. Siapa yang nggak tahu radio satu itu? Ketinggalan jaman banget! Kelahiran tahun berapa sampai nggak tahu? “Wah, keren!” “Enggak juga. Eh, sekali lagi aku minta maaf. Eng, kita tukaran nomor telepon yuk. Aku harus segera masuk soalnya,” kata Nicky. Alangkah nggak konsisten-nya diri gue. Gue langsung kasih nomor telepon genggam gue. Sementara dia kasih gue kartu nama dia. Padahal semestinya gue ini sadar, kalau ke depannya gue akan rutin berkomunikasi sama dia, tentu akan ‘menghubungkan’ gue kembali dengan jembatan yang sudah sengaja gue berangus, ya, masa pahit itu. Makanya gue bela-belain pindah sekolah segala kan, setelah satu tahun ‘hidup gue nggak jelas’? Untungnya chit-chat kami begitu saja. Nggak ada obrolan lebih lanjut setelahnya. Juga nggak ada saling mengontak secara sengaja. Kelihatannya dia memang sibuk sama pekerjaannya. Gue sendiri juga setelah ketemu Mas Anton, seperti seperti kepengen menghapus semua jejak kenangan tentang ‘kota di mana gue dulu sekolah’, yang tentunya ada Nicky di sana. Apalagi, dalam obrolan singkat kami, Mas Anton sepertinya masih berharap gue sudah bisa berdamai dengan masa lalu. Gue tahu arahnya. Dia pasti kepengen gue bekerja sama lagi sama dia, sebagaimana dulu. Ah! Jalan itu sudah begitu jauh di belakang gue. Gue bahkan sudah menukarnya dengan yang lain! Buktinya gue juga ‘sukses’ melewati waktu pertunjukan Art Hours tanpa harus ‘jadi gila’ atau menguak luka lama di sana. Gue sukses menyembunyikan semua dari Rheinatta. Ya, dia memang sebaiknya nggak usah tahu. Atau, hanya belum waktunya tahu? Entahlah! * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN