Di antara Bramantyo dan Nicky (3)

1751 Kata
POV Kelvin Gue membuka pintu kamar gue dengan posisi handuk yang tersampir di pundak gue. Sudah mirip sama Tukang becak. Untung tadi gue sudah sempat cuci muka dan berkumur, biarpun belum sikat gigi. “Siapa, Ar?” tanya gue yang cuma membuka sedikit pintu kamar gue. “Nggak tahu, Mas. Saya baru mau tanya namanya Siapa, tapi nggak tega, soalnya Mbak-nya itu mukanya kelihatan sedih sekali. Makanya saya buru-buru kasih tahu Mas Kelvin.” Perasaan gue langsung nggak enak. Rheinatta sangat mungkin kemari. Nah dia kan tahu tempat kost gue ini. Tapi kenapa dia sedih? Ya ampun, kenapa Cewek tersayang itu? Tanpa pikir panjang, gue langsung keluar dari kamar dan menutup daun pintu kamar gue. Gue nggak peduli lagi kalau gue ini belum mandi, belum gosok gigi. Halah, Rheinatta kan sudah kenal gue lama. Nggak perlu sok jaga image banget deh. “Eh, Mas...” ucapan Sang Asisten Rumah Tangga menghalangi gerakan gue untuk berjalan. “Apa, Ar?” tanya gue. Dia menatap gue dengan pandangan menyelidik. “Apa sih, kamu?” gue yang terganggu langsung menegur dia. Memang sih, dia ini Asisten Rumah Tangga yang paling lama bekerja di Induk Semangnya ini, yang notabene tahu Keluarga gue. Tapi nggak berarti dia boleh nggak sopan begini ke gue dong. “Bukan Cewek yang mau meminta pertanggung jawaban Mas Kelvin, kan? Soalnya datanganya pagi-pagi begini. Mungkin buat memastikan bahwa Mas Kelvin masih di tempat kost.” Kurang ajar. Kalau saja yang menggaji dia adalah Orang tua gue, sudah pasti gue minta untuk diganti Orang lain saja. “Kamu jangan kurang ajar ya Ar! Jaga sikap dan omongan kamu! Kamu pikir saya ngapain Anak Gadis Orang?” Wajahnya sedikit memucat. “Ya maaf. Semoga Mas Kelvin bukan Orang yang begitu ya.” Gue mendelik sesaat sebelum meninggalkan Si Asisten Rumah Tangga yang kurang didikan ini. Dia berdiri mematung di depan pintu kamar gue. Masa bodoh! Gue berjalan tergesa menuju ruang tamu. Dan langkah gue berhenti, sewaktu melihat Siapa yang duduk di sofa. Wajahnya tertunduk. Tanpa gue harus bertanya, gue bisa menebak, pasti dia ini datang untuk sesuatu hal yang penting. Sesuatu hal yang membuatnya tak bisa menunda untuk menyampaikan ke gue. “Nicky..” Dia mengangkat wajahnya. Ya ampun! Si Cewek imut ini! Cewek yang menurut gue berpembawaan ceria. Cewek yang baru kemarin juga pergi bareng gue dan Kawan-kawan. Dan Cewek yang cukup mendukung gue saat gue terpuruk. Apa yang terjadi sama dia? “Vin..” Gue melihat mata dia sudah berkaca-kaca. Ini menggerakkan gue untuk duduk tepat di sebelah dia. Gue bahkan sudah lupa ada handuk yang tersampir di pundak gue. “Maaf ya, aku datang pagi-pagi sekali. Aku hanya...,” katanya tersendat. “Kamu kenapa? Semuanya baik-baik saja, kan?” tanya gue. Mendadak terlintas sebuah pemikiran buruk di benak gue. Jangan-jangan..., Nicky datang kemari untuk mengabarkan tentang Kezia! Ya, bisa jadi Mama gue kontak dia dan menyampaikan ada yang menimpa Kezia tapi nggak mau ngomong ke gue. Dan Nicky yang merasa lumayan dekat dengan Keluarga gue, tergerak untuk menyampaikan langsung ke gue, pikir gue kalut. Mendadak gue merasa gentar. Gue takut mendengar sesuatu yang buruk. Gue mencari akal untuk mengulur waktu. “Nick..., mau gue ambilkan minum dulu? Supaya kamu rada tenang dan bisa cerita,” kata gue. Nicky menggeleng, dan berkata, “Nggak usah, Vin. Aku sudah minum kok, tadi. Aku cuma..., cuma nggak tahu harus cerita ke Siapa. Aku ragu kalau aku harus cerita sama Shendy. Kayaknya juga nggak usah deh. Takutnya nanti dia berpikir salah tentang aku.” Gue nggak tahu harus menarik napas lega atau bagaimana. Tapi begitu mendengar Nicky menyebut naman Shendy, itu sungguh membuat gue yakin bahwa apa pun yang akan dia tuturkan, adalah berhubungan dengan Bramantyo. Jadi artinya, Kezia baik-baik saja. Keluarga gue baik-baik saja. Eh, tapi Bram itu juga Sohib gue...! Spontan, gue meraih tangan Nicky, dan menepuk-nepuk punggung tangan itu dengan tanganku yang lain. “Nick, kamu cerita saja.” “Vin, sebelumnya kau minta maaf, kamu pasti agak ribet pagi-pagi begini ya. Kamu..., dibangunkan sama Si Mbak tadi ya?” Aku menggeleng. “Aku memang sudah bangun dari tadi. Cuma ya harap maklum kalau kamu mencium aroma nggak sedap. Aku tadi baru mau mandi waktu Si Mbak ketuk kamar aku.” Gue senang. Ucapan ringan gue berhasil memancing senyum samar di bibir Nicky. Sayangnya, senyum samar itu umurnya pendek. Dia segera memudar. Wajah Nicky tampak semakin mendung saja. “Nggak apa kalau aku cerita soal Bram ke kamu?” tanyanya lirih. “Nggak apa. Au bakal dengarin kamu.” Pikiran gue sudah macam-macam pas Nicky ngomong pakai prolog begitu. Apa jangan-jangan Bram kurang ajar sama dia? Apa Bram nyosor terus dan bahkan melecehkan Nicky? Tapi nggak mungkin. Masa iya Bram begtu ke Cewek hanya karena dia kelamaan menjomblo? Gue rasa dia bukan Cowok macam itu! Pikir gue. “Vin..., Bram itu sudah punya Pacar ya, di kampus? Atau di luar kampus?” tanya Nicky kemudian. “Belum.” Gue sangat yakin soal ini. Makanya gue menjawab dengan mantap. “Berarti aku nggak salah, kan, kalau mendekati dia?” “Enggak dong.” Gue pikir ucapan bernada dukungan ini bakal membesarkan hati Nicky. Kenyataannya sebaliknya. Sekarang gue malah melihat matanya mulai berkaca-kaca. Astaga! Ada apa sih ini? “Tapi aku rasa sudah cukup. Aku nggak mau berusaha lagi,” kata Nicky kemudian. Terdengar sangat pahit. Gue memicingkan mata gue. Ada apa ini? Jangan-jangan, Nicky nekad nembak Bram duluan dan Bram menolaknya? Ya, nggak mustahil kan kalau Nicky melakukannya? Mereka sudah beberapa kali ketemu. Dan selama tiga hari kami pergi bareng kemarin itu, dia punya banyak kesempatan untuk berduaan dengan Bram. Lalu, dia ini juga Cewek yang sangat percaya diri. Secara umur, dia juga di atas gue sama Bram. Dan dia sudah kerja, sementara kami-kami masih kuliah. Itu modal yang cukup kan buat Seorang Nicky mengungkapkan isi hati dia, tanopa harus menunggu-nunggu lebih lama, ungkapan yang dia tunggu dari Bram? Nicky kan juga sudah cukup usaha buat mendekati dan mencari perhatian Bram, pikir gue lagi. “Aku memutuskan untuk berhenti mencoba. Aku tahu, sampai kapan pun Seorang Bram nggak akan mungkin menjadikan aku sebagai Calon Pacarnya, apalagi Pacarnya. Walaupun aku yakin alasan utamanya bukan karena perbedaan umur. Aku sudah berusaha untuk memancing perhatian dia, mencari tahu tentang dia, dan apa yang menjadi kesenangannya. Dan akhirnya aku tahu, dia hanya berusaha untuk menjaga sikap. Dia hanya berusaha jangan sampai aku tersinggung dengan memperlihatkan rasa nggak nyaman dia. Seharusnya aku paham itu dari awal. Seharusnya aku nggak sebodoh ini menghabiskan waktu dan mempermalukan diri aku sendiri untuk mendekati dia. Semestinya..., aku nggak begitu saja percaya sama Shendy dan mau saja didorong-dorong sama dia untuk menempel pada Bram. Ya ampun! Aku bukan Cewek yang seperti itu!” cetus Nicky lirih, disambung pecahnya tangisnya. Gue langsung melepaskan genggaman tangan gue dan merangkul Nicky. Gue bertanya-tanya dalam diam, apa gerangan yang dikatakan oleh Sahabat gue itu, sampai akhirnya Nicky memutuskan untuk mundur? Padahal kemarin itu..., hei! Bukannya kemarin selama tiga hari itu memang kami sedikit menjaga jarak sama Bram dan Nicky? Nicky menangis di d**a gue. Gue membiarkan dia meluapkan tangisnya sambil tangan gue membelai rambutnya. Astaga, Bram ngomong sekasar apa sampai Nicky jadi lemah begini? Nicky ini setahu gue Cewek yang tegar. Eh tapi, kalau sudah menyangkut perasaan, apalagi itu adalah perasaan cinta, memangnya hati Siapa yang bisa tegar? Batin gue. “Harusnya aku nggak mendengarkan semua perkataan Shendy. Harusnya dari awal aku tahu dia memang sengaja mengkondisikan aku supaya aku berutang budi sama dia,” isak Nicky. Shendy? Memanfaatkan Nicky? Apa lagi ini? Tanya gue dalam hati. Belum juga terjawab rasa penasaran gue tentang apa yang Bram ucapkan, sekarang ada satu Orang lagi yang disebut-sebut : Shendy! Dalam hati gue mengeluhkan mengapa Nicky ini bicaranya berputar-putar. Ya meskipun memang gue tahu, Cewek kan umumnya memang begitu. Nah Rheinatta juga kalau ada maunya ngomongnya sampai kemana-mana dulu, mengkondisikan gue dulu sampai dia yakin nggak bakalan akan menolak permintaannya, baru deh dia ngomong kemauannya. Untung saja Nicky ini sedikit berbeda. Dia nggak membiarkan gue berlama-lama penasaran. “Shendy itu naksir sama Temanku sesama Dubber. Dia pernah ketemu lalu kenalan sewaktu aku sama Temanku itu lagi makan bareng setelah selesai mengisi suara. Tapi kelihatannya jalannya kurang mulus. Nah, secara kebetulan, dia tahu aku naksir Bram. Jadi kelanjutannya, kamu tahu lah ya.” Ada rasa marah yang menguasai benak gue. Shendy ini terlalu menurut gue. “Aku jadi merasa aku ini Cewek murahan, yang mengejar-ngejar Bram. Aku nggak tahu apakah aku bakalan bisa mengangkat muka aku sewaktu ketemu lagi sama dia suatu saat nanti.” Gue nggak sabar lagi. “Nick, kalau soal itu jangan ragu. Aku kenal Bram. Dia nggak akan merendahkan Cewek. Dan aku juga tahu kamu. Kamu sama sekali bukan Cewek murahan. Percaya sama aku.” “Tapi aku ini mau-maunya singgah ke tempat kalian makan waktu itu. Aku juga bebreapa kali telepon Bram. Aku pernah mengajaknya makan. Aku pernah mengajak dia untuk ketemuan, dan sebagainya. Semestinya aku sadar, tidak satu pun dari ajakanku yang direspons sama dia. Sudah begitu, aku masih bandel. Aku mau-maunya ikut serta motoran kemarin, padahal jelas Ceweknya cuma aku dan yang mengundang bukan Bram. Dan selama tiga hari kemarin juga aku masih saja berusaha untuk mendapatkan tempat di hati Bram. Seharusnya aku sadar, dia itu berusaha keras untuk nggak merendahkan aku di depan Teman-teman yang lain. Seharusnya aku merasakan betapa dia menahan rasa kurang nyamannya dan mencoba bersikap sopan.” Gue terdiam. Sampai di sini gue berpikir, berarti Bramantyo nggak mengucapkan apalagi melakukan tindakan kasar yang melukai hati Nicky. Syukurlah. “Aku malu sekali. Apalagi aku iterus memancing-mancing Bram untuk tahu type Cewek idamannya. Bodohnya aku. Konyolnya aku. Sampai-sampai pas dia mengantarkan aku ke tempat kost juga aku masih mau menahan dia, masih kepengen berlama-lama sama dia. Ya ampun! t***l sekali. Seharusnya nggak perlu dia sampai mengatakan ‘mau makan di rumah saja’ dengan wajah yang agak keruh. yang membuat aku tersadar sudah saatnya aku berhenti mencoba. Dia juga pasti nggak mungkin secara frontal mengatakan hal-hal kasar supaya aku paham bahwa dia nggak mau aku dekati. Bodohnya aku,” gumam Nicky. Gue mengehela napas panjang. Gue rada lega karena ‘tidak terjadi pertengakran apa-apa’ antara Bramantyo dengan Nicky. Jadi ini murni soal perasaan cinta yang bertepuk sebelah tangan doang. Layu sebelum berkembang istilahnya. Nicky menengadahkan wajahnya. Dan kami berdua bertatapan. Mendadak gue merasa sayang sama Nicky. Gue mengecup keningnya. “Vin...” Gue nggak menjawab. Gue hanya memeluk dia dengan lebih erat. Dia balas memeluk gue. Dan gue sampai bisa mendengar dengan jelas detak-detak jantungnya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN