Percakapan Berbalut Pertengkaran (1)

1169 Kata
POV Rheinatta “Rheina, kamu kok makannya sedikit sekali?” tanya Papa lembut. “Kenyang, Pa.” Papa tidak percaya begitu saja. “Rheina, kamu marah sama Papa?” tanya Papa lembut. Ya ampun, Pa! Haruskah kita rusak pagi yang baru ini dengan perdebatan lagi? Belum cukupkah tadi malam itu? Keluhku dalam hati. Perdebatan yang membuat aku hampir saja tergoda untuk meminta diturunkan di jalan saja dan melanjutkan perjalanan pulang dengan taksi atau sekalian saja menginap di hotel atau di rumah salah satu Temanku. Lama-lama aku jadi menyangsikan, sungguhkah Papa masih mengenaliku? Ataukah semakin hari, karena dia harus membagi perhatian dan kasih sayangnya ke Tante Garnetta juga, maka dia semakin dia tidak mengenali aku, dan memedulikan keinginanku. Buktinya tadi malam. Aku itu sudah berusaha menjaga perasaan semua Orang, sepertinya. Bayangkan, aku baru saja mengetahui tentang jati diriku yang sebenarnya. Jujur hal itu terlalu mencengangkan. Sampai-sampai aku nggak bisa mengekspresikan rasa terkejut, kecewa, sesal dan sebagainya. Aku merasa memang bukan Rheinatta yang sebelumnya. Lagi pula aku harus mengekspresikan dengan cara apa? Menangis histeris di depan Opa Ronald dan membuat Lelaki tua itu kebingungan? Menelepon Papa dan memarahi Papa yang sudah menyembunyikan fakta tentangku? Atau merengek kepada Bang Rusli agar mendampingiku ke Jakarta? Enggak. Tak satupun dari itu semua yang aku lakukan. Aku bahkan masih membujuk diriku sendiri. Aku juga menolak godaan dan tawaran dari Michael yang dengan begitu percaya dirinya mengajak aku untuk menghanguskan tiketku dan menggantinya dengan tiket pesawat yang sama jadwalnya dengannya? Ya, Michael itu bahkan rela untuk tidak pulang bersama rombongannya demi untuk dapat pulang dalam satu penerbangan yang sama denganku. Enggak. Aku masih ingat kok, aku ingin masih Pacarnya Kelvin, ya meskipun beberapa hari tanpa saling menyapa itu rasanya tetap aneh buatku. Tapi aku menganggap itu hanya karena situasi hatiku yang memang kurang kondusif saja. Dan aku memang tak mau menularkan rasa ‘kacau balau’ itu ke Orang lain. Aku sudah begitu menahan diri. Pun ketika Papa sengaja menyetir sendiri ke bandara demi menjemput aku. Aku menghargainya. Sangat. Juga ketika Papa langsung mengambil alih travel bag serta berbagai oleh-oleh yang aku bawa, memasukkannya ke dalam bagasi dan menawari aku untuk singgah di sebuah restaurant untuk makan malam dengannya, aku masih bisa menahan diri untuk tidak langsung bertanya perihal ‘kebohongan Papa selama bertahun-tahun.’ Tapi itu tidak berlangsung lama. Aku langsung kesal ketika Papa mengatakan, “Kita makan di restaurant bebek peking kesukaanmu, ya. Biar Tante Garnetta menyusul dan kita ketemu di sana.” Kalimat itu kini bagai terngiang di telingaku. Kalimat yang langsung membuatku naik darah. Dari yang semula begitu bersemangat dan mengucapkan terima kasih karena sudah terbayang akan makan bebek peking, aku berbalik menolak keras dan mengatakan bahwa aku sudah kenyang. Papa yang terkejut bertanya ada apa. Sia-sia aku beralasan bahwa aku capek dan ingin makan di rumah saja. Dan aku juga mengatakan sepiring nasi goreng buatan Si Bibik dengan telur mata sapi kelihatannya akan lebih enak dari pada bebek peking. Mulanya Papa hanya tertawa. Tapi aku juga lupa, kapan dan apa penyulut perdebatan kami terjadi. Yang jelas, aku merasa diriku didesak untuk ‘menghargai’ usaha Tante Garnetta. Jelas aku keberatan. Memangnya usaha dia apa? Dan memangnya aku pernah meminta dia berusaha? Kalimat bujukan Papa segera berubah menjadi kalimat kemarahan ketika aku mencegah Papa untuk mengarahkan mobil ke restaurant yang dimaksud. Aku bahkan mengancam aku membuka pintu mobil dan meloncat kalau Papa masih memaksa. Jadilah kami bertengkar, bersahut-sahutan. Dan aku juga tak peduli cara Papa membatalkan ‘janji’nya kepada Tante Garnetta, yang jelas tadi malam aku tidak perlu bertemu dengan Wanita itu. Papa juga tidak keluar dari rumah lagi setelah kami pulang. Aku tidak mendengar Papa menelepon Tante Garnetta sepanjang perjalanan kami. Aku hanya mengira-ngira, sebenarnya Papa hanya melakukan semacam testing saja. Artinya, kalau aku mau, baru dia akan menghubungi Tante Garnetta. Ternyata aku nggak mau, kan? Biar saja. Masa bodoh deh. Buat apa juga aku pikirkan? Bukan urusanku. Papa mengulurkan tangan dan menjangkau bahuku, menepuknya dengan lembut. “Papa minta maaf, ya. Papa tahu, mungkin kamu nggak bisa menyukai Tante Garnetta. Selama ini Papa berusaha mengerti dan memahami hal itu, walaupun Papa nggak tahu pasti alasannya apa. Tante Garnetta itu tidak ada maksud untuk mencari muka ke kamu. Enggak. Tapi yang pasti, Rheina, Papa nggak akan menikah lagi dengan Wanita yang nggak bisa cocok dengan kamu. Dan Tante Garnetta sangat paham akan hal itu. Dia nggak keberatan menunggu sampai hati kamu tersentuh,” ucap Papa hati-hati. Aku benar-benar menyudahi sarapanku. Sungguh. Aku benar-benar merasa kenyang sekarang. Aku harus bicara. Bukan perihal Tante Garnetta. Tapi kelanjutan peretengkaran yang semalam, setibanya kami di rumah. “Pa, Papa mau menikah dengan Wanita mana pun, asalkan dia sungguh sayang, setia dan tulus sama Papa, Rheina nggak keberatan. Nggak usah memikirkan Rheina. Rheina ini sudah dewasa, Pa. Tapi satu hal, Pa, Rheina nggak mau seperti dipaksa-paksa untuk dekat sama Wanita itu. Biarkan berjalan dengan natural. Biarkan saja ada prosesnya.” Dengan berat hati aku mengungkapkan hal ini. “Papa ngerti, Sayang. Kamu jangan merasa seperti dipaksa-paksa lagi, ya. Jadi diri kamu sendiri saja.” “Begitu juga Tante Garnetta, atau Siapa pun,” sahutku. Papa manggut kecil. “Dan satu hal lagi, Pa,” kataku yang telah membaca situasi kali ini sudah lebih kondusif dibandingkan tadi malam. “Ya, Rheina. Bilang saja kamu mau apa.” “Rheina mau Papa merangkul kembali Bang Rusli. Bang Rusli itu masih sakit hati sampai sekarang. Papa tahu nggak? Bang Rusli berani untuk melakukan tes dna untuk membuktikan bahwa Mama nggak selingkuh. Bang Rusli sakit hati karena Papa menyebut Bang Rusli sebagai Anak hasil selingkuh...” Aku menggigit bibirku. “Rheina, kamu tahu nggak? Selama ini Papa menahan diri untuk tidak memaksakan Abangmu itu kembali kemari dan membebaskan dia, bukan berarti Papa tidak memonitor dia. Papa ini sudah pernah melakukan kesalahan besar dengan putus kontak dengan Mama-mu. Papa ikuti semua kemauan Abangmu, melarang Papa memberikan penghormatan terakhir ke Mama kamu karena Papa sudah sangat menyakiti hatinya. Asal kamu tahu, Papa tidak sepenuhnya menuruti kemauan gilanya itu. Setiap kali Papa ada perjalanan ke Surabaya, apabila keadaannya memungkinkan, Papa pasti menyempatkan untuk berziarah di pusara Mama kamu.” Aku agak terkejut. Langsung saja pertanyaan-pertanyaan negatif menghinggapi kepalaku. Jadi, selama ini Papa juga bohong, seakan-akan tidak pernah berziarah ke sana? Lalu, sebenarnya ada berapa banyak lagi kebohongan yang Papa simpan dari aku? “Rheina...” “Papa kenapa sih, menuduh Mama selingkuh?” Papa menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. “Kamu nggak akan bisa mengerti rumitnya situasi saat itu. Papa sama Mama mungkin saat itu masih muda dan mudah tergoda. Papa sama Mama juga tidak terlalu lama pacarannya sebelum menikah. Dan kesibukan Papa rupanya membuat Mama tergoda. Bagaimana Papa tidak mengatakan bahwa Abangmu adalah Anak hasil selingkuh, kalau Adikmu saja merupakan hasil selingkuh?” “Begitu juga dengan aku kan Pa? Aku ini bukan Anak adopsi sebagaimana yang Papa katakan selama ini, kan? Aku ini hasil perselingkuhan Papa dengan Mantan Pacar Papa kan?” tanyaku. Seketika aku merasa ada kepahitan yang menyusup ke dalam hatiku. Papa terkesiap. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN