POV Kelvin
Seperti itulah. Gue sama Teman-teman yang lain tanpa harus dikomando samSalah satu di antara kami, langsung kompak memberi semacam ‘ruang’ untuk Bramantyo sama Nicky selama di perjalanan, di rumah Orang tuanya Putra, selama menghabiskan waktu di Puncak termasuk main ke ladangnya Keluarga Putra yang berjarak sekitar satu setengah kilometer dari kediaman mereka, dan berencana untuk balik lagi ke Jakarta hari Minggu siangnya. Malahan bisa dibilang, sedapat mungkin kami tuh rada-rada berlagak asyik sendiri, supaya mereka berdua bisa lebih bebas ngobrolnya.
Sampai kami balik lagi ke titik kumpul, kami masih seperti itu.
Kebetulan, gue sama Shendy yang paling awal sampainya. Teman-teman yang lain agak tertinggal di belakang kami. Tapi gue rasa nggak jauh kok.
“Vin, gue perlu drop elo ke tempat kost elo, nggak? Biar nggak perlu naik taksi?” tanya Shendy, menawarkan.
“Nggak usah,” tolak gue.
Gue nggak suka terlalu banyak Orang tahu tempat kost gue.
Kalau Bramantyo, yang memang dia sudah telanjur tahu. Lalu beberapa Orang lainnya. Salah satunya Nicky. Itu juga gara-gara nggak sengaja dia ketemu gue.
Shendy kelihatan memikirkan sesuatu.
“Thanks atas tawarannya,” kata gue buat menepis prasangka yang mungkin timbul di benak Shendy.
Dia manggut-manggut.
“Oh, ya sudah. Nggak apa,” kata dia sesudahnya dan mengangkat bahu.
“Jangan pulang bareng Nicky, tapi ya.”
Ucapan Shendy itu begitu lirih, menyerupai bisikan. Tapi jelas itu bukan saran, melainkan sudah menjurus ke arah ‘perintah’, ‘larangan’.
Hei! Dalam kapasitas apa?
Gue mengernyitkan kening.
Ini Si Shendy kok bisa ngomong begini? Ternyata dia sama Nicky itu lumayan dekat, ya? Jadi Nicky juga sudah cerita kalau gue sama Nicky itu tinggal di wilayah yang berdekatan? Batin gue.
“Ya, maksud gue, biar jadi alasan supaya Bram antar dia,” sahut Shendy pelan.
Paham gue. Sangat paham.
Tapi yang membuat gue heran, kenapa sih Si Shendy ini begitu bersemangat dan sepertinya sangat berkepentingan atas terwujudnya hubungan antara Nicky sama Bramantyo? Hm. Sepertinya nggak perlu terlalu dipikirkan juga. Bukan urusan gue, kan?
Gue melihat arloji gue.
“Lo buru-buru mau pulang?” tanya Shendy.
“Iya. Ini gue lagi mau ngecek apa masih cukup waktunya buat gue ambil mobil dan jemput Cewek gue di bandara, atau sebaiknya langsung naik taksi dari sini,” jawab gue.
Shendy tersenyum lebar.
“Oh. Ternyata elo ada Ceweknya.”
Pernyataan yang nggak penting banget.
Gue sama dia ini baru berapa kali ketemu sih?
Dan kalau gue mendengar kalimatnya ini, langsung terpikir sama gue, mungkin dia ini memang typical Orang yang suka au tahu urusan Orang lain. Nah itu buktinya? Pasti dia ini dorong-dorong supaya Bramantyo jadian sama Nicky kareana dia punya agenda pribadi. Nggak tahu deh, mendadak hal ini terpikir sama gue. Tapi buat apa gue peduli? Kalau gue segitu ‘peduli’nya, terus apa bedanya gue sama dia?
Gue senyum walau terpaksa.
Dia menepuk pundak gue.
“Maklum dong kalau gue agak kaget ternyata elo ada Ceweknya. Habis seingat gue, kemarin selama kita pergi elo itu nggak ada kontak-kontak ke Cewek elo. Elo juga nggak pernah menyinggung soal Cewek lo.”
Rasanya gue mau tepuk jidat.
Annoying banget!
“Bukan karena lagi berantem, kan? He he he! Gue bercanda, Brother! Eh tapi Vin, kok Cewek lo nggak pernah elo ajak bareng lo?”
Gue malas menjawab.
Menurut gue itu sama sekali nggak penting.
“Gue langsung jalan, ya. Nanti tolong bilang sama Bram, Putra sama yang lainnya, ya.”
“Oke, nggak masalah.”
“Thanks ya, Shen.”
“Sama-sama.”
Gue langsung menyetop taksi konvensional yang segera merapat ke depan gue.
“Selamat sore. Mau diantar kemana, Mas?”
Gue melihat arloji gue lagi. Gue merasa konyol. Sekarang gue jadi memaklumi kenapa Shendy juga meragukan gue ini punya Cewek atau nggak. Nah, ini, bisa-bisanya gue abai, lupa waktu kedatangan Rheinatta.
“Jalan dulu, Pak. Pelan-pelan saja. Ini saya masih mikir mau ke bandara atau ke rumah saya. Tapi kebetulan searah, kok.”
“Baik, Mas.”
Sang pengemudi mengangguk sopan.
Gue langsung menghubungi Rheinatta.
Karena ua kali panggilan telepon gue hanya berjawab mailbox,maka gue perkirakan dia sedang dalam penerbangan sekarang ini. Akhirnya gue memutuskan untuk telepon Bang Rusli. Kebetulan banget kami pernah saling bertukar nomor telepon genggam dulu itu.
Ada nada tunggu.
Gue mencoba bersabar.
Tetap nggak dijawab. Gue telepon ulang. Malahn sampai tiga kali.
Lalu terdengar suara Bang Rusli. Kesannya dia agak malas untuk menjawab telepon gue.
“Hallo.”
Gue sedikit lega. Gue usir prasangka buruk gue barusan.
“Hallo Bang Rusli, maaf ganggu. Kelvin, Bang.”
“Iya, Kelvin, Ada apa?”
Suaranya agak garing. Beda sama kesan yagn gue dapat sewaktu gue kenalan sama dia. Ini membuat gue jadi mikir, apa jangan-jangan Rheinatta banyak mengeluh tentang gue selama di Surabaya?
“Bang, maaf, saya mau tanya, nanti pesawat yang ditumpangi sama Rheinatta itu mendarat sekitar jam berapa ya Bang? Saya mau jemput dia nih.”
Gue mendengar embusan napas.
Heran gue jadinya. Kok kesannya dia kesal sama gue? Memang gue ngapain dia?
“Sebelumnya maaf, Bang, terpaksa tanya Bang Rusli. Soalnya kan Rheinatta juga belum kasih tahu ke saya sih. Ini barusan saya telepon dia sudah nggak bisa.”
“Kenapa baru sekarang tanya Vin?”
Gue terkaget mendengar suara datar Bang Rusli, tapi gue menjaga sikap gue.
“Kamu nggak usah jemput, deh.”
Lebih kaget lagi gue waktu dengar kalimatnya yang ini.
“Maaf Bang? Maksudnya bagaimana?”
Gue masih menahan suapaya suara gue normal.
Supir taksi yang gue tumpangi sudah semakin memperlambat kecepatan kendaraannya. Dia kelihatan sekali sedang memunggu instruksi selanjutnya dari gue. Tapi gue mengisyaratkan supaya dia jalan terus saja sewaktu dia melihat ke arah spion tengah. Gue pakai acara nepuk bahu dia dan menunjuk ke depan pula. Dan dia mengangguk.
“Vin, ini saya bukan mau ikut campur sama urusan kalian, ya. Tapi saya lihat wajah dia tuh rada nggak happy sewaktu ke sini. Dan terus terang, selama di sini juga ada sesuatu hal yang dia dengar. Memang, ini urusan keluarga. Jadi sebaiknya kasih dia waktu sebentar ya. Terserah dia mau berbagai atau nggak soal itu ke kamu nantinya.”
Kalimat panjang Bang Rusli membuat gue berpikiran negatif.
“Tapi Rheinatta baik-baik saja kan Bang?”
Gue nggak perlu menunggu lama untuk mendengarkan reaksi Bang Rusli.
“Menurut saya sih baik-baik saja. Tapi anehnya, kenapa ya kok kamu baru bertanya begini sekarang? Juga soal waktu kedatangan Rheinatta? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?”
Tidak ada nada tinggi dalam ucapan Bang Rusli. Tapi gue tertohok. Kalimatnya ini kalimat nyinyir parah. Tapi sebagai Seorang Abang, ya logikanya memang dia mau membela Adiknya, terlepas dari masalah apa pun yang dihadapai sama Adiknya. Dan doal ‘urusan keluarga’ yang disebut samabang Rusli, apa kira-kira urusannya? Paling-paling soal dia merasa kurang diperhatikan sama Papanya. Itu kan? Rheinatta memang semakin manja belakangan ini. Ya Orang ke gue aja begitu, apalagi ke Keluarganya?
“Dia dijemput sama Papanya kok,” kata Bang Rusli kemudian.
“Ooooh...,” sahut gue macam Orang b**o. Sampai nggak terpikirsama gue, kenapa Bang Rusli menyebutnya ‘Papanya’ bukannya ‘Papa.’
“Iya. Jadi jelas, ya? Nggak usah dijemput.”
“Baik, Bang. Terima kasih.”
“Oke.”
Gue menutup panggilan telepon ke Bang Rusli.
Anehnya, hati gue nggak bisa seketika menjadi tenang.
Bang Rusli kenapa, ya? Kok kayaknya dingin dan acuh tak acuh? Eh tapi, bisa jadi memang dia begitu. Orang kami saja baru sekali ketemu muka. Mana bisa menilai Orang secepat itu. Dan Rheinatta, ada masalah apa? Semoga dia baik-baik saja. Semoga cuma urusan ngambek sama Papanya, dan sekarang ini terselesaikan dengan dia dijemput sama Papanya, harap gue dalam diam.
Gue langsung menyebutkan area rumah gue ke Supir taksinya. Gue bilang nggak jadi ke Bandara.
Dia mengangguk, nggak banyak komentar.
*
Sampai di tempat kost, gue langsung mandi dan santai-santai di kamar. Gue kepengen telepon Rheinatta, tapi hati gue mencegah. Gue nggak mau mengganggu quality time dia sama Papanya, seandainya saat ini dia sudah mendarat dan bersama Papanya.
Akhirnya, gue mengirim pesan teks ke dia.
To : My Bee
Bee, kamu sudah mendarat, ya? Tadi aku telepon Bang Rusli dan Bang Rusli bilang kamu dijemput sama Papa kamu, dan bilang sebaiknya aku nggak usah jemput kamu. Besok pagi kamu mau aku jemput nggak untuk berangkat ke kampus?
Pesannya masih bercentang satu. Gue perkirakan dia belum mendarat atau belum menyalakan telepon genggamnya.
Tapi sampai malamnya pesan itu masih juga bercentang satu, gue jadi rada curiga. Dan saking negative thinking, gue sampai buka head lines berita digital. Nggak ada berita kecelaaan pesawat kok. Gue menarik napas lega. Minimal, gue percaya Rheinatta baik-baik saja. Kemungkinan dia memang lagi perlu waktu sendiri untuk ‘menyelesaikan’ apa pun itu jenis ‘urusan keluarga’ yang disebut sama Bang Rusli.
Esok paginya, sewaktu gue baru bangun tidur dan mau mandi, Asisten Rumah Tangga yang bertugas membersihkan rumah kost ini, mengetuk kamar gue.
“Mas Kelvin! Ada Tamu, Mas!”
Gue mengernyitkan kening.
Tamu? Sepagi ini? Siapa? Bram? Mana mungkin! Gila apa dia, pagi-pagi begini rajin amat kemari? Entar juga di kampus bakal ketemu. Atau..., Rheinatta? Nggak! Dia belum pernah kemari. Yup. Nggak usah bingung begitu. Maksud gue kemari, adalah sampai masuk ke tempat kost ini. Rheinatta memang tahu tempat kost gue ini. Wajar. Namanya juga kami sudah lama pacarannya. Tapi waktu itu memang gue hanya perlu mau mengambil sesuatu yang ketinggalan. Rheinatta nggak turun dari mobil. Dia menunggu di dalam mobil saat itu. Dan gue sendiri juga seingat gue hanya satu atau dua kali sampai masuk ke dalam rumahnya. Impas, kan?
Jadi, mana mungkin dia kemari? Buat alasan apa? Orang sampai pagi ini juga pesan teks gue masih belum dijawab sama dia kok. Memang tadi pagi sudah bercentang dua. Dan saat gue mendengar ketukan di pintu kamar gue barusan, gue melihat pesan itu sudah dalam keadaan terbaca sama dia.
Apa mungkin, dia yang datang?
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $