How Perfect This Match? (4)

1325 Kata
POV Kelvin “Aku bantuin dia, ya, Hon? Boleh, kan?” tanya Rheinatta, penuh kesungguhan. Matanya menatap lekat mata gue, seakan meminta persetujuan dan dukungan. Ya ampun, beneran kumat lagi dia! “Bee … sudah deh, stop ngisengin orang,” sahut gue agak sebal. Barangkali dia melihat ada kemarahan dari sorot mata gue, sehingga membuatnya mengangkat bahu. “Iya deh,” kata Rheinatta akhirnya. Gue merasa, Gadis lincah itu berusaha keras menertibkan diri, mencoba bersabar hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan untuk Kalista usai. “Hon … sekarang yuk, ke kantinnya. Bram, elo mau bareng atau nyusul, terserah ah!” tanpa menunggu jawaban kami, Rheinatta melangkah meninggalkan venue. Dia berusaha menarik tangan gue, tapi karena jangkauannya kurang, hanya sedikit menyentuh ujung jari gue doang. Gue dan Bramantyo beradu senyum dan menggeleng-gelengkan kepala, lalu menyusul di belakang Rheinatta. Jelas, perut ini sudah waktunya diisi kok! Kami sampai tidak berminat lagi menengok ke arah panggung biarpun suara musik sudah mulai terdengar. Sekarang ini, urusan perut memang lebih penting. “Hei, Bram, Kelvin! Kalian berdua ada di sini juga? Kok, gue baru lihat,” terdengar sebuah sapaan yang membuat gue sama Bramantyo serempak menoleh ke belakang. Mengetahui siapa yang menyapa, Rheinatta mendadak memperlambat langkahnya. Dia mendekati gue, berjinjit sedikit dan berbisik, “Hon, kecium, nggak, aromanya?” Gue langsung mengernyit, melemparkan tanya tanpa kata. “Aroma jomblo, makin kenceng nih, baunya. Tuh, satu lagi temanmu yang jomblo bergabung,” jawabnya lirih, membuat gue menggelengkan kepala sembari menahan dengkus kesal. Gila, kalau Orang yang dituju mendengar, apa jadinya nanti? Bisa salah paham! “Bee, jangan begitu, ah!” kata gue pelan. “Elo nonton bareng siapa, Ken? Bukannya gabung bareng kita-kita, tadi,” tegur Bramantyo pada Kendra Sulistyo, Orang yang menyapa tadi. Dia juga teman kami di klub Edelweiss. “Nonton sendiri, lah, Bram. Kan, kalian berdua sama-sama jomblo. Pakai tanya, lagi! Ya nggak mungkin dong, sembarangan tarik Cewek yang kebetulan berpapasan dan sejalan kemari. Memangnya mau minta digampar?” goda Rheinatta santai. Gue terkaget bukan main. Kendra tersenyum kecut, tapi sekejap kemudian menyahuti Rheinatta, “Ya, setidaknya, lebih konsentrasi nontonnya. Dari pada dekat kalian berdua, alamat bingung, mau nonton yang di sebelah atau di panggung. ” Rheinatta sudah akan membalas, tetapi gue buru-buru menutup mulutnya dengan telapak tangan dan berkata, “Ken, bareng sama kita, yuk, ke kantin Teh Rina.” “Boleh,” sahut Kendra ringan. Seolah dia sudah melupakan ‘insiden kecil’ barusan. Rheinatta memelototi gue dan menyingkirkan telapak tangan gue dari mulutnya. Dia segera melangkah lebar. Dia kelihatan tersinggung karena gue lebih membela Kendra ketimbang dia. Gue bergegas membarenginya, meninggalkan Bramantyo dan Kendra di belakang kami. “Bee, di-rem sedikit, ya? Kamu nggak lihat, reaksi Kendra tadi? Kelihatan bete. Nggak semua orang itu seperti Bram, yang bisa kamu olok-olok kapan pun kamu mau,” tegur gue setengah berbisik, di antara langkah kaki gue. Rheinatta tidak menjawab, hanya memperlihatkan wajah dongkol. Ah, sudahlah! Gue sedang nggak kepengen bertengkar sama dia saat ini. Apalagi atas sebab ‘external’ dan remeh macam ini. Mungkin, diamnya dia ini juga ada baiknya, sehingga dia nggak tahu atau mungkin nggak peduli, peristiwa yang terjadi di belakang kami. Karena gue yakin, kalau dia nggak sedang dongkol, pasti dia sudah heboh luar biasa. Dan ujung-ujungnya, bisa celetak-celetuk yang berpotensi membuat Kendra makin kesal ke dia. Tepat saat gue menyempatkan menoleh ke belakang, momen itu berlangsung. Mungkin lantaran berjalan terburu-buru, Gadis itu tak sengaja menabrak Kendra. Akibatnya, dirinya sendiri nyaris terjatuh. “Sorry, nggak sengaja,” ucap Gadis itu, berusaha menstabilkan tubuhnya yang limbung. Gue mengamati, Kendra malah tersenyum dan mengulurkan tangan, menolong Gadis itu. Setelah mengamati beberapa saat, Kendra berkata, “Nggak apa-apa. Kamu.., Sylvanie, kan?” Gue melihat Gadis itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih ke Kendra. “Kenalin, aku Kendra. Ini Bramantyo,” kata Kendra kemudian. Kendra urung memperkenalkan gue, karena ada sedikit jarak antara gue dan Reinatta, dengan mereka bertiga. Posisi gue sendiri juga di tengah-tengah. Antara mau mengimbangi langkah Rheinatta, sama mau menunggu Kendra dengan Bramantyo. Tapi percakapan mereka terdengar jelas sama gue. “Bram, Sylvanie ini termasuk Kontributor yang paling rajin, di buletin kampus. Kebanyakan tulisannya tentang wisata alam kalau nggak salah. Benar begitu kan, Syl?” “Hai, salam kenal Sylvanie. Kalau begitu, boleh lah, sekali-kali kamu menulis juga tentang kegiatan Pecinta Alam di kampus. Biar menarik minat Para Anggota baru buat bergabung,” kata Bramantyo. Sylvanie terperanjat mendengarnya. “Oh, memangnya boleh?” tanya Sylvanie dengan mata yang berbinar. Kendra tertawa kecil. “Boleh banget dong Syl. Apalagi sudah Dedengkotnya, yang ngucap. Coba kamu atur waktu, datang pas ada latihan, supaya bisa tahu ada agenda terdekat apa,” ucap Kendra ramah. Gue enggak tahu pasti, kenapa Sylvanie seperti kurang fokus sewaktu mengobrol sama Bramantyo dan Kendra. Seakan-akan, pikiran Sylvanie melayang-layang entah kemana. Hh..., bukan karena gue kelamaan pacaran sama Rheinatta juga, makanya gue suka mencermati bahasa tubuh Orang. Itu terjadi begitu saja. Lagi pula, gue kan Cowok, yang nggak mungkin celetak-celetuk seperti Pacar gue itu. Walau sebenarnya, pikiran gue juga penuh dengan daya imaginasi. Persis seperti sekarang ini. Gue menebak-nebak, jangan-jangan Sylvanie sedang terusik sama sebuah kejadian yang dia saksikan bebrapa menit sebelumnya. Dan itu juga yang membuat Dia jalan sambil meleng, mungkin setengah melamun, dan hampir mau menabrak Kendra? Apa dia..., lagi patah hati? Jatuh cinta? Atau..., diselingkuhi? Hei, hei, gue cuma mikir lho ya. Karena wajahnya kelihatan agak murung dan sedikit kesal. Apalagi, tadi sepanjang melihat Art Hours juga kuping gue disuguhi banyak juicy gossip tanpa gue minta. Wajar kan, kalau sedikit terpikir ke sana? “Syl,” panggil Kendra. Gue melihat Kendra tersenyum lagi sambil menggoyangkan telapak tangannya. Sylvanie sedikit terkaget. Nah! Betul kan tebakan gue? Barusan itu pasti pikirannya mengawang-awang, cuma badannya yang ada di depan Bramantyo dan Kendra! Sylvanie membalas senyum Kendra. “Kapan jadwal latihan terdekat?” tanya Sylvanie setelahnya. Kendra baru akan menjawab, ketika terdengar teriakan dari Rheinatta, yang baru tersadar bahwa Bramantyo serta Kendra semakin jauh saja jaraknya dari dirinya dan gue. “Hon...! Iiih..., kenapa mendadak aku jadi jalan sendirian sih? Serasa mau ambil gaji,” dumal Rheinatta saat melihat gue terpaku di tempat gue. Iya ya, kenapa kami berdua nggak bergandengan tangan? Rada aneh. Dia menghentikan langkahnya. “Bram! Kendra, cepetan! Sudah tahu gue lapar, juga! Pakai lama, lagi” teriak Rheinatta yang menyadari ‘Biang Kerok’ terhambatnya rencana makan siang kami. Gue masih belum bereaksi. “Eng.., Bram..” Kendra tampak ragu-ragu. “Mau gabung, Syl, makan di kantin Teh Rina? Atau, kalian berdua lanjutin ngobrol deh. Gue tinggal dulu, ya!” ucap Bramantyo akhirnya. Pasti karena Bramantyo menangkap gelagat Sylvanie dan Kendra masih akan meneruskan obrolan, makanya Bramantyo segera memutuskan. Tindakan yang tepat. Hm, sudah sekian lama berteman dekat sama Rheinatta dan gue, masa iya sih, dia masih terlampau bodoh juga untuk menangkap, aroma Orang yang sedang saling tertarik? Gue memergoki Kendra menatap penuh terima kasih atas pengertian Bramantyo. “Gue cobain makanan di bazaar aja, deh. Nggak setiap hari, kan ketemu bazaar begini. Mau, ya Syl? Sambil ngobrol-ngobrol nanti,” ajak Kendra. Gue sampai tersenyum simpul sendirian. Gercep juga Si Kendra. Itu yang terpikir sama gue. Gue melihat Sylvanie mengangguk merespon ajakan Kendra. “Have a good time, ya. Yuk, gue tinggal dulu. Entar Si Rheina ngambek kalau kelamaan,” kata Bramantyo. Gue mesem kecil dan mengalihkan pandang ke arah Rheinatta. Anehnya, Pacar gue itu menatap dengan nggak bersemangat. Dan kalau gue cermati dari sikap tubuhnya, gue yakin dia juga lumayan mendengar apa yang dipercakapkan Bramantyo dengan Kendra dan Sylvanie. Bramantyo mendekat. “Yuk, jalan,” kata Bramantyo sambil menepuk pundak gue. Lalu sambungnya dengan setengah berbisik, “Lihat deh. Bibir Cewek lo sudah maju lima senti. Gawat. Dia kalau lapar suka ngamuk dan cabik-cabik kulit Orang, nggak?” Gue mengerling keji. “Kurang ajar!” umpat gue sebal. Kami berdua tertawa bersamaan dan melangkah. “Lama amat sih kalian,” gerutu Rheinatta. “Sorry,” ucap gue cepat. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN