How Perfect This Match? (5)

1420 Kata
POV Rheinatta Kelvin menyenggol lenganku pelan. Aku menoleh dengan sedikit keengganan. “Hm?” ucapku. “Bee, pesanan kamu sudah datang, tuh. Ayo, dimakan duluan saja. Kamu kan nggak makan apa-apa tadi.” “He eh,” sahutku singkat. Aku memergoki sekilas, Bramantyo dan Kelvin saling bertukar pandang. Tapi aku sedang tidak berselera untuk bercanda sama mereka. Entahlah. Aku memilih untuk menikmati santapan yang terhidang di depanku dalam diam. “Hei, kamu kenapa?” Aku menggeleng. “Kok kamu mendadak diam?” bisik Kelvin. Aku mengangkat bahu. “Kan mau makan, masa sambil ngomong. Yang ada makanannya muncrat kemana-mana.” Kelvin tak menyahut, hanya mengangguk kecil pada Teh Rina yang meletakkan pesanan makanannya ke meja. Aku melihat sekilas, Bramantyo menatapku dengan tatapan yang menyiratkan perasaan bersalah. “Elo marah ya Rhein, karena kelamaan nungguin gue sama Kendra tadi? Sorry deh, kalau itu penyebabnya. Soalnya gue juga nggak enak, main ninggalin Kendra yang seperti masih maju mundur begitu. Minimal..,” Bramantyo menggantung kalimatnya. Aku tergelitik. Aku tahu maksud Bramantyo. Dia pasti mengira bahwa Kendra tertarik sama Sylvanie. Dan selintas, tadi aku juga menyaksikan sendiri kok, biarpun dari kejauhan, betapa sikap Sylvanie masih agak canggung. Halah! Dia pasti masih memikirkan Si Vocalist Band Just For Fun yang tak kunjung membalas cintanya itu. Mendingan memang dia merespon Si Kendra deh, biar mengurang-ngurangi populasi kaum Jomblo, terutama di klub Edelweiss. Siapa tahu, Kendra malahan bisa menarik Cewek itu buat masuk ke club Edelweiss juga, kan? Sebenarnya ini bahasan menarik. Aku menangkap kesan bahwa Bramantyo juga peduli sama kepentingan Kendra. Tapi mengingat Cowok satu itu sok nyolot ke aku tadi, aku ogah ikut campur deh. Biar berjuang sendiri saja sana. Habisnya, diajak bercanda kok malahan menyahuti aku dengan kata-kata yang agak pedas begitu. Kalau makanan pedas sih enak. Kalau sahutan pedas, hiih! Ogah deh! “Enggak.” “Serius?” “He eh,” sahutku pendek. Bramantyo tak mengatakan apa-apa lagi. Demikian pula Kelvin. Jadilah, kami bertiga makan dalam suasana hening. Agak aneh. Nggak seperti biasanya. Namun kalau aku boleh jujur, aku memang merasa sikap Kelvin tadi kurang adil ke aku. Bisa-bisanya dia malahan membela Kawannya, bukannya aku. Dan aku jengkel sama Kelvin. Wajar, kan? Maka pikiranku segera melayang kemana-mana. Andai boleh jujur, tadi itu usai bergumam tentang Michael, aku sedikit berkhayal. Aku membayangkan, Michael the six-pack body mengawal aku secara protektif, sewaktu aku pulang clubbing, dan mengantarka aku hingga ke depan pintu rumaku, demi memastikan bahwa aku pulang ke rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Sementara kalau aku bandingkan sama Kelvin? Huh! Di mata aku, untuk hal macam itu, Kelvin sungguh payah. Jangankan bergabung untuk berajojing ria, setiap kali mengetahui bahwa aku masih bandel dan mencuri kesempatan pergi sama Sejumlah Kawanku ke club saja, tanggapannya selalu serupa. Kadang-kadang aku sampai harus menebalkan telingaku dan berpura-pura sedang mendengarkan lantunan lagu nan merdu. Malahan tidak jarang, aku juga harus ‘menukar gambar’ Kelvin dengan bintang K-Drama untuk menghibur diriku sendiri. Mau tahu bagaimana tanggapannya? Kalau bukan uring-uringan, atau melarang aku secara terang-terangan, maka Cowok itu biasanya nggak ragu untuk menyindir halus, “Jadi Cewek itu, kan bagusan kalau sudah malam tuh di rumah. Ngerjain apa kek. Belajar buat materi kuliah besokannya kan lebih bermanfaat, atau nonton film di netflix, masih lebih aman. Gaul sih boleh-boleh saja Bee, tapi kenapa juga musti yang cari yang nyerempet bahaya gitu. Enggak ada manfaatnya. Belum lagi anggapan Tetangga yang melihat kamu sering keluar malam.” Sindiran yang terlalu panjang itu seringkali membuat aku merasa sebal. Tentu saja telinga aku langsung terasa panas pula. Tapi apa daya? Memangnya aku bisa protes secara terang-terangan ke dia? Atau membela diri? Duh, yang ada nanti aku sama Kelvin bakalan ribut besar. Malas banget, kan, buat sekadar membayangkannya juga? Apalagi, kalau Kelvin sudah melanjutkan dengan ucapan datarnya seiring raut wajah yang disetel sok tenang, “Bee, Cewek yang bener tuh, mendingan cari kegiatan lain, deh, yang bagusan. Kalau bosan belajar melulu, kan bisa ngulik tuh resep kue kek, resep masakan kek. Dipraktekkin lah, di rumah. Lumayan kan, buat persiapan jadi ibu rumah tangga, nantinya?” Ih! Sumpah, itu nyebelin banget buat aku. Maksudnya Kelvin apa, coba? Aku bukan Cewek bener, begitu? Memangnya kalau di club aku nggak bisa menjaga diri dan bertingkah macam Cewek murahan yang mau-maunya disentuh-sentuh Orang Asing dan segitu gampang berkenalan atau malahan bertukar nomor telepon, terus hubungan berlanjut? Ngawur sekali! Aku itu pergi sama Kawan-kawanku sendiri. Kami cukup tahu batasan. Dan club yang kami kunjungi juga bukan club yang berbahaya. Tapi buat menjelaskan ke Seorang Kelvin? Percuma, nggak bakalan nyambung. Makanya, nggak perlu deh. Tapi toh, aku juga terusik kalau dia terlalu jauh membatasi dan mengatur-atur aku. Dan kalau sudah begini, biasanya aku merasa perlu untuk menyahuti dia dan memberikan klarifikasi. Aku tahu, betapa pun kami sudah cukup lama menjalin hubungan, tidak mungkin Kelvin sejago itu untuk menebak isi pikiranku atau isi hatiku. Tetap saja ada hal yang harus diucapkan secara verbal, kan? ... “Honey, jadi maksudnya kamu gimana? Kamu tuh jangan egois, dong. Aku saja nggak pernah melarang kamu kalau pergi sama Teman-teman kamu. Aku cuma sesekali kok, pergi sama Teman-temanku. Mereka jagain aku, dan aku juga bisa jaga diri. Nggak pernah tuh, aku minum yang aneh-aneh. Apalagi sengaja meninggalkan minumanku dan mengundang bahaya. Kamu kan tahu alasanku ke sana apa? Aku malas, keseringan basa-basi sama tante Garnetta. Aku nggak lihat urgensinya ada di mana. Lagian, kamu mau bilang kalau motoran segala macam itu, nggak bahaya? Kamu bisa kan, sedikit saja memahami Posisi aku seperti apa?” suatu saat, saking sebalnya, aku pernah mengeluh panjang seperti ini. Hasilnya? Kelvin auto terbungkam. Entah, apakah dia tengah berintrospeksi, berusaha memosisikan diri sebagai aku, atau bagaimana. Diamnya Kelvin, menjadi celah bagi aku untuk menunjukkan aksi ngambekku, lalu mengungkit kisah awal jadian kami. “Dari awal kamu kan tahu, aku punya hobby sendiri sama Teman-temanku, dan kamu bilang nggak keberatan soal itu. Kamu juga kenal beberapa dari mereka, kan? Kita memang suka hang out bareng, dan nggak selalu berujung ke club, kok. Hon, aku nggak mau kehilangan semua Temanku, gara-gara kita berdua pacaran. Kita kan sudah sepakat, aku nggak ganggu hobby kamu, kamu juga begitu, selama kita tahu batasannya. Kamu lupa, atau gimana?” protesku pula. Dan ujungnya jelas, Kelvin biasanya akan terkaget dan berusaha untuk membujuk aku, sampai ngambek-ku mereda. Diam-diam aku memang menikmati ekspresi cemasnya kalau aku sudah ngembek padanya. Seolah-olah, dia itu terlalu cinta sama aku dan pantang untuk kehilangan aku. Ya, dia itu selalu memuji aku sebagai Cewek yang lucu, menggemaskan, penuh perhatian dan cantik rupa serta hati. Ih! Bikin aku gede rasa. Tapi sebenarnya aku juga takut kok kalau sampai harus kehilangan dia. ... Aku tidak tahu pasti, apakah tadi Kelvin memergoki tatapan kagumku ke Michael. Aku rasa dia memergoki sih. Soalnya aku agak kehilangan kendali, tadi itu. Yang aku kurang tahu hanyalah, sejauh mana dia tahu? Sungguh aku kesal, tadi itu dia banyak menyatakan ketidak setujuan dengan pemikiranku. Spontan lagi, bukannya dipikir dulu. Bisa jadi, tadi Kelvin mendengar gumaman kagumku pada Michael. Uh, biar saja! Kalau perlu, biar sesekali dia panas hati. Habisnya, dia sering sekali nggak mau memahami aku sih! Aku curiga, di balik diamnya jangan-jangan dia juga kerap berpikir bahwa aku tidak selalu membawa diri dengan baik, di kala tidak tengah bersamanya. Ah! Biar saja. Belum memuaskan mengomel macam Mak tiri yang koleksi tupperware-nya dihilangkan serempak juga sudah bagus dan patut dipuji, pengendalian diri yang aku lakukan tadi  Barangkali karena aku memendam emosi, makanan di piringku malah jadi terasa nikmat. Aku malah merasa makanan itu kurang pedas, sampai-sampai menambahkan sambal ke atasnya. “Bee, apa sih kamu!” Aku merasa tanganku ditahan oleh Kelvin. “Apa sih?” “Itu, sambal di atas gado-gado kamu sudah sebanyak itu. Nanti kamu sakit perut.” Aku terkejut. Bramantyo mempercepat menghabiskan makanannya. Tampaknya dia tersadar, ada ‘urusan domestik’ yang harus segera diselesaikan olehku dan Kelvin. Menangkap gelagat Bramantyo akan secepatnya beranjak, aku malahan mencegahnya. “Hei, mau ngapain!” tegurku ak suka. “Gue..., baru ingat, ada acara.” Aku mengerling kejam karena menduga dia sedang mencari-cari alasan saja. “Nggak usah ngarang lah, Bram!” Kelvin terheran dan menatap kepadaku. Ah! Biar saja. Aku sedang tak ingin membahas apa pun dengannya. Baik sekarang maupun sebentar nanti. Biar saja adanya Bramantyo aku jadikan Tameng untuk itu. Biar sesekali Kelvin introspeksi deh. Lagi pula, buat apa bicara, kalau memang lagi nggak mood, kan? Mendingan aku membayangkan wajahnya Michael saja. Anggap saja nggak ada apa-apa yang terjadi hari ini. Juga rasa kesalku ke Kelvin. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN