How Perfect This Match? (3)

1540 Kata
POV Kelvin Bramantyo ikut-ikutan diam. Gue nggak tahu pasti, apakah dia merasakan bahwa gue terusik sama perkataan dia. Ah, itu nggak penting. Masa bodoh! Mungkin memang sebaiknya gue abaikan sebentar perasaan nggak nyaman gue. Persis seperti yang dari tadi gue sarankan ke Rheinatta, kan? Iya, menikmati tontonan di panggung sana. Kenapa enggak? “Oke deh Oscar, thanks untuk ngobrol-ngobrolnya, ya. Nah, yang perlu nomor telepon Oscar, bisa cegat dia di belakang panggung nanti, ha ha ha …” Reza terbahak, namun wajah Oscar terlihat sedikit memucat. Barangkali dia punya trauma tersendiri dengan Cewek agresif yang terang-terangan mengejarnya tanpa lelah. Gue jadi ketawa biarpun tanpa suara. Sedikit terhibur, biarpun tetap saja nggak sepenuhnya. “Lanjut, Sa? Siapa lagi setelah ini?” pinta Reza kemudian. Raissa mengangguki Reza. “Oke, kita langsung panggil tiga orang deh. Dua Cowok keren yang saling bersahabat, keduanya dari Fakultas Hukum, sama-sama mempunyai hobby travelling dan fotografi. Soal status yaitu jomblo atau enggak, nanti silakan tanya sendiri ya, ke Orangnya? Mereka berdua, bekerja sama dengan Seorang Cwek energik dari kampus lain, baru memenangkan lomba membuat film dokumenter yang unik, diadakan oleh salah satu stasiun televisi di Jakarta ...” urai Raissa. “Udah enggak sabar, kan? Langsung aja kita panggilkan, Karel Hanjoyo, Shandi Setiawan, dan Maureen Tsu,” ujar Reza. Berbeda dengan Oscar, tiga orang ini kelihatan begitu enjoy dalam menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Para Penonton. Bisa jadi, mereka bertiga memang sering menghadapi publik, jadilah interaksi selama sekitar tujuh menit itu memuaskan Penonton, hingga tiba saatnya bagi mereka untuk undur diri dan mengembalikan otoritas panggung kepada Reza dan Raissa. “Wah, kok cewek dari kampus kita enggak ada, Sa? Beneran enggak ada? Kasihan amat sih, kampus kita?” tanya Reza kemudian sambil menampilkan wajah memelas yang mengundang senyum simpul Raissa. “Ada kok, nanti. Sabar dong, Arjunaku! Yang ini dulu ya, Cowok friendly berbadan atletis, kutu buku, namanya juga sudah enggak asing lagi di klub debat Inggris. Kabarnya, Dia baru-baru ini menjuarai pertandingan tae kwon do se-Jakarta. Tentunya Teman-teman mau kenal lebih dekat, kan? Michael, silahan bergabung sama kita-kita di atas sini,” pinta Raissa. Yang dipanggil, muncul dengan senyum menawannya, menyapa semuanya dan memperkenalkan diri secara singkat. Sontak, gue terperangah. Sial, ini kan Cowok yang tadi main mata sama Rheinatta! “Oh my God! Six-pack body! Cool juga Cowok satu ini! Sudah begitu, komunikatif pula. Enggak terkesan seperti kutu buku yang selama ini dikasih stigma sebagai Orang yang pendiam. Kalau gue jadi Ceweknya, jangankan Cewek lain, lalat aja pasti enggak gue kasih kesempatan buat menempel ke badan dia. Para penggoda o te we rumah sakit, gue hajar tanpa ampun! Gue jambakin rambut di kepalanya sampai botak!” gumam Rheinatta perlahan. Sepertinya tanpa sadar. Mata Rheinatta tak henti menatap ke arah Michael, Sang Mahasiswa Fakultas Sastra semester V yang tengah menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh Penonton. Gue mengambil sikap waspada. Rasanya seperti mendengar alarm tanda bahaya yang nyaring di telinga gue. “Bee, kamu ngomong apa?” tegur gue nggak suka. Dan di luar dugaan gue, Bramantyo malah pakai ikut-ikutan menoleh mendengar komentar kagum yang keluar dari mulut Rheinatta. Setahu gue, komentar yang tidak direncanakan m kan muncul dari lubuk hati terdalam, toh? No edit, no poles-poles! Yang lebih menjengkelkan, Rheinatta tidak mendengar teguran gue. Pandangan matanya masih tertuju ke arah panggung. Bagaimana bisa hati gue nggak kebakaran? Itu terlalu jujur, Bee. Nggak etis, mengungkapkan kekaguman pada Cowok lain, di depan Pacarmu sendiri! Mulut gue jadi gatal buat menegurnya lagi. “Bee, ngapain kamu ngelihatin Si Michael sampai segitunya?” Merasa diabaikan, sekarang gue merasa perlu meninggikan nada suara gue. Kali ini, Dia langsung memalingkan wajahnya mendengar teguran gue yang mungkin saja dianggapnya enggak seperti biasanya. Iyalah. Sudah begitu banyak hari dan kebersamaan yang kamu lalui bersama. Sudah semestinya dia meraba dengan jelas, barusan itu ada muatan emosi yang tidak ditahan, dalam suara gue. “Hah? Enggak kok, Hon. Enggak ada apa-apa,” elak Rheinatta, tergeragap. Gue enggak langsung percaya. “Bee, kamu nggak ikut-ikutan nanya, tuh? Gih, sana!” goda gue dengan cemburu, di tengah sesi tanya jawab dengan Michael. Rheinatta tersipu. Sulit buat gue terjemahkan artinya. Apakah dia senang dicemburui sama Pacarnya, ataukah malu lantaran terciduk sedang menatap Cowok lain dengan sorot mata kagum. Rona merah langsung menjalari pipinya, seolah darah mengalir dan berkumpul semua di sana. Dobel zonk, di panggung sana, gue mendapati tatapan Michael juga terarah pada kami. Ah, gue nggak yakin ke arah kami, pasti ke arah Rheinatta seorang. Apa maunya Anak satu itu? “Dih, apaan sih, Hon? Udah rahasia umum tahu, Michael itu jelas-jelas naksir sama Kalista, lagi! Barusan itu aku berpikir, cocok juga kali ya, kalau Michael jadian sama Kalista? Pas banget deh. Mereka berdua bakalan menjadi Pasangan yang serasi,” gumam Rheinatta dengan pandangan mata menerawang, mungkin sekaligus menghibur diri dalam diam, bahwa dia takkan mampu bersaing dengan Seorang Kalista untuk merebut hatinya Michael. “Hah? Apa, Rhein?” kali ini Bramantyo yang tersentak mendengar ucapan Rheinatta. Sampai-sampai dia tak sadar, kekagetannya itu 11 - 12 dengan sentakan.  Kontan, gue mengernyitkan dahi mendengarnya. “Nggak perlu pakai bentak Cewek gue juga Bram. Selow aja, nanyanya.” Spontan gue protes, merasa Rheinatta dibentak olehnya, di depan mata gue pula. Berani amat? Lha gue saja..., seingat gue enggak pernah tuh, membentak-bentak dia. Ya kecuali kalau kami berdua lagi bertengkar hebat. Huft. Teringat soal pertengkaran, auto luntur rasa kesal gue ke Rheinatta sebelumnya. Yang tertinggal justru penyesalan. Bramantyo langsung cengar-cengir dan menyahut pendek, “Sorry.” Ada yang aneh. Jangankan mengapresiasi apa yang barusan gue lakukan buat dia, Rheinatta malah terlihat bengong, entah membayangkan apa. Bramantyo pun tak jauh berbeda, diam setelah cengirannya mereda. Sebuah pemikiran singgah di benak gue. Ya, gue baru ngeh, ulah dua orang yang terdekat gue ini sungguh jauh dari kesan wajar. Dan umumnya, kelakuan ganjil serta nggak biasa kan mengacu pada kondisi jatuh cinta, toh? Jadi..., mereka berdua...? Sebersit pemikiran melintas di benak gue. Nggak tercegah! “Ini, kalian berdua kenapa sebetulnya? Kelakuan kalian mencurigakan. Ah, masa bodoh, deh. Ngapain dipusingin? Acara digratisin gitu. Lihat tuh, si Michael sudah lenyap di balik panggung. Siapa lagi yang tampil? Heeeh …si Andra? Lagi-lagi dia menangin kejuaraan catur? Hebat!” komentar gue. Tujuannya sih, semata buat mengembalikan fokus perhatian Rheinatta dan Bramantyo pada acara yang berlangsung. Tapi nyatanya... “Hon-Hon … acaranya mulai membosankan. Mending kita geser ke sisi timur, lihat ada makanan apa. Atau mau ke kantin Teh Rina sekalian? Kita makan, yuk. Bram, mau makan nggak?” ajak Rheinatta setengah merajuk dan menyebut kantin langganan kami, yang cita rasa serta kebersihan makanannya mirip-mirip dengan kafetaria di seberang kampus D dan letaknya terpisah dari Kansas. Tampaknya, sekadar coklat dan s**u uht tidak serta merta membuat Rheinatta merasa kenyang dan melewatkan keinginan untuk makan siang. Hati gue tergerak. Gue menoleh dan menepuk bahu Bramantyo. Gue juga merasa ini adalah kesempatan untuk meninggalkan area acara ini. Hati gue sudah bersorak membayangkan kebebasan di depan mata. “Gimana, Bram? Mau makan sekarang? Cabut, yuk!” ajak gue. Bramantyo memalingkan wajahnya. Lalu, dia tersenyum manis pada Rheinatta. “Laper berat ya, Non? Sebentaar lagi, boleh ya? Gantian, kan tadi elo yang minta buat sabar nunggu acara,” pinta Bramantyo dengan nada persuasif. Bujukannya ampuh. Buktinya, Rheinatta mengangkat bahu, meski memasang wajah lesu. “Nah, tuh, siapa tahu ada tontonan menarik, habis ini,” bujuk Bramantyo lagi, yang segera diangguki Rheinatta. “Bee, kalau masih ada makanan di ransel kamu, dimakan dulu,” saran gue lantaran kasihan. Rheinatta menggeleng lemah. “Malas, Hon. Roti sama s**u melulu,” sahutnya. Tapi dua detik kemudian, dia teringat sesuatu dan mengorek isi tas ranselnya, “Eh, coklatnya masih ada. Tapi varian lain. Yang green tea. Kamu mau, Hon?” “Buat kamu aja, biar kamu nggak pingsan,” tolak gue dan menatapnya intens. “Pingsan? Mulai deh, lebay-nya,” Bramantyo setengah bergumam. Kalau saja Rheinatta mendengarnya, bisa gue pastikan mereka berdua bakal berdebat nggak penting lagi. Dan yang diperdebatkan juga yang itu-itu lagi. Seperti radio rusak kadang-kadang. Mana bisa gue fokus pada acara tanya jawab dengan Para Sosok berprestasi yang tengah diperkenalkan oleh Reza dan Raissa? Lihat saja di atas panggung sana. Sosok mereka beragam. Dari Pelatih theater yang telah sukses membawa Para Anggotanya terkenal dan menghasilkan dana yang lumayan untuk kas Fakultas Sastra, Penerjemah yang banyak mendapatkan job di even internasional, sampai ke yang terakhir, Sosok Cewek mungil bernama Kalista yang kabarnya sudah menerbitkan dua buah Teenlith dan bahkan salah satunya menjurai kompetisi Teenlith yang diadakan oleh sebuah Grup Penerbit Mayor. Sudah begitu, Raissa menyebutkan pula bahwa saat ini Kalista sedang dilibatkan dalam penulisan skrip film televisi. Ya, ini adalah Kalista yang tadi, yang membuat Bramantyo mengamati tanpa kedip, sampai dia nggak sadar bahwa Rheinatta mulai menatap gue penuh arti. Gue rasa, Rheinatta nggak peduli lagi sama rasa laparnya. Rheinatta menjawil lengan gue. “Eheem … kelihatannya sih, Sang Arjuna kena panah asmara nih, Hon. Udah capek kali dia ngejomblo terus, banyak godaan soalnya. Sang Cupid menembak dengan tepat. Pas sama monolog Kalista tadi. He he he ...” bisik Rheinatta di telinga gue. Menangkap gelagat bahwa Rheinatta akan bertindak lebih jauh, gue langsung menggeleng tegas, lantas cepat-cepat menempelkan jari telunjuk di bibir. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN