POV Kelvin
“Lah! Itu kan elo! Sylvanie mah, beda. Ibarat kucing yang punya nyawa sampai 9, Sylvanie punya cadangan hati yang luar biasa banyak. Hati seluas samudra, buat Andhika seorang. Eh, ngomong-ngomong, nonton di sebelah mana dia? Gue belum lihat dia dari tadi,” sahut Suara yang pertama.
“Pasti di depan, lah! Dia kan masih betah di-pehape sama Andhika. Bisa gue pastikan, sekarang ini dia lagi menatap tanpa berkedip di sana. Bisa jadi mulutnya juga sampai menganga, saking terkagum,” duh! Lagi-lagi percakapan semacam ini, berlanjut pula!
“He! Still enjoy the show?” mendadak Bramantyo menanyai apakah gue masih menikmati acaranya.
Gue menerka-nerka apa maunya. Dan rasanya gue langsung mendapatkan jawabannya. Bramantyo mulai bosan dan dia cari Teman, nih!
Gue malas menjawab. Lalu gue tertawa tanpa suara, berharap dia tak menangkap rasa tak nyaman yang tambah ganas menjajah gue. Nggak perlu!
“Ternyataaaa..., anak-anak Sastra itu banyak yang seleb, ya?” cetus gue iseng.
“You mean?” tanya Bramantyo sambil mendekatkan kepalanya.
“Enggak dengar apa, dari tadi ada saja yang dirumpiin,” kata gue dengan super pelan, mencegah agar jangan sampai Para Cewek di belakang gue mendengar suara gue dan merasa tersinggung. Hm, gue enggak berminat untuk cari ribut sama Orang. Hitungannya gue yang nebeng, numpang nonton acara, di sini.
Bramantyo terbahak.
“Ha ha ha...! Jangan-jangan, malah anak fak kita yang terlalu serius. Atau, sok serius?” sahut Bramantyo.
Gue mengedikkan bahu.
Percakapan kami terjeda riuhnya tepuk tangan riuh dibarengi suitan heboh Para Penonton. Tepuk tangan yang terus menggema, mengiringi berlalunya Segenap Personil band Just For Fun dari panggung. Sepertinya mereka amat sangat tidak rela.
Sontak gue menggoyangkan kepala gue kuat-kuat. Enggak, gue nggak mau terperangkap ke perasaan de javu! Enggak boleh!
“We want more! We want wore!!!” teriak Penonton dengan penuh semangat, bersamaan munculnya Sepasang Pembawa acara yang berwajah ‘gaul’ ke atas panggung dan berpakaian senada, t-shirt round neck dengan tulisan vertikal BEBAS, dipadu kemeja kotak-kotak warna merah menyala dan celana jeans belel. Mereka adalah Reza dan Raissa.
“Curanmor! Curanmor! Curanmor!” sahut Kelompok Penonton yang lain. Nyaring sekali.
“Iih... jayus! Sok asyik. We want more-lah disamain dengan curanmor!” Rheinatta menoleh ke.gue.
Dia setengah mencebik, mendengar teriakan curanmor yang tidak pada tempatnya itu.
Gue berdeham kecil. Sementara Bramantyo, menggelengkan kepalanya.
Selagi asyik memperhatikan Reza dan Raissa yang bergantian menyapa Penonton dengan gaya yang komunikatif, gue merasakan tangan Rheinatta meraih bahu gue.
“Apa, Bee?” tanya gue sambil mencondongkan kepala ke wajahnya. Hampir saja pipi kami saling bergesekan saking dekatnya. Untung saja gue tahu diri dan menjaga jarak, sedikit memundurkan kepala gue.
“Hon, kebaca banget deh. Duo emsi ini pasti ada hubungan khusus. Coba diperhatikan deh. Cara mereka memandang satu sama lain, gestur mereka, senggolannya Raissa, sama kayak teguran keras, supaya Reza mengerem kecentilannya ke Para Penonton Cewek yang pada nggodain dia,” bisik Rheinatta, menerjemahkan bahasa tubuh Raissa.
Ampun deh Cewek gue ini! Bisa-bisanya dia mikir sampai ke sana! Ya gue tahu sih, pergaulannya dia jauh lebih luas dari lingkup pergaulan gue. Tapi nggak harus bikin asumsi juga, kali!
“Hon, kalau saja Para Jomblowan dan Jomblowati yang tiap malam berdoa, berharap mendapatkan cinta mereka tahu, barangkali sebentar lagi kita bakal dengar bunyi krak atau krek dari hati Para Jomblo yang terpotek jadi dua. Pasti nyaring Hon, dan bikin pilu mereka yang mendengarnya,” lanjut Rheinatta dengan diksi yang membuat gue langsung mengangkat alis.
Biasanya gue kurang suka menanggapi kalau dia mulai membicarakan hal-hal begini.
Tapi entahlah, kali ini beda. Barangkali gue memang masih perlu peredam dari rasa, yang ditinggalkan oleh penampilan Just For Fun barusan.
Bergosip sedikit dengan Pacar sendiri, nggak ada salahnya buat pengalihan, rasanya.
I need it, right now. Benar-benar butuh!
“Oh, ya? Kenapa memangnya?” tanya gue.
“Eh, dress code double R sama. Kembaran atas inisiatif sendiri, sok pakai kostum couple, atau memang disediakan sama Panitia?” sebelum Rheinatta menyahut, sebuah Suara keburu terdengar.Gue langsung mendapati Siapa ‘Sang tertuduh’ yang mengungkapkan hal itu. Arahnya dari Seorang cewek yang berdiri satu deretan dengan Pacar gue.
“Gue kok berasa bahwa elo jealous tak terperi, ya?” timpal Kawan di sebelahnya.
“Kayak elo enggak aja! Pasti elo nggak rela kan, Reza yang doyan ngocol, doyan bercanda dan gampang akrab sama Siapa saja itu, mendadak jadi miliknya si Raissa seorang? Yakin, tuh hati sudah siap? Hm…, gue sih, yang nggak yakin,” balas Temannya penuh nada mengejek.
“He he he..., sejujurnya, enggak lah. Reza kan cakep, mirip Afgan versi generasi z gitu. Lebih nggemesin pula, karena dia rada pecicilan. Lihat tuh, dengan outfit-nya yang sekarang saja, teteeep... charming,” sahutan yang kemudian gue dengar ini membuat gue tergoda untuk memusatkan pandangan ke panggung.
Merasa terwakili, Rheinatta menepuk lengan gue.
“Nah! Dengar sendiri kan, Hon? Banyak yang naksir Reza. Mungkin, berbanding lurus jumlahnya sama yang terobsesi sama Raissa,” bisikan Rheinatta mengalihkan fokusnya gue.
“Kamu kok update banget sih, Bee.” Pelan, gue menjentikan jari gue ke hidungnya.
“Hon..,” Rheinatta merengek manja.
“Hm?”
“Hon, itu yang di depan sana namanya Sylvanie Rachmawati. Ih, kelihatan banget dia kurang perhatiin cuap-cuapnya duo emsi. Padahal tadi dia melihat ke Andhika, nyaris tanpa kedip matanya,” komentar Rheinatta tiba-tiba.
“Kamu kok sempat-sempatnya sih, nonton sambil perhatiin banyak Orang begitu?” Gue tak tahan untuk mengkritik Pacar gue ini.
Rheinatta tak menyahut.
“Belum tune, double R! Belum tune, tahu!” terdengar sorakan riuh Para Penonton, membuat Reza dan Raissa saling berpandangan, lalu bertukar senyum.
“Lihat tuh double R, kurang mencurigakan apa coba? Tadi senyumnya ke penonton. Sekarang? Kok senyum berduaan? Ih! Ini nggak ada bedanya sama Pegawai kantoran yang menyelewengkan jam kerjanya buat main mata dan pacaran. Korupsi jam kerja, ini mah!” satu di antara Tukang ngerumpi yang berada di barisan belakang, nyeletuk lagi.
“Iya, gue baru ngeh. Kentara banget! Gilaaaa, baru jadian, kali? Pakai bahasa kasih ala abege gitu. Apa kita teriakin yang kencang saja biar mereka sadar, bahwa mereka lagi ngemsi?” sahut Suara lainnya.
Gue menggeleng-gelengkan kepala.
Lumayan mujur, mereka yang di belakang gue itu tak perlu membuat kegaduhan lebih lama. Gue melihat Reza mengangguk, memberi isyarat agar Raissa mengambil alih panggung.
Lantas Raissa bilang, Just For Fun masih akan membawakan dua buah lagu lagi di penghujung acara. Usai berkata begitu, dia segera mempersilakan Kezia, yang disebut sebagai Mahasiswi semester VII Fakultas Sastra, untuk melakukan stand up comedy.
Penampilan Komika Cewek ini lumayan mengocok perut Penonton. Tetapi begitu dia turun panggung, digantikan oleh Reza dan Raissa yang adu rayuan gombal, gue melihat Penonton tak terlalu antusias. Demikian pula Rheinatta.
“Ih, apa sih!” dumal Rheinatta.
“Kenapa?” Gue berbisik lirih.di telinganya.
Rheinatta menoleh pada ke gue dan mencebik.
“Mereka ngulur waktu, itu Hon. Pakai ketawa-ketawa gitu, lagi. Mending kalau asyik. Ini malahan bikin bosan.”
“Dinikmati saja acaranya, kan gratis,” bujuk gue.
Ia menurut.
Di depan sana, sebuah panggung tambahan sudah siap dan Tiga Orang Kru mengangkat ibu jari kepada Reza. Reza membalas acungan jempol itu dan tersenyum.
“Oke! Karena kami berdua nggak mau kalian baper dan mencontek semua rayuan yang belum sempat kami patenkan, kita langsung ke acara berikutnya, ya. Panggungnya juga sudah siap. Buat yang spesial, memang harus diperlakukan secara spesial,” cetus Reza.
“Siapa yang bakal tampil? Se-spesial itu? Lebih spesial dari aku?” tanya Raissa kenes.
“Tuh, kan, terang-terangan saling flirting mereka. Gue bilang juga apa!” sebuah gerutuan dari ujung kiri belakang singgah tanpa diundang ke telinga gue, dan nyaris mengundang tawa geli gue karenanya.
“Kita selesaikan urusan domestik kita di belakang panggung saja ya, Sa,” ujar Reza sambil mengedipkan mata.
“Yang akan tampil sebentar lagi, sudah terlebih dahulu kita kenal tulisan-tulisannya yang lugas biarpun dia baru duduk di semester III. Bedanya, kali ini dia akan membawakan sebuah tari modern kreasinya sendiri dengan monolog yang diiringi rekaman musik intrumentalia, Siapa dia?” Reza mengarahkan michrophone ke arah Penonton.
“Kalista! Kalista Kusuma Wardhani!” Seru Para Penonton dengan kompak, meski tidak ada yang memberi komando.
Rheinatta tampak girang.
“Hon, Kalista Hon! Aku kepengen ship*)LL-in dia sama Bram. Kayaknya mereka berdua cocok deh! Dia sama Sylvanie sama-sama punya peran penting mengelola buletin kampus, Hon. Dia juga, yang mencetuskan e-buletin,” cetus Rheinatta tiba-tiba, membuat gue mengernyitkan kening.
Menjodohkan Bram? Ampun, deh! Kok kepikiran sampai ke sana sih dia? Out of the box sekali Pacar gue ini!
“Mana Kalista-nya? Tampilkan!” Segerombol Penonton Cowok kontan bertingkah ba Musafir yang menemukan oase di padang gersang, setelah berhari-hari bersusah payah mencarinya. Mereka berseru berbarengan, demikian bersemangat bertepuk tangan dan meneriakkan nama Kalista Kusuma Wardhani.
Terdengar decakan Rheinatta yang mengerling kepada Bramantyo.
Gue jelas terusik.
Gue mendapati Sahabat gue ituu menatap lurus ke panggung.
Sementara Rheinatta menggeser posisinya, kini tepat berada di sebelah gue. Barangkali dia merasa agak sulit berkomunikasi dengan gue jika tetap di posisi semula, sedikit di depan gue.
“Hon, lihat sendiri! Sebanyak itu saingannya Sobatmu! Kalau dia nggak gercep, hm.., aku cuma bisa puk-puk dia doang, pertanda ikut prihatin,” bisik Rheinatta serius, ke telinga gue.
Gue hanya bisa mengelengkan kepala gue sebagai isyarat agar Rheinatta tidak membahas lebih jauh lagi. Tetapi Rheinatta malahan membalas gue dengan mengangguk mantap dan mengangkat telunjuknya bagai mempringatkan gue betapa dia sungguh-sungguh dengan perkataannya. Alhasil, gue mengangkat bahu. Ampun deh Cewek Tersayang ini!
“Inilah dia.. Kalista Kusuma Wardhani!!!” Seruan berbarengan dari Reza dan Raissa setelahnya memaksa fokus Rheinatta kembali ke arah panggung. Gue menarik napas lega.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
*) LL : Istilah untuk menjodohkan/ mencomblangi