CUPID In Action (1)

2127 Kata
POV Rheinatta “Ini dia penampilan yang aku tunggu-tunggu.” Aku bergumam pelan. Gumaman yang hanya didengar olehku sendiri, lantaran tersaingi hebohnya suitan Para Cowok yang kegirangan. Di depan sana, aku melihat Kalista tengah melangkah anggun. Gadis itu menapaki empat buah undakan, dari panggung utama menuju panggung yang lebih kecil, yang ditempatkan tepat di tengah-tengah panggung utama oleh Para Kru sementara Reza dan Raissa mengulur waktu dengan saling berbalas pantun tadi. Di sanalah Gadis manis itu berada kini. Tubuh mungilnyaya jadi tampak tinggi sekarang, sehingga memungkinkan Para Penonton yang di bagian belakang juga dapat menyaksikan secara jelas, termasuk aku. Keadaan di sekitarku mendadak senyap. Semua Orang tampaknya tahu diri untuk tidak mengganggu konsentrasi Orang lainnya untuk menikmati penampilan Sang Bintang Yang ditunggu-tunggu semenjak tadi. “Ck, ck, ck! Dengan wedges yang setinggi itu, apa dia nggak takut, tungkainya patah, atau minimal terkilir?” Seketika aku mendengar celetukan Bramantyo. Celetukan yang cukup jelas terdengarnya di telingaku lantaran suasana yang hening. Eeeh? Bramantyo? Auto kaget aku tuh. Jarang-jarang lho, Bramantyo begitu! Langsung dong, aku menoleh dan menjangkau bahu Kelvin. Aku melihat sedikit rasa enggan yang bercampur rasa penasaran terbias di wajah Kelvin. Tetapi itu toh tak menghalanginya untuk mendekatkan telinganya ke bibirku. “Hon, kayaknya Bram naksir Kalista deh,” ujarku tanpa membuang waktu lagi. Sayangnya perkataan lirihku berbalas gerakan Kelvin yang menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya. Ih, nggak asyik banget, cowokku ini! Jadi manyun deh bibirku karena reaksinya yang payah itu. Dari pada kesal lantaran pancinganku gagal, memang sebaiknya aku diam sesaat dan menyusun strategi. “Selamat pagi menjelang siang, Kawan-kawan sekalian! Senang sekali kita dapat berkumpul bersama hari ini. Oke, saya nggak akan membuang waktu Kalian. Yang satu ini, saya persembahkan khusus buat kalian,” dengan tenang dan penuh percaya diri, Kalista menyapa Para Penonton dan melemparkan senyum segar yang berpotensi membuat hati Kaum Cowok menggelepar, sekaligus membuat yang Cewek-cewek pasang sikap waspada sebab merasa mendapat saingan berat. Aku enggak termasuk lho ya, karena aku yakin sejuta persen, cintanya Kelvin kan hanya untuk diriku seorang, he he he. Aku sama sekalin tidak menganggap Kalista sebagai saingan atau ancaman bagi hubunganku dengan Kelvin. Aku justru salut dengan Kalista. Penampilannya sungguh pas. Di dalam balutan t-shirt lengan panjang berwarna dusty pink yang melekat di tubuhnya, aku yang Cewek saja nggak akan ragu untuk mengakui, kecantikan Kalista sungguh paripurna. Kombinasi corak batik pada kedua lengannya, dipadu dengan celana berbahan jeans skinny berwarna hitam pekat yang membalut kakinya yang jenjang, membuat tampilannya kian menarik saja. Eeeh..., aku jadi tergoda untuk mencermati mimik muka Bramantyo sekarang. Tapi sayangnya, sebelum niatku terlaksana, kerlingan mataku justru menangkap pandangan mata Seseorang yang tengah menatap ke arahku. Iya, tepat ke arahku! Kupastikan, dia memang menatap padaku, meski jarak kami terpaut agak jauh. Sumpah aku nggak kegeeran. Nih aku kasih tahu buktinya! Pada saat tatap kami saling tertaut, dia menganggukkan kepalanya, tersenyum dan melambai ke arahku. Lantas begitu aku membalas lambaiannya, senyumnya malah kian lebar saja. Ehm..., jujur saja, aku menyukai senyumnya. Senyum itu pula yang membuat aku jadi berpikir, Siapa gerangan dia? Dia tampak mengenalku. Aku bisa merasakan hal itu dari cara dia tersenyum. Itu bukan jenis senyum tebar pesona yang sekadar untuk menjaring Mangsa. Aku diam sesaat dan mengingat-ingat. Dia kan...? Sebelum sempat kuingat secara jelas, Sosok itu telah bergerak ke depan, terus bergerak. Momen yang teramat singkat, tetapi harus aku akui, tak urung meninggalkan desiran di dadaku yang tak kunjung mereda. “Siapa, Bee?” tanya Kelvin. Sepertinya Kelvin memergoki aku melambaikan tangan pada Seseorang barusan. Aku sedikit tergeragap. “Oh, enggak kok Hon. Itu, cuma Adik kelas,” ucapku cepat, demi menghindari membahas lebih jauh. “Musiknya bagus ya, Hon. Cara Kalista membuka penampilannya juga ciamik. Itu, caranya duduk di tengah panggung mini sambil menopang dagu dan sesekali menatap ke atas, ke arah bulatan besar yang dipantulkan di sisi panggung, terkesan dia lagi ngelamun,” pujiku, berharap Kelvin benar-benar melupakan insiden tak penting barusan. Eeeh, nggak penting? Eng..., sebetulnya sih... ehm... sudahlah! Cukup aku yang tahu, ya! Cowok tadi... mengapa meninggalkan kesan mendalam begini? Padahal dia kan..? Aman. Kekasihku ini tak berkomentar. Karenanya, aku bisa menikmati penampilan Kalista dengan hati tenteram. Aku melihat Kalista menyibakkan sedikit rambut hitam panjangnya, lalu pandangannya jauh menerawang. Ekspresinya berubah secara cepat dan dapat kami saksikan melalui tampilan layar besar. Lalu suara Kalista terdengar lantang, seiring volume musik intrumentalia yang agak menurun. “GARA-GARA CUPID Kalian tahu CUPID, kan? Itu lho, si dewa asmara itu? Tahu nggak, kenapa CUPID, selalu digambarkan dalam Sosok bocah lelaki, dengan tampang yang tengil, pula? Kenapa bukan digambarkan sebagai Pria dewasa, yang keren, yang mature, yang berkharisma, or... yaach... kalau pinjam versi pasangan yang baru menikah, anggap lah... hmm... kebapaan? Bapak muda, mungkin. Atau malahan Hot Daddy, begitu?” Jika semula Kalista hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, sekarang Gadis itu bangkit dari duduknya. Bak pemain opera yang sudah sering manggung, gerakannya teramat luwes, namun lekas berubah, pun ekspresi wajah yang ditampilkannya. Sekian detik terlihat seperti raut muka wajah Orang yang sinis, kali lainnya seperti sedang menggurui yang diajak bicara, sejalan dengan gerakan tangannya. Terutama pada lanjutan monolog yang dia ucapkan ini... “Hm... hasil rumpian dengan para victim panah asmaranya sang CUPID, seperti ini, Man Teman.. Karena perasaan cinta, identik dengan sikap kekanakan. Mana ada, orang yang sedang jatuh cinta, lalu bertindak logis? Coba cek sama dia, dia itu sungguhan jatuh cinta, atau sekadar kesandung saja?” Aku hampir mesem, mendengar kalimatnya ini. Tapi mendadak aku tersentak mendengar seruan tertahan Para Penonton di depan. Rupanya, hal tersebut terjadi lantaran Kalista berpura-pura tersandung, di panggung mini yang setinggi itu, pula! Dan secepat itu pula, Kalista tertawa renyah, berputar cepat, dan melompat mengikuti irama yang mengentak. Pada detik ini, aku yakin seribu persen, tak hanya para Cowok, para Cewek pun ikut menahan napas. Itu, itu, bahaya sekali. Membuat aku bertanya-tanya dalam hati, sebetulnya ini monolog atau penggalan adegan film aksi, sih? Bagaimana kalau dia jatuh dan terpeleset? Nggak lucu, kan? Bukannya acara hiburan namanya kalau membahayakan Para Pengisi Acaranya! Ingin rasanya aku mengomel. Mujur, semua aman terkendali. Jadi aku batal mengomel. Di momen berikutnya, aku melihat Kalista menggoyang-goyangkan badan ke kanan dan ke kiri, menirukan gaya orang nyinyir yang sedang bergunjing. Gayanya tampak natural. Pasti dia sudah banyak melakukan riset. Bersamaan dengan terdengarnya lanjutan monolognya, dia sedikit membungkuk dan mengacungkan jari telunjuknya. “Hei, pada nggak percaya? Dengar, itu menurut nara sumber yang bisa dipercaya, kok! Ada pendapat lain? Yuk, mari disimak terus... Amati secara saksama ekspresi si CUPID. Super duper tengil, niat banget mau menggoda, tetapi dia terlihat bahagia. Nah, kuterjemahkan, artinya, dia senang, teramat menikmati, menyaksikan tontonan konyol, tingkah laku mereka yang terhujam panah asmara yang dilesat dari busurnya. “Childish, gue banget, mungkin begitu yang dipikirkannya.” Serasa dia punya teman, ha ha ha... Oh, kalau begitu, anggap saja simbiosis mutualisma, ya? Yang dipanah senang-senang saja, apalagi yang memanah. Tampak puas dengan kinerjanya. Hm, artinya, every body happy, dong!” Monolog terjeda sesaat, mungkin memberi kesempatan kepada Kalista untuk menunjukkan kepiawaiannya, bergerak dinamis mengelilingi panggung mini yang dipersiapkan khusus untuknya. Ketika dia rebah di tengah panggung dan membuat banyak gerakan bak pesenam lantai, semua mata seolah tersihir, hanya menatap ke tengah panggung saja. Bernapas saja rasanya Para Penonton harus ekstra pelan, karena bukan cuma takut terlewat gerakan Kalista yang super dinamis, melainkan sebagai antisipasi agar tak terlewat mendengarkan dengan jelas isi monolog yang kian menggeleitik saja. Dengar saja lanjutannya. “Eeeh..., terus gimana, kalau ternyata si CUPID ini hiperaktif, panah sana, panah sini, seenak udelnya sendiri?” Hening sesaat, seolah kami semua yang menonton turut diajak berpikir oleh Kalista. Persis seperti Kalista di atas panggung, yang menunjukkan gestur termenung. Beberapa saat kemudian, Kalista manggut-manggut, seolah dia baru mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri, dan melanjutkan monolog-nya. “Oh, kalau sudah begitu, ya nikmati saja, prosesnya. Kalau hatimu yang terpanah, jadilah a good willing victim. Menyerah saja lah, melebur dalam buaian asmara yang CUPID tebarkan buatmu. Enjoy the ride, teman! Eng.., maksudnya..., selagi sempat, sih.” Kalista berhenti barang dua detik, menahan napas dan memasang tampang protes, saat terdengar suaranya, “Lho, kok? Apa ini maksudnya?” Dan dalam tempo singkat, ekspresi wajahnya sudah berganti lagi, sewaktu penggalan monolog berikutnya terhantar... “Kan aku tadi bilang proses, ya? Namanya proses, itu dinamis, bukan statis. Bisa saja di tengah jalan, saat kamu lagi tergulung-gulung sama ombak asmara, eeeh.... si CUPID kecentilan, manah yang lain lagi. Yaaa..., Siapa tahu kalau dia bisa multy tasking juga, kan? Sialnya, yang dipanah itu jealous-anmu, alias rivalmu. Lebih sial lagi, dia memang mengincar doimu. Eh, aku sudah bilang belum, bahwa istilah sudah jatuh (cinta), memboroskan perasaan, waktu (dan uang) sebagai investasi dalam hubungan yang dijalin, lalu nyungsep karena ketabrak sama Pendatang baru yang ugal-ugalan, merebut doimu. Oh, enggak merebut juga sih, doimu dan dirinya, saling tertarik satu sama lain. Mereka saling jatuh cinta kok. Mereka terlarut dalam buaian asmara. Tak peduli pada dirimu. Dirimu yang tersakiti.” Monolog terjeda kembali, digantikan oleh latar musik instrumentalia yang super sedih dan menyayat perasaan. Kalista meliukkan badannya, tangannya, kakinya, mengikuti alunan musik. Wajah Kalista tampak amat murung. Sesuai benar dengan monolog-nya. Monolog yang diucapkan dengan super drama, penuh penghayatan. Di bagian ini, permainan cahaya di panggung turut menguatkan efek dramatisnya. Hingga terdengar lanjutan monolog dari Kalista. “Lalu... bye bye! Krek! Ada hati yang terpotek. Datanglah hari-hari mellow yellow, di mana kamu mendadak sukaaaaa... banget, mendengar kumpulan lagu menye-menye, dari yang pakai bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan terpikir mau dengar yang versi bahasa planet juga. Dari yang bergenre slow rock, pop rock, easy listening, metal, sampai-sampai yang berjenis campur sari. Pokoknya semua kamu lahap karena kamu merasa itu dapat mewakili perasaanmu yang tercabik. Lalu ada waktu-waktu di mana air matamu begitu murah, diobral setiap hari, membanjiri peraduanmu, meninggalkan bekas ‘sejumlah pulau’ di bantalmu Kamu menangis dan meratap daam berbagai bahasa istilahnya, padahal yamg terdengar hanya huuu... Hu... Huuu. Hu hu hu Ada emosi yang cepat berubah dan tak terkendali, menguasai dirimu, ada kemarahan, penyesalan, kesedihan yang berpadu kehilangan semua perasaan negatif, kompak menyergapmu Oh, broken hearted!” Telingaku menangkap suara tawa tertahan dari beberapa Penonton, yang langsung disambut teguran, “Sst!” oleh yang lainnya. Aku tahu, mereka khawatir tak dapat mendengar jelas kelanjutannya jika situasi berisik.  Beruntung, Para Penonton ini tampaknya punya tenggang rasa yang tinggi, antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka tutup mulut, fokus pada ekspresi sedih yang mulai mengendur di wajah Kalista, berganti dengan ekspresi garang dan pergerakan yang dinamis, selaras dengan suara rekaman monolog yang kembali terdengar. “Lalu datang deh, masa penyangkalan itu. Kamu bakal sekuat hati merebut kembali Sang Mantan. Oh iya, sudah jadi Mantan kan, ya? Bukan Doi lagi, kan? Soalnya kavling kamu di hati dia sudah digantikan oleh yang lain. Sertifikat kepemilikan sudah ganti nama. Tetapi dianya malah tambah lengket tuh, sama Gandengan yang baru. Kalah power glue, mah! And the days go by... Kamu sepertinya mulai bijak. Kamu berhenti mengasihani diri, mulai mau menerima kenyataan. Kalau pinjam lyric lagu, kira-kira begini, “I’m moving on..” Yup, kamu memutuskan untuk melanjutkan hidupmu, sebagaimana yang seharusnya.” Kalista tersenyum, sembari meliukkan tangannya ke atas. Sudah pakai wedges, masih berjinjit, pula dia. Jujur, aku takut jempol kakinya kenapa-napa. Tapi aku bisa bilang apa? Oh, ambil positifnya saja. Sepertinya Kalista melakukan itu sebagai penjiwaan mungkin, bahwa dia tengah berusaha menggapai harapan yang baru. Musik instrumentalia berubah menjadi cepat dan ceria, sekarang. Suara rekaman Kalista terhantar lagi. Senyum menghias bibirnya. “Wajahmu berseri. Dan..., si CUPID yang sudah lama mengintai, menarik lagi tali busurnya. Eh, dia pakai ngedipin mata dulu, seakan-akan dia bilang, “New love is coming! Be ready!” Beneran lho, kamu ditembak. Dan sebelum menerima cinta baru ini, kamu menyempatkan pergi ke laboratorium buat mengukur kadarnya. Katamu, “Oke lah, ya. Give it a try. Why not? I feel, this one is even better than a previous one.” Yihaaaa! Dari status soon to be lovers, kini kalian berdua sepakat mengaupdate status ‘in relationship’. Asyiik! Tapi di sana.., iya, di sana...! Sang Mantanmu merana. Dia baru sadar, telah melepaskan Permata, demi mengejar cinta sesaat. Tahu dia bilang apa? “Gara-gara CUPID! Aku akan bikin perhitungan denganmu!” Ya, dia menyalahkan Si Cupid.” Monolog usai, tetapi semua mata masih enggan berkedip. Kami baru tersadar, bahwa Kalista yang menutup monolog dengan aksi energiknya melompat, berputar dan meliukkan badan sambil tertawa riang diiringi lagu, “Blame it to Cupid” yang dinyanyikan berulang dari rekaman yang disetel, mengatupkan kedua telapak tangannya ke d**a, sikap memberi hormat dan berpamitan. Seulas senyum manis masih dihadiahkannya kepada kami di penghujung penampilannya.  Sementara kami saja rasanya masih terhipnotis. “Sudah cantik, kreatif pula.” Sebuah gumaman membuat aku dan Kelvin menoleh serempak. Kalu ini Ttianpa dikomando, kami berdua saling beradu pandang. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN