POV Rheinatta
“Rheina, elo masih di sana?” tanya Bang Rusli.
“Iya, Bang.”
“Elo masih ada rasa sayang, kan, sama Mama?”
“Iya dong, Bang.”
Berkata begitu, aku merasakan selintas nyeri di dalam hatiku. Rasanya bagaikan tertusuk duri.
Sesuatu terjadi.
Masa kecilku terbayang sesaat, lalu segera aku tepis.
Sosok yang aku sebut ‘Mama’ itu juga melintas.
Mendadak aku rindu pelukannya. Aku rindu akan dekapannya yang hangat. Suaranya yang merdu ketika bersenandung di dalam dapur sembari memasak. Aku rindu semua tentang dia. Tapi bagaimana mungkin Papa bisa mengenyahkannya begitu saja? Sungguh, aku nggak habis pikir. Dan Papa bahkan juga berusaha untuk membuat diriku turut menghapus kenangan masa kecil aku. Dan seingatku tidak ada paksaan yang dilakukan oleh Papa padaku. Barangkali lebih tepatnya adalah ‘bujukan”, tindakan persuasif. Dan aku terkondisi. Dan aku mau. Jadi, Siapa yang bodoh dalam hal ini?
“Bagaimana pun, dia adalah Mama kita,” sebut Bang Rusli.
“Iya Bang. Nggak pernah ada Sosok lain yang bisa aku sebut Mama.”
Rasa perih itu kembali melintas.
Ya, Siapa yang layak aku sebut Mama? Dalam hal ini, Mama kandungku? Nggak ada!
Aku ini terlahir bukan dari rahim Mama Hani. Betul, itu namanya. Tapi sepanjang yang aku ingat, Mama Hani juga menyayangi aku. Fakta bahwa dia mau menerima aku saja sudah luar biasa.
Mau tahu Siapa sebenarnya Ibu kandungku?
Hhhh, sebetulnya lumayan berat untuk mengatakannya.
Mengapa? Sebab hal ini juga aku ketahui secara tak sengaja dalam pertengkaran hebat antara Papa dengan Mama Hani. Aku yang masih kecil saat itu, tentu saja belum dapat mencerna secara sempurna. Tapi seingatku, aku sudah dapat merasakan yang namanya sakit hati. Sakit hati yang mengendap secara bertahun-tahun dan amat sulit untuk diobati.
Yang jelas, Papa dan Mama Hani saling berteriak satu sama lain.
Kemudian sayup-sayup aku sempat mendengar bahwa Mama Hani mengatakan bahwa aku akan mempunyai adik. Wah, bukannya seharusnya itu hal yang sangat menyenangkan? Kehadiran anggota keluarga yang baru tentunya akan menyemarakkan keadaan rumah kami yang besar. Soalnya Papa sangat sering pergi keluar kota mengurus usahanya dan meninggalkan aku, Mama dan Bang Rusli bersama Para Asisten rumah tangga.
Entahlah. Yang aku tahu, ada makian-makian kasar yang terucap dari mulut kedua Orang tuaku. Kata-kata yang pasti kalau sampai kuucapkan di depan mereka, akan beroleh teguran keras, lalu disertai segala macam nasihat.
Dan esoknya aku harus menemui fakta ada luka di wajah Mama Hani. Juga raut tegang Papa yang akan kembali berangkat ke luar kota. Mata Mama Hani terlihat bengkak, mungkin karena menangis semalaman.
Di hari itu Papa memelukku dengan sangat lama dan berkali-kali mengatakan bahawa Papa akan segera kembali dan berpesan supaya aku tidur awal dan makan teratur. Papa juga berpesan ke Para Asisten Rumah Tangga untuk lebih memerhatikanku.
Dengan otak bocahku, mana mungkin aku berpikir ada yang tidak beres?
Terlebih pula, Mama Hani juga berbohong kepadaku sewaktu aku menanyakan kenapa wajahnya luka dan matanya bengkak. Mama Hani beralasan bahwa dia kurang berhati-hati dan terbentur pintu lemari. Dan lantaran tak kuat menahan sakit akibat terbentur, maka Mama Hani menangis hingga pagi, dan ngotot untuk tidak berobat ke Dokter.
“Mama kenapa nggak ke Dokter? Ayo Rheina sama Bang Rusli temani.”
Aku ingat, itu yang sempat kuucapkan waktu itu.
Dan Mama Hani hanya menggeleng sebagai jawabannya.
Mama Hani bilang, lukanya akan segera sembuh, jadi aku tidak perlu terlalu khawatir sebagaimana Papa.
Di sana lah aku menjadi paham, mungkin wajah tegang Papa itu dikarenakan Mama Hani yang membandel, sudah tahu sakit tapi tidak mau berobat ke Dokter.
Maka yang bisa aku lakukan adalah menemani Mama Hani dan merengek untuk diperbolehkan tidur di kamarnya. Dan Mama Hani mengijinkan.
Satu hari sesudahnya, ketika bangun tidur, aku bahkan nggak menemukan Mama dan Bang Rusli.
Kata Asisten Rumah tangga kami, Mama dan Bang Rusli pergi pagi-pagi benar.
Di situlah aku jadi teringat, jangan-jangan aku tidak bermimpi bahwa keningku dicium begitu lama dan rambutku dielus penuh kasih oleh Mama, beberapa jam sebelumnya. Jangan-jangan itu memang terjadi.
Yang aku tahu, Papa marah besar karena Mama Hani meninggalkan rumah tanpa seijinnya. Papa mempercepat kepulangannya ke Jakarta.
Dan semenjak hari itu, aku hanya punya Papa.
Papa yang berkeras membesarkan aku sendiri, dan mengurangi kegiatannya di luar kota.
Aku ingat, ada bebrapa Sosok Wanita yang dekat dengan Papa.
Ada di antara mereka yang berusaha mencari perhatian dariku, sering membelikan aku rok yang indah, boneka Panda yang besar, jepitan rambut yang lucu. Ada pula yang suka mengirimi aku makanan yang enak-enak.
Anehnya, aku nggak merasakan bisa dekat dengan mereka sebagaimana yang aku rasakan dengan Mama Hani.
Dan aku ingat, setiap kali aku mengatakan ingin bertemu dengan Mama Hani, Papa akan selalu mengajak aku melakukan kegiatan yang menyenangkan. Papa tidak ragu untuk mengajak aku ke kantornya, menyuruh Sekretarisnya menjaga dan mengajak aku bermain tatkala dia harus menghadiri rapat. Papa membelikan apa saja yang aku minta. Papa berusaha keras supaya aku ‘tidak berkekurangan sesuatu apa pun’.
Tapi Papa tidak pernah memberi ruang untuk menjawab pertanyaanku, “Mama ada di mana? Kapan Rheina bisa ketemu Mama?”
“Papa melarang elobuat ke Surabaya, ya?”
Pertanyaan Bang Rusli membuat aku terdiam.
“Rhein, sebetulnya gue mau meluruskan apa-apa yang mungkin dituduhkan ke Mama. Eng..., elo masih menganggap Mama Hani sebagai Mama kita bersama, kan?” tanya Bang Rusli.
Pertanyaannya ini sungguh menohok.
“Jelas Bang.”
“Terus kenapa elo nggak pernah ziarah kemari?”
Aku memejam mata.
“Bang, gue itu...”
Mendadak aku merasa suaraku menyangkut di tenggorokan. Sungguh nggak enak. Rasanya kepengen nangis. Ruang hampa yang ada dalam hati aku, yang telah sekian lama aku coba abaikan itu, kini mendadak meminta perhatian.
Aduh!
Aku ini Seorang Rheinatta yang ceria. Aku ini bukan Rheinatta yang cengeng, rapuh dan suka cari perhatian. Aku ini Anak Kesayangan Papa. Aku nggak kekurangan apa pun. Ya memang, ada Para Wanita yang silih berganti terlihat dekat sama Papa. Tapi dari dulu, Papa sepertinya tahu kok, signal-signal yang aku kirimkan. Nah buktinya hingga detik ini Papa toh nggak pernah atau belum pernah menikah lagi semenjak... semenjak Mama Hani pergi dari rumah ini.
Mama Hani pergi.
Ternyata itu bukan istilah yang tepat.
Saat usiaku semakin bertambah, aku menjadi paham sebuah istilah yang namanya ‘perceraian’. Cerai! Jadi, Orang menikah itu bisa bercerai? Lalu kenapa Mama Hani nggak membawaku serta dan membiarkan aku hanya bersama dengan Papa saja? Mama tahu aku masih sangat kecil waktu itu. Mama malahan membawa Bang Rusli bersamanya. Bang Rusli kan sudah besar!
Ada tahun-tahun di mana aku sangat marah dengan Mama, juga Bang Rusli.
Ada saat-saat di mana aku merasa Mama sebenarnya nggak pernah sayang sama aku, dan begitu mudah membuang aku. Dan herannya, Papa juga nggak mencoba meluruskan hal itu. Papa seperti sibuk untuk mengalihkan perhatian dan kenanganku. Papa jug anggak mau memenuhi keinginan aku untuk ‘mencari’ keberadaan Mama. Papa hanya sibuk menghibur aku setiap kali aku berkata bahwa aku sangat merindukan Mama Hani. Kadang aku sampai kesal sendiri.
“Rhein..., sampai menjelang akhir hayatnya, Mama bilang bahwa Mama tetap sayang sama elo.”
Tangisku langsung pecah.
Dan tak terhindarkan kalimat ratapanku setelahnya, “Gue benci sama elo Bang, kenapa nggak bilang bahwa Mama sakit keras? Gue benci kalau ingat itu! Elo tahu nggak Bang, gue yang sudah bertahun-tahun nggak pernah sekalipun mendengar Papa menyebut tentang Mama, malam itu mengunci diri di kamar dan menangis saat mendengar kabar bahwa Mama Hani meninggal. Papa merasa bersalah. Gue sempat mendengar Papa yang terisak di kamar itu bilang bahwa dia menyesal, karena sampai Mama Hani meninggal, dia dan Mama Hani belum saling memaafkan. Papa sampai sakit beberapa hari dan dirawat di rumah sakit. Gue benci elo Bang. Elo jahat! Elo itu sudah mengambil Mama dari gue dan Papa. Elo mengambil Mama Hani hanya untuk diri elo sendiri. Elo egois!”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $