POV Rheinatta
Bang Rusli diam beberapa saat, seolah dia sengaja memberi waktu bagiku, membiarkan aku menumpahkan uneg-uneg yang mengganjal di hati aku.
Ini bukannya meringankan hatiku, malah membuat aku semakin merasa apa yang aku ucapkan adalah benar.
“Rhein, tolong jangan nangis lagi. Elo tuh bikin gue sedih tahu nggak!”
“Elo yang bikin gue sedih, Bang. Elo itu terlalu keras kepala banget. Keras hati pula.”
“Enggak begitu, Rhein. Kita hanya..., punya cara pandang yang berbeda. Elo nggak tahu sih rasanya jadi gue.”
“Memang gue nggak tahu. Gue kan bukan elo.”
“Rhein, jangan begitu dong. Bagaimana pun juga, gue ini sayang sama elo. Elo itu Adik gue.”
“Adik yang ditinggalkan sama Abangnya sejak masih kecil.”
Gue yakin kalimat yang gue ucapkan ini sangat mengena. Buktinya, gue mendengarembusan napas Bang rusli yang bagai tingkah Seseorang yang tengah melepas beban yang menindih.
“Rhein..., kita ngobrol-ngobrol yuk, makanya? Elo datang kemari, ya?”
“Kenapa bukan Bang Rusli yang ke Jakarta?”
“Rhein, ayolah, gantian. Gue kan kerja. Cuti gue juga sudah habis.”
“Kan bisa pas akhir pekan. Tolong Bang. Sekalian menginap di rumah.”
Bang Rusli tidak menyahut.
“Bang..,” rengekku.
“Rheina, ayo dong jangan kayak Anak kecil.”
“Bang, ngomong yang jujur deh, Bang Rusli tuh masih marah sama Papa?”
“Kita omongin di Surabaya, ya? Terus nanti kita ziarah ke makam Mama. Mau, kan?”
Kata-katanya yang bernada bujukan itu sanggup membuat aku takluk.
“Ya sudah. Memangnya Bang Rusli nggak ngapelin Ceweknya?”
“Cewek yang mana?”
“Yang mana saja. Masa nggak ada Cewek Surabaya dan sekitarnya yang bikin Bang Rusli kecantol?”
“Lagi enggak,” jawabnya enteng.
“Gue pesankan tiket sekarang, ya.”
“Sebentar, janji dulu satu hal.”
“Apa?”
“Eng..., Si Michael itu lagi ikut kejuaraan di Surabaya. Kalau dia melaju sampai ke final, semestinya hari Sabtu sore dia masih di sana. Bang Rusli mau nggak menemani gue buat nonton?”
“Michael yang waktu itu ketemu di kafe?”
“Iya.”
“Elo..., sekarang sama dia?”
“Enggak, kok.”
“Lho terus? Elo nonton dia dan nggak ajak Si Kelvin, apa dia nggak marah nanti?”
“Ah, itu agak rumit ceritanya. Nanti gue sekalian curhat ke elo soal itu Bang. Tapi sekarang gue mau telepon Papa dulu. Gue mau bilang kalau gue mau ke Surabaya, nemuin elo. Siapa tahu dia malahan mau ikut. Jadi biar Papa yang beli tiket sekalian.”
Senyap.
“Bang, kenapa malahan diam?”
“Nggak apa-apa.”
“Elo itu masih marah sama Papa?”
“Enggak.”
“Terus?”
“Ya sudah. Gue tunggu kabar dari elo kalau begitu.”
Ini jelas Abang gue mengelak buat menjawab yang sejujurnya.
“Oke Bang.”
*
Aku menghubungi empat Orang secara berurutan setelahnya.
Pertama, aku meminta ijin ke Papa, dan Papa langsung mentransfer sejumlah uang ke rekeningku, mengatakan untuk uang saku aku. Papa juga langsung memesankan tiket kelas bisnis buatku. Saat Papa mau memesankan hotel untuk aku, aku menolak. Aku bilang ke Papa bahwa Bang Rusli pasti keberatan kalau aku tinggal di hotel. Dan Papa menyerah.
“Salam buat Rusli ya. Bilang ke dia, maaf Papa belum bisa ke sana. Dan sekiranya dia ada waktu, sering-seringlah ke Jakarta dan tidur di rumah,” kata Papa.
Entah mengapa, aku merasakan ada damai yang menyelusup, menjalar ke dalam hatiku yang segera menghangat.
Tuh, Bang. Papa sudah berkata seperti itu. Sekarang tinggal dari Pihak Bang Rusli. Sambut dong Bang. Kalian ini Para Laki-laki kenapa sih suka sok keras kepala? Padahal aku tahu sebetulnya hati Papa juga lembut, kok, batinku.
“Rhein, kamu jangan lupa untuk ziarah ke makam Mama Hani, ya. Terus kamu beli buket bunga yang paling indah. Mawar biru adalah kesukaan Mama Hani. Kamu minta tolong sama Bang Rusli untuk membelikannya. Dia pasti tahu toko bunga yang bagus.”
Hatiku sangat tersentuh.
Tapi itu belum seberapa.
Setelahnya Papa juga berkata, “Nanti di pusara Mama Hani, kamu bilang ya, bahwa Papa minta maaf atas semua kesalahan Papa dulu. Bilang ke Mama Hani bahwa Papa tetap sayang sama dia dan selalu mendoakan supaya Mama Hani bahagia di surga.”
“Pasti, Pa,” sahutku dengan suara yang hampir serak.
Aku dapat merasakan betapa rasa sesal itu masih ada.
“Lalu sampaikan juga salam Papa untuk Opa Roni. Coba kamu pesan beberapa suplemen yang cocok buat Opa. Kamu pakai kartu kredit tambahan yang Papa kasih ke kamu. Dan tanya ke Bang Rusli, Opa Roni biasanya konsumsi suplemen apa. Terus kamu beli oleh-oleh khas Jakarta buat Opa, ya.”
“Iya, Pa.”
Sekarang d**a aku terasa sesak.
Ma, Mama dengar kan barusan? Papa itu sangat menyesal. Dan barangkali itu yang membuat Papa seperti menghukum diri. Ya. Papa nggak pernah menikah lagi. Kecuali..., ah! Entahlah! Kecuali kalau Tante Garnetta berhasil meluluhkan hati Papa. Dan andai itu sampai terjadi, sepertinya aku yang mau keluar dari rumah ini. Ya, aku mau ambil program magister di luar negeri saja. Apalagi kalau nanti sampai Tante Garnetta kasih Papa Anak, wah aku ngak bisa bayangkan. Bukan, bukan aku nggak mau tersaingi. Bukan aku nggak mau punya Adik. Aku hanya takut, jangan-jangan keberadaanku di sini, di dekat kalian malah akan mengganggu. Dan aku nggak mau punya perasaan seperti Orang luar yang menggerecoki kehidupan sebuah keluarga baru. Aku nggak mau, jerit hati aku.
Keluarga aku memang agak rumit. Dan sungguh, bukan mauku untuk berada di dalam keluarga yang begini. Menjalaninya saja sudah berat buat aku.
Itu makanya, aku nggak terlalu suka bercerita tentang keluargaku. Dan selama menjalin hubungan dengan Kelvin, toh kami sama-sama tidak suka membicarakan tentang keluarga kami masing-masing. Klop, kan? Buat apa ‘mengusik’ apa yang sudah indah? Aku nggak mau kalau dia sampai berubah pikiran tentang aku. Yang dia tahu sejauh ini adalah, Mama Hani telah meninggal dunia. Bang Rusli punya karir yang lumayan oke di Surabaya. Dia tinggal dan menjaga Opa Ronald yang sudah sekian lama hidup sendirian setelah kepergian Oma Hesty untuk selama-lamanya.
Opa Ronald memiliki toko kelontong yang lumayan besar di Surabaya. Tetapi Bang Rusli kelihatannya sama sekali nggak berminat untuk mengelolanya dengan kemampuannya dalam bidang sistem komputer, untuk membuatnya lebih besar dan terorganisir.
Bang Rusli lebih memilih untuk membenahi sistem dari perusahaan tours and travel milik Opa Ronald. Dan Bang Rusli juga bekerja sebagai tenaga Marketing di sebuah perusahaan Property ternama di Surabaya. Setahu aku, karirnya oke.
“Pa, terima kasih, ya.”
“Terima kasih buat apa?”
Aku bagai tersedak. Mau jawab apa?”
“Terima kasih karena Papa menginjinkan aku ke Surabaya. Tadi bang Rusli sempat khawatir, takut aku nggak diijinkan.”
Aku dengar Papa mendesah kecewa.
“Ah, dasar Anak itu.”
Pantang bagiku untuk memancing-mancing sebuah luka lama yang telah ‘memisahkan keluarga kami menjadi dua kubu’, aku dengan Papa, sedangkan Bang Rusli dengan Mama, terkuak kembali.
Karenanya aku buru-buru mengakhiri telepon dengan alasan bahwa aku harus segera mengabari Bang Rusli supaya tidak membelikan tiket buatku. Papa memaklumi.
Aku segera menghubungi Bang Rusli dan menyampaikan apa saja yang dikatakan Papa. Bang Rusli, seperti yang sudah-sudah, tidak mengucapkan komentar apa-apa.
“Ya sudah, nanti gue jemput di bandara. Opa pasti senang elo datang.”
“Sampai Jumat sore nanti ya Bang.”
“Daagh.”
“Daagh.”
Dengan agak ogah-ogahan, aku mengirimkan pesan teks ke Kelvin, mengatakan bahwa aku akan ke Surabaya hari Jumat nanti. Tentu saja aku tidak menawari dia untuk ikut. Aku kan kepengen menonton Michael. Memangnya mau cari gara-gara? Dia yang ada kemungkinan tengah menduakan aku, nanti malahan menuduh aku main hati, pula. Nggak usah cari gara-gara deh ya.
Tapi sepertinya radar Scorpio Kelvin yang mengirimkan firasat ke dia.
Dia segera meneleponku.
“Kamu kok mendadak sekali ke Surabaya, Bee?” tanya Kelvin.
“Enggak mendadak sih. Bang Rusli sudah sering meminta aku buat ke sana. Cuma, baru sekarang saja sempatnya.”
“Waduh. Padahal aku kepengen makan malam sama kamu setelah pulang latihan Sabtu nanti.”
Rasanya kepengen tertawa.
Tadi Papa juga bilang, sebetulnya tante Garnetta juga akan datang ke rumah hari Sabtu nanti dan mau mengajak aku makan malam di luar. Bertiga, katanya. Terus sekarang Kelvin. Ah. Masa bodoh deh.
“Hm.”
“Kok hm? Bee, karena kamu juga ke Surabaya, kalau begitu Sabtu ini sepulang latihan aku ikutan sama Bram saja deh.”
“Mau ngapain memangnya?”
“Eng..., dia ngajak motoran. Nggak jauh-jauh, paling juga ke Bandung.”
“Terserah. Yang penting hati-hati, Hon.”
Dan nggak usah pakai acara boncengin Cewek. Entahkah itu Cewek yang menurut Michael beberapa kali dilihat bareng sama kamu, atau Cewek lain, tambahku dalam hati.
“Iya, Sayang. Pasti. Kamu juga hati-hati. Nanti hari Jumat aku antar kamu ke bandara. Terus, pas pulang dari Bandung nanti, aku beliin kamu bronis kukus kesenangan kamu, ya.”
“Terima kasih. Kamu mau aku bawain apa dari Surabaya Spikoe?” tawarku.
“Enggak usah. Yang penting kamu hati-hati dan senang di sana. Dan jangan lirik-lirik Cowok ya.”
Eh! Kok aku merasa disindir, ya?
Halah, masa bodoh deh.
“Kan kamu Anak Kost, lebih perlu buat nyetok banyak cemilan,” olokku untuk membelokkan bahasannya tentang ‘lirik-lirik’.
Kelvin tertawa.
Lalu kami mengobrolkan sedikit tentang Klub Edelweiiss, sebelum aku mengakhiri panggilan telepon.
Selanjutnya, aku bimbang apakah harus menelepon ataukah cukup mengirimkan pesan teks kepada Michael. Setelah kupertimbangkan, akhirnya aku memilih mengabari via pesan teks saja. Aku tanya ke Michael jadwal pertandingan final kejuaraan yang diaikuti dan lokasi tepatnya. Aku bilang ke dia bahwa aku akan mengunjungi Bang Rusli di Surabaya.
Michael begitu antusias dan langsung menghubungi aku.
Seolah yakin dirinya bakal masuk final. Padahal jelas-jelas aku mengatakan mau menonton pertandingan final, kan, bukan buat menonton dirinya? Ya walau hati kecilku mengatakan tujuanku ke sana ya untuk menyaksikan dia secara langsung sekaligus memberi semangat ke dia. Tapi jaga gengsi, lah. Namanya juga Cewek.
“Kamu bareng Siapa? Mau aku kirimi tiket berapa?” tanya Michael melalui telepon.
“Aku cuma berdua sama Bang Rusli kok,” ucapku.
“Oh, oke. Nanti aku kirimkan dua tiket digital melalui email saja ya. Aku sudah sampai di bandara dan harus segera check in soalnya.”
“Oke. Terima kasih. Semoga sukses ya. Dan semoga kamu masuk final.”
“Amin. Terima kasih, ya Rhein.”
*
Pagi pertamaku di rumah Opa Ronald.
Opa Ronald menyambut kedatanganku dengan hangat. Pria berusia sekitar 67 tahun itu sibuk menanyakan apakah aku bisa tidur nyenyak tadi malam. Dia juga sudah menyuruh Asisten Rumah Tangga untuk menyiapkan menu sarapan pagi yang sangat lengkap. Dari mulai roti, bolu, jajanan pasar yang menggoda, buah, jus, sampai nasi goreng.
Ada sedikit rasa bersalah yang tetap saja menggodaku, meski aku sudah berkali-kali menyampaikan permintaan maaf dari Papa maupun dari diriku pribadi, kepada Opa Ronald.
Lelaki tua itu tersenyum bijak.
Dalam hati aku berkata, “Opa, tolong kasih sama Bang Rusli, kelembutan hatinya Opa. Sedikit saja, Opa. Bang Rusli ini ampun deh, hatinya sekeras batu.”
Opa Ronald mengucapkan terima kasih. Bahkan tak ragu untuk menghubungi Papa dan mengucapkan terima kasih secara langsung atas kiriman suplemen dan oleh-oleh khas Jakarta yang aku bawakan. Padahal dari segi materi, itu sungguh tak ada artinya buat Opa.
Tapi inilah kenyataannya.
Bagaimana aku tidak menyesal, karena sudah menunda-nunda untuk datang kemari sekian tahun lamanya? Dan bagaimana aku tidak merasa bersalah karena selama ini sibuk menyalahkan Mama Hani, meragukan apakah Wanita itu sungguh mengasihi aku?
“Rhein, kamu makan yang banyak. Supaya kalau nanti keuar seharian sama Rusli dan nggak dijajanin sama dia, kamu nggak terlalu lapar,” goda Opa Ronald.
Bang Rusli tertawa menimpalinya.
“Katanya nanti sore kamu mau nonton pertandingan Tae Kwon Do. Temanmu masuk final, ya?” tanya Opa Ronald.
“Teman kuliah dia itu Opa. Dan tampaknya bisa jadi Calon Pacar dia,” seloroh bang Rusli.
Aku mendelik.
Mana boleh dia bilang begitu sih? Itu sama saja menyumpahi supaya aku sama Kelvin putus dong? Ya meski sekarang perasaanku sendiri sedang tak menentu. Dan aku memang menyebutkan beberapa pertengkaran kami ke Bang Rusli tadi malam, saat kami makan di mal terbesar di Surabaya.
Bang Rusli langsung menggodaku dengan mengangkat-angkat kedua alisnya.
Opa Ronald tertawa. Dia jelas tak tahu apa-apa soal kisah percintaanku. Dan nggak perlu tahu lah ya.
“Papa kamu sibuk cari uang terus, ya?” tanya Opa Ronald tiba-tiba.
“Enggak juga, Opa. Papa sudah agak membatasi kunjungan ke luar kota. Terus, sering ngantor di rumah juga.”
Opa Ronald mengangguk-angguk.
“Papamu itu Orang baik. Nggak banyak Seorang Ayah yang bisa membesarkan Anak Perempuannya sendirian.”
Aku mendengar Bang Rusli berdeham. Seolah tak rela Opa Ronald memuji Papa.
“Opa, Opa sudah memaafkan Papa, ya?” tanyaku setengah berbisik.
Beruntung indra pendengaran Opa Ronald masih sangat baik.
“Apa yang harus dimaafkan? Yang dulu terjadi, ya sudahlah. Namanya juga sama-sama salah. Hani sendiri saat sakit juga berkata, kemungkinan besar dia itu sampai mengidap penyakit kanker, ya karena mempunyai akar kepahitan ke Papa kamu dan berkeras untuk bercerai. Hani malah bercerita, sebetulnya malam saat terjadi pertengkaran itu, mereka berdua saling menyakiti. Dan Hani yang memukul Papa kamu beberapa kali. Lalu saat Papa kamu mau membalas karena emosi, Hani terbentur dan terluka. Dia menolak ditolong sama Papamu.”
“Opa, sudahlah. Mama juga sudah nggak ada. Nggak usah diceritakan lagi yang begitu,” sela Bang Rusli.
Aku tertegun. Pikiranku bagai melayang ke masa kanak-kanakku. Yang terbayang olehku adalah Sosok Rheinatta kecil yang meratapi pekergian Sang Mama.
“Jadi benar Mama Hani itu terluka karena terbentur? Bukan karena Papa yang melukai Selama ini, Rheina pikir... Papa yang melakukannya,” ucapku setengah bergumam.
“Kamu salah, Rheina,” kata Opa Ronald.
“Opa...,” Bang Rusli berusaha untuk menghentikan percakapan kami tentang Mama Hani.
Opa Ronald menatap Bang Rusli.
“Rheinatta harus tahu kebenarannya, Rusli. Dan nggak seharusnya keluarga ini terpecah-pecah. Kamu nggak ingat, Mama kamu sendiri yang sudah mengatakan mau memaafkan apa yang terjadi, sekian menit sebelum mengembuskan napas terakhirnya?”
Bang Rusli terbungkam,
Yang aku lihat dia mempercepat menghabiskan sarapannya.
Setelah itu dia bangkit berdiri.
“Rhein, aku tunggu di depan ya, sambil menurunkan sarapannya. Elo lanjut makan dan ngobrol sama Opa deh, biar ada jeda juga. Jadi nggak mual pas naik mobil nanti. Gue sambil masukin buket bunga pesanan yang tadi datang ke mobil. Opa, aku ke depan dulu.”
Aku dan Opa Ronald mengangguk serempak.
Opa Ronald menatapi kepergian Bang Rusli dari ruang makan.
Aku melihat kesedihan yang tersirat di paras tua Opa Ronald.
Kesedihan yang segera menjalar pula kepadaku.
“Rusli, Rusli..., sampai kapan kamu mau begini?” keluh Opa Ronald pelan.
Duh. Rasanya hatiku pedih sekali.
Orang tua ini terlalu baik.
Orang tua yang baik ini pula yang sebentar lagi akan membuat perasaanku terguncang, bersama mengalirnya penuturannya tentang Mama Hani.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $