POV Rheinatta
Aku sedang bimbang. Rasanya ‘dunia’ di luar sana ‘meninggalkan’ aku sendirian.
Bikin aku nggak habis pikir dan sibuk menyangkal sendiri. Iyalah, Seorang Rheinatta yang ‘gaul’ kok dilanda sepi. Bukan aku banget itu mah!
Tapi kenyataannya begitu. Atau minimal, yang aku rasakan.
Tiga hari lalu Sylvanie bilang kalau Kendra akhirnya ‘nembak’ dia dengan cara yang super romantis dan menyentuh hati. Dan usut punya usut, akhirnya Sylvanie tahu sedikit ‘bocoran’nya, bahwa semua itu terlaksana dengan bantuan ‘duo’ Bramantyo dan Kelvin.
Semestinya aku ikut bahagia, kan? Ya memang, aku bahagia, berkurang lagi populasi Jomblo di kampus, khususnya di Klub Edelweiss. Eh, itu masih Klub Pecinta Alam di mana aku bergabung kok, biarpun aku absen latihan pas Sabtu lalu. Lagi mangkel sama Kelvin dan nggak mood, soalnya. Dan herannya, Kelvin juga nggak mengeluarkan berbagai jurusnya buat membujuk aku supaya mau ikut latihan.
Ya, begitu deh.
Aku merasa dikhianati.
Memangnya Kelvin sama Bramantyo itu nggak tahu apa, aku dan Sylvanie kan juga berteman?
Tapi ya sudahlah.
Aku memang merasa mereka berdua rada aneh. Seperti baru menemukan dunia mereka sendiri. Dan ya..., aku tertinggal di belakang.
Michael mau berangkat ke Surabaya untuk mengikuti pertandingan.
Surabaya. Ngomong-ngomong soal Surabaya, Abang aku mendadak menawari aku untuk datang ke sana hari Jumat ini. Dia bilang mau ajak aku ke Bromo atau ke mana saja aku mau. Dan pakai embel-embel kalimat, “Rhein, ayo dari pada ngeluh suntuk melulu di rumah, mumpung gue lagi sempat. Kita sudah lumayan lama kan nggak quality time berdua? Atau, mau mau ajak Kelvin juga boleh. Biar makin seru. Elo minta ijin sendiri ke Papa, ya.”
Tawaran yang menarik.
Dan Siapa tahu kan, pas di sana aku juga bisa sekalian menonton langsung ‘perjuangan’nya Michael?
Iya, meskipun aku agak terusik dengan entahkah fakta atau sekadar kecurigaan Michael, yang dengan berat hati dan sangat hati-hati disampaikannya ke aku.
Aku menghela napas panjang mengenang saat kami ketemu, sewaktu Michael ‘menjemput’ aku di jalan, setelah aku dicurhati sama Sylvanie.
...
Michael sangat menatap aku dengan ragu.
Tingkahnya agak aneh.
Dan jujur saja membuat aku terganggu.
Sedangkan selama di mobil tadi juga dia bicaranya irit. Seperti Sepasang Cowok-Cewek yang lagi jutekan saja.
Itu gelas kopi alpukatnya yang ukuran jumbo juga sudah hampir habis padahal.
Aku nggak betah jadinya.
“Michael, kamu tuh kenapa? Kelihatannya ada yang mau kamu sampaikan ke aku?”
Michael menatapku secara intens.
Aku nggak sabar melihat dia seperti berpikir keras.
Ini mirip ekspresi Orang yang mau mengajukan kredit ke Bank saja deh. Ngapain sih! Sudah tahu dia sedang mempersiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di Kejuaraan nanti, pakai mengotori pikiran dia dengan ‘menebar misteri’ begini. Nggak tahu apa dia, aku kan lagi halangan, jadi lagi malas mikir yang berat-berat.
“Tadi tuh kamu sempat telepon tapi nggak keangkat sama aku. Tapi akhirnya kita ketemu. Ayo deh, bilang ke aku, aku yakin yang mau disampaikan ini super penting,” bujuk aku.
Nah, kan! Di depan Michael, aku nggak bisa semanja kalau berhadapan sama kelvin. Michael ini kan Adik Kelas aku. Secara natural aku jadi sok dewasa begini gaya bicaranya.
“Rhein, sebelumnya aku minta maaf kalau kamu menganggap aku lancang dengan ngomong begini...”
Aiiih! Kalimat pembuka dia bikin deg-degan.
Jujur aku takut. Aku sudah menduga jangan-jangan dia mau bilang bahwa dia menganggap aku lebih dari sekadar Teman, alias, dia punya perasaan khusus sama aku. Waduh! Aku ini Pacar Orang, lho. Ya biarpun perasaan aku ke Kelvin lagi agak-agak bagaimana begitu, seiring sikap dia yang lebih sering menjengkelkan ke aku selepas dari acara Art Hours.
Tenang Rheinatta, tenang. Kasih Michael kesempatan buat ngomong, kata aku sama diri sendiri. Tentu saja di dalam diam. Dan aku sok memperlihatkan ketenangan. Harapannya, supaya ketenangan itu menular ke Michael.
Aku mengangguk dan sedikit mendesak agar Michael segera bicara.
“Aku nggak mau dibuat penasaran. Nggak lucu kan, kalau masih muda begini aku sudah sakit jantung?” kataku.
Michael manggut.
“Sorry sebelumnya.”
Tuh kan, minta maaf lagi dia.
Tapi aku nggak mau bikin gara-gara yang bakal membuatnya mengurungkan niat buat ngomong.
Aku pilih buat diam menanti. Hm, biasanya aku rada susah lho bersikap begini. Apalagi kalau ayang aku hadapai adalah Kelvin atau Bramantyo. Juga ke Teman-teman hang out aku di luar kampus. Mereka dong yang harus mengerti aku.
Tapi ke Sylvanie, ke Michael, khususnya hari ini, kok aku bisa ya? Hm, pengaruh lagi agak lemas karena Si Bulan mungkin.
Michael terlihat menyeruput lagi kopi alpukatnya. Seperti dia mau membicarakan hal serius saja.
Aku sibuk menyabarkan diriku.
Ampun deh, Adik-adik kelas ini! Nggak Sylvanie, nggak Michael, dua-duanya membuat aku melatih kesabaran.
“Rhein, sebetulnya pernah terpikir nggak sih sama kamu, jangan-jangan aku ini mau menikung Kelvin?”
Perkataannya tanpa basa-basi. Aku auto terperangah.
Tapi aku tetap berusaha memasang tampang menyimak.
Dia berdeham.
“Begini Rhein, nyaris seisi kampus kan tahu, kamu sama Kelvin itu pasangan yang serasi.”
Aku tersipu. Diam-diam aku berdoa dalam hati supaya Michael tidak mencermati ekspresi wajahku.
“Ya aku juga berharap itu benar.”
Ucapannya membuat alisku berkerut seketika. Jelas aku tersinggung.
“Coba diperjelas, maksudnya apa Michael!” suruhku cepat.
Michael menarik napas panjang, dan menyentuh lengan aku sekilas. Rada kaget sih aku jadinya. Selama beberapa kali ketemu dia, Anak ini lumayan tertib nggak melakukan kontak fisik kok sama aku. Ini kenapa ya?
“Rhein, ingat waktu Art Hours?”
“Apanya?”
Aku berpura-pura bodoh. Padahal aku tahu, pasti maksudnya ya saat kami bermain mata itu. Dan untungnya nggak kepergok sama Kelvin.
Michael buru-buru menggeleng.
“Enggak deh. Saat itu, aku sebetulnya sedang memerhatikan kalian berdua dan ya, tergoda sama pertanyaan yang muncul di benak aku sendiri. Intinya, ada yang mau aku kasih tahu ke kamu. Tapi ini belum tentu benar sih. Semoga ini hanya kecurigaanku.”
“Michael, ngomongnya tolong jangan muter-muter seperti Cewek. Langsung saja,” potongku.
“Oke, oke.”
Michael mengembuskan napas panjang.
“Jadi, aku sempat melihat ..., Kelvin sama Seorang Cewek, beberapa hari sebelum Art Hours.”
Aku tergelitik.
“Cewek? Mereka berdua ngapain?”
“Ya cuma lagi jalan berdua dan ngobrol sih. Terus berpisah arah. Waktu itu aku nggak sengaja melihat mereka di Plaza Kawula Muda.”
“Oh, teman dia mungkin.”
Diam-diam aku mencibir kepada diriku sendiri. Sok tenang banget aku tuh! Padahal aku cemburu, itu sudah pasti.
Hm, Si Michael nggak tahu ya, aku dilanda rasa insecure. Soalnya, Kelvin kok nggak ada cerita apa-apa, ya? Dan kalau aku hubung-hubungkan dengan tingkah aneh dia kemudian, aku jadi curiga Cewek itu spesial buat dia. Tapi perlukah aku menanyakan secara frontal? Kalau aku bertanya, apa nggak malah dia jadi besar kepala? Atau membuat dia malah lari dari aku karena nggak nyaman merasa dicurigai dan seolah punya Pacar yang posesif? Aduh, aku juga dilanda rasa gengsi nih.
“Ya, mungkin Teman. Dan semoga memang iya. Tapi bebrapa kali aku melihat dia dengan Cewek itu. Cewek yang sama. Termasuk..., tadi sebelum kita ketemu. Aku kepengen kamu melihat langsung. Nggak tahu kenapa, aku itu nggak rela kalau dia sampai mencurangi kamu di belakang kamu. Dan aku jadi ingat, kalian sempat bertengkar juga di kantin.”
Aku terbungkam.
Perasaan aku langsung campur aduk.
Dan akhirnya pertanyaan konyol terucap dari mulutku, “Kamu lihat mereka ngapain? Pacaran, gitu? Peluk-pelukan atau bagaimana?”
Usai mengucapkannya, aku jadi malu sendiri.
Untung saja Michael menjawab dengan sabar, “Enggak sih. Cuma, kelihatannya mereka akrab. Mungkin ada baiknya kalau kamu menanyakannya.”
“Terima kasih ya Michael, kamu sudah kasih tahu. Soalnya memang aku juga agak curiga jangan-jangan dia jenuh sama aku.”
Ups! Aku kelepasan bicara sembarangan.
Lalu aku buru-buru mengoyangkan telapak tanganku.
“Nggak apa, kok.”
Ada nada maklum dalam suara Michael.
Mendadak jadi ada sedikit kecanggungan.
Dan rasa canggung itu baru sedikit terusir ketika dia berkata dengan lembut, “Kalau ada apa-apa, kamu boleh kok cerita ke aku. Aku siap menjadi pendengar yang baik.”
Nggak tahu kenapa, aku terbuai.
Hm, sudah berapa lama aku nggak merasa senyaman ini dengan Kelvin?
...
Berhari-hari aku berperang sama keinginanku untuk menanyakan kebenaran ‘informasi’ dari Michael. Setiap kali mau ‘ngucap’, rasanya ragu. Lagi pula sikapnya Kelvin kelihatannya perlahan balik seperti semula kok. Dia perhatian lagi sama aku. Ya mungkin Cewek itu memang Teman dia kan?
Tapi sekarang, aku terusik lagi.
Hm, aku rasa Kelvin sudah nggak adil sama aku.
Sudah hobby melarang-larang kalau aku pergi sama Teman-temanku, eh, dia sendiri? Terus sekarang?
Telepon genggam aku berbunyi pas aku lagi sibuk berpikir sendiri.
Aku sedikit tersenyum melihat anama Siapa yang terpampang di layar telepon genggamku.
“Hallo, Bang.”
“Hei. Apa kabar? Kok lemes, sih suaranya?”
“Lagi nggak semangat.”
“Kenapa lagi? Kamu sama Kelvin baik-baik, kan? Dia masih sibuk sama segudang hobby dia di luar urusan kampus dan nggak ngajak kamu? Sudah, kalau begitu kamu kemari saja.”
Aku diam.
“Rhein..”
“Iya, Bang.”
“Nggak kepengen ziarah ke makam Mama?”
Hati aku langsung terasa pedih.
Mama! Sudah sekian lama aku nggak mendengar kata itu. Bahkan Papa saja nggak pernah menyebutkannya lagi semenjak..., oh! Semenjak kapan ya? Aku saja sampai lupa.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $