POV Kelvin
Selama ini toh gue sudah berhasil ‘menjauhkan’ Rheinatta dari ‘cerita masa lalu gue’. Jadi, ya biar saja. Kan gue sendiri jug amengimbangi hal itu, Gue juga enggak pernah kepo untuk mau kenal atau sok akrab sama Keluarganya. Itu sebabnya bisa kehitung berapa kali gue masuk ke rumah Rheinatta. Soal gue kenal sama Abangnya dia, itu juga terjadi di luar rumah, pas kebetulan gue lagi jalan sama Rheinatta. Dan Rheinatta dengan begitu percaya diri memperkenalkan gue sebagai Pacar dia, ke Abangnya.
Oke, gue anggap biarkan saja seperti itu.
Buat apa gue cari gara-gara, kan? Gue malas kalau ditanya-tanya sama Rheinatta. Gue ini mau hidup tenang, itu saja belum sepenuhnya gue rasakan sampai sekarang. Tuh, contohnya, cuma satu kali ketemu sama Mas Anton, membuat gue teringat lagi sama kenangan pahit itu.
Celakanya, gue enggak bisa menghindar dari pertanyaan yang gue benci itu, sewaktu ketemu lagi sama Nicky di dekat tempat kost gue. Lagi-lagi kebetulan sifatnya.
Waktu itu gue yang lagi malas mikir mau makan apa, nunggu nasi goreng tek tek di pinggir jalan. Sampai bebrapa Teman Kost gue iseng ngeledek dan bilang, “Waduh! Kelihatannya ada yang uang bulanannya belum ditransfer nih, jadi pakai mode ngirit, beli nasi goreng. Atau..., uang bulanan habis sebelum waktunya gara-gara buat beliin hadiah melulu buat Pacarnya?
Gue cuma ketawa geli.
Saat itulah, ada mobil yang melipir di dekat gue.
Tadinya gue nggak peduli. Gue pikir paling juga Tamu Anak Kost.
Eh, ternyata ada teriakin nama gue.
“Kelvin!”
Gue menoleh dan mendapati Nicky sudah turun dari mobil.
Gue mengernyitkan kening. Ada apa dia sampai ke daerah sini segala?
Ini nggak terlalu dekat juga lho, sama stasiun radio tempat dia kerja!
“Hei!” Sapa gue singkat dan langsung meneriaki Tukang Nasi Goreng yang terlihat.
Nicky memerhatikannya. Gue memergoki ada lengkungan di sudut bibir dia.
Ah! Gue cuek. Juga sewaktu dia memerhatikan tampilan gue yang khas rumahan banget. Pakai kaos oblong polos, celana pendek selutut dan pakai sandal jepit pula.
“Kamu tinggal di daerah sini?” tanya Nicky.
“He eh. Kamu lagi ngapain di daerah sini?” gue balik bertanya selagi mendapati Mang Engkus Si Penjual Nasi Goreng Tek Tek sedang ambil posisi.
“Aku lagi cari tempat kost di daerah sini. Tadi sudah lihat beberapa sih. Terus aku iseng, mau lihat satu lagi. Agak ke depan sana. Eh, mendadak aku lihat kamu, jadi aku berbalik arah.”
“Cari tempat kost di daerah sini? Apa nggak kejauhan sama tempat kerja kamu?” tanya gue.
“Ini di tengah-tengah. Soalnya gue ini kerja di dua tempat. Yang satunya di radio, satunya lagi pekerjaan paruh waktu, eng..., jadi dubber.”
“Wow! Keren! Nggak kerepotan bagi waktunya?”
“Enggak juga. Aku siaran kan nggak setiap hari. Namanya juga Anak magang, baru dapat beberapa slot. Nah, kalau pekerjaan sulih suara ini belum lama aku dapatkan kontraknya.”
Gue mengacungkan dua jempol.
“Isi suara untuk apa?”
“Aku dapat dua langsung, drama Korea sama film animasi yang jua dari Korea. Tapi judulnya belum boleh aku sebutkan.”
“Oh, paham. Mau makan nggak? Ini nasi gorengnya enak lho. Aku sama Teman-teman kalau lagi kehabisan ide mau makan apa, ya tunggu Mang Engkus datang, lah.”
Nicky berpikir sesaat, lalu bertanya, “Makan di mana ya? Di dalam mobil saja mungkin, ya?”
Gue tertawa dan bilang, “Di teras saja. Tenang, Anak-Anak kost di sini jinak-jinak, kok. Terus juga lebih banyak yang kerja ketimbang yang kuliah, jadi kalau hari gini mereka belum sampai rumah.”
“Boleh deh kalau begitu,” ucapnya ringan.
“Mang, dua, ya. Bikin yang enak seperti biasa. Nick, kamu mau yang pedas atau bagaimana?” tanya gue.
“Sedang saja.”
“Sedang, Mang, dua-duanya.”
“Siap. Nanti saya antar,” sahut Mang Engkus.
Gue membuka pagar tempat kost gue, melintasi tempat parkir mobil Anak-Anak Kost, dan mengajak Nicky duduk di teras.
Nasi goreng yang segera siap itu ternyata cocok dengan selera Nicky.
Gue senang-senang saja.
Yang membuat gue nggak senang, adalah obrolan setelahnya.
“Vin, sebelum aku ke Jakarta, aku ketemu sama Mama kamu.”
“Oh.”
“Kami sempat ngobrol dan aku tanya kok sudah lama aku nggak lihat kamu. Terus Mama kamu bilang memang kamu jarang pulang. Malah katanya terakhir kamu pulang itu pas setelah lulus dari SMA. Itu sudah lama juga. Kamu nggak kangen sama Kezia memangnya?”
Pertanyaannya membuat gue merasa kenyang seketika. Padahal masih ada satu suap lagi yang semestinya gue habiskan. Dan akhirnya gue habiskan juga walau rasanya mendadak hambar.
“Masih suka video call kok,” kata gue.
Mendadak gue merasakan ada sentuhan di bahu gue. Tangan Nicky ada di sana. Dan gue merasa nyaman sekali.
“Vin, maaf kalau kamu nggak suka aku tanya begini, sebenarnya apa sih yang membuat kamu betah berjauh-jauhan sama Kezia? Dia itu Adik kesayangan kamu banget, bukan? Soalnya umur kalian lumayan jauh. Di sisi lain, Kezia juga..., mengidolakan Kakaknya banget.”
Gue memejam mata.
Mengidolakan? Huh! Dan gara-gara itu juga semuanya terjadi. Gara-gara gue nggak becus menjaga dia. Kakak macam apa gue ini? Semestinya sudah paling benar deh apa kata Papa gue, Kezia itu harusnya nggak ngintilin gue. Gue ini memang bisanya bikin sengsara Adik gue satu-satunya. Nggak guna! Jerit hati gue.
“Vin, sorry ya, kalau pertanyaan aku bikin kamu sedih. Sudah nggak usah dijawab,” kata Nicky.
“Cuma..., menurutku kamu nggak seharusnya menghukum diri sampai begini. Semua yang terjadi itu kan nggak sepenuhnya kesalahan kamu, Vin,” ucap Nicky setengah bergumam.
Gue bisa menduga kalau Mama gue pasti sudah bercerita secara komplit urutan kejadiannya. Dan sebenarnya tanpa harus diceritakan, Nicky juga bisa menebak-nebak sendiri. Nah, dia kan sering juga menonton gue saat gue manggung.
Yup, dulunya gue ini Anak Band. Namanya Cheerfull Band.
Gue anggota termuda. Gue ditawari bergabung dengan Cheerfull Band sewaktu baru saja duduk di kelas satu SMP. Nggak tanggung-tanggung, menggantikan Sang Vocalist yang kecelakaan parah dan memutuskan untuk meninggalkan hingar-bingar dunia Anak Band. Kemudaan? Enggak juga! Semua anggota Band yang lain rata-rata sudah kuliah, malahan drummer-nya, Mas Didi, sudah lulus kuliah waktu itu. Julio, Vocalist yang gue gantikan saat itu juga sudah kuliah, cuma karena jadwal manggung yang lumayan sering, membuat dia tertunda kelulusannya.
Sosok yang menawari gue adalah Mas Anton. Itu karena sejak gue masih kecil, Mama gue suka mengikut sertakan gue di perlombaan nyanyi, ya walaupun masih tingkat sekolah dan buat senang-senang saja. Mama gue itu dulunya Penyanyi Kafe, sebelum dinikahi sama Papa gue. Dan bisa ditebak, begitu menikah, Papa gue punya segudang larangan buat Mama gue. Untungnya Mama gue masih bisa melipur lara dengan bisnis kafe-nya yang lumayan mengobati kerinduannya. Ya Papa gue juga nggak keberatan buat memodali. Buktinya sampai sekarang kafe milik Mama gue itu semakin berkembang dan buka cabang pula.
Gue itu nggak hanya suka menyanyi dari kecil, tapi juga memainkan beberapa alat musik walau nggak jago-jago amat. Kalau sekadar memainkan piano, Kezia juga bisa sih. Malahan dia lebih jago dari gue.
Papa gue langsung menentang keras sewaktu Mas Anton yang sudah cocok sama jenis suara gue, meminta ijin ke Papa gue. Alasan Papa gue sederhana, gue ini masih sekolah. Dan nggak sehat buat gue berteman dengan Orang-orang yang secara usia juga lumayan jauh di atas gue. Itu yang diucapkan di depan Mas Anton yang nggak kenal menyerah. Ya memang dia nggak boleh menyerah semudah itu. Soalnya kan Band Asuhan dia itu sudah delapan bulan lebih vacuum karena belum dapat Pengganti Julio yang cocok. Cocok sama dia, visi dan misi band, juga Para Anak Band lainnya.
Mas Anton masih mencoba tindakan persuasif lainnya, walau hasilnya belum terlihat.
Dan Mama gue berada di Pihak dia.
Otomatis, Papa gue membuka alasan yang sebenarnya, mengapa gue enggak boleh bergabung sama Cheerfull Band. Menurut Papa gue, Julio itu mengalami kecelakaan karena dia dalam keadaan black out setelah ngobat sama Teman-temannya. Menurut Papa gue, itu bukan kejadian pertama, sebab Julio juga pernah bermasalah dengan barang haram sewaktu dia masih bergabung sama Band lain. Hanya saja menurut Papa gue, Mas Anton itu sangat piawai dalam ‘menutup mulut’ media.
“Pokoknya kamu nggak boleh jadi Anak Band. Kalau sekadar mau menyanyi Solo, selama kamu bisa menunjukkan prestasi belajar kamu, nggak masalah. Perkataan Papa kini terngiang lagi di telinga gue.
Gue menggeleng-gelengkan kepala.
“Vin..., sorry kalau aku membuat kamu jadi sedih.”
“Nggak apa. Suatu saat, semuanya memang harus diberesin biar tuntas. Enggak bisa begini terus,” ucap gue lirih.
Dan tanpa semau gue, potongan-potongan peristiwa itu terbayang lagi.
Pertengkaran demi pertengkaran Kedua Orang tua gue yang bikin telinga gue sakit.
Mama yang gigih membela gue dan bilang bahwa dia percaya sama kemampuan otak gue. Mama yang juga berani menjamin bahwa gue nggak akan mungkin terbawa arus pergaulan yang kurang sehat. Mama yang mendukung dan memberi jalan supaya gue sama Mas Anton tetap berkomunikasi. Mama yang seolah kepengen ‘ada Penerusnya’ di dalam Keluarga.
Papa yang dengan amat tegas mengatakan, “Tidak. Belum saatnya,”berkali-kali.
Papa yang rupanya sudah negative thinking berat dengan dunia Anak Band, khususnya Orang yang bernama Julio.
“Dia itu sudah terlampau sering kedapatan ngobat. Makanya dikeluarkan dari banf diayang sebelumnya,” sebut Papa kala itu.
Papa yang terus mengatakan bahwa keputusannya ‘sudah final.’
Tapi Mama mana mau menyerah.
Mama mengungkit ‘pengorbanan’nya yang telah mau menuruti keinginan Papa dengan tidak lagi menyanyi dari kafe ke kafe, dan mendadak mengungkit fakta yang membuatku tercengang.
“Bukannya Papa yang bilang, kalau kita punya Anak Lelaki, dan dia mewarisi bakat seni Mama, maka dia boleh menekuninya? Karena Papa berpikir Anak Lelaki akan lebih dapat menjaga diri?”
Gue sudah lupa kelanjutannya.
Yang jelas pertengkaran terus berlanjut. Nggak ada yang mau mengalah. Suara ‘adu kuat pengaruh’ di ruang keluarga itu terus terbawa sampai ke kamar gue.
Sampai kemudian terdengar suara lain.
Suara yang bening.
Suara Adik Kesayangan gue, yang notabene adalah Anak Kesayangan Papa.
Hm. Kenyataannya begitu. Papa selalu nggak berkutik kalau berhadapan sama Kezia.
“Pa, Kak Kelvin itu kan suaranya bagus. Terus, Kak Kelvin itu badannya tinggi, keren lagi. Jadi kalau Kak Kelvin jadi vocalist band, pasti nggak ada yang menyangka kalau Kak Kelvin masih SMP. Kak Kelvin kan badannya tinggi. Dia kalau pas pakai celana panjang juga sering disangka sudah kuliah, kok. Ayo dong Pa, kasih Kak Kelvin kesempatan. Kalau memang Kak Kelvin jadi jadi anjlok nilai raport-nya nantigara-gara keasyikkan nge-band, boleh deh Papa suruh keluar dari band.”
Mendadak diam. Nggak ada lagi suara pertengkaran Papa dan Mama gue.
‘Putri Mahkota’ sudah mengambil alih keputusan.
Dan sekarang mendadak d**a gue terasa sesak.
Gue terbayang sama mata bening Kezia.
Gue terbayang sama senyumnya, kemanjaannya yang seringnya berbalut kedewasaan. Gue teringat semua tentang dia. Ya, bukannya dia itu benar-benar mirip sama Rheinatta? Apa adanya. Manja dan penuh perhatian berpadu. Polos tapi kadang bersikap dewasa. Paket lengkap, kan dia? Bersemangat dan selalu mau mendapat tempat terdepan kalau nonton gue manggung sama Cheerfull band, yang mau nggak mau harus merangkak dari nol lagi karena lumayan lama vacuum. Dipandang sebelah mata sama band lainnya yang lebih dulu mendapat tempat, s***h, merebut Penggemar Cheerfull Band yang merasa ditinggalkan sekian lamanya.
Sekitar delapan bulan gue berjuang bersama Cheerfull Band untuk mendapat tempat di hati Para Penggemar. Kami latihan gila-gilaan, sampai..., lagi-lagi Kezia yang tampil ke muka dan mengusulkan ke Papa gue supaya kami bisa latihan di bekas garasi rumah sampai mengusulkan agar garasi itu diberi peredam suara supaya nggak mengganggu Warga sekitar.
Dan Papa menurut, bertekuk lutut sama permintaan Sang Putri Mahkota.
Kadang gue sampai bingung, yang Kakak itu dia atau gue sebetulnya? Kenapa lebih banyak dia yang memperjuangkan kepentingan gue?
Sekarang mata gue terasa panas. Bukan karena nasi goreng yang tadi gue makan baru terasa pedasnya sekarang. Enggak.
Gue ingat Adik Kesayangan gue itu memang luar biasa. Umur gue hampir empat tahun di atas gue. Tapi tahu nggak? Sewaktu dia masih di Taman Kanak-kanak dan gue baru naik ke kelas dua Sekolah Dasar dan dompet yang dikasih sama Papa gue diambil sama Kakak kelas gue yang badannya besar dan nggak bisa gue lawan, dia yang bela gue. Dia yang tahu gue cemberut di mobil jemputan sekolah dan pusing mau jawab apa kalau suatu saat Papa gue tanya kenapa dompet bagus yang dia belikan nggak dipakai, Kezia terus cari tahu gue kenapa. Pas gue cerita, dia dengan berani minta ke PakSupirnya buat berhenti dan balik ke sekolah.
Gila kan? Anak Taman Kanak-Kanak mau belain Kakaknya yang malas ribut.
Kenyataannya begitu. Dia samperin Kakak Kelas gue ke kantinnya dan dia suruh itu Kakak kelas gue buat mengembalikan dompet gue.
“Kembalikan Kak. Itu kalau sampai Papa saya tahu dompetnya hilang, nanti Kak Kelvin dimarahi. Kalau Kakak tidak mau mengembalikan, saya yang akan bilang ke Bapak Guru.”
Itu yang dia ucapkan saat itu. Sudah jelas dia ditertawakan Anak-anak bandel itu.
Gue juga langsung menarik tangan dia dan mengajak dia pulang.
Tapi Kezia malah berlari ke ruangan guru dan mengadukan apa yang terjadi ke gue.
Maka dompet gue kembali, dan Anak-anak bandel itu dikasih hukuman.
See?
Itu saat dia masih kecil.
Saat dia sudah pakai seragam Anak Sekolah Dasar, dia paling bersemangat membawa karton bertulisan nama gue dan nama band gue setiap kali gue tampil. Dia bakal ikut menyanyi dan jingkrak-jingkrak. Pokoknya dia supporter nomer satu gue.
Bagaimana bisa gue nggak membalas kebaikan Adik gue itu dengan mati-matian belajar? Dan angka-angka di raport gue aman.
Mama gue senang. Papa gue juga nggak ketemu alasan buat melarang lagi. Ya kecuali pembatasan. Ya, Papa gue masih ngotot nggak kasih gue untuk manggung ke luar kota dengan resiko bolos sekolah. Herannya, Mas Anton masih mau menyetujui syarat ini!
Tapi enggak sewaktu gue mulai jadi Anak SMA.
Gue merasa sudah gede. Sudah bisa bertanggung jawab sama diri gue sendiri.
Dan gue mulai ketagihan sama yang namanya manggung.
Gue mulai menikmati asyiknya nama gue diserukan sama Cewek-cewek Abege itu.
Gue mulai merasakan pentingnya arti ‘Penggemar’.
Banyak hadiah berupa pernak pernik lucu sampai makanan yang dikasih ke gue dan band gue. Gue sangat menikmatinya. Tapi lebih dari itu, ada satu hal yang paling gue suka : tatapan bangga dari Adik gue!
Dan gue makin senang kalau mendapatkan tawaran manggung di luar kota.
Ya, pada waktu-waktu seperti itu gue pasti bakalan ketemu sama Anak band lain. Termasuk Jazzy dan lainnya yang kala itu masih menjadi Anggota Pengganti dari sebuah band. Andhika malahan pernah gue lihat jadi backing vocal salah satu band yang diundang ke kota gue.
Tapi laut memang nggak selamanya tenang.
Ombak besar mulai datang. Dan itu berupa terpergoknya Basist Cheerfull Band yang kedapatan membawa barang haram yang sepertinya akan dinikmati di belakang panggung. Otomatis, kami semua kena masalah. Terlebih gue.
Papa gue nggak hanya kasih gue ultimatum untuk keluar dari Band itu sewaktu jemput gue dari kantor polisi dan menjadi Penjamin gue, malahan juga menuduh gue. Papa gue bilang, bisa jadi gue juga pernah mencicipi barang haram itu.
Lalu lagi-lagi Adik Kesayangan gue yang membela.
“Kakaknya Kezia itu nggak mungkin seperti itu Pa. Kakaknya Kezia itu kebanggaannya Kezia. Papa harus percaya. Papa nggakboleh menyalahkan Kak Kelvin terus.”
Itu yang diucapkan Kezia waktu itu.
Dan sekarang ucapannya terngiang di telinga gue.
Hati gue sakit banget. Mata gue panas.
Gue menutup muka gue dengan kedua tangan gue.
Dan sekejap saja, gue merasakan pundak gue berguncang hebat. Semua di luar kendali gue.
Gue menangis! Iya, gue menangis! Tangis penyesalan yang begitu dalam.
Dan yang gue rasakan kemudian, lengan gue dihela sama tangan lembut Nicky.
Mendadak saja, tangis gue tumpah di pelukan dia.
Iya, gue nangis! Gue yang nggak pernah mau sembarangan memamerkan ekspresi lemah di depan Orang, menumpahkan semua beban gue.
Dan gue merasakan lembutnya tangan Nicky mengusap muka gue.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $