Pov Kelvin
Gara-gara mendapati ada senyum penuh arti yang terukir di bibir Rheinatta, gue langsung merasa menyesal. Gue yakin, Pacar gue ini merasa mendapat jalan buat menggerecoki kehidupan pribadi Sahabat gue. Dan gue pastikan, dia salah sangka deh barusan, karena kami berdua saling bertatapan. Dia pikir gue setuju sama idenya dia.
Ya ampun Bee!
Sialnya lagi, di atas panggung sana, Reza dan Raissa kembali cuap-cuap membahas penampilan Kalista barusan. Ini benar-benar menjadi kesempatan emas bagi Rheinatta jadinya.
“Keren sekali penampilan Kalista barusan ya, Za?” Raissa melemparkan sebuah kalimat retorik.
Reza mengangguk-angguk dan mengacungkan jempolnya.
“Tuh kan, kamu yang sesama perempuan saja sampai terpesona. Kamu jangan cemburu ya, kalau aku ngomong jujur.”
“Ih, apa sih,” sela Raissa.
Mulai terdengar kasak-kusuk dan gerutuan beberapa Cewek di belakang gue.
“Fix! Mereka berdua baru banget jadian tuh! Jadi lupa waktu. Saat bertugas begini pun saling merayu. Cih!”
Dumalan itu teramat jelas.
Rheinatta menggoyangkan lengan gue. Gue tahu dia bakal bicara sesuatu yang nggak gue suka. Makanya gue menunjuk ke arah panggung.
Cewek Tersayang itu mencebik sesaat, tak mengatakan apa-apa.
“Raissa, kamu itu semakin cantik deh kalau lagi begitu..,” goda Reza yang segera mendapat teriakan, “Huuuuu...” dari para Penonton yang merasa terusik.
Reza melambaikan tangannya.
“Intermezzo, Kawan-kawan! Tahu nggak kenapa? Karena aku sama Raissa ini terheran sama kalian. Kenapa sampai terhipnotis sebegitunya sama penampilan Kalista barusan?”
“Pakai tanya, lagi!” Sebuah teriakan terdengar dari deretan yang di depan.
Raissa mengambil alih situasi.
“Nah, itu dia yang jadi masalah. Merasa ada yang berhutang nggak? Saking terpesona sama persembahan Kalista, Kalian sampai belum kasih tepuk tangan yang meriah. Kalista-nya sampai sudah meninggalkan panggung.”
Segenap Penonton bagai terhenyak, menyadari kesalahan mereka. Termasuk gue dan Pacar gue tentunya.
Sekarang, kami ramai-ramai bertepuk tangan. Tepukan tangan riuh itu baru berhenti saat Reza kembali mengangkat tangannya.
“Oke Kawan-kawan! Cukup. Kalau begitu, nanti pas Kalista tampil lagi, tepuk tangannya tolong dirapel saja.”
Raissa tertawa menimpali perkataan Reza.
“Wajar sih, Za. Soalnya pasti pada mikir, apa sih yang nggak bisa dilakukan sama Kalista? Back to laptop, ya teman-teman. Kita mulai dari tarian yang pertama, yang dipersembahkan Kalista. Sudah monolognya begitu menggelitik, liukan badannya juga gemulai. Hebatnya lagi, gerak tari yang dibawakannya hari ini kreasi dia, pula. Ck ck ck! Kirain dia hanya pintar mengemukakan ide-idenya dari balik laptop saja,” ungkap Raissa.
Kembali terdengar teriakan wow yang heboh disusul tepuk tangan membahana.
Gue tersenyum geli, terkenang pada sejumlah peristiwa di masa lalu.
Ah, gue juga pernah mengalami hal seperti apa yang dialami Kalista, kok! Eh! Ah, sudahlah! Bukan saatnya bagi gue buat menyesali kenapa acara ini begitu lama selesainya. Gue harus menyimpan baik-baik rasa nggak nyaman ini. Jangan sampai Rheinatta memergoki gue.
Sewaktu gue mengalihkan perhatian, gue melihat Bramantyo sedang tersenyum sendirian. Kontan gue mengerling ke arah Rheinatta, berharap Pacar gue itu sudah melupakan gumaman kekaguman Bramantyo tadi. Wah, gawat sekali kalau sampai Rheinatta memergoki wajah Bramantyo yang semringah begini saat mendengarkan penjabaran ‘Duo R’ tentang Sosok Kalista dan berdecak kagum! Itu bakal menjadi amunisi baru bagi Rheinatta buat mengisengi Bramantyo lagi.
Harapan tinggal harapan. Di luar sepengetahuan gue, rupanya Rheinatta diam-diam mengamati gerak-gerik Sahabat gue itu. Persembahan acara yang berlangsung setelahnya terlihat kurang memikat hatinya dia.
Lalu selagi Raissa yang begitu antusias memuji Sang koreografer dari tarian tradisional yang dipentaskan setelah penampilan Kalista kembali asyik berceloteh, sahut menyahut satu sama lain dengan Reza, Rheinatta menjangkau lagi bahu gue.
Dia tak menghiraukan canda Raissa dengan Reza yang disambut sorakan meriah Penonton yang sudah tak sabar lagi menanti acara selanjutnya.
“Raissa memang charming, sementara Reza itu ganteng. Tapi kalau kelamaan cuap-cuapnya memang bakal ngebetein juga! Ini kenapa sih, jarak antara satu persembahan dengan persembahan acara lain berjarak begini?” Sebuah dumalan dari arah belakangku terdengar lagi.
“Iya banget! Mereka pikir mereka berdua Pelawak, apa? Bercanda melulu.” Terdengar sahutan lainnya.
Itu pun tak mengganggu konsentrasi Rheinatta rupanya. Dia tetap memberi kode akan membisiki sesuatu ke gue. Gue menelengkan kepala gue walau agak terpaksa.
“Apa?”
“Penampilan Kalista tadi oke banget, kan?”
Gue mengernyitkan alis gue. Kok bisa-bisanya Pacar gue ini masih membahas Kalista. Padahal sudah ada penampilan lain barusan. Gue jadi bingung harus jawab apa. Sekarang gue jadi paham, bagaimana Reza tadi ragu mengutarakan pendapatnya tentang Kalista. Pasti nggak enak sama Raissa. Itu kabarnya baru Gebetan. Nah sementara gue sama Rheinatta, kan sudah resmi jadian! Nanti gue salah ucap, ujung-ujungnya bisa kacau. Cewek memang susah dimengerti. Gue jawab apa juga.bakal nggak sesuai.ekspektasi dia.
“Kok kamu diam Hon?”
Suara Rheinatta penuh nada protes. Ia tak menghiraukan kalau di depan sana sudah ada penampilan pembacaan puisi oleh Salah satu Mahasiswi Fakultas Sastra.
“Hon, kok cuek amat? Kalista itu lumayan ngetop, biarpun dia yunior-nya kita. Kamu pasti pernah dong, baca tulisannya. Semuanya berbobot, sekaligus beragam. Yang paling aku ingat, kritikan yang Kalista lontarkan terhadap mutu lembaga pendidikan yang dirasanya kurang mendukung kemampuan berkreasi Para Peserta didik. Kesannya blak-blakan sekali. Berani lho dia, biarpun didukung sama data akurat. Dia juga bagus deh, kalau lagi membahas peran generasi muda. Yang terpenting, biasanya dia menutup ntylisan dia dengan usulan solusi, jadi nggak hanya membicarakan masalah doamg."
Ucapan lirih dan panjang dari Rheinatta gue biarkan meresap di pikiran gue. Gue belum punya kata-kata yang tepat untuk mengomentari. Dan ternyata ini menjadi celah untuk Rheinatta melanjutkan uraiannya.
“Dia nulis sendiri saja sudah begitu bagus. Istilahnya, pemikiran dari satu kepala. Nah apalagi kalau tandem nulisnya, bareng Sylvanie. Top banget. Mereka berdua klop deh, sudah kayak biscuit.”
“Oooh...,” ucap gue akhirnya.
“Kok reaksi kamu anyep begini sih Hon?” protes Rheinatta sembari mengerling kepada Bramantyo. Dan mungkin karena kami berdua memang sedang berada di satu frekuensi, kebetulan sekali saat itu gue juga sedang tergoda untuk mengamati Sobat gue yang satu itu.
“Heh! Kenapa elo, Bro!”
Bramantyo tersentak.
“Apa?” elaknya cepat.
“Tadi itu..,” kata gue sedikit menyelidik.
Bramantyo berpura-pura tak mengerti apa yang gue maksud.
Gue berdeham kecil dan berkata dengan super pelan, “Tadi itu..., nggak biasa-biasanya gue memergoki elo melihat Cewek, sampai bengong begitu? Serius, tadi itu sempat gue mau memperingatkan elo untuk menjaga rahang elo dan menahannya pakai tangan. Gue khawatir, rahang elo patah saking terpesona sama Kalista!”
Rheinatta seperti mendapat angin.
Ia langsung membisiki gue, “Hon-Hon, aku nggak nyangka, kamu bica mengucapkan hal yang kesannya setengil itu. Ouh..! hampir nggak percaya, yang barusan itu terucap dari bibir Kelvin, Kekasihku yang tercinta. Lebih takjub lagi, karena ditujukan kepada Bramantyo, pula! Artinya? Kapalku, kapalku...! Ini artinya kamu setuju sama pemikiranku. Wah! Kapalku bakal berlayar, Hon!”
Gue hanya bisa menelan ludah. Sial juga. Distraksi yang gue buat sendiri untuk menghilangkan rasa nggak nyaman yang menyerang gue, malahan berbalik menghantam gue begini.
Apa lagi yang bisa gue lakukan sekarang selain mencermati ekspresi wajah Bramantyo? Dan secepat itu juga gue terperangah.
Belum sempat gue bereaksi, suara celetukan Rheinatta sudah terdengar.
“Oh My God, that was... so not you!” dengan berlebihan Rheinatta mengerjapkan mata indahnya, terang-terangan menggoda Bramantyo. Huh! Untung saja menggodanya dalam konteks mengolok. Kalau lebih dari itu, bisa kebat-kebit juga hati gue. Bagaimanapun, Bramantyo itu Cowok!
“Apa sih?” Suara Bramantyo terdengar putus asa.
“Hm.., faktanya ya Bram. Tadi itu, kurang lebih 10 menit, itu mata memelototi gerakan luwes dan wajah manis Kalista, ya kan?” gue mengoloknya.
Bramantyo tergeragap.
Seakan mendapat amunisi tambahan untuk mengusik Bramantyo, Rheinatta mendadak mencondongkan badannya ke arah Bramantyo. Seakan-akan dia pantang kehilangan momen yang amat berharga ini.
“Ssst Bram, elo pasti nggak nyangka kalau Yayang gue mergokin kelakukan elo tadi, kan? Namanya juga orang lagi terpesona, mana mungkin mikirin faktor lain? Asli! Si Cupid beneran beraksi. Ada yang terkena panah asmara nih!” kata Rheinatta.
Bramantyo mengibaskan tangannya dan memberi isyarat agar Rheinatta menikmati saja tampilan acara yang tengah berlangsung.
Tapi Rheinatta menolak.
“Apa? Mau menyangkal ya Bram? Basi, ah! Itu mata, otak, dan pastinya hati, tertuju ke Kalista sepanjang penampilannya tadi. Ayo ngaku! Bilang aja, elo jatuh cinta pada pandangan pertama!” sambar Rheinatta sebelum Bramantyo sempat membantah.
Gue melihat ekspresi wajah Rheinatta yang tampak begitu puas kala mengatakan ini, apalagi saat gue menimpali dengan tawa kecil.
Parah.! Biasanya gue yang bisa menguasai situasi, ini kenapa terbaluk begini ya? Jadi gue yang terlarut...
Enggak pakai ba bi bu lagi, mendadak Rheinatta menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Bramantyo. Lagaknya Dia sudah seperti Si Pemburu yang enggan melepaskan Targetnya saja.
“Bee! Kalem sedikit dong!” bisik gue.
Rheinatta hanya tersenyum tipis kepada gue, mengelus sekilas pipi gue lalu memalingkan wajahnya ke arah Bramantyo.
“Akhirnya..! Seorang Bramantyo yang cool, bengal plus tajir melintir, terkena panah si CUPID juga..,” olok Rheinatta dengan penuh semangat.
Bramantyo tak menyahut.
“Gue yakin banget kok Bram. Kelvin pasti sempat menangkap pandangan ‘penuh minat’ dari elo ke Kalista tadi. Ah, Yayang gue sama elo kan sudah terlalu lama bersahabat. Mana bisa, ekspresi seterang itu, terluput dari pantauan Kelvin gue yang tersayang?” tanya Rheinatta super pelan, namun sempat tertangkap pula oleh indra pendengaran gue.
“Hm, celetak-celetuk nggak guna, deh,” elak Bramantyo akhirnya. Lantas dia cengar-cengir. Pasti lantaran dia sudah punya cukup banyak waktu untuk menetralkan suasana yang membuat dirinya tersudut barusan. Suasana yang menempatkan dirinya sebagai Si Tertuduh.
Sebaliknya, Rheinatta terus memojokkan Bramantyo.
“Ya elah, Bram, naksir cewek itu sama sekali bukan tindak korupsi kok. Nggak perlu malu, kali! Akui saja! Sedangkan yang pada korupsi aja nggak ada malu-malunya, masih bisa senyum sana-sini, ketawa-ketawa dan melambai genit ke media, pas sudah pakai rompi oranye,” cetus Rheinatta kemudian.
Hati gue tergelitik. Duh, Pacar gue ini! Auto mengerling ke dia, gue jadinya.
Apa hubungannya Koruptor sama Sohib gue, Bee? Beneran kata Bram, kamu tuh cocokologinya kadang ajaib deh!
“Apa sih..” ucap Bramantyo cuek dan menyetel raut muka sepolos bayi, berlagak tidak terintimidasi oleh kami berdua, khususnya Rheinatta. Padahal? Dia lupa barangkali sama pepatah lama yang mengatakan bahwa love and cough can’t be hidden!
Gue hampir terpancing untuk tertawa geli.
“Itu mata, Bram, nggak sedetik pun beralih ke arah lain, tadi.”
Entah atas dorongan dari mana, tiba-tiba gue malahan bilang seperti itu.
Pelan sih. Dan hanya ditujukan ke Bramantyo seorang sebetulnya. Tapi buat Rheinatta pasti enggak sesederhana itu. Dia pasti merasa, apa yang gue ucapkan itu sama saja cara untuk mengompori dia.
Bramantyo berlagak sok tenang. Dia melihat ke arah gue sesaat dan mengembangkan kedua tangannya sembari memasang tampang acuh tak acuh.
“Ya tontonannya kan ada di depan, masa iya gue malah melihat ke arah kalian berdua? Memangnya kalian berdua berasa jadi tontonan, apa?” balas Bramantyo. Masih berlagak santai.
Rheinatta tersenyum miring.
“Hon, lihat tuh lagaknya Sohibmu. Sok nggak terpengaruh. Hm, dia lupa berhadapan dengan Siapa!” Rheinatta membisiki gue.
Senyum Rheinatta begitu lebar setelahnya. Nyaris sampai ke kuping.
“Stop sebentar ngeledekin dia, Bee. Itu tontonan di depan sudah berganti lagi.”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $