Temptation (1)

1896 Kata
POV Rheinatta “Meski bibirmu tak berkata, bukan berarti kau bisa berdusta, ada hasrat untuk mencintai dirinya..,” aku bersenandung, mengganti sebagian lyric lagu ‘Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi’ yang dipopulerkan oleh Hivi. Aku melihat Kelvin pun mesem kecil melihat keisenganku. “Jatuh cinta itu jangan dipendam, Bram! Nanti yang ada elo panen jerawat batu. Di semua area wajah elo, pula. Ngeri, kan? Penggemar lo bisa kabur serentak,” tambahku yakin. Bramantyo langsung mengerutkan keningnya, menatap aku dan Kelvin secara berganti-ganti. “Kalian berdua kurang kerjaan, ya? Sok kompak ngeledekin orang. Ngarep banget ya, buat merebut gelar sebagai pasangan paling ideal di kampus? Wohoo... tidak semudah itu, Fergusooo!” ejeknya dengan mimik muka mencela, lalu cengengesan sendiri karena merasa geli.  Mendengar ejekannya yang kuanggap sudah terlampau basi itu, aku sengaja mengarahkan bola mata ke atas, menahannya sekian detik. Kemudian, dengan perasaan gemas aku mencubit lengannya dan tersenyum miring. Maka aku tak mau kalah untuk menyahutinya dengan sahutan yang sudah kelewat sering aku lemparkan kepadanya pula. “Ya memang hal yang susah, kalau meminta opini tentang kriteria pasangan paling ideal ke Seorang Jomblo akut. Dia bakal menyangkal terus, ibaratnya sampai ke titik darah penghabisan. Nggak mustahil kalau sampai dia nungging di prapatan jalan sana. Hm, mungkin.” Bramantyo hendak menyahut, tetapi aku mengacungkan telunjuk, memintanya diam dan mendengarkan lanjutan perkataanku. “Lihat fakta saja deh Bram! Nyatanya, gue sama Kelvin memang Pasangan paling serasi seantero kampus. Ya, kan, Hon?” Bertanya begini, aku menatap sesaat kepada Kelvin dan menyelipkan telapak tanganku ke siku Kelvin, untuk selanjutnya menggayut manja di lengan kokoh itu. Pipiku sampai bergesekan dengan bagian lengan dari t-shirt Kelvin. Gerakan minim ini berbuah lirikan mesra Kelvin kepadaku. Dengan tangannya yang bebas, ia mengelus lembut rambutku. Ah, jadilah kami berdua beradu pandang dan tersenyum menggoda. Segalanya indah, kalau saja tidak ada gangguan dari Sobat Pacarku kemudian. “Wueek! Kalian ini, macam dua orang yang baru tersadar, bahwa kalian saling tertarik satu sama lain,” Bramantyo lekas memasang ekspresi orang yang mau muntah lantaran kekenyangan. Bukan, lebih parah dari itu! Dia memasang mimik muka seolah baru makan makanan beracun. Hm, dasar! “Ih! Nggak sopan banget! Jealous, ya? Sirik tanda tak mampu! Nggak kuat hati tuh, melihat kemanisan cinta yang terpampang di depan mata. Ya, kan, Hon?” Aku berlagak tersinggung berat, karenanya dengan sengaja aku membalas Bramantyo dengan tindakan selanjutnya, menyandarkan kepalaku ke bahu Kelvin. Kelvin mencium puncak kepalaku sekilas. “Dia belum seberuntung aku, Bee,” sahut Kelvin kalem setelahnya, seolah sengaja benar untuk memanas-manasi Bramantyo.  Disahuti semanis itu, aku tak tinggal diam. Kuusap lembut pipi Kekasihku. Hatiku kian menghangat saat dia tertawa kecil, menangkap tanganku dan berlama-lama mengecupnya. Mendadak, Bramantyo berdecak. “Ck! Ck! Ck! Pacaran melulu! Pacaran di segala tempat, nggak kenal waktu. Nanti sebentar lagi biar Senat Mahasiswa mengusulkan bahwa ulah kalian itu bisa dikenakan undang-undang pornoaksi,” dumal Cowok keren itu. Aku langsung mengencangkan wajah mendengarnya. Lantas aku menatap Kelvin dengan gaya anak kecil yang baru saja di-bully teman sekelas, siap mengadukan para pem-bully-nya kepada Abangnya yang jago karate dengan harapan agar mereka segera diberi ‘pelajaran’ yang tak terlupakan. “Tuh, dengar Hon! Dia iri, Hon-Hon. Paksa dia sih, buat menitipkan hati sama Siapa, begitu deh. Biar nggak garing kayak begitu, hidupnya. Gersang, macam tanaman di musim kemarau panjang. Nyaris meranggas. Nah, nggak heran kalau sekarang hati dia kebakaran ngelihat kita berdua. Panas, panas, panas,” ejekku, sambil menyenandungkan penggalan lagu ‘Nakal’-nya band Gigi secara ekspresif. Dan demi menambahkan efek dramatis, sengaja aku mengipas-ngipaskan wajahku dengan telapak tanganku. “Sembarangan! Lo kata hati gue barang apa, pakai dititipin,” balas Bramantyo sok kalem.  Geregetan deh, jadinya. Harus dikasih bonus cubitan pedas lagi di lengannya! Sayangnya, sebelum aksiku  bisa tereksekusi dengan sempurna, Bramantyo sudah menangkap gelagat tak menguntungkan itu. Dia berkelit menghindar, membuatku hanya mampu mendengkus kesal. “Dengar Bram! Dulu gue sempat mikir, elo itu S3 alias suka sama sejenis. Sampai gue khawatir banget, nih Kesayangan gue, elo rebut dari tangan gue.” Aku mengedikkan daguku sebagai ganti menunjuk pada Kelvin. “Untung Kesayangan gue ini bilang, elo masih normal. Ya, gue percaya. Secara, kalian berdua kan sudah lama banget berteman. Kalau nggak salah, dari kelas dua SMA, kan? Pas Kelvin pindah ke SMA elo?” sambungku seraya menatap Kelvin, yang mengangguk sekilas. Aneh. Aku merasa ada selintas kemurungan yang mendadak terbias di parasnya. “Hon,” bisikku khawatir, seraya menatapnya dengan pandangan bertanya. “Hm?” Kelvin mendaratkan sekilas kecupan di puncak kepalaku untuk kedua kalinya. “Kamu nggak apa-apa?” bisikku lirih. “He eh.” Aku menarik napas lega. “Ya terus?” terdengar suara Bramantyo, bernada merendahkan. Seperti baru mendengar cuap-cuap tak berguna saja. Benar-benar membuatku merasa terusik. Gara-gara merasa tertantang, kuabaikan apa yang sempat hendak kutanyakan lebih lanjut kepada Kelvin. “Dia bilang, di SMA dulu elo sok cool, picky banget soal Cewek. Standard elo ketinggian,” ucapku. “Tapi di kampus ini, banyak yang bisa menuhin standard elo, kan?” sambungku pula. Bramantyo menatapku dengan pandangan tak berminat. Kurang ajar sekali. Makin panas kan, aku jadinya. “Dengar-dengar, elo pernah patah hati ya, karena Sabrina yang pindah ke kampus lain pas semester tiga itu menolak cinta elo? Dan ternyata, diam-diam elo pedekate Si Franda, cewek matre yang cuma mau sama duit elo? Belum juga jadian, lagaknya sudah sok ngatur, ngelarang hobby extreme sport elo? Franda tenggelam terbitlah Elsye, Si Cewek kalem yang sepintas....heeeei! Mendadak gue baru ngeh, Elsye itu tampilan fisiknya mirip sama Si Kalista! Wajah imutnya juga mirip. Jangan bilang... elo lagi ngebayangin Elsye tadi? Iya, Elsye yang ternyata sudah punya Tunangan,” aku menatap intens pada Bramantyo dan menunjuk hidung Lawan bicaraku itu. “Apa sih,” timpal Bramantyo dengan wajah jemu, seraya menyingkirkan tanganku.  Aku masih pantang menyerah. Pasalnya, aku merasa baru saja ada Kelinci yang masuk perangkapku. Dia sudah nggak akan bisa mengelak, semestinya. “Ya elah Bram, masih banyak yang jauh lebih bagus dari pada Sabrina-Sabrina, Franda-Franda dan Elsye-Elsye itu. Jangan kebanyakan mikir dan maju mundur juga kali, buat mendekati Cewek yang lainnya. Kebanyakan menimbang, keburu disalip sama Rival, tahu!” cerocosku lancar. Puas banget rasanya, melihat dia merespons dengan gelengan kepala serta tepukan keras di jidatnya sendiri. Apalagi, wajahnya disetel sok lelah begitu. Memangnya barusan dia itu aku suruh buat memikirkan solusi tepat membangkitkan bisnis MICE di tengah pandemi global dengan jaminan potensi kasus baru di angka nol, apa? Sampai sebegitunya sih! “Dengar ya..” “Apa?” tantangku dengan berani. “Kalian berdua memang Pasangan paling ajaib sejagat raya. Cenderung gila, menurut gue. Cowoknya, kayak kekurangan materi buat dibahas pas kencan, pakai bongkar semua aib orang,” Bramanto menunjuk hidung Kelvin. Setelahnya dia mengarahkan telunjuknya ke wajahku dan melanjutkan, “ Nah sementara yang Cewek, kebanyakan waktu dan energi kelihatannya. Ngurusin Orang melulu kerjanya. Hadeh, … kok ada sih, Pasangan gila kayak elo berdua? Gue makin yakin berat nih, faktor ‘X’ yang bikin lo berdua bisa nyambung, nyetrum satu sama lain dan awet lagi pacaran bertahun-tahun, ya itu tadi, sama-sama punya tingkat kegilaan yang maximal, he he he …” Merasa dirinya di atas angin, Bramantyo mengekspresikan rasa gelinya secara berlebihan, tertawa sembari memegang perutnya. Jelas aku tidak terima. Dengan gemas, kupukul lengannya. Gara-garanya, aku belum mendapatkan diksi yang tepat untuk berbalik membalasnya. “Ih, merengut. Macam Cewek lagi PMS,” olok Bramantyo seenak udelnya. Kurang ajar!!! Aku menarik napas panjang sebelum menyahutinya. “Jangan ngasal dong kalau ngomong! Berani taruhan, gue sama Kelvin itu Pasangan dengan tingkat kewarasan paling tinggi. Elo yang aneh, dasar Cowok tebar pesona!” kecamku dalam sebal. Kemudian dengan gaya Petugas pencatat data statistik di kelurahan, segera aku menyebut satu demi satu Cewek yang menaruh hati padanya, tetapi tidak bersambut. Yang ada, mereka malah jadi penasaran saja. Ada sebagaian yang masih nekad mencari perhatian dengan lebih gencar, tetapi tak kalah banyak yang memilih untuk mundur teratur, merasa enggan menghabiskan waktu secara percuma. Tak jarang pula yang mengatakan Bramantyo itu bak gunung es. Lantaran belum puas dengan reaksi Bramantyo yang adem-ayem saja, aku mengabaikan kerlingan mata Kelvin. Aku masih merengut, ketika Kekasihku itu tertawa tanpa suara. “Hon,” panggilku lirih. Maksud hati sih mau meminta pembelaan. Tapi Kelvin tak menjawab, hanya menepuk pelan pipiku. Nah, di saat begini, Bramantyo malah berulah. “Hei, yang tebar pesona tuh, siapa? Memang sudah dari sananya, gue ini memesona kok! Bawaan lahir, kayaknya! Dan nggak kuasa untuk ditolak. Udah ah, gue jadi enggak konsen nih, menikmati tontonannya!” Bramantyo menggeser ke samping posisi berdirinya, menjauh dari kami berdua. “Siapa yang ngajak ke acara, Siapa yang cuekin acaranya,” gumam Bramantyo pelan. Nyebelin baget, kan? “Diih … ge-er amat sih! Tuuh kan, ketahuan! Memang naksir, dia! Buktinya bela-belain nyingkir jauh-jauh dari kita segala biar enggak merasa terciduk!” aku bersungut-sungut mendapati gaya Bramantyo yang bergeser seperti menjauhi jamur. “Sst, lihat itu Bee! Koreografernya oke banget. Tari tradisional bisa dimodifikasi sekeren itu, coba! Patut diapresiasi,” komentar Kelvin terdengar bersamaan mengediknya dagunya ke arah panggung. Sebuah kode keras untuk menghentikan olokanku pada Bramantyo. Aku menatap sekejap ke arah panggung. Ada dua belas mahasiswi semester V Fakultas Sastra yang tengah membawakan tarian Ratoh Jahroe di atas panggung. Namun jangan panggil aku Rheinatta, kalau secepat ini mau menyerah. Aku mendekatkan bibirku ke telinga Kelvin, membisikinya lagi. “Hon, tolongin Bram, tuh! Tadi bukannya kamu yang memergoki tatapan matanya si Bram ke Kalista? Mungkin malah ada ikon love struck meloncat keluar dari matanya. Kepincut dia, sama Kalista. Fix, deh! Mata kan emang nggak bisa bohong, Hon!” aku mengajuk. Kelvin menyeringai. “Tolongin gimana maksudnya, Bee? Dia mah nggak perlu ditolong, buat urusan yang macam itu. Cewek mana yang nggak kepengen jadi Pacarnya Bramantyo, coba?” sahut Kelvin ringan, seolah berharap aku tak mencampuri urusan Bramantyo lebih jauh.  Langsung aku membalasnya dengan cibiran. “Ya enggak semua Cewek juga, kebelet pengen jadi pacar dia, Hon! Jangan di-generalisasikan juga dong, Hon! Tuh contohnya, si Sabrina, si Franda matre itu. Lalu si Elsye siapa tuh. Dan aku, tentunya,” timpalku. “Udah ah, Bee! Jangan bocorin lagi soal Para Cewek itu. Nggak enak dong sama dia. Dia bukan typical cowok yang kalau lagi pedekate dan ngegebet cewek, terus membiarkan seluruh dunia tahu. Orang kalau lagi dekat atau pacaran sama Siapa juga nggak terlalu kentara. Bee, itu kan, boy’s talk-nya dia ke aku yang enggak sengaja keceletukan sama aku pas lagi ngobrol sama kamu. Kalau kamu, beda. Kan, memang cinta matinya sama aku doang,” Kelvin berbisik sambil mencolek daguku. “Iih.., apa sih! Ini dagu, Honey, bukan sabun colek,” aku berpura-pura protes, padahal sebenarnya senang juga sih, digoda begini. “Habis, kamu sibuk ngurusin Orang! Urus Pacarmu ini saja, ya!” Kelvin mengedipkan mata. “Hon, jangan kegenitan! Atau..., kamu cacingan ya, kedip-kedip mata gitu?” olokku. Kelvin tak menyahut. Sebaliknya, dia mengurai tanganku yang sejak tadi menempel bak lintah, memegangi lengannya. Gerakannya yang mendadak ini, selembut apa pun, tetap saja membuatku terkaget. Terpikir olehku bahwa Kelvin tersinggung olokanku barusan. Nyatanya dugaanku meleset. Kelvin justru merangkul bahuku dengan protektif, kemudian meraih sebelah tanganku dan melingkarkannya ke pinggangnya. Mana mungkin bisa kutolak? “Sial banget posisi kita pas di belakang orang pacaran begini. Jijay deh! Baru jadian kali, jadi tingkahnya macam Pasangan yang lagi cinta-cintanya. Sok mesra. Super norak!” Ada gerutuan tertahan dari arah belakang kami. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN