POV Rheinatta
Aku melirik pada Kelvin, yang rupanya tak mendengar dengan jelas gerutuan itu. Dia terlihat santai. Maka, aku pun memutuskan untuk bersikap sama, berlagak cuek. Pura-pura b***k. Lebih baik melihat tontonan menarik di depan sana, Wingky yang tengah melukis di atas pasir. Hebat sekali. Penampilannya juga disambung persembahan musik dari peralatan bekas, oleh lima orang mahasiswa semester satu.
Setelah itu, ada pula vocal group beranggotakan empat Personil yang merupakan gabungan Mahasiswa dan Mahasiswi Fakultas Sastra dari semester III dan V. Cara mereka membagi suara amat ciamik. Telinga jadi serasa dimanjakan. Ada pula Bona yang mempersembahkan kemampuan sulap klasiknya dengan media bunga, kartu, dompet yang bisa mengeluarkabapi, dan sebagainya.
Baru beberapa aacara saja, aku terkagum menyadari betapa banyak talenta yang bersinar di Fakultas Sastra ini. Tak pelak aku berpikir, ini Fakultas Sastra atau Institut Kesenian, sebenarnya?
“Duh mulai panas. Lapar, lagi. Ke bazaar kuliner di sisi timur Emerald Park, yuk! Tadi sebelum masuk kemari, gue sempat melihat sekilas, tampilannya menarik semua. Bikin ngiler pokoknya. Harganya juga enggak mukul, kok. Pas sama kantong Mahasiswa yang juga Anak Kost,” kata Cewek yang berjarak sekitar dua meter dari tempatku berdiri.
“Bolehlah. Sekali-kali nggak ke Kansas nggak apa, deh. Nyicipin yang lain. Ayo. Yang jualan di bazaar toh Teman-teman kita juga. Anggap saja kita bantu meramaikan,” sahut Cowok yang berdiri di sebelahnya.
Biarpun bukan Mahasiswi Fakultas Sastra, aku cukup akrab dengan sebutan Kansas alias Kantin Sastra. Itu sebutan untuk area makan yang lumayan luas, berhadapan dengan deretan bilik bambu yang menjajakan aneka menu makanan berat maupun kudapan ringan. Selintas berkonsep seperti food court dengan harga menu yang ramah ‘lingkungan’.
Letak Kansas tepat di belakang gedung Fakultas Sastra, yang berseberangan dengan bangunan Fakultas Ekonomi, yang tak lain adalah Fakultasku.
Aku agak penasaran sama asap usul sebutan Kansas sebetulnya. Menurutku kurang pas. Semestinya Kantin kan satuvtempat bukan sederet begitu. Tapi suka-suka mereka deh. Masa Orang Fakultas lain pakai protes terbuka segala, nggak penting kan?
“Ra, Don, ayo kita makan dulu. Mumpung sebentar lagi acaranya sambutan-sambutan. Nanti kita balik lagi,” Cewek itu mencolek teman-teman di barisan depannya.
“Di Kansas? Wah, nggak bakalan sebentar. Doni pasti sengaja berlama-lama di sana. Biar bisa pedekate si Milah, anaknya bu Sum yang jual nasi rames,” timpal Salah satu dari mereka.
“Takut ya, makan di Kansas? Daftar utang lo di warsun mang Jajang sudah kepanjangan dan over limit sementara transferan uang bulanan belum masuk?” balas orang yang dipanggil Doni.
“Enggak, enggak. Kita makan di bazar kuliner. Cepetan, nanti keburu ketinggalan acara lainnya,” Si Cewek yang paling awal mengajak, menyahut tak sabar dan segera beranjak.
Teman-temannya yang lain langsung mengikuti. Bukan berdua atau berempat, tetapi sekaligus berdelapan. Baguslah, jadi agak legaan sekarang. Aku menggeser badan dan tersenyum senang. Kutarik lengan Kelvin dan memberi kode akan membisikinya.
“Apa? Jangan ngomongin Bram lagi lho,” titahnya cepat, bak Baginda Raja. Baginda Raja Kelvin, maksudku.
“Hon, kubilang juga apa? Ini fix, deh. Bram itu naksir berat sama Kalista. Aku yang jadi Cupid-nya aja deh, aku comblangin mereka. Aku kenal Kalista, kok,” tidak kuindahkan peringatan dari Kelvin.
Aku tetap mengamati gerak-gerik dan ekspresi wajah Bramantyo walau tak seleluasa sebelumnya. Beruntung, Cowok yang tengah kubahas adalah Bramantyo. Kalau Cowok lain, mungkin Kelvin bisa cemburu. Eh, aku nggak ge er kok. Dari hasil kuiz yang kupaksakan padanya, hasilnya menunjukkan bahwa dia itu Scorpio murni, yang selalu total. Istilahnya, kalau mencintai itu 200 persen, mencemburui juga bisa 200 persen! Asal jangan beri dia kesempatan untuk mengambil celah ‘selingan’. Bahaya banget! Bisa terombang-ambing bak pendahulunya, si Libra, nanti!
Kelvin menggeleng tak setuju dan berkata, “Kerajinan amat sih, Bee! Udah dibilangin juga, urusin aku aja. Bram itu nggak perlu diragukan lagi deh, kelihaiannya merebut hati Para Cewek. Jangan dipusingin. Kalau selama ini dia terlihat nyaman being single, bukan lantaran kurang nyali atau tekad buat dekatin Cewek. Yang naksir dia bejibun, tapi maju mundur sama hobinya.”
Gila, senyum tipis Kelvin di ujung kalimat, membuatku tersipu seolah sedang digoda sama gebetan!
“Aduh my Honey bunny sweety, memangnya kamu kurang diurusin, apa?” aku setengah merajuk.
Reaksi Kelvin seperti biasa, sok-sok memejamkan mata sesaat.
Uh, jangan Hon, jangan ngucapin apa pun lagi ya, aku sudah tahu kamu mau bilang apa, deh.
“Kamu tuh Bee, biarpun beberapa kali untuk menjajal extreme sports kegemaranku sama Bram, dan meskipun ‘ramai’ dan hobby banget celetak-celetuk, masih nggak kehilangan sisi feminin. Ya apalagi kalau pas tersipu atau kambuh manjanya begini. Gimana aku nggak terus-terusan kesengsem, coba?” tuh, kan, ngucap begitu lagi dia! Gimana aku nggak jadi salting coba?
Tapi sekarang ada yang penting lho, ya soal Si Bramantyo Sobatnya itu.
“Hon, selain patah hati sama si Sabrina, Franda dan Elsye itu, apa kesininya, Bram ada kelainan? Trauma gitu, takut ditolak atau dikecewakan Cewek? Atau cuma picky? Pernah mikir sampai ke sana nggak, Hon? Aku prihatin, dia itu kan Sohib kita. Aku lihat, sikap Bram biasa banget ke Cewek. Jangan-jangan, disodorin Cewek secakep Federika Alexis Cull juga dia adem-ayem aja, nggak ada daya juang. Kamu kan akrab banget sama dia Hon. Sebenarnya, seleranya Bram soal Cewek, tuh yang gimana?” tanyaku lirih.
Kelvin mengangkat alis.
“Astaga Bee! Kalau barusan itu laku agi minum, bisa keselek aku. Bisa-bisanya sih, kamu mikirin Bram sedalam dan seserius itu?” keluh Kelvin pelan, diiringi tatapan setengah memohon.
Cute banget kamu Hon, kalau lagi begitu! Suka deh, aku ngelihatnya!
“Hon, apa sih?” kugoyangkan lengannya.
“Bee... udah ah, ngomongin dia terus! Cemburu nih, lama-lama!” ucap Kelvin kemudian, seraya menunjuk ke arah panggung. Sepertinya itu isyarat yang lebih menyerupai peringatan keras agar aku menikmati tampilan yang baru berganti di depan sana.
Ah, nggak manjur. Aku kurang tertarik.
“Hon, kepikir nggak, sama kamu? Bisa jadi..., Bram itu mulai menuju level S3-nya deh. Atau..., jangan-jangan..., diam-diam dia suka banget sama kamu, Hon! Buktinya, kalian berdua lengket banget, ibarat netizen +62 dengan kenyinyirannya,” bisikku, setelahnya.
Kulihat, alisnya kembali terangkat.
“Bee! Pemikiran kamu benar-benar ajaib dan ngawur. Minta dicium juga nih bibir, biar diam,” tegurnya pelan sambil menatapku dengan mimik muka menahan kesal. Pakai mendengus pelan segala.
“Ih, apa sih! Ngaco, ngomongnya kemana-mana!” protesku pantang didistraksi.
“Hon, benar? Ih, kamu jahat! Jadi, selama ini, kamu selain jalan sama aku, juga perhatian sama Bram? Kamu! Kamu! Kamu juga.., punya orientasi melenceng, gitu? Bisa suka sama yang sejenis maupun tidak? Ih, jahat banget! Udah duain aku, terus..., iiih! Masa Bram sih, yang jadi Sainganku! Tolong deh!” entah terdorong pemikiran dari mana, mendadak inilah yang kuucapkan padanya. Kepalan tanganku memukul-mukul bahu Kelvin dengan gemas.
Kelvin terperangah mendengar analisaku. Ia menangkap kedua tanganku. Lantas, melihat aku tak bereaksi, dia pasang wajah geregetan.
“Astaga, Bee! Kamu tuh, salah makan obat, atau dehidrasi, jadi error begini? Berapa menit lalu kamu sok memastikan Bram kepincut sama Kalista. Eeeh..., belum hitungan jam, sudah ganti prasangka. Nuduh dia S-3. Nyeret-nyeret aku, lagi. Labil, ah!” Kelvin setengah bergumam.
“Habisnya..., aku penasaran, Hon. Nggak rela aja. Dengar-dengar, teman-teman mau menobatkan Bram sebagai Presiden Jomblo di kampus, sampai dia lulus. Kasihan, kan..,” balasku, di antara tepuk tangan riuh penonton yang terdengar. Entah sudah berapa kali tontonan di depan sana berganti.
Kelvin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah datar. Lalu dengan gerakan super cepat, dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Eeeeh..., kamu mau ngapain? Di tempat umum begini?” aku terkaget dan refleks memundurkan kepalaku. Kuberi bonus berupa pelototan mata yang super sadis, supaya dia tersadar.
“Makanya! Kalau kamu masih terus ngomongin ini, aku cium kamu di depan umum, lho!” ancam Kelvin setelahnya.
Aku yakin, bibirku pasti langsung melengkung ke bawah mendengar ancamannya, walaupun aku yakin dia tidak akan senekad itu. Buktinya, dia buru-buru mengelus lembut lenganku, berusaha untuk membujukku.
“Bee, Bram itu punya privasi sendiri. Skip bahasan ini ya? Atau aku balik menuduh kamu ada hati sama dia, kalau kamu masih juga mempermasalahkan hal ini?” ucap Kelvin setelahnya, dan berujung dengan aksi melabuhkan pandangan matanya ke bola mataku. Dan betapapun itu bahasa tubuh yang kelewat sering dilakukannya, hatiku tetap saja tergetar, ditatap macam itu. Sampai-sampai aku menundukkan kepalaku.
“Iya deh. Tapi kamu sendiri juga jangan mikir yang aneh-aneh. Mustahil aku bisa punya perasaan ke Bram. Dia itu kan Sahabat kamu. Amit-amit nih, andaipun kita putus, nggak mungkin lah, aku jadian sama dia, meskipun misalnya dianya cinta mati sama aku. Itu prinsip, Hon. Kayak nggak ada Cowok lain aja,” tegasku lantaran bingung hendak mengatakan apa lagi.
Dan alangkah ganjil. Tanpa kuundang, Sosok yang tadi melambaikan tangan padaku, melintas begitu saja di pikiranku. Aku terusik hebat. Dan sejujurnya, gelisah.
Heh, heh, kamu ngapain? Pergi sana!
“Ya nggak usah pakai nyebut-nyebut putus juga, sih, Bee. Entar kejadian, lagi. Repot akunya, tahu nggak!” protes Kelvin seketika. Demikian serius, hingga tak sadar suaranya meninggi, membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh. Heh, jangan-jangan mereka menyangka kami sedang bertengkar hebat. Beruntung, kami lekas memasang tampang cuek.
“Pengandaian, Hon-Hon. Pengandaian. Siapa juga yang pengen kita putus?” aku membela diri dan menggelayut makin manja di lengannya.
“Sudah, jangan ngomong atau berandai-andai yang jelek begitu. Ucapan itu doa, Bee. Bikin hatiku ciut aja, kamu,” bisik Kelvin, lalu menatapku secara intens.
Aku yang agak grogi melayangkan pandangan mata ke sekelilingku.
Sekarang, aku memergoki orang-orang di sekitar kami menatap dengan risi campur iri. Tapi masa bodoh, ah! Kami kan nggak nggak menyentuh, menyindir, atau membicarakan mereka, toh! Boleh dong, kalau cuek bebek? Aku menengadahkan wajah, membiarkan Kelvin mengusap-usap rambutku, dan tersenyum menatapnya.
“Ya ampun, Kelvin, Rheinatta, gue jadi bingung, yang harus ditonton itu, kalian atau yang di panggung sana, sih sebetulnya?” celetuk sebuah suara. Tersirat ekspresi gusar dalam suaranya.
“Bebas, tergantung arah pandangan mata elo,” sahut Kelvin seenak udelnya. Aah, aku tahu, pasti demi menjaga perasaanku, deh!
“Iiih...! Nyadar dong, Kalian berdua tuh, merusak pemandangan banget!” cetus suara lainnya. Arahnya dari kiri belakang. Tetapi saat aku menoleh, tidak kutemukan Pelakunya. Sepertinya Sang Pelaku sudah membungkam rapat-rapat mulutnya supaya tidak terdeteksi. Dan saat aku mencermati wajah-wajah yang ada di sana, sekilas tak ada yang mencurigakan. Ye, lempar batu sembunyi tangan nih! Yang model begitu punya bakat tuh, jadi Koruptor kalau suatu saat kelak diberi kepercayaan memangku sebuah jabatan. Dan aku tak mau Orang-orang macam ini berlindung di balik ekspresi wajah yang disetel bagai Orang yang tanpa dosa.
“Iri? Pada cari Gandengan deh, kalian!” balasku santai, kompak dengan Kelvin-ku tersayang. Hasilnya mengagumkan. Beberapa Orang yang berada di belakang kami, menjauhkan diri sambil menggerutu. Sukurin! Rheinatta kok dilawan!
“Susah memang, kasih tahu Orang yang merasa dirinya benar. Sing waras ngalah,” masih sempat kutangkap sayup-sayup gerutuan mereka sembari menjauh dari kami.
Sial, kali ini pipiku serasa tertampar. Jadi maksudnya, mereka yang waras, aku dan Kelvin-ku tersayang enggak? Kenapa semudah itu menghakimi aku sama Kelvin? Apa aku dan Kelvin sesalah itu?
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $