Di Luar Skenario (1)

1229 Kata
POV Kelvin How can I say to you. I love somebody new. you were so good to me always. And when I see your eyes. I can't go on with lie. It breaks your heart, but I just can't hide it. Oh, no... I I've been away too long. Now I just can't go on. I've been away too long. I, I've been away too long. Selagi menunggu sampai yang lain siap untuk berangkat, Kendra duduk santai. Dia mengisi waktu dengan memetik gitarnya perlahan, melantunkan sebuah tembang lawas dari George Baker, yang sialnya, menyinggung perasaan gue. Gue nggak tahu pasti apakah dia sengaja ataukah kebetulan saja melakukannya. Ini Anak, ngapain sih? Gue ini lagi jaga mood banget, lho! Pakai nyanyi-nyanyi yang nggak jelas segala. Bukannya apa, Rheinatta ngambek lagi. Dan kali ini adalah ngambeknya yang terlama. Padahal gue sudah senang-senangin dia dua minggu lalu, dengan menamni dia dari Sabtu ke Minggu, gue ikutin kemauan dia mau kemana. Mau belanja ayok, nonton film ayok, makan juga ayok. Malahan pas hari Minggu-nya, gue sama dia sempat ke Taman Safari segala, karena dia bilang dia kepengen refreshing dan lihat-lihat binatang. Gue ikutin tanpa keberatan. Tanpa protes. Tapi tetap, minggu depannya juga dia marah lagi karena gue pergi, dan memang nggak sama Bramantyo. Dia mempermasalahkan lagi, Curiga lagi. Seolah itu belum cukup, dia pakai mengancam gue, bilang bahwa dia bakalan pergi clubbing lagisaat gue nggak ada. Harusnya kan dia senang karena gue nggak menimpali kemarahan dia. Tapi namanya Cewek kan memang susah ditebak apa maunya, meskipun gue sudah memacari dia selama bertahun-tahun. Yang jelas, Rhrinatta menuduh gue ‘kumat’ lagi, nggak peduli sama dia dan mulai bosan. Lalu ada sangkaan lainnya, yaitu bahwa gue sedang main mata entah dengan Cewek yang mana. Dan gue biarkan saja semua itu. Gue malas membela diri. Gue hanya berharap, sebagaimana biasa, seiring waktu ya marahnya dia juga bakal mereda dengan sendirinya. Jadilah, seminggu terakhir ini dia selalu menghindari kalau ketemu di kampus. Sudah jelas dia nggak latihan. Nggak usah ditanya deh kalau itu. Gue sudah baikin dia, kirimin dia coklat, makanan, permintaan maaf, kiriman bunga. Memang, ada hasilnya sedikit, dia mau menjawab telepon gue akhirnya. Itu juga baru tiga hari lalu. Tapi ngomongnya pendek-pendek. Dia juga belum mau ketemuan sama gue. Bisa-bisanya, ya? Seminggu penuh, nggak pergi makan bareng, nggak pacaran, padahal satu kampus! Gue geleng-geleng kepala mengingat itu. Ya meskipun gue jadi punya waktu lebih banyak untuk hal-hal yang gue suka, termasuk..., nemuin Nicky! “Ken, itu lagunya nggak salah?” tegur gue. Kendra tidak menghentikan aktivitasnya, cuma mengangkat alis pertanda bertanya. Dia ini, ngapain pakai nyanyi segala? Di anggak tahu apa, Mantan Gebetan dari Pacarnya itu Seorang vocalist band? Ya sudah jelas suara dia kalah kemana-mana lah! Pikir gue sinis. “Sedih banget sih itu lagunya! Kita ini kan mau pergi, mustinya happy dan bersemangat. Carilah lagu yang lebih sip. Lagian itu lagu dari jaman Nenek buyut dari Nenek gue masih pakai tank top tahu nggak? Sudah berapa generasi tuh ...” cetus gue sambil menyamarkan nada protes gue, sekaligus untuk memperjelas teguran gue ke dia tadi. Terus terang saja, gue cukup terganggu sama lirik lagu yang dinyanyikan Kendra. Disadari atau nggak, itu related banget sama gue, sama suasana hati gue sekarang ini. Makanya nggak berlebihan kalau gue berharap dia tahu diri dan berhenti bernyanyi. Minimal, cari deh lagu yang lebih baru. Eh. Lain yang gue harap, lain pula yang gue dapatkan. Yang diprotes pasang mode cuek, apalagi dia juga didukung sama senyuman manis Sylvanie yang duduk di sebelahnya. Entah apa yang ada di pikiran Sylvanie detik ini. Adakah dia cukup terhibur dengan suara Kendra yang mungkin baginya bisa dimasukkan ke golongan ‘boleh juga,’ paling enggak, kekecewaannya karena nggak kesampaian untuk ‘jadian’ sama Andhika Setiawan si anak band yang banyak fans di kampus itu, sedikit demi sedikit terobati. Entahlah. Mikirin isi hati Cewek gue saja gue nggak selalu bisa. Lebih-lebih ini, Pacar Orang! Suara Kendra kembali terdengar... But I just can't go on with lie. I gave you all I had. So there is nothing left. I may be wrong, but I better go now Wah! Ini sudah benar-benar kurang ajar namanya. Gue memutuskan untuk menjauh demi ketentraman hati gue. “Hhh … mending gue samperin si Bramantyo,” gumam gue karena sudah merasa gerah. Gue merasa lyric lagu yang didendangkan Kendra itu dalem banget sih, ‘nusuk’ ke gue. Gue menghampiri Bramantyo yang baru saja memasukkan telepon genggamnya usai menerima panggilan telepon entah dari Siapa. Gue juga nggak berminat untuk tanya. Gue tepuk bahu Bramantyo. “Apa?” Dia mengangkat-angkat alis. “Bro, udahan teleponnya? Yuk, kita cabut sekarang!” ajak gue tanpa basa-basi lagi. Bramantyo mengerutkan keningnya. “Kenapa?” tanya gue. “Gue yang harusnya tanya kenapa ke elo. Kita nggak tunggu Rheinatta, memangnya? Dia belum dateng, kan? Memangnya dia nggak ikut?” tanya Bramantyo bingung. Sebelum gue sempat menjawab pertanyaan Sobat gue ini, gantian ponsel gue yang berbunyi. Gue langsung mengangkat jari, memberi kode ke Bramantyo bahwa gue akan menjawab panggilan telepon itu dulu. Dia mengangguk dengan santai. Gue sempat menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan super pelan, mendapati Siapa yang menghubungi gue. Gue rada menjauh untuk menjawab panggilan telepon itu. Mendadak gue mendapat firasat buruk, tapi belum bisa gue terjemahkan. Hhh, padahal tadinya gue sengaja mau cepet-cepet jalan biar bisa ninggal dia. Gue nggak pernah kepikir ini cewek beneran mau ikut, padahal gue kan nggak ajak dia, gue cuma bilang bahwa gue mau pergi hiking sama bebrapa Teman hari ini …. Bener-bener cewek yang kemauannya keras kalau dia beneran kemari nih, keluh gue dalam hati. “Hallo Nick!” sapa gue senormal mungkin. Seolah nggak ada beban. Padahal bohong banget. “Hallo Vin! Ini sebentar lagi aku sampai situ. Tunggu ya, jangan ditinggal. Mobilnya muat nggak? Atau aku suruh ini Supir kantor aku buat nganter kita ke Bogor?” celoteh riang Nicky terdengar di seberang sana. Gue tahu sudah nggak bisa mengelak. “Ya udah. Cepetan dikit ya Nick,” sahut gue dalam panik yang berusaha gue sembunyikan. Sebenarnya gue nggak suka kalau Nicky ikut bersama gue hari ini. Tanpa gue harus buka mulut juga Bramantyo bakalan tahu ada yang nggak beres dalam hubungan gue sama Rheinatta. Dan di detik ini juga, gue mendadak takut, jangan-jangan Rheinatta akhirnya memutuskan untuk ikut hari ini. Pasti suasananya akan jadi sangat nggak enak. Tapi kelihatannya enggak. Itu cewek kan lagi malas buat teguran sama gue, bawaannya juga curigaan terus, giliran dia sendiri, dilarang pergi dugem sama temen-temennya, tetep aja mau jalan. Itu yang gue pikirkan serta harapkan. Dan baru sekadar memikirkannya sudah membuat gue sedikit lega seolah sudah menggenggam kepastian, jaminan. Bramantyo mendekat. “Siapa yang telepon, Vin? Rheinatta? Lho, elo kok nggak jemput dia? Lagi pula, kok cara lo ngomong di telepon kayak gitu sih?” tanya Bramantyo ingin tahu. Tumben! Mau kepo sampai begini. Ya meskpiun masih dalam batas wajar. Gue menggeleng. “Bukan Rheinatta? Terus Siapa?” Gue menjawab dengan berat, “Nicky.” Bramantyo terperanjat. Lantas Dia diam beberapa detik. Mungkin untuk menyakinkan pendengarannya barusan. “Hah? Nicky? Nicky yang penyiar Radio itu? Yang kenal waktu di Puncak, terus juga ikut motoran?” tanya Bramantyo, seolah ada Nicky yang lain. Gue mengangguk dengan berat hati. Bramantyo mencermati gue. Di detik ini gue merasa tatapan matanya sungguh aneh. Seolah dia bukan Sobat yang sudah dekat sama gue selama bertahun-tahun lamanya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN