POV Kelvin
Gue sedang berusaha meyakinkan diri gue bahwa tatapan mata Bram bukanlah tatapan mata yang menyiratkan rasa kesal karena merasa ‘ditikung’ sama Sobatnya sendiri. Lha memang gue kan nggak ‘nikung’ dia dong? Dia yang nggak memberikan respons baik ke Nicky sampai Cewek itu terpuruk, kok! Apa bedanya dia sama Si Vocalist band Just For Fun itu, Si Andhika? Sorry ya, kalau ke Cewek itu jangan suka kasih harapan palsu, jangan tempatkan mereka di area abu-abu. Kalau memang nggak suka, ya tegas dong, jaga jarak dan konsisten menghindari. Orang Nicky sudah jelas kok dari awal naksir sama dia. Pakai diombang-ambing segala perasaannya. Nggak boleh begitu seharusnya.
Dan semakin gue terlarut sama pemikiran gue sendiri, akhirnya gue tersadar, tatapan Bram itu jelas tatapan menyelidik yang bercampur meremehkan. Eh! Kok gue merasa dia meremehkan gue, ya? Bukannya semestinya dia yang gue tegur karena sudah memperlakukan Nicky dengan kurang baik? Ini kok jadi terbalik? Kesannya gue yang salah, sih?
Bramantyo menghela napas panjang sebelum dia bertanya dengan super pelan, “Jangan bilang bahwa elo...?”
Ya. Dia menggantung kalimatnya di sana, seolah enggan untuk masuk terlalu jauh dan mengganggu privasi gue.
Huh! Sudah tterlambat.
Tanpa dia harus melanjutkan juga gue sudah bisa menebak kemana arah pertanyaan dia.
Gue juga malas untuk menjawab. Buat apa? Gue nggak mau membuat suasana jadi nggak enak.
“Hei Rheina! Datang juga akhirnya! Tahu nggak, elo itu hampir saja ditinggal. Sebenarnya niat nggak sih mau ikut?! Lagian, kenapa nggak bareng Kelvin datangnya? Cowok lo kok nggak jemput sih elo sih? Nggak sopan banget! Yang model begitu, auto delete mendingan!” teriak Kendra lantang, begitu melihat sebuah taksi merapat dan Seseorang turun dari sana.
Gue melihat ke arah yang sama dengan Kendra.
Sylvanie melambai dengan wajah ceria.
“Rhein, akhirnyaaaaa!”
Cewek itu langsung menghampiri Rheinatta dan tersenyum ceria.
Gue melihat, Rheinatta terpaksa mengembangkan sebuah senyum, membalas Sylvanie.
Detik ini juga gue yakin berat, pastinya wajah gue seketika memucat. Jujur, gue panik.
Ini kenapa jadi begini, ya? Bakalan ruwet ini urusannya.
Padahal tadi itu gue sudah menyangka bahwa Rheinatta pasti membatalkan kepergiannya setelah sempat ribut hebat sama gue sebelum akhirnya jadi perang dingin. Sebabnya ya itu lagi, itu lagi. Rheinatta minta kejelasan dan penjelasan karena menganggap bawha kecurigaannya ke gue benar.
Rheinatta bilang, pasti sudah ada Seseorang yang lain di hati gue karena menurut dia sikap gue semakin berubah, cuek dan nggak menghargai perasaan dia. Dan Rheinatta sampai membanting telepon waktu gue menolak untuk menemani dia makan malam bersama di luar. Lucu kan? Selalu saja begitu. Ribut-ribut, baikan, mengungkit kesalahan, terus nggak membiarkan tuntas. Tapi nggak tahu lah. Kenyataannya begitu. Tapi kan ini bukan cuma dari Pihak gue, melainkan Pihak dia juga. Wajar kalau gue tersinggung sewaktu dia menuliskan status yang gue yakini menyindir gue, “Biasakan selesaikan masalah, atau masalah yang akan menyelesaikanmu.”
Apa sih? Sama-sama juga.
Siapa yang senang jutekan terus? Capek.
Waktu itu gue sudah telanjur janji sama Nicky buat menjemput dia dari tempat dia bekerja sebagai Dubber. Dan gue juga sempat melempar asalan ke Rheinatta dengan bilang, kan rencananya hari ini toh kami bakal ketemuan.
Dan ya, hari ini kami akhirnya ketemu. Tapi dalam situasi yang enggak gue kehendaki.Sumpah!
Andai tadi Nicky nggak telepon, ya andai tadi dia nggak menghubungi gue.
Aaarggh! Rasanya sebal banget.
Gue menyesali kedatang Rheinatta!
Kenapa dia harus datang di saat nggak tepat begini, coba?
Kan berdasarkan kebiasaan dia yang sudah mendarah daging, dia itu selama ini kalau lagi ngambek lumayan lama dan biasanya gue harus melakukan usaha ekstra buat membujuk sampai marahnya dia mereda.
Gue juga masih sempat kok berusaha untuk menghubungi dia tadi pagi, tapi masuk kotak suara. Terus gue kirim pesan teks juga, dan diabaikan sama dia. Terus sekarang, apa-apaan, pakai langsung nongol di saat nggak tepat begini?
Dan lebih menyebalkan lagi, tahu-tahu Bramantyo yang gue anggap ‘sangat nggak mau ikut campur’, tetiba mengeluarkan celetukan, “Elo kenapa Vin? Mimik muka elo itu aneh. Cewek lo datang bukannya happy malahan persis orang terciduk. Apa ini artinya, elo sama Si Nicky sungguhan sudah ‘jalan bareng’?”
Celetukannya sudah menyerupai gumaman. Pelan dan nggak terlalu jelas. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat panas kuping dan hati gue.
“Hai Syl!” sapa Rheinatta.
“Gitu dong, Rhein. Thanks lho ya, Sylvanie jadi senang ada Teman Cewek,” sela Kendra.
Gue menangkap ucapan terima kasih dari Kendra nggak tulus-tulus amat.
Sylvanie tersenyum lebar dang mengangguk-angguk.
“Tadinya gue memang hampir enggak berangkat, Ken. Agak malas. Lagi nggak mood soalnya. Terus sekarang ini gue juga kurang fit. Cuma gue nggak enak begitu sama nih, Cewek satu ini, Sylvanie! Nah dia kan baru ikut-ikutan beginian. Lagi pula dia minta gue temenin. Takut nggak ada temen cewek, katanya. Padahal kan ada elo, Ken. Elo kan bisa jadi Teman Cewek, Pacar, Teman Cowok, Porter, sampai jadi Abang angkat dia mustinya. Namanya juga baru jadian. Tuh, kalau pinjam lyric lagu : aku bisa menjadi apa pun yang kamu mau. Betul, kan?” Rheinatta berusaha menggoda Kendra, dan di saat bersamaan jelas-jelas menghindari bertatap mata sama gue.
Gue mengeluh dalam hati.
Kendra mengacungkan ibu jarinya, sementara Sylvanie tersipu mendengar kata-kata Rheinatta.
“Wah, ini dia yang gue suka dari elo, Rhein. Elo itu super baik aslinya. Tapi kalau memang lagi nggak fit jangan maksa buat berangkat dong Rhein. Kasihan Kelvin lah, nanti dia ekstra kerja keras lagi, buat jagain elo sepanjang perjalanan!” kata Kendra serius, seolah tengah menasehati Rheinatta.
Gue memergoki Rheinatta melotot sebagai bentuk protes akan kalimat Kendra.
Dan sebagai Cowok yang sudah memacari dia selama bertahun-tahun, gue menangkap kesan seolah Rheinatta mau bilang, “Ngomong apa sih? Siapa juga yang mau ngebebanin Cowok satu itu? Ih, nggak kepikiran banget deh! Gue nggak selemah itu!”
Bagaimana gue nggak semakin tersinggung dibuatnya?
Untung saja ekspresi wajah Rheinatta segera berubah. Entah apa yang ada di pikirannya. Dia seakan mau menyembunyikan fakta bahwa komunikasi kami berdua sedang ‘tidak baik-baik saja’.
“Elo reseh, ah! Gue nggak secengeng itu, lagi!”
Rheinatta menyahut dengan ringan.
“Iya nih, Yang. Kamu jangan ngeledekin Rheina terus. Dia sudah berbaik hati mau temanin aku juga,” tegur Sylvanie.
“Iya, Sayang..,” sahut Kendra pula.
Rheinatta berlagak terbatuk-batuk lantas menggoda keduanya, “Uhuk! Uhuk! Uhuk! Sudah saling panggil Sayang. Sebentar lagi panggil Papa Mama nih.”
“Ha ha ha.”
Sylvanie tertawa lepas.
“Yang pasti gue nggak akan ikut-ikutan elo sama Kelcin deh panggilnya, Bee, Hon-hon. Ih. Nggak banget,” cetus Kendra dengan pandangan meremehkan.
Aneh. Rheinatta tampak salah tingkah.
Sementara Bramantyo mengamati gue yang belum juga menyapa Rheinatta semanjak dia datang.
“Eh, Siap lagi tuh yang datang?” tanya Sylvanie tiba-tiba.
“Mana, Sayang?”
“Itu, Cewek rambut pendek yang badannya juga agak mungil. Itu dia jalan ke arah kita. Wah, seru deh nih. Ada Cewek lagi.”
Gue sudah semakin gelisah.
Tatap mata gue membentur ke Sosok yang dimaksud.
Gila! Ini sudah kayak mau perang dunia ketiga rasanya.
Bramantyo membiarkan gue berdiri tertegun.
Dan karena posisi Bramantyo lebih dekat, Nicky menyapa Bramantyo duluan.
“Hallo Bram, apa kabarnya?”
Nicky tak hanya menyapa, tapi juga mengulurkan tangan dan berjabatan tangan dengan Bramantyo. Entah gue harus bagaimana. Gue hanya menduga, Nicky benar-benar ‘sudah sembuh’ karena dia sudah bisa bersikap biasa. Gue menyingkirkan kemungkinan bahwa Nicky sedang berpura-pura ‘sudah sembuh’ dan hanya sekadar mau menunjukkan kepada Bramantyo bahwa dirinya berharga dan Bramantyo salah telah mengabaikan dia.
“Hallo Nick. Kabarnya baik. Kamu sendiri bagaimana?”
“Seperti yang kamu lihat.”
Semestinya ini jawaban normal.
Tapi firasat gue mengatakan, Nicky memilih diksi ini dengan sengaja. Seakan dia mau memberikan penegasan, “Dunia belum berakhir hanya karena kamu menolak aku. Lihat, aku baik-baik saja.”
Nggak tahu deh.
“Gimana, masih sering ke Puncak, Nick?” tanya Bramantyo.
Sepertinya dia basa-basi.
“Masih lah. Kamu tuh, yang enggak pernah nongol lagi. Banyak banget mungkin ya, acaranya?” tanya Nicky.
Bramantyo mesem kecil.
Nicky sepertinya tidak membutuhkan jawaban dari Bramantyo.
Dia melangkah mantap ke arah gue.
Gila, gue tegang seperti Orang lagi nonton film pembunuhan berantai.
“Kita jalan jam berapa, Vin?”
Bertanya begitu, Nicky langsung menggelayut manja di lengan gue. Gerakan yang cepat, natural dan sangat nggak terduga. Itu menyebabkan gue nggak sempat untuk mengelak. Yang ada gue jadi serba salah. Apalagi saat gue memergoki betapa Rheinatta membelalakkan mata melihat pemandangan yang terhidang di depannya, sementara Kendra tampak terkaget-kaget.
Tatapan mata Rheinatta sesudahnya..., duh! Gue benar-benar nggak tahan buat menatap balik. Gue melihat ada kemarahan dan sakit hati yang berusaha disembunyikan sama dia. Tapi gue harus bagaimana?
“Eng.., sebentar lagi berangkatnya. Oh ... ya, Nick, ayo aku kenalkan sama Teman-teman lainnya. Sama Kendra sepertinya sudah pernah kenal, kan?” katta gue untuk engusir gugup.
Nicky melempar senyum kepada Kendra. Dan Kendra membalas dengan senyuman yang agak tanggung.
Gue ogah membuat Nicky curiga. Gue nggak mau dia jadi bertanya-tanya ada apa.
“Nah, yang ini, Sylvanie. Satunya lagi,..., eng..., Rheinatta,” kata gue lagi.
Astaga, lidah gue rasanya kelu. Rasanya aneh gue menyebut Cewek Tersayang gue dengan namanya.
Dan Nicky yang easy going sepertinya nggak menyadari nuansa yang agak canggung ini. Dia masih saja dengan antusias menyapa Sylvanie dan Rheinatta.
“Halo! Aku Nicky. Aku ikutan ya, acara kalian kali ini. Lain kali, kalian berdua yang gabung sama Teman-teman aku, ya. Sebagian dari mereka sudah dikenal Bram, Kelvin, dan Kendra, kok,” sapa Nicky ceria.
Saat Nicky menyalami Sylvanie, gue masih bisa meredakan rasa nggak nyaman yang menyerang gue.
Tapi sewaktu Nicky menyalami Rheinatta, gue tergoda untuk mengamati ekspresi wajah Rheinatta. Serius gue deg-degan setengah matikan karier. Gue takut Rheinatta yang ekspresif bakal ‘nyemprot’ dan mempermalukan Nicky.
Dia berhak sih kalau mau melakukannya. Tapi dia lebih berhak buat melabrak gue, bukannya Nicky. Gue yang salah di sini.
Tapi gue keliru.
Gue melihat betapa Rheinatta berusaha untuk bersikap biasa.
Padahal satu detik kemudian, saat pandangan mata kami berdua saling tertaut, matanya seperti mengucapkan, “Kamu masih mau mengelak, Hon? Ini bukti, Hon. Ini kan yang membuat kamu semakin jauh dari aku?”
Dan mendadak saja, gue seolah bisa merasakan betapa hati Rheinatta tersakiti.
Sialnya, ‘Cowok b******k’ yang menyakiti hati dia itu adalah gue!
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $