POV Kelvin
Mungkin karena gue merasa terpojok sekaligus ngeri sama apa yang mau disampaikan sama Rheinatta, gue nggak sadar kalau nada suara gue ternyata meninggi, seolah-olah gue sedang mengomeli dia. Padahal gue nggak ada maksud begitu sama sekali.
Rheinatta menyentak gue, “Kenapa jadi kamu marahin aku?’
Gue kaget dan buru-buru mencoba mengajuk hati dia.
“Bee, ayo dong. Aku nggak bermaksud begitu. Maaf ya, kalau tadi saking kaget aku ngomongnya jadi keras ke kamu.”
Rheinatta memejam mata.
Dan gue jadi menyesal. Gue mengusap punggung Rheinatta dengan sayang.
Rheinatta tak menghindar, tapi juga tak memberikan respons. Sepertinya dia masih ingin mendapatkan kejelasan atas apa yang mengganggu pikirannya.
“Hon, jujur deh.”
“Soal apa?”
Gue semakin deg-degan mendengar ucapannya.
“Ini kebetulan sudah nggak ada Teman-teman jadi kita buat pembicaraannya tuntas.”
“Bee...”
“Hon, selama ini kita selalu menggantung-gantung masalah. Masa kamu nggak sadar sama hal ini? Semuanya nggak pernah tuntas.”
“Bee, kan memang nggak ada apa-apa?”
Gue masih mencoba buat mengelak.
Ya ampun Bee, aku nggak mau ribut sama kamu. Aku takut kita sama-sama emosi lalu terucap terucap kata putus. Enggak Bee, aku nggak mau, kata gue dalam hati.
Rheinatta bersedekap.
Wah. Ini sudah mulai defensif dia. Harus dibujuk rayu sampai lumer hati dia.
Gue langsung pasang strategi sedikit mengalah.
“Ya sudah deh, kamu mau ngomong apa, diomongin deh,” kata gue pelan.
Dia langsung memanfaatkan kesempatan itu.
“Kamu sadar nggak Hon, ini bukan baru sebentar deh, sudah agak lamaan, Nggak lama setelah Art Hours, kan? Aku merasa komunikasi kita agak aneh.”
“Bee, Sayang. Oke kalau kamu merasa aku mengabaikan kamu, aku minta maaf. Ya sudah, malam ini dan besok kan kita sudah janjian, mau quality time bareng,” sela gue cepat.
“Hon, jangan kebiasaan deh. Ini aku lagi mau tany ahal lainnya.”
“Sorry, sorry Bee. Iya kamu lanjutkan deh.”
“Bukan cuma itu, Hon. Bukan soal hubungan kita yang terasa aneh. Tapi juga kamu sama Bram. Biasanya kalau ke mana-mana, kamu itu kan hampir selalusama-sama Bram. Tapi semakin kemari, aku perhatikan walaupun Bram sudah nggak pergi, eh kamunya tetap jalan.Terus terang aku sempat mikir jangan-jangan kamu sama Bram ada clash. Aku sampai tanya dia, dia bilang enggak ada apa-apa. Tapi aku merasa, sebenarnya Bram itu tahu sesuatu tapu dia ogah untuk ngomong. Karena Bram kan memang seperti itu Orangnya. Kalau dia lihat kita sudah rada-rada bertengkar juga dia nggak mau ikut campur.”
Gue meraba-raba kemana arah pembicaraan Rheinatta, sekaligus mencari cara yang tepat untuk menghentikannya.
Tapi dia sudah lebih dulu buka mulut.
“Hon, apa coba yang bikin kamu sama Bram itu lebih milih buat jalan masing-masing? Sebentar, sebentar, jangan kamu potong. Ini bukansatu kali, ya, tapi semakin sering. Jangan-jangan alasannya karena kamu tuh kecantol sama Cewek di sana dan Bram nggak mau melihat itu,” sembur Rheinatta penuh kekesalan.
Mati deh, mati deh. Ini tembakannya tepat sasaran banget. Tapi mana mau gue menyerah begitu saja? Enggak. Gue nggak mau kehilangan Rheinatta.
“Bee … ayo dong! Kamu ini curigaan amat sih?! Kamu kan tahu, aku sama Bram kan bukan kembar siam yang ke mana-mana musti bareng. Dan kami berdua nggak harus satu hobby terus, sama kesukaannya. Nanti kalau pas naksir sama Cewek yang sama, repot lagi,” kata gue, mencoba berseloroh.
Tapi Rheinatta menepis tangan gue yang ada di pundak dia.
Dan dalam hati, gue jadi mengoreksi sendiri perkataan gue barusan.
Enggak benar gue sama Bram naksir Cewek yang sama. Yang lebih tepat, sepetinya gue sama Bram yang ditaksir sama Cewek yang sama. Ya. Gue melihat gelagat itu. Nicky yang tadinya naksir Bram, setelah nggak mendapatkan tanggapan yang diharapkan dari Bram, justru curhat ke gue dan jadi dekat sama gue. Dan gue yakin, perasaan itu bertumbuh setiap harinya, ralat gue dalam diam.
Barangkali sewaktu gue membatin macam itu, raut muka gue berubah.
Soalnya, gue melihat Rheinatta menatap gue dengan pandangan aneh.
“Oh ya? Terus kenapa juga, sampai sekarang aku nggak boleh ikutan? Selama ini alasan yang kamu ucapkan tuh yang enggak-enggak. Mengada-ada,” ketus Rheinatta.
Tensi sudah mulai naik nih. Bahaya. Tapi gue tetap berusaha untuk menguasai situasi.
“Bee, … ada-ada gimana sih maksud kamu? Dengarin aku Bee, nggak ada bagus-bagus-nya kamu ikutan ke sana. Udahlah, kan nggak semua yang aku suka, terus kamu juga harus ikutan suka, iikutan nyebur. Yang satu itu, terus terang aku keberatan. Aku enggak mau kamu ikutan. Terlalu berbahaya buat kamu. Tolong kamu paham dong,” jelas gue dengan sangat hati-hati.
Huft!
Aslinya hati gue terasa berat. Sampai-sampai gue kepengen teriak rasanya.
Bee, kalau aku bisa ngomong jujur, itu bukanlah alasan yang utama. Melainkan karena ada Nicky di sana. Ya. Ada kemungkinan dia ada di sana sewaktu-waktu. Apa jadinya coba, kalau kamu sama dia sampai saling ketemu? Aduh, aku nggak mau membayangkannya. Bakalan ribet yang pasti. Nggak tahulah, sejak kapan tepatnya aku terlibat sama hubungan yang rumit begini. Akiu merasa kok, bahwa saat ini aku seperti dua perahu, aku nggak tahu bisa bertahan sampai kapan dengan semua situasi ini. Yang jelas, saat ini aku masih mau mempertahankan semuanya, dengan sadar aku mengakui bahwa aku menikmati dan membiarkan diri aku sendiri terlarut. Nggak ada usaha buat melawan, memilih, batin gue.
Ya. Belum-belum pikiran gue sudah terasa capek.
“Bee, aku antar kamu pulang dulu sekarang, ya? Kamu kan pasti mau mandi-mandi dulu sebelum kita pergi makan, kan? Yuk, aku antar kamu pulang sekarang. Nanti aku jemput kamu lagi,” kata gue dengan nada rendah, untuk mengakhiri perdebatan lebih panjang.
Rheinatta belum menjawab.
“Entar kita makan di Kafe Hijau Daun deh. Kan itu sebelahan sama mal. Jadi setelah makan, aku temani kamu kalau mau beli apa di mal. Ya?” bujuk gue.
Ini gue sadar banget konsekuensi dari perkataan gue ini. Gue pasti bakalan dibuat bosan sama dia, sekaligus berdecak karena dia bakalan asyik belanja entah apa. Bukan perkara membayari sebagian atau merasa keberatan membawa hasil belanjaannya. Cuma yang sering membuat gue malas menemani dia belanja adalah karena makan waktu lama. Untuk memutuskan membeli pakaian atau sepatu saja yang dicoba sama dia lumayan banyak dan menurut dia masih kurang pas juga. Terus sekalinya dia merasa sudah sesuai sama yang dia ingini, belanjanya kalap. Kadang gue sampai bingung mikirnya, itu barang-barang sebanyak itu mau dipakai kapan dan kemana? Buat persediaan berapa lama? Toh yang namanya aksesoris, pakaian, sepati, tas, dan sebagainya kan nggak bakalan habis juga? Kenapa bukan untuk beli makanan saja? Itu lebih bermanfaat.
Nggak apa deh. Itu setimpal kok sama kesalahan gue ke dia. Nggak apa. Yang penting hati dia luluh, ngambeknya dia berkurang. Itu dulu.
Kali ini lumayan berhasil.
Rheinatta mengangkat bahu.
Gue nggak mau menyia-nyiakan kesempatan bagus ini.
Gue langsung menggamit lengan Rheinatta dan mengajaknya jalan ke parkiran.
Dia masih cemberut memang. Dan mungkin wajah gue sendiri juga menampilkan ekspresi kesal. Tapi nggak apa deh. Minimal kan dia sudah mau buat diajak pulang. Biasanya juga begini kan, nanti sebentar juga masalahnya menguap. Gue cuma perlu sabar.
Sialnya, saat di parkiran, gue sama Rheinatta berpapasan sama Michael yang kebetulan sedangmenuju tempat parkir juga.
Kami sempat beradu pandang.
Gue sempat menangkap mimik muka keheranan di wajah Michael, tapi gue nggak peduli.
Mungkin tahu diri posisinya yang ‘cuma’ Adik Kelas, Michael mengangguk dan melempar senyum.
Gue membalas seadanya.
Selintas gue sempat memergoki, Rheinatta agak rikuh.
Tapi gue yang baru berhasil ‘meloloskan diri’ dari potensi ribut-ribut nggak jelas, langsung mengabaikan hal itu. Gue juga nggak peduli saat gue memergoki Michael mengernyitkan dahi. Masa bodoh amat! Urusan dia dah mau jungkir balik atau mau apa!
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $