Perasaan Yang Campur Baur (1)

1369 Kata
Satu bulan kemudian... POV Rheinatta “Hon-Hon! Kamu ada di sini, ternyata? Pantas, aku cari-cari di kelas nggak ada.” Aku bersungut-sungut menghampiri Kelvin yang duduk berhadapan dengan Bramantyo di kantin Mang Suria. Ini adalah altenatif lain untuk makan versi ‘EMB’ alias Enak - Murah – Banyak, walau areanya cukup sempit. Pilihan menunya juga kurang bervariasi. Namun setidaknya, kalau sedang bosan dengan jenis makanan serta suasana di Kansas, Kantin Mang Suria ini boleh juga, lah. Mungkin lantaran seruanku barusan lumayan keras, maka tak hanya membuat Kelvin yang aku panggil serta Bramantyo yang jadi Lawan bicaranya, menoleh kepadaku, melainkan beberapa Orang yang duduk di sekitar mereka. Kelvin tersenyum. ”Hei, sorry, kirain kamu sudah duluan kemari, Bee,” sambut Kelvin. Dia segera menggeser duduknya, mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya. Aku langsung mengempaskan p****t ke bangku panjang yang berbahan papan keras itu. “Kamu mau makan apa” tanya Kelvin. Alih-alih menjawabnya, aku malah melambaikan tanganku pada Seorang Pelayan yang tengah melintas. Pelayan itu menghampiriku dan tersenyum lebar. “Eh, Estu. Kamu sudah balik dari kampung?” ucapku kala tersadar bahwa Pelayan yang menghampiriku adalah Estu, Pelayan yang sudah cukup lama membantu di kantin Mang Suria. Potongan rambutnya yang berbeda dari sebelumnya dan tubuhnya yang jauh lebih ramping membuatku pangling sampai tidak mengenalinya tadi. Aku pikir ada Pelayan baru. Dia, yang malah mengenaliku. “Ya, Mbak Rheinatta? Biasa, ya? Mie bakso sama jus alpukat? Nggak pakai bihun, nggak pakai micin, kan? Terus s**u untuk jus alpukatnya extra? Betul, kan?” tanya Estu, yang segera menghampiri dan menanyakan pesananku. Tampaknya, Estu masih terlalu hafal makanan serta miuman yang biasa aku pesan kalau kebetulan makan di sini. “Kali ini Jus alpukat doang, Estu. s**u coklatnya dibanyakin. Ge pe el, ya, gak pakai lama,” jawabku. “Lho, nggak makan, Mbak?” tanya Estu. “Nggak. Lagi ngak berselera.” Estu manggut. “Ooh... ! Sip deh Mbak. Langsung aku buatin, nih.” Aku mengangguk. Estu pun berlalu. “Kalian berdua lagi ngomongin apa? Kelihatannya asyik. Lagi membahas mau ngabur kemana lagi?” tanyaku dengan gaya Orang yang tengah menginterogasi. Pertanyaan itu lebih aku tujukan pada Bramantyo, bukan kepada Kelvin. Seolah-olah, aku tengah berebut perhatian dengan Bramantyo. Bramantyo mengangkat alis, ditanya dengan nada seperti itu. Kelvin sepertinya tersadar. Dia mengulurkan tangannya, hendak menyentuh lenganku. Namun aku menghindar. Kelvin mengembuskan napas. “Kemarin kan aku kan sudah bilang ke kamu Bee. Akhir minggu ini aku ada acara sama..,” Kelvin menjeda ucapannya. .. ”Sama siapa, hayo? Pergi sama Bram lagi, kan?” potongku dengan mangkel. Bramantyo mengernyitkan alisnya. Sepertinya dia menangkap kesewotan dalam nada suaraku. Apalagi barusan aku menyebut-nyebut nama dia, pula. “Eits, eits, eits, ini naga-naganya Pasangan yang paling romantis di kampus, lagi jutekan. Silakan dibicarakan berdua deh, ya. Gue nggak mau kebawa-bawa.” Aku tahu Bramantyo berusaha bergurau, namun aku tidak mau terpengaruh. Jangankan tertawa, buat tersenyum saja aku lagi nggak kepengen. Barangkali karena tak enak hati, Kelvin menatap ke Bramantyo. Seperti Seseorang yang meminta permakluman dari Sahabatnya. Aku tak peduli. Maka Kelvin meraih tanganku dan berbisik, “Kamu masih ngambek? Gara-gara aku larang pergi ke club? Bee, itu buat kebaikan kamu sendiri, lho. Jangan keseringan, lah, Bee. Lagi pula, tiga minggu berturut-turut ini aku pas pergi, kan nggak tenang kalau tahu kamu pergi ke club lagi.” Kesal aku mendengarnya. Aku mengerling kejam pada Kelvin. Egois benar Cowok satu ini, dan juga curang. Bagaimana tidak curang, coba? Bayangkan saja, sementara aku tidak diapeli sama dia, menghabiskan malam mingguku sendirian, tanpa Kelvin, eh dia justru bersenang-senang, entah dengan siapa. Selagi diriku merasa kesepian dan gabut di rumah, Kelvin-nya sepertinya tenang-tenang saja, tidak ada yang kurang. Bisa jadi dia juga nggak memikirkan aku. Di mana letak adilnya? Bagaimana mungkin aku tidak tergoda sama pemikiran bahwa Kelvin mungkin saja sedang kepincut dengan Seseorang yang baru dan mulai jenuh menjalani hubungan denganku? Bisa saja, kan? Namanya juga Cowok! Dia nggak tahu apa, belakangan ini aku benar-benar merasa risih kalau berada di rumah pada akhir pekan. Ada sosok ‘sok akrab’ yang kian sering bertandang ke rumah. Ya, Tante Garnetta. Bukan tak mungkin, kan, akhir pekan ini dia bakalan datang lagi? Mana akhir pekan lalu juga dia sudah berani beraksi ke wilayah dapur pula. Alangkah menyebalkannya! Tingkahnya seakan sedang menandai spot demi spot di kediamanku agar semakin ada jiwanya dia di sana. Uh! “Terus, aku musti di rumah doang, begitu maksud kamu? Mau ikutan, kamu larang. Mau pergi sama Teman-temanku, nggak dikasih sama kamu. Nanti kalau aku nekad pergi dan kamu tahu, kamunya marahin aku. Kamu kenapa sekarang jadi semakin menjajahku begitu sih?” Dengan kesal aku menyentakkan tangan Kelvin. Hampir saja aku curahkan unek-unekku tentang Tante Garnetta, tetapi lidahku mendadak terasa kelu. “Bee,” ucap Kelvin pelan. Matanya memejam sesaat. Lalu tangan Kelvin bergerak, menyentuh kepalaku. “Apa sih!” bentakku sengit seraya menyingkirkan tangan Kelvin yang membelai rambutku. Bukannya Kelvin, malahan Bramantyo yang terkesiap. “Kayaknya mendingan gue menyingkir duluan, ya. Kalian selesaikan dulu berdua,” kata Bramantyo. Sepertinya dia mulai tak enak hati menyaksikan pertengkaranku dengan Kelvin. Bramantyo segera bangkit dari duduknya. Aku terkaget melihat gerakannya dan buru-buru mencegah, “Jangan pergi Bram! Gue punya berita penting, buat elo. Gue baru tahu sekitar semingguan ini.” Bramantyo mengernyitkan keningnya. “Hah? Berita penting? Buat gue? Kok bisa?” tanya Bramantyo. Tepat sebelum aku sempat menjawab, pesanan jus alpukatku telah dihidangkan oleh Estu. “Silakan Mbak Rheinatta. Nanti kalau mau pesan apa-apa lagi, panggil saya saja ya.” “Terima kasih, ya, Mbak,” kataku yang diangguki oleh Estu. “Apaan, Rhein? Rheina... berita penting apa?” tanya Bramantyo penasaran, sebab aku memilih menyeruput dulu jus alpukatku. Dia kembali duduk, dan menatapku. “Sabar sih, Bram! Nggak lihat apa, Cewek gue lagi kehausan,” tegur Kelvin, seolah mau mengajuk hatiku. Huh! Mau pengalihan issue! Dia pikir aku ini anak kecil yang gampang lupa apa? “Oke, oke,” sahut Bramantyo santai. Kelvin memanfaatkan jeda waktu itu dengan mendekatkan bibirnya ke telingaku dan kembali membisikiku, “Jangan marah lagi ya, Bee. Juga jangan marah sama Bram. Janji deh, minggu depan dan minggu depannya lagi, aku nggak akan kemana-mana deh. Waktunya buat kamu.” Aku menghentikan gerakanku menyeruput jus alpukat. Kupelototi Kelvin. “Maksudnya, minggu ini kamu mau pergi lagi? Dan aku nggak boleh ikut? Begitu? Sebenarnya kalian kemana, sih? Jangan-jangan, kalian berdua lagi sama-sama ngincar Cewek, ya? Makanya aku nggak boleh tahu?” sentakku lagi. Kelvin terperangah. “Sst! Jangan keras-keras, malu! Tuh, dilihatin sama Orang-orang! Ini di kantin, Bee. Areanya juga cuma segini doang. Nggak seperti di Kansas yang luas itu,” kata Kelvin lirih. Lalu sambungnya, “Lagian, jangan ngomel-ngomel ke Bram, dong. Aku kan perginya sama Sepupuku. Marvel. Kamu ingat, kan?” Aku tak menghiraukan penjelasannya.Itu toh tak seketika menjadikan tindakannya bisa dimaklumi. “Kamu saja boleh melarang-larang aku. Terus, kenapa kamu bebas, mau kemana, sama Siapa dan ngapain saja?” protesku padanya. Kelvin meraih kembali tanganku. Sialnya, kali ini aku kurang sigap menghindar. Kelvin meremas jemariku dengan lembut lalu berkata pelan, “Ya ampun, Bee. Beda dong, kalau kamu kan perginya ke club. Tentu itu bikin aku deg deg an nggak jelas.” “Terus, kalau kamu yang pergi nggak tahu lah itu, nyobain kegiatan ini itu, yang ikutan touring lah, yang muncak, lah, atau cobain diving, aku nya nggak deg-deg an? Begitu, maksud kamu?” bantahku tak mau kalah. Kelvin membelai-belai rambutku, tak peduli betapa aku terang-terangan melengos karena sia-sia menyingkirkan tangan Kelvin dari sana. “Bee sayang, tolong kamu jangan membandingkan apple to orange. Nggak bisa, dong! Kamu sendiri kan juga anggota Edelweiss, biarpun nggak terlalu aktif. Jadi pasti sudah tahu dong, kalau kita-kita mau menjalankan sesuatu itu, pasti sudah diukur resikonya dan sudah dipersiapkan secara baik. Beda sama..” .. ”Tahu! Tahu! beda sama clubbing! Sudah, nggak usah terus-terusan ditegesin, Hon. Kegiatan kamu itu positif, sementara yang aku lakukan itu sifatnya mencari penyakit karena menurut kamu yang datang ke club itu banyak juga yang sedang melarikan masalahnya. Dan yang namanya peredaran drugs juga sangat dimungkinkan. Itu maksud kamu, kan?” sekali lagi aku menyambar. Kulihat, Kelvin memejam mata. Sepertinya ucapanku sangat mengena. Rasain deh! * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN