POV Kelvin
Sial banget. Perasaan barusan itu gue cuma sebentar memejamkan mata gue karena malas bertengkar sama Rheinatta, apalagi di depan Bramantyo begini. Biarpun Bramantyo itu Sahabat dekat kami berdua, enggak semua ‘urusan dalam negeri’ gue sama Rheinatta, dia harus tahu juga, kan? Sejauh ini saja gue sudah cukup berusaha buat menutupi hal-hal yang menurut gue enggak perlu diketahui sama Bramantyo, tapi celakanya apa yang gue lakukan nggak sejalan dengan Rheinatta.
Ya, dia malahan dengan santainya seperti sengaja membuka-buka dan mengumbar beberapa detail dalam hubungan pacaran kami yang mulai membuat gue merasa risih. Heran kadang sama Cewek gue ini, masa masalah pacaran kami sampai sedetail-detailnya, harus diketahui sama Sahabat kami? Ya kali, enggak ada rahasia sedikitpun?
Dulu mungkin saat awal-awal pacaran sama Rheinatta, gue masih nggak keberatan kalau Rheinatta menyebut-nyebut berbagai momen dalam hubungan kami di depan Bramantyo. Kadang saat dia mengisahkannya dengan gayanya yang heboh dan dramatis itu, gue kerap merasa itu lucu. Tapi semakin kemari, gue merasa harus lebih memberikan batasan yang jelas. Menurut gue, banyak hal-hal yang semestinya cukup ‘disimpan’ buat kami berdua saja. Sayangnya, Rheinatta justru kurang peka sama ‘kebutuhan’ bersama yang satu ini.
Betapa ketentraman gue terganggu, sewaktu gue membuka mata dan tatapan gue nggak sengaja menangkap Seseorang yang duduk di meja paling ujung. Michael. Tatapannya mengarah ke meja kami. Aneh. Terkesan dia sedang menguping. Sejak kapan sih dia ada di sana? Kok gue nggak ngeh ada Makhluk satu itu di tempat yang sama? Apa jangan-jangan, karena sejak tadi, benar kata Rheinatta, gue terlalu asyik mengobrol sama Bramantyo, jadi nggak terlalu memperhatikan sekeliling gue?
Tapi ini kan Kantin. Tempat umum. Dia bebas sih, ada di sini. Dengan pemikiran ini akhirnya gue mencoba untuk mengabaikan ‘gangguan’ atas ketentraman gue itu.
Masa bodoh deh! Eh, tapi ngapain juga dia ngelihat kemari?
“Bee.” Dengan lembut gue panggil Rheinatta.
Rheinatta bungkam.
Gue elus lengannya. Gue paham kok, gue memang ada kesalahan sama dia. Dia berhak marah ke gue.
“Hei, jangan ngambek melulu dong. Level cantiknya turun drastis, tahu! Aku janji, kok, minggu depan dan minggu depannya lagi, kamu mau ngajak kemanapun, aku temani. Asal bukan ngajak clubbing. Lagi pula, setiap hari juga kita masih bisa ketemu di kampus, kan?” bujuk gue ke dia.
Saat itulah gue melihat Bramantyo bergeming. Bisa jadi, karena dia melihat acara ngambek versus membujuk yang belum kunjung usai.
Rheinatta terkaget karena Bramantyo tidak mengatakan apa-apa.
“Bram! Heh! Elo mau kemana? Beneran nggak mau dengar kabar pentingnya? Kalau sampai menyesal nanti gue nggak tanggung!” Melihat Bramantyo memperlihatkan gelagat hendak meninggalkan kami, Rheinatta berteriak heboh seketika.
Gue sampai bingung harus bereaksi macam apa jadinya.
Di satu sisi, jujur gue senang senang, karena tampaknya Rheinatta mulai hilang fokus, pada aksi ngambeknya. Yup, harus gue akui bahwa Bramantyo telah sukses mendistraksi Rheinatta tanpa harus berkompromi dulu sama gue. Maunya sih, berterima kasih sama dia. Namun di sisi lain, gue nggak bisa membantah bahwa gue merasa terusik, mengapa faktor yang mendistraksi justru tentang Bramantyo, bukan yang menyangkut gue. Sampai-sampai gue menahan napas dan tergelitik mau tahu juga, apa sih kabar yang mau disampaikan sama Rheinatta?
“Beresin dulu deh, itu pertengkaran antar Kekasih. Males banget, ngelihatnya,” ucap Bramantyo dengan mimik muka jemu.
“Ya elo duduk lagi, dong! Jangan berdiri macam Debt Collector yang nggak sabaran begitu. Ini penting! Soal Gebetan elo,” kata Rheinatta kemudian.
“Hah? Gebetan, Bee? Siapa?” Tanya gue lantaran terusik.
Rheinatta diam barang satu detik sebelum menjawab.
“Ya, apa pun namanya deh. Nggak terlalu penting buat diperdebatkan. Dan nggak tahu juga sih, sudah jadi Gebetan atau belum. Soalnya aku juga ragu, apa Sohibmu yang satu ini sudah menindaklanjuti anak panah Si Cupid yang dilesatkan pas pentas seni, sekitar sebulan lalu, ataukah belum. Yang jelas, kayaknya dia musti bersabar, deh. Aku dengar-dengar, ternyata Kalista lagi ambil cuti kuliah,” jelas Rheinatta.
Penjelasannya ini ditujukan ke gue. Ajaib, kan?
Gue sedikit menarik napas lega, karena nada bicara Rheinatta sudah tak sesewot sebelumnya. Ya meskipun yang dibahas memang hal yang berbeda, nggak ada kaitannya sama hubungan kami berdua dan yang menjadi pangkal perbedaan pendapat di antara kami tadi.
Sebaliknya, justru Bramantyo lah yang terkaget. Gue sempat menangkap ekspresi itu di wajah dia.
Tapi tidak dengan Seseorang yang masih saja mengamati gue dan Rheinatta dalam diam. Itu lho, Si Makhluk yang bernama Adik Kelas itu. Dia seperti stay cool, biarpun terkesan tetap menguping pembicaraan kami. Jujur gue heran, ada Cowok kok sifatnya seperti Cewek begitu ya, mau tahu urusan Orang lain? Ya kalau Rheinatta kan, masih oke dong. Dia kan Cewek. Itu saja sudah sering bikin gue nggak nyaman kok kalau dia pas kebablasan.
“Siapa yang cuti kuliah?” tanya Bramantyo kemudian, berlagak tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Rheinatta. Acting banget nih Anak! Padahal tadi gue memergoki dia terkaget, kok. Pakai acara pura-pura tanya Siapa Orangnya.
Rheinatta mesem kecil.
“Siapa, Rheina?” tanya Bramantyo. Nada suaranya datar saja, seolah-olah tidak terlalu berminat untuk tahu.
Hampir gue berdecak. Pasalnya, gue ingat dia sempat kelepasan bicara tiga hari lalu sewaktu kami sama-sama berada di ‘Markas’ klub Edelweiss. Dia bilang, dia agak heran, karena selepas acara pentas dia belum pernah berpapasan, apalagi bertemu sama Kalista. Dan sewaktu gue bilang sebaiknya kalau memang dia tertarik sama Kalista ya yang serius cari informasi soal Cewek itu, Bramantyo cepat-cepat bilang, “Eh? Gue ngomong apa, tadi? Awas lo ya, kalau pakai keceletukan ke Cewek lo. Lagi pula, enggak kok. Belum. Tadi cuma terpikir. Mending ngomongin soal Edelweiss deh, Vin.”
Waktu itu gue malas berkomentar karena gue pikir memang ‘bukan wilayah gue’. Walau gue jelas melihat ada kemiripan cara dia dan Rheinatta bersikap. Itu lho, sok ngeles bajaj-nya itu!
Dan sama. Sekarang juga gue pantang membocorkan soal itu di depan Rheinatta.
“Ya elah, kura-kura dalam perahu, pura-pura nggak tahu. Ya Kalista, lah. Siapa lagi? Ternyata, sekarang ini dia lagi cuti kuliah. Kayaknya sih, lagi terlibat suatu proyek penting yang menuntut fokus lebih,” jawab Rheinatta, lalu menyeruput lagi jus alpukatnya.
“Ooo..,” timpal Bramantyo, berlagak tidak peduli.
Asli, gue kepengen ketawa.
“Iih, kok begitu reaksinya Bram? Oo doang? Kesannya nggak penting, begitu, informasi dari gue? Dapetinnya saja dari..” Rheinatta menjeda kalimatnya.
.. ”Dari siapa, Bee?” sela gue penasaran.
“Eng.., dari Temannya Kalista, Hon,” kata Rheinatta secepatnya, sepertinya demi menghindari kemungkinan gue bakal mengorek lebih jauh.
Gue berusaha keras untuk nggak curiga sama dia. Serius. Tapi entah kenapa, ada firasat aneh yang menyapa gue tanpa gue undang. Dan firasat itu rasanya menganggu sekali. Dia membandel, nggak mau diusir begitu saja.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $