POV Rheinatta
Opa Ronald menghela napas panjang.
“Hani salah. Papamu juga salah. Itu kenyataannya,” ucap Opa Ronald pelan.
“Opa, sebenarnya Rheina masih agak bingung, mengapa Bang Rusli sampai sekarang masih marah ke Papa. Terus, Papa sendiri juga nggak pernah bilang apa-apa.”
Opa Ronald meneguk air putih di gelasnya hingga tandas.
“Rheina sayang sama Mama Hani?” tanya Opa Ronald.
Aku mengangguk. Dan aku mengakui, bahwa aku pernah amat marah karena ditinggalkan begitu saja. Opa Ronald mengangguk maklum.
“Rheina sadar kok, di kemudian hari. Pantas saja Rheina ini ditinggalkan. Kata salah satu Asisten Rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah Rheina, katanya Rheina ini cuma Anak angkat, yang diadopsi karena Papa menginginkan punya Anak perempuan. Makanya Rheina menyayangkan, mengapa Mama tega meninggalkan Rheina. Kan bukan salah Rheina untuk lahir di dunia. Sudah begitu, menurut Asisten Rumah tangga itu, ibunya Rheina sudah meninggal karena mengalami sakit dan depresi beberapa hari setelah melahirkan Rheina. Makanya Rheina diadopsi.”
Tangan Opa Ronald terulur, membelai kepalaku.
“Rheina, kamu kan sekarang sudah dewasa, kalau misalnya Opa membuka jati diri kamu, apakah kamu sudah siap?”
Hatiku bergetar mendengarnya. Ada rasa gentar yang besar.
Tapi bukankah aku ini Rheinatta Si Ceria? Mana boleh aku mengelak untuk mendengar kenyataan?
Yang selama ini aku sesalkan hanyalah, Mama dan Bang Rusli yang bagai ‘membuang’ aku dan hanya Papa yang melindungiku. Bukannya kalau mengadopsi Seorang Anak itu biasanya atas persetujuan Suami dan Istri?
“Rheina siap, Opa.”
Aku yang sudah menyudahi makanku memasang wajah menyimak.
Opa menggenggam tanganku, seolah hendak memastikan aku kuat mendengar apa pun itu yang akan dia sampaikan.
Aku menarik napas.
“Rheina, kamu itu Anak kandung Papa kamu.”
Rasanya bagai disambar geledek aku mendengarnya.
Hei! Bukannya seharusnya aku bersyukur? Aku ini darah daging Papaku! Aku bukan Anak Adopsi! Asal usulku jelas!
Eh tapi sebentar deh. Kalau aku Anak kandung Papaku, berarti ya aku Anak kandung Mamaku, dong! Terus kenapa Mama pergi begitu saja?
“Maksud... Opa?”
Opa Ronald mengelus punggung tanganku.
“Setelah mendengar ini, Opa harap kamu tetap akan saling sayang dengan Bang Rusli.”
“Pasti dong, Opa.”
“Dan tetap menganggap Opa ini sebagai Opa kandung kamu.”
Aku tertawa getir. Ini ucapan Opa Ronald semakin membuat jantung aku jedag jedug.
“Pasti Opa,” kataku mantap.
Ya, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku berjanji dalam hati.
Opa Ronald memejam mata sesaat.
“Rhein, jangan menganggp ini sebagai cerita yang menguak luka lama, ya. Opa hanya berniat memperjelas apa yang mungkin selam aini kabur buatmu. Dan kalau melihat reaksimu yang seperti ini, Opa jadi yakin, Papamu itu belum mengatakan apa-apa ke kamu. Menurut Opa, itu kurang baik. Nantinya kamu akan hidup di bawah bayang-bayang prasangka.”
“Papa memang nggak ada bilang apa-apa.”
“Pantas.”
“Opa tolong bilang sekarang. Semua, Opa. Semua yang Rheina nggak tahu.”
Opa Ronald mengangguk singkat.
Aku melihat mata tuanya yang tampak lelah.
“Rheina sayang, kamu juga harus janji, kamu akan tetap menyayangi diri kamu sendiri setelah mendengarnya.”
Aduh. Semakin mengerikan kata-katanya.
Aku nggak mau dibuat penasaran begini.
“Pasti, Opa.”
Aku nggak tahu pasti, sungguhkah aku sudah semantap itu, ataukah hanya lantaran aku ingin mendengar kebenaran fakta saja.
Opa tampak sedikit kesulitan untuk memulai. Dia berdeham kecil sebelum akhirnya berkata, “Jadi sebelum menikah, Hani dengan Papamu itu sebenarnya masih mempunyai Pacar. Tapi mereka berdua jelas menikah bukan karena dijodohkan. Mereka berdua saling mencintai, kok. Walaupun awalnya memang Opa yang memperkenalkan mereka. Opa juga berpikir bahwa cerita usang percintaan mereka dengan Mantan Pacar masing-masing sudah selesai. Dan memang sudah putus menurut mereka.”
“Lalu Opa?” kejarku.
“Kamu tahu kan, Papamu itu adalah pekerja keras? Nah, rupanya karena Papamu sering keluar kota, Hani itu tak sengaja bertemu dengan Mantan Pacarnya yang belum menikah. Tetapi soal ini, Hani bersumpah, dia tidak melakukan apa-apa dengan Mantan Pacarnya walau memang kerap bertemu. Tapi entahlah, ada yang menyampaikan ke Papamu. Mereka kerap bertengkar. Tetapi mereka berdua tetap berjuang untuk mempertahankan pernikahan mereka. Kamu tahu Papa kamu menuduh apa? Dia menuduh bahwa Rusli adalah Anak biologis Hani dengan Mantan Pacarnya.”
Aku tertunduk.
Soal ini, aku pernah tahu selintas, walau aku tak percaya. Justru yang aku pikir selama ini adalah, Bang Rusli itu marah dan dendam karena Papa berbuat kasar dan melukai Mama secara fisik. Itu saja. Mana aku tahu kalau masalahnya sebesar ini? Pantas saja Bang Rusli sampai menghalangi Papa untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Mama Hani, dan bahkan menghalangi Papa untuk menjenguk Mama Hani yang sakit dengan begitu cepat parah dan akhirnya meninggal.
“Singkatnya, ada bara dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dan tingkat komunikasi yang terbilang jarang itu menjadi semakin parah saat..., Papamu kemudian juga bertemu dengan Mantan Pacarnya yang dulu. Mereka..., berselingkuh dan akhirnya..., lahirlah.., kamu.”
Ucapan Opa Ronald sejatinya pelan saja.
Tapi bagi aku, itu tak ubahnya suara petir di angkasa.
Apa? Apa? Jadi aku ini Anak hasil perselingkuhan? Lalu bagaimana caranya Mama Hani masih bisa menerima aku di rumah? Bagaimana caranya dia bisa menyayangiku? Tanyaku dalam hati.
Mungkin karena berpikir bahwa aku terguncang, Opa Ronald bertanya, “Rheina, kamu baik-baik saja?”
“Iya Opa. Tolong dilanjutkan,” ucapku lirih.
Jelas aku menegar-negarkan hatiku.
“Dan sekali lagi, mereka berdua terlibat pertengkaran hebat. Nyaris bercerai malahan. Hanya saja, kemudian Papamu meminta maaf, mengakui kekhilafannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Tetapi Hani menemui Mama kandungmu, menawarkan sejumlah uang untuk ..., mengugurkan kandungan, sampai sejumlah kompensasi untuk membesarkan kamu tanpa harus mengusik kehidupan rumah tangganya dengan Papamu. Rhein..., maafkan Mama Hani, ya,” ucap Opa Ronald.
Aku menggigit pipi bagian dalamku dan mengangguk pelan.
Ma..., Mama Hani, aku harus bagaimana? Mama pernah ingin melenyapkan aku. Kemudian Mama juga berpikir untuk membuang aku, menjauhkan aku dari kehidupan Papa. Lalu akhirnya Mama benar-benar meninggalkan aku. Aku nggak tahu apakah aku berhak marah dan kecewa ataukah tidak. Faktanya, Ma, aku ini sayang..., sama Mama. Aku masih ingat hangatnya dekapan Mama. Aku masih ingat tawa lebar Mama kalau menyambut aku dan Bang Rusli yang pulang sekolah. Aku bahkan masih ingat jelas kue-kue kecil buatan Mama. Ma, aku masih ingat bekal yang Mama siapkan dan selipkan di tas sekolahku. Mana bisa aku benci sama Mama. Percayalah Ma, aku sudah pernah benci sama Mama. Benci karena ditinggalkan. Itu saja. Tapi Ma, kebesaran hati Mama sungguh melebihi dari apa yang selama ini aku pikirkan, jeritku dalam hati.
Astaga! Astaga! Ternyata persoalannya tidak sesederhana itu!
Sampai kapanpun aku nggak akan bisa mengerti bagaimana cara dan proses yang ditempuh sama Mama Hani, dari yang ingin menjauhkan aku dari Papa, kemudan justru disayanginya dan akhirnya dibiarkan hanya berdua dengan Papa. Enggak. Hati dan tak aku nggak akan pernah sampai untuk mencerna hal itu.
“Mama kandungmu yang sudah sebatang kara itu, mengalami depresi paska melahirkan. Dia sakit dan meninggal. Bahkan menurut penuturan para medis, dia belum sempat memberikan asi kepadamu.”
Oh. Jadi rupanya itu. Pantas saja nggak pernah ada Sosok lain yang terbayang olehku untuk aku panggil dengan sebutan MAMA. Tapi kenapa Papa nggak pernah mengatakan soal ini? Mengapa aku nggak pernah diajak berziarah ke makamnya?
“Hani jatuh iba pada Mama kandungmu. Setahu Opa, Mama kandungmu menitipkan kamu ke Hani ketika Hani menjenguk dia dengan Papamu. Dan meskipun mereka berdua memakamkan Mama kandungmu di tanah kelahirannya di daerah Subang, juga secara rutin mentransfer sejumlah uang agar makam itu tetap terawat dan menurut Opa, pasti sampai sekarang masih tetap dilakukan oleh Papamu, tapi tetap saja, Hani bilang ada kalanya dia terluka setiap melihatmu. Ada pergumulan dalam hatinya. Antara mulai jatuh sayang sama kamu yang begitu kecil dan lemah, sakit hati atas perselingkuhan Papamu, dan juga iba pada Mama kandungmu yang meninggal dalam usia muda dan dalam penyesalan.”
Mulutku terkunci rapat, walau sebetulnya aku ingin bertanya di mana makan Mama kandungku.
“Dan karena Hani itu memendam sendiri semua pergumulan hatinya itu, sementara Papamu tetaplah sibuk keluar kota, akhirnya ketika digoda lagi oleh Mantan Pacarnya..., perselingkuhan itu benar-benar terjadi. Dari situ kamu tahu kelanjutannya, kan?”
Aku menggeleng. Ya, aku benar-benar tak ingin berpikir apa maksud Opa Ronald.
“Rheina, ketika akhirnya Hani mengatakan dia positif hamil, Papamu murka karena tahu itu bukanlah darah dagingnya. Hani berkeras untuk mempertahankan janin di kandungannya dan mengungkit tentang perselingkuhan Papamu. Itu yang akhirnya membuat mereka sampai sama-sama tersulut emosi. Hani memukuli Papamu. Papamu mau membalas tapi mungkin teringat yang dihadapinya adalah Wanita hamil. Tapi setelahnya, dia marah juga dan mau membalas. Tapi sebelum itu terlaksana, Hani sudah terbentur lemari. Kamu tahu mengapa Hani sangat marah? Karena Papamu kembali mengungkit tentang Rusli. Papamu meragukan Rusli. Dan sepertinya dalam keadaan marah, Hani menyampaikan itu kepada Rusli ketika mereka berdua sudah kemari. Rusli kan belum dewasa saat itu. Dia masih menjelang usia remaja. Jadi hal itu mengendap di alam bawah sadar dia. Dia begitu marah sama Papa kamu. Apalagi kemudian juga Hani mengalami keguguran saat kandungannya berusia tujuh minggu.”
Aku membekap mulutku.
Mataku terpejam.
“Opa, atas nama Papa, Rheina minta maaf. Papa sudah melukai hati Mama Hani, Opa dan Bang Rusli.”
Opa Ronald tersenyum tipis.
“Opa sudah lama memaafkan hal itu. Dan asal kamu tahu, Papamu dan Hani itu sebenarnya tidak pernah bercerai secara resmi. Hani tidak pernah menikah lagi sampai dia meninggal. Dan Si Mantan Pacarnya itu malah hilang bagai ditelan bumi. Rheina, kamu tahu tidak, Papamu itu masih mentransfer uang untuk biaya kebutuhan Hani dan Rusli, sampai dengan Hani meninggal. Sekarang pun, walau Rusli sudah mempunyai penghasilan sendiri, Papamu masih mrutin mentransfer uang buat Rusli, walau Rusli tidak pernah mau menyentuhnya. Dan Opa yakin, kala saja Papamu sempat tahu bahwa Hani sakit, dia pasti akan segera meluncur kemari, dia pasti akan menanggung biaya perawatan Hani. Semua. Meski dia tahu bahwa Opa sanggup untuk membiayai Hani dan Rusli. Sekarang kamu pikir, apa mungkin Opa sanggup memendam marah kepada Papamu? Di mata Opa, Papamu itu tetaplah Menantu Opa, bukan Mantan Menantu. Bahkan mungkin sampai nanti dia menikah lagi.”
Hatiku menghangat mendengar ucapan Opa Ronald.
Sontak, aku menghambur memeluknya.
“Opa, walaupun Rheina ini sempat membuat Mama Hani yang adalah Putri Opa menderita karena kehadiran Rheina di dunia ini karena sebuah perselingkuhan, Opa jangan marah sama Rheina, ya.”
“Ya ampun Rheina sayang, kamu nggak punya salah apa-apa. Buat Opa, kamu adalah Cucu kandung Opa.”
“Terima kasih, Opa.”
Aku dan Opa Ronald hampir terlaurt dalam suasana mengharu biru kalau saja tidak terdengar suara dari Bang Rusli.
“Rhein, kita berangkat sekarang? Nanti takutnya kamu kepanasan kalau terlalu siang.”
Aku mengurai pelukanku pada Opa dan melihat Bang Rusli sudah berdiri tegak tak jauh dari kami.
Entah sejak kapan dia berdiri di sana. Bisa jadi dia telah mendengarkan percakapan kami. Aku melihat, wajahnya tidak setegang tadi.
Diam-diam aku berharap, hati Bang Rusli sedikit melembut.
Dan kudaraskan harapanku ini dalam doa tak terucap.
Doa yang juga aku ucapkan ketika berada di depan pusara Mama Hani.
Duh, aku dirundung kerinduan yang sangat. Aku meminta maaf atas segala prasangka yang kupelihara bertahan-tahun kepadanya. Aku memohonkan ketenangan jiwa baginya dan aku mengucapkan terima kasih kepada Wanita itu.
Mataku sampai basah ketika berulang kali mengucapkan, “Mama Hani, ijinkan Rheina tetap memanggil Mama Hani dengan sebutan Mama. Ijinkan Rheina tetap menganggap Mama sebagai Mama kandung Rheina. Ijinkan Rheina tetap menyayangi Mama.”
Dan aku merasakan sentuhan lembut di bahuku.
Bang Rusli menghapus air mataku.
Saat tatap mata kami saling tertaut, sebuah janji kuucapkan dalam hati, “Ma, Rheina nggak rela Papa dan Bang Rusli begini terus. Rheina janji Ma, akan mengusahakan apa yang Rheina bisa, supaya hubungan mereka berdua mencair. Mama tolong bantu Rheina dengan doa Mama, ya.”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $