Skala Prioritas (2)

1718 Kata
POV Rheinatta Aku tak dapat mengalihkan pandangan mataku dari wajah Papa. Aku benar-benar menangkap kesedihan yang dalam di sana. Aku langsung menghambur memeluknya. “Pa, sekiranya berat dan Papa belum siap...” Papa mengurai pelukanku. “Nggak apa Rheina. Kamu boleh mengetahuinya.” “Papa yakin?” Papa mengangguk dengan matanya. “Dan apa yang Papa ungkapkan ini, mungkin juga akan berhubungan dengan apa yang ingin kamu ketahui tentang Mama kandung kamu.” Aku mengangguk kecil. “Salahnya Papa dan Mama adalah, kami mungkin terlalu cepat jatuh cinta, menjalin hubungan pacaran yang singkat, lalu segera memutuskan untuk menikah. Sepertinya pondasi hubungan kami kurang kuat. Pada waktu itu, Mama baru saja putus hubungan dengan Mantan Pacarnya itu, namanya ... Om Lendi. Maksud Papa..., Almarhum Om Lendi.” “Jadi, Mantan kekasih Mama juga sudah meninggal?” Papa mengangguk. “Kamu dengarkan dulu. Jangan sela Papa.” “Baik, Pa.” “Rheina, Papa sendiri saat itu juga tengah di ujung hubungan dengan Aster, Mama kandungmu. Hubungan kami memang ditentang oleh keluarga Mama kandungmu. Mama kandungmu itu juga telah dijodohkan dengan Pria lain, dan hampir menikah. Tetapi dia melarikan diri tepat di hari pernikahan. Dia menempuh resiko dibuang dari keluarganya seiring hebohnya kejadian di tempat resepsi karena Pengantin Wanita dinyatakan hilang. Keluarga Mama Aster, Mamamu itu, sangat membenci dia karena membuat hubungan baik antara Keluarganya dengan Keluarga Calon Suaminya memburuk.” Aku merasa miris. Kasihan Mama kandungku. Kasihan sekali. “Selama menjalin hubungan dengan Mama Aster, Papa sudah kerap diintimidasi oleh Keluarganya. Papa diminta untuk meninggalkan Mama Aster karena dianggap tidak layak untuk menjadi bagian dari Keluarga besar mereka. Dan ya, Keluarga Si Calon Suami Mama Aster itu memang merupakan keluarga terpandang dan tentunya kaya raya. Papa bukan hanya diintimidasi secara verbal. Keluarganya bahkan pernah menyewa sekumpulan preman untuk menghadang Papa di perjalanan, dan memukuli Papa. Dan itu bukan satu kali. Terakhir, bahkan Papa ditantang untuk meninggalkan Mama Aster dengan ultimatum kalau Papa memang tulus mencintai Mama Aster, semestinya Papa tahu diri dan mundur demi kebahagiaan dan jaminan hari depan yang lebih baik.” Aku tercekat. Sebelumnya aku pikit Mama Hani adalah yang paling menderita di dalam keluarga kami. Siapa sangka Mama kandungku, Mama Aster, juga menderita bahkan sampai akhir hayatnya? “Mama Aster berusaha menemui Papa yang saat itu tengah dirawat di sebuah rumah sakit lantaran dianiaya sama Preman yang disuruh oleh Keluarganya. Tentu saja Papa menolak. Papa nggak mau kalau dia sampai tahu apa yang terjadi. Dan Papa mulai berpikir memang sebaiknya mengutamakan kebahagiaannya. Papa mulai ragu kalau meneruskan hubungan kami, tidak akan pernah direstui oleh keluarganya. Itu nggak adil buatnya. Dan dasar Papa ini pengecut, Papa menutup semua yang Papa alami. Bahkan tidak pernah ada kata perpisahan di antara kami. Dan Papa menghilang begitu saja dari kehidupan dia dengan dalih demi ‘kebahagiaan’nya. Setelah sembuh, Papa sudah bertekad untuk berjuang sekeras mungkin agar Papa bisa membangun bisnis yang besar. Pada saat itu lah, Papa bertemu kembali dengan Mama Hani. Sebelumnya, selama Papa dirawat di rumah sakit, Mama Hani memang sering menjenguk Temannya yang sedang sakit, yang kebetulan dirawat dalam satu kamar dengan Papa.” Pandangan mata Papa menerawang. Belum pernah aku melihatnya ‘selemah ini.’ “Rheina..., sampai di sana kamu pasti sudah bisa menebak kelanjutannya, kan? Papa juga nggak mau mengorek-ngorek kisah lama terlalu dalam. Yang Papa ingin katakan kepadamu adalah, jangan sampai kamu mengikuti jejak Papa, Mama Aster atau Mama Hani.” “Maksud Papa?” Papa tersenyum hambar. Tangan Papa terulur, membelai wajahku. “Yang namanya perasaan itu memang kadang sulit untuk dikontrol. Tapi yang jelas Rheina, kita ini juga diberikan akal budi, pikiran. Dalam sebuah hubungan itu memang tidak bisa selalu berjalan lancar. Pasti ada pasang surutnya. Rasa cinta itu bisa memudar. Kadang ada rasa jenuh juga. Yang penting, jangan biarkan diri terlarut dalam sebuah hubungan baru tanpa menyelesaikan dulu kisah lama. Bukan hanya satu Pihak, semua Pihak bisa sakit hati.” Sejatinya ini adalah sebuah nasihat. Tapi anehnya, aku merasa tertohok. Seolah perkataan itu ditujukan kepadaku, atas situasi yang tengah aku hadapi. Padahal aku kan tidak cerita apa-apa soal Kelvin, kecurigaanku bahwa ada Seorang Cewek yang tengah menggodanya, serta kehadiran dan perhatian dari Michael. Dan itu seiring dengan penggalan lyric lagu Putus Atau Terus yang dipopulerkan oleh Judika, yang mendadak terngiang di telingaku... Bukankah kamu juga merasa dingin mulai menjalari percakapan kita Pertanyaan kamu sedang apa terkesan hanya sebuah formalitas saja Coba tanyakan lagi pada hatimu apakah sebaiknya kita putus atau terus Kita sedang mempertahankan hubungan atau hanya sekedar menunda perpisahan Aku benar-benar terusik jadinya. Enggak, aku sama Michael nggak ngapa-ngapain kok. Michael memang baik, tapi aku nggak yakin aku mencintai dia seperti aku mencintai Kelvin. Entahlah kalau Kelvin. Bisa jadi memang dia tengah berpaling dari aku. Ah, semoga saja perkiraanku ini salah, batinku. Mati-matian aku berusaha menyembunyikan perasaanku di depan Papa. Aku merasa tersindir. Walau aku yakin Papa tidak bermaksud demikian. Barangkali hanyalah kebetulan belaka. “Perasaan-perasaan yang belum tuntas itu membuat berat bahtera rumah tangga Papa dan Mama Hani. Saling curiga, dan saling berkeras menyangkal bahwa masing-masing kami masih membuka celah untuk godaan itu datang. Rhein..., sebelum Om Lendi mengembuskan napas terakhirnya, ternyata Om Lendi meninggalkan sebuah surat untuk Papa. Surat yang pendek. Tulisan tangan dia. Surat yang menyatakan bahwa Om Lendi tidak pernah sampai meniduri Mama Hani sampai dengan akhirnya Mama Hani yang terluka karena perselingkuhan yang Papa lakukan ketika Mama Aster yang benar-benar telah nekad untuk memutuskan hubungan dengan Keluarganya, kembali menemui Papa, tidak peduli bahwa Papa sudah menikah, dan justru menyerahkan ... kehormatannya. Kata Mama Aster saat itu, dia tidak menuntut apa-apa. Dia juga tak mau menjadi Orang ketiga di dalam pernikahan Papa dengan Mama Hani. Tapi Mama Aster bilang, kalau sampai Papa bercerai dari Mama Hani, maka Mama Aster bersedia untuk menikah dengan Papa. Papa jgua sudah menceritakan tentang perselingkuhan Mama Hani.” Aku geleng-geleng kepala. Betapa sulit dan rumit untuk dicerna semua penuturan Papa ini. Papa mengelus kepalaku. “Rheina, jadi yang jelas, Papa yang lebih dulu bersalah. Papa yang lebih dulu berselingkuh. Mama Hani membalas karena kecewa bercampur sedih. Ya memang masih banyak faktor lain. Itu sebabnya ketika kamu mengatakan hendak berziarah ke makam Mama Aster, Papa merasa perlu untuk menyiapkan hati kamu dulu. Sampai sekarang, Keluarga Mama Aster masih membenci Papa dan menganggap Papa yang menyebabkan dia menjadi durhaka, dan meninggal dalam penderitaan. Papa nggak mau, kalau kebencian mereka kemudian dilampiaskan kepadamu. Jangan sekarang ya Rhein..., kasih Papa waktu untuk pelan-pelan memperbaiki hal ini. Papa nggak mau kamu merasa tertolak, Sayang. Papa nggak rela. Papa nggak mau kamu sakit hati. Papa mau menjagamu dari kemungkinan itu.” Mataku membasah. Tidak ada satu kata pun yang dapat aku ucapkan. Saat ini aku merasa bahwa Papa, Mama Aster, Mama Hani, dan mungkin juga Om Lendi..., tidak sepenuhnya bersalah. Dan walaupun mereka bersalah, mereka sudah menanggung akibat dari kesalahannya itu. Hidup mereka tidak damai. Mereka bersusah hati. Suka cita mereka tidak pernah penuh. “Kamu mau memaafkan Papa?” Aku mengangguk dan mencium pipi Papa. “Pasti, Pa. Maafkan kalau Rheina terlalu keras pada Papa.” Papa mengelus kepalaku. “Papa mengerti kekecewaanmu.” “Pa, tapi Rheina masih penasaran.” “Soal apa?” “Papa kan sudah tahu bahwa Bang Rusli adalah Anak Kandung Papa bebrapa tahun lalu, tapi kenapa Papa nggak berusaha untuk menemui bang Rusli dan mengajaknya kembali kemari?” Papa mendesah. Aku melihat wajahnya yang begitu keruh. Kasihan Papa. “Sayang, sebetulnya semenjak awal pun, sekiranya Bang Rusli bukanlah Anak biologis Papa, Papa sudah menerima dan menyayangi dia sebagai Anak kandung. Papa juga sudah berpikiran bahwa Bang Rusli memang Anak kandung Papa. Pasalnya, karakter Bang Rusli itu sangat mirip dengan Papa. Tapi saat pertengkaran terakhir dengan Mama Hani yang justru menantang Papa untuk meninggalkan dia karena tengah mengandung Anak dari Om Lendi, Papa memang kembali diintimidasi dengan pemikiran yang keliru. Dan salahnya Papa..., Papa membiarkan hal itu berlarut-larut. Lalu akhirnya, ketika Papa mengetahui kebenarannya, hubungan Papa dengan Abangmu itu sudah semakin buruk. Abangmu seperti membangun tembok tinggi yang sangat sulit untuk Papa tembus. Percayalah, Sayang, Papa sudah kerap berusaha untuk melunakkan hati Abangmu. Tetapi Abangmu sudah telanjur benci dan sakit hati. Abangmu juga pernah mengusir Papa dari makam Mama Hani, ketika kami nggak sengaja bertemu. Abangmu bilang, Papa nggak pantas ada di pusara Mama Hani. Abangmu juga membuang buket bunga yang Papa tinggalkan di sana. Dan demi menjaga emosinya yang meledak-ledak itu, Papa mengalah. Meski tetap saja lain kali ada kesempatan Papa tetap berziarah. Tentu saja setelah memastikan dia tak mungkin ke sana.” Aku terperangah. Bisa-bisanya Bang Rusli tidak menyebut soal ini! Dasar! Rasanya aku mau mencekik dia sekarang. “Papa pantas diperlakukan macam itu. Atas semua kepahitan yang Papa tanamkan di hati dia sekian lama.” “Mengapa Papa nggak mencoba bicara dari hati ke hati, Pa? Dan Papa tunjukkan juga surat dari Om Lendi?” “Setiap kali Papa mau memulai bicara, Abangmu sudah menghalau Papa. Abangmu itu juga sudah memaki Papa dengan keras. Dan semakin Abangmu memaki, semakin Papa tahu, yang sakit hati bukan Papa, tapi dia. Maka demi kebaikan Abangmu, demi kesehatan mentalnya, Papa mengambil langkah mundur, menunggu kesemaptan yang tepat. Dan Papa juga nggak tahu, mungkin sekarang ini semua sudah terlambat..” “Nggak ada kata terlambat, Pa, Rheina yang akan menunjukkan surat itu.” Papa menggeleng. “Itu hanya akan membuat dia lebih terluka. Itu sama saja artinya bahwa Papa mengingatkan dia lagi akan kisah pahit yang dulu. Dan itu sama saja Papa mengakui bahwa Papa masih meragukan asal-usul dia.” Kepalaku langsung terasa sakit. Paham aku sekarang. Yang menjadi persoalan bukan lagi tentang asal-usul. Ini soal kesalah pahaman yang sudah bertumpuk-tumpuk. Harga diri yang terkoyak. Huh! Ini pemikiran khas Laki-laki. Egois dua-duanya. Mana bisa persoalan selesai kalau tidak dibicarakan Sesulit apa sih duduk bersama lalu bicara berdua? Bicara itu bukan menunjukkan kelemahan. Dan itu bukan berarti bahwa Laki-laki itu rapuh, kan? Aku jadi gemas. “Papa salah kalau berpikir begitu. Nanti Rheina yang akan atur. Kasih Rheina waktu.” Papa menatapku dengan tatapan bertanya. “Rheina nggak rela kehilangan kehangatan rumah ini, yang pernah Rheina reguk semasa kecil. Rheina hanya mohon, Papa dan Bang Rusli sedikit menurunkan gengsi, sedikit melembutkan hati,” pintaku pelan. Papa tertegun. Ya, keputusanku sudah bulat. Aku akan menyusun rencanaku sendiri. Sabar, Mama Hani, Rheina pasti memenuhi janji Rheina, kataku dalam hati. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN