Skala Prioritas (1)

1239 Kata
POV Rheinatta “Pa, Papa kenapa?” tanyaku sambil memegang pundaknya. Oh. Aku benar-benar takut akan terjadi sesuatu. Enggak! Nggak boleh ada apa-apa lagi. Beberapa hari ini saja perasaanku sudah mengalami badai dan tsunami. Jangan ada apa-apa lagi. Papa hanya menggeleng. Lantas Papa berusaha untuk berdiri. Namun aku melihat posisi berdirinya kurang mantap, sehingga aku langsung memegangi lengannya. “Papa mau istirahat di kamar? Rheina antar, ya,” kataku pelan. Ada rasa sesal yang menggodaku. Papa tak mengatakan apa-apa, tetapi yang jelas dia tak menolak kala aku menggandengnya. Ketika Papa sudah duduk di tepi pembaringan, aku berkata kepadanya, “Pa, Rheina khawatir Papa kenapa-kenapa. Rheina telepon Dokter Junita untuk memeriksa dan memastikan kondisi Papa, ya?” Papa menggeleng dan berusaha tersenyum. “Rheina minta maaf, Pa.” Papa manggut kecil. “Kalau begitu, Papa mau Rheina teleponkan Tante Garnetta supaya menemani Papa di rumah?” tanyaku spontan. Papa tersenyum. Aku mendapati bahwa itu adalah senyuman geli. Alangkah di luar dugaanku. “Nggak usah,” kata Papa kemudian. “Ya sudah. Rheina nggak usah kuliah hari ini. Rheina temani Papa di rumah saja. Papa nggak usah ke kantor hari ini ya. Juga nggak usah kerja dari rumah. Papa istirahat saja,” ucapku. “Papa tidak apa-apa. Ini sudah jam berapa, Rheina? Kenapa Kelvin belum juga menjemput kamu? Jangan-jangan karena kamu belum mengabari jadi dia langsung berangkat sendiri ke kampus.” Walau dalam hati aku juga bertanya-tanya mengapa Kelvin tidak berusaha menghubungi aku, namun yang keluar dari mulutku adalah, “Biar saja, Pa. Rheina pikir, nggak apa deh Rheina bolos saja sekali ini. Cuma beberapa sks kok hari ini.” “Jangan begitu, Rheina.” “Rheina lagi nggak bersemangat kuliah, Pa. Percuma. Nanti hanya badan Rheina yang ada di kelas. Tapi pikiran Rheina kemana-mana. Rheina juga bisa tanya ke Teman-teman nanti. Rheina kan nggak pernah bolos, selama ini.” Papa belum menanggapi, sehingga aku merasa perlu menambahkan, “Lagi pula, jujur saja..., pertengkaran tadi malam itu membuat Rheina nggak bisa tidur nyenyak, Pa.” Papa menatapku dengan sedih. Lantas ia menepuk peraduannya. “Duduk sini kalau begitu. Kamu boleh tanya apa saja yang kamu ingin tahu, nggak usah menunggu sampai nanti malam.” Aku terkejut. Semestinya aku senang hati, kan? Sebentar lagi aku bakalan tahu kisah percintaan Papa dengan Mama kandungku, yang bakal nggakpernah aku ketahui. Mungkin juga kisah percintaan Papa dengan Mama Hani. Tapi herannya, aku nggak nggak terlalu tertarik. Bukan, bukan lantaran aku nggak sayang sama Mama kandungku. Prioritasku saat ini adalah untuk mendamaikan Papa dengan Bang Rusli. Bukankah ‘menyambungkan’ kembali tali silaturahmi antara mereka berdua, adalah lebih penting dibandingkan dengan mendengarkan sesuatu hal yang memang takkan bisa untuk aku ubah lagi? Ya, Mama Hani dan Mama kandungku toh sudah tenang di alam sana. Hanya doa yang bisa aku antarkan buat mereka. Sedangkan Papa dan Bang Rusli? Mau sampai kapan mereka membiarkan hubungan mereka membeku seperti ini? Masing-masing tidak ada yang mau mengambil inisiatif untuk memperbaiki ‘yang sudah rusak’. “Sebentar ya Pa,” kataku. Aku mengisyaratkan agar Papa duduk bersandar saja, sementara aku keluar dari kamarnya. Dan seberapa lama kemudian, aku sudah kembali dengan segelas air minum yang langsung aku berikan kepada Papa. Aku menarik sebuah kursi sehingga aku dapat duduk di sebelah tempat tidur Papa. Papa menaruh gelas yang isinya sudah berkurang setengah itu, ke atas nakas. Aku masih menyempatkan untuk mengirimkan pesan suara kepada Kelvin, meski aku perkirakan, kemungkinan besar Kelvin sudah dalam perjalanan dari tempat kost nya menuju ke rumahku saat ini. Minimal, dia sudah keluar dari tempat kost yang dia huni. Ini hari Senin. Dan sama seperti Para Pengguna jalan yang lainnya, dia juga tak suka bermacet-macetan sehingga sengaja berangkat lebih awal. To : Kelvin Hon, aku nggak masuk kuliah hari ini. Masih agak ngantuk dan hari ini mau quality time sama Papa. Nggak usah ke rumah. Bye. Pesan suara itu telah terkirim. Tetapi belum ada tanda-tanda didengarkan. Terserah saja. Kalaupun dia sampai datang ke rumah, ya aku tetap nggak akan kuliah. Aku punya misi sendiri. “Rheina..” “Iya, Pa.” “Apa yang mau kamu tanyakan ke Papa?” Aku memejam mata. Seketika aku teringat akan janjiku di depan pusara Mama Hani. Aku bagai tertagih janji saat ini. “Papa, kalau boleh..., Rheina mau bilang sesuatu.” “Tentu saja boleh Sayang. Ayo, katakan ke Papa.” “Tapi apa Papa yakin? Tadi Rheina lihat, Papa memegangi kepala Papa sambil sedikit meringis. Rheina takut kalau itu terjadi lagi.” Papa tersenyum tipis. “Kepala Papa sudah nggak sakit lagi kok. Tadi mungkin Papa hanya sedikit emosi saja.” Aku jadi ragu. Satu sisi hatiku melarangku untuk mengusik Papa. Namun sisi hatiku yang lain justru mendorongku untuk melakukannya sekarang juga. Seakan-akan, ini adalah kesempatan terbaikku sebelum keadaan semakin memburuk. “Pa, sebenarnya Rheina mempunyai janji di depan pusara Mama Hani,” ucapku dengan super hati-hati. “Janji?” Papa mengernyitkan keningnya. Aku mengiakan. “Kamu janji apa?” “Papa jangan marah tapi ya.” “Nggak akan. Ini soal..., Tante Garnetta, ya?” tebak Papa. Aku terpancing untuk tersenyum. “Bukan tentang itu, Pa.” “Oh. Lalu apa?” Aku menelan ludah. “Pa..., Rheina berjanji untuk..” Keraguan menggodaku lagi, membuatku menggantung ucapanku. “Apa Rheina? Bilang saja.” Aku mengembuskan napasku. Pelan sekali. Kukumpulkan segenap keyakinan diri. “Pa..., Rheina berjanji untuk mencairkan kembali hubungan Bang Rusli dengan Papa, bagaimanapun caranya. Dan untuk kemungkinan terburuk, seandainya Bang Rusli itu bukan Saudara Satu Papa dan juga bukan Saudara Satu Mama dengan Rheina, Rheina nggak akan peduli. Bagi Rheina, Bang Rusli tetap Saudara satu Papa dengan Rheina..” Aku menjeda kalimatku. Papa tersenyum pahit. “Rheina..., jadi kamu berpikir bahwa Bang Rusli itu bukan Anak kandung Papa?” Aku takut menjawabnya. Sangat takut. “Rheina..” Aku menelan ludah lagi. Seolah-olah kerongkonganku begitu kering dan bagai tercekik. “Rheina nggak mau peduli tentang kemungkinan itu Pa. Menurut Rheina, baik Rheina maupun Bang Rusli, sama sekali tidak bisa memilih Siapa Orang tua kandung kami. Tapi yang jelas, Rheina sayang sama Bang Rusli, dan..” “Dan apa?” “Rheina mohon, sebagaimana Mama Hani juga mau menerima dan bahkan menyayangi Rheina, Papa juga mau melakukan hal yang sama kepada Bang Rusli. Pa, Bang Rusli itu butuh pengakuan. Bang Rusli itu terluka hatinya. Rheina nggak rela keadaan ini terus berlanjut.” Papa memejam mata..” “Rheina..., Bang Rusli itu Anak kandung Papa.” Aku melongo. “Papa begitu yakin? Lalu mengapa Papa membiarkan Bang Rusli salah paham sekian lamanya?” “Papa juga belum lama tahu. Baru beberapa tahun terakhir.” “Maksud Papa?” Papa menghela napas panjang. “Rheina, satu hal yang kamu harus tahu, tanpa Papa harus mengetahui fakta ini pun, tanpa segala macam tes dna, dari dulu Papa sebenarnya ragu kalau Mama berani selingkuh di awal pernikahan kami. Sejujurnya, saat itu bisa dikatakan Mama cukup mendengarkan perkataan Papa, dan menjaga keharmonisan di rumah. Mama tahu kok, Papa bekerja keras dan kerap meninggalkan Mama, karena untuk kehidupan yang lebih baik juga.” Suara Papa begitu pelan, penuh dengan aura kesedihan dan penyesalan. Aku memasang sikap menyimak, berusaha sabar mendengarkan kelanjutannya padahal hatiku sudah dipenuhi rasa penasaran. “Sangat wajar kalau Mama merasa kesepian karena sering kali Papa tinggalkan. Dan pada saat seperti itu, Mama bertemu dengan cinta lamanya yang ternyata belum menikah.” “Lalu, Pa?” Papa meneguk habis minumannya. Seperti mau mengantarkan kisah yang berat saja. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN