POV Kelvin
Gue menyorongkan minuman coklat yang gue pesankan buat Nicky.
Kami sedang berada di kafe yang dulu menjadi tempat pertemuan gue sama Mas Anton. Ya, area di mana gue ketemu sama Nicky juga di hari yang sama, walau nggak disengaja.
Gue percaya banget coklat bahwa membuat hati tenang dan meredakan rasa galau. Dan Cewek yang sedang bersama gue ini, sedang sangat membutuhkannya. Fue mau dia terhibur. Dia sudah melakukan hal yang sama kan, pada saat gue dalam kondisi seperti dia, walau untuk hal yang berbeda?
“Nick, ini diminum dulu. Kan dalam beberapa jam ke depan kamu ada siaran karena menggantikan Rekan kamu yang sakit. Ayo, jangan sampai suara kamu terdengar sedih nanti. Kesannya jadi nggak profesional,” bujuk gue.
Nicky menatap gue dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Ah! Cewek ini benar-benar berlebihan. Apa yang gue lakukan ke dia kan sudah sewajarnya. Nggak perlu juga dia sampai begini.
“Terima kasih ya Vin.”
Gue menggeleng.
Gue kasih isyarat ke dia supaya tidak menyia-nyiakan waktu yang tersisa untuk persiapan. Soalnya. Dia baru mendapat kabar beberapa jam sebelumnya, bahwa hari ini dia diminta datang ke stasiun radio tempatnya kerja magang. Padahal hari ini semestinya dia tidak punya jadwal siaran. Dia hanya akan ke tempat sulih suara nanti malam.
Itu juga yang membuat gue memutuskan untuk bolos kuliah dan mendampingi dia seharian ini. Ya, apa artinya cuma bolos satu hari, kan? Nggak ada masalah.
Gue melihat Nicky sudah lebih tenang
Dia mau menghabiskan minuman coklat itu, serta donat yang gue pesankan buat dia.
“Vin, apa kamu masih sempat ke kampus, setelah dari sini?” tanya Nicky di antara kegiatannya mengunyah donat.
“Nggak usah dipikirkan. Aku tunggu kamu di sini. Kamu siaran cuma sekitar dua setengah jam, kan? Nanti aku temani juga ke tempat sulih suara. Aku kepengen tahu..”
Mata Nicky mengerjap.
“Jadi kamu bolos buat aku?”
Gue mesem kecil.
“Cuma satu mata kuliah kok.”
“Wah, nggak benar. Kasihan Papa sama Mama kamu.”
Gue mengibaskan tangan gue.
“Satu kali bolos nggak akan membuat aku medadak b**o. Aku pasti lulus kuliah tepat waktu kok. Dan sedang amat berusaha untuk nggak mengecewakan mereka lagi. Yang dulu-dulu itu sudah cukup. Tenang saja.”
Nicky tertegun.
Mungkin lantaran gue mengucapkannya dengan sangat serius.
Dia menggenggam tangan gue dan bilang, “Maaf ya Vin, Aku nggak ada niat untuk ngomong begitu. Aku..”
Gue tersenyum.
“Aku tahu. Nah, sekarang, kamu percepat sarapannya supaya punya waktu untuk persiapan yang lebih lama sebelum siaran.”
“Kamu baik banget.”
“Enggak lah. Biasa.”
Nicky tertawa kecil.
“Aku tuh masih nggak nyangka, bisa-bisanya aku nangis-nangis di depan kamu tadi. Gara-gara merasa tertolak sama Cowok, lagi. Kamu pasti anggap aku Cewek lemah, ya?” ucapnya lirih.
“Sama sekali nggak. Memangnya kamu lupa, aku saja pernah menangis di depan kamu?”
“Beda dong Vin, itu kan masalahnya menyangkut..., maaf, Adik kesayangan kamu. Aku malah salut. Artinya kamu itu punya hati yang lembut. Nah kalau aku kan beda, menunjukkan kelemahan aku karena persoalan cinta. Cengeng sekali.”
Gue mengelus pundak Nicky.
“Kalau sudah menyangkut perasaan, nggak ada istilah cengeng. Itu yang membedakan kita sama Robot.”
Nicky menatap gue dengan intens.
“Omongan kamu dewasa sekali.”
Gue merasa ada perasaan asing yang menyap gue sewaktu dia mengucapkan hal ini.
Perasaan yang cepat-cepat gue usir.
“Coba diperjelas, dewasa atau tua maksudnya? Maksud kamu, aku ini sudah tua? Ya, aku ketuaan. Seharusnya aku itu sudah kerja sambil melanjutkan program magister sekarang.” Gue mencoba tertawa geli untuk mengesankan bahwa gue sedang bergurau. Padahal ada rasa perih yang melintas.
Dan gue berhasil. Gue melihat ada gerakan minim di sudut bibir Nicky. Eh! Kenapa mendadak gue melihat bibir Cewek ini begitu ranum dan menggoda? Lekas gue menepis perasaan ngawur ini. Gue ingat, tadi sewaktu gue cium kening Nicky dan gue elus pipinya yang mulus, Cewek ini terlihat pasrah. Dia nggak menolak sedikitpun. Untung saja gue masih bisa menguasai diri dan nggak mencium bibirnya. Salah satu penyebabnya adalah kemunculan Si Asisten Rumah Tangga dengan suara dehamannya.
Suaranya memang agak jauh, tapi gue curiga jangan-jangan dia sudah mengintai lumayan lama.
Makanya, gue sama Nicky buru-buru memperbaiki sikap dan gue bilang ke Nicky mau mandi dulu. Saat itu juga gue menawarkan dia untuk menamaninya dia seharian ini.
Dan sekarang gue sedang ‘membayar’ janji spontan gue itu. Janji yang nggak gratis. Karena gue meminta supaya Nicky menjanjikan satu hal juga ke gue, yakni supaya dia cepat move on, mengurangi pemikiran negatifnya atas Bramantyo, dan bersikap sewajarnya andai dia dan Bramantyo bertemu lagi nanti. Mungkin lantaran terdesak, Nicky mengangguk.
“Vin, kamu yakin, mau nungguin aku di sini? Lama lho..,” ucap Nicky setelah menghabiskan sarapannya.
Gue mengangguk.
“Aku ada di sekitar sini. Nanti setelah selesai siaran, kamu kasih tahu aku saja. Pokoknya, kamu mau pergi ke mana hari ini, aku siap menemani.”
“Thanks ya Vin. Aku naik dulu,” kata Nicky.
“Oke.”
Sepeninggal Nicky, gue baru teringat untuk mengecek telepon genggam gue.
Gue merasa agak aneh saja, kenapa dari tadi telepon genggam gue nggak berbunyi.
Dan gue baru ingat, gue belum mendapatkan kabar dari Rheinatta.
Tapi setelah gue cek saku gue dan juga di console box yang ada di mobil, nggak kunjung gue temukan. Waduh. Gue jadi kebingungan. Mana mungkin gue keluar dari rumah tanpa membawa ponsel? Rasanya kok nggak mungkin.
Gue nggak melihat ada Orang yang pantas untuk gue jadikan ‘Target’ untuk dipinjam ponselnya di area parkir.
“Apa jangan-jangan ketinggalan di tempat kost?” gumam gue.
Gue langsung meluncur kembali ke tempat kost karena yakin dari rumah langsung ke kafe ini. Lagi pula, bagaimana cara Nicky dan Teman-teman gue, juga Rheinatta bisa menghubungi gue kalau gue nggak bawa benda kecil berteknologi tinggi itu, coba?
Keputusan gue untuk kembali ke tempat kost ternyata seratus persen tepat.
Ponsel gue ada di atas meja tulis di kamar kost gue!
Gue langsung mengecek, ada sejumlah panggilan tak terjawab sama pesan teks yang masuk.
Rheinatta juga kirim pesan, bilang kalau dia nggak kuliah hari ini. Bram telepon gue. Mungkin dia terheran karena gue nggak masuk kuliah. Dia tanya apa gue baik-baik saja dan sedikit menggoda apakah gue sama Rheinatta sedang berduaan, sebab Rheinatta juga tidak terlihat di kampus.
Gue langsung membalas pesan Bramantyo. Dengan ringan gue bilang bahwa gue lagi jenuh, sementara Rheinatta juga sedang menemani Papanya.
Lalu gue baru teringat, gue sudah mengabaikan Rheinatta.
Sempat gue berpikir mau telepon dia. Tapi terpikir sama gue, kalau gue telepon dia dan dia tahu bahwa gue bolos kuliah, gue yakin dia bakalan mengomel dan menyangkut pautkan bolosnya gue hari ini sama kepergian gue kemarin dengan Bramantyo. Gue masih belum punya alasan yang tepat buat meng-counter soal itu. Gue lagi malas untuk bertengkar sama dia. Apalagi bertengkar lewat telepon. Haduh, paling malas deh. Yang ada nanti makin salah paham. Beda cerita kalau dia akhirnya terpaksa tahu juga besok, gue masih sempat buat mencari alasan yang kira-kira bisa diterima sama dia. Dan andaipun nggak bisa diterima, gue yakin kalau bertemu muka itu gue bisa meredakan ngambeknya dia.
Akhirnya gue cuma mengetik pesan teks ke Rheinatta.
To : My Bee
Yang penting kamu baik-baik saja ya, Bee. Salam buat Papa kamu.
Nanti aku telepon kamu ya Sayang.
Gue menggulir ikon send dan menganggap satu urusan selesai.
Buktinya? Rheinatta nggak menjawab lagi. Berarti dia juga ‘sibuk’ dengan urusannya sendiri. Gue pikir, memang kami berdua ini sedang butuh waktu buat sendiri-sendiri buat sementara waktu, supaya nggak terlalu ‘sesak’. Lagi pula, yang penting kami saling memerhatikan, iya kan?
*
Nicky menikmati makan siangnya yang agak terlambat dari waktu seharusnya dan menanggapi pertanyaanku tentang situasi saat dia siaran tadi.
Tidak disangka, Nicky menjawab dengan semangat.
Gue bertanya cuma beberapa kalimat, tapi dia menjawab dengan rinci. Dia menyinggung tentang pendapat Atasannya yang memberikan isyarat bahwa kemungkinan besar dirinya mendapatkan kesempatan untuk bekerja sebagai Pegawai Tetap. Dia diminta untuk lebih bersiap menghadapi ‘panggilan siaran sewaktu-waktu’ untuk menggantikan Sang Rekan yang tampaknya belum akan pulih kesehatannya dalam dua tiga hari ini. Nicky juga berkisah keseruan di tempat kerjanya.
Gue jadi ikut senang. Sampai-sampai gue lupa, ini adalah Cewek yang sama dengan Cewek yang tadi pagi nangis karena patah hati.
Cewek ini sejatinya memang Cewek yang easy going dan supportif.
Ya, itu menurut gue.
Berada dekat dia membuat hati gue senang.
Nggak heran kalau hari itu secara spontan kami juga menghabiskan waktu di Time Zone dan memainkan beberapa jenis permainan. Serius, gue melihat keceriaan dia, yang menjalar ke gue. Gue jadi geli sendiri, niatnya kan gue yang mau menghibur dia, tapi malahan gue sendiri yang merasa terhibur.
Gue nggak bisa lupa ekspresi wajah Nicky sewaktu mengalahkan gue dalam beberapa permainan di sana. Serius deh, ini Cewek benar-benar energik. Dia juga terlihat kegirangan sewaktu berhasil ‘memancing’ Boneka yang berukuran paling besar dengan hanya dua kali percobaan, smeentara gue yang sudah menghabiskan seluruh koin gue masih gagal mendapatkan boneka terkecil pun.
Nicky, Nicky!
Gue nggak pernah menyangka kalau dia semenarik ini.
Dia seperti punya banyak energi.
Dia begitu bersemangat berkisah tentang proses sulih suara yang dia lakukan malam itu, dan dia juga terlihat sangat nyaman ketika gue mengajak dia makan es krim dan mpek-mpek bakar di rumah makan sederhana yang letaknya tak seberapa jauh dari tempatnya bekerja sebagai Dubber. Kami tertawa-tawa bersama sepanjang perjalanan pulang.
Nicky ini ternyata mempunyai selera humor yang oke.
Dan kerennya, dia itu nggak terkesan celetak-celetuk seperti... Rheinatta!
Setelah mengantar dia ke tempat kost, gue sendiri pulang ke tempat kost gue.
Nggak tahu kenapa, rasanya hati gue senang tiada terkira.
Sama rasanya seperti gue baru mendapatkan sesuatu yang berharga.
Dan seharian ini nggak ada kabar dari Rheinatta, toh gue juga nggak tergerak untuk ‘mengusik’ dia dengan panggilan telepon. Dia juga nggak berusaha untuk telepon gue kok. Pemikiran gue sederhana saja. Toh besok juga kami bakalan ketemu di kampus.
Dan ketimbang memusingkan akan seperti apa perdebatan gue sama Rheinata di kampus besok setelah dia tahu gue bolos kuliah, gue pilih untuk mengenang setiap momen dalam ‘sehari bersama Nicky’ hari ini.
Hati gue senang, sampai ketawa-ketawa sendiri.
Gue jadi yakin, pasti gue jatuh tertidur dalam keadaan tersenyum, malam harinya.
*
$ $ Lucy Liestiyo *S $