Perbedaan Yang Kontras (1)

1446 Kata
POV Kelvin “Hon..,” rajuk Rheinatta tanpa malu-malu. Dia juga menggelayut manja di lengan gue, sambil menyenderkan kepalanya. Gue melayangkan pandangan mata gue ke sekitar gue. Setengah mati gue berusaha untuk nggak menggerutu. Soalnya gue yakin banget, suara rengekan dia barusan lumayan keras, dan pastinya didengar juga sama Orang yang berada di sekeliling kami. Biasanya gue nggak keberatan. Nah dia kan memang ekspresif Orangnya? Dari awal gue memacari dia, dan bahkan sebelum gue tembak dia, gue tahu tentang itu kok. Eh, bukan, malah dari awal perkenalan kami. Super ekspresifnya dia kan, yang bikin pikiran gue campur aduk waktu itu. Gue menghela napas panjang, teringat perjumpaan pertama kami bertahun yang lalu. Gue agak lupa memang, event-nya apa, tapi yang jelas, gue memang sengaja menyepi setelah semua ‘kegiatan wajib’ gue selesaikan. Mungkin yang lainnya juga melakukan hal yang sama dengan gue. Hanya saja, gue nggak tahu mereka kemana dan melakukan apa. Sementara Rheinatta, nggak tahu bagaimana ceritanya, terpisah sama Teman-temannya yang lain. Entah, apakah dia keasyikkan jalan sambil mengagumi keindahan alam di sekitarnya ataukah dia terlarut selagi melamunkan entah Siapa sambil merambah hutan pinus, atau bisa jadi dia yang kepo-nya suka kelewat batas itu sok-sokan terus jalan ke area yang jauh dari tempat kami mendirikan kemah, dengan modal nekad. Sudah pasti nggak pakai hitungan. Singkatnya, yang membuat gue ketemu dia adalah gara-gara saat itu dia sedang teriak-teriak histeris meminta tolong karena tersadar bahwa dirinya tersesat. Dari suaranya, dia terkesan begitu ketakutan. Sudah mirip sama Orang yang kerasukan dan hilang harapan saja. Agak berlebihan sih ya, tempatnya berada saat itu kan hutan pinus, bukan jenis hutan rimba yang rapat dan mengerikan. Setidaknya, kan masih banyak yang bisa menenangkan perasaan di tempat macam itu. Suara teriakan Rheinatta waktu itu langsung mengusik ketenangan gue yang semula masih asyik duduk menikmati kesendirian di atas sebuah batu besar dan menatap jauh ke jurang yang terbentang agak jauh di depan gue. Bentang alam yang dahsyat, yang nggak sekadar membuat gue terpesona dan mengaguminya, tetapi juga membuat gue merasa diri gue begitu kecil dan tidak ada artinya, di tengah alam raya yang demikian luas. Diam-diam gue sedang mengucapkan syukur karena kawasan itu masih terbilang sunyi dan minim dari ‘kunjungan’ Pelancong. Gue nggak bisa membayangkan, dalam satu dua tahun ke depan, semua yang terlihat di depan gue itu tercium aromanya sama sejumlah Orang yang mempunyai kuasa dan uang, dan menjadikan semua keindahan alam, dari mulai pemandangannya, udara segar yang dia miliki, sampai suasana syahdu yang menyertainya, di samping rasa hening yang menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, lalu oleh mereka, golongan yang memiliki dua hal, kuasa dan uang, sebagai ‘Komoditas’ untuk ‘diperjual-belikan’. Kalau sudah begitu, pasti di sana-sini akan dibangun entah semacam gubuk, jembatan, tempat duduk, hiasan hamok dari satu pohon pinus ke pohon pinus yang lain. Mungkin juga akan ditaburi dengan hiasan lampion dan kerlip lampu di sana-sini lantas dijual dengan tag line : Jangan bilang pernah ke kota A kalau belum memijakkan kaki di tebing yang satu ini. Tempat yang sungguh instagramable buatmu. Kalau sudah begitu, bye bye suasana syahdu! Muak deh.Alam dieksplore gila-,gilaan buat mengeruk duit sebanyak mungkin, nggak peduli dengan banyak dan berbarengannya Pengunjung kemari itu akan menjadi beban buat area ini. Lama-lama bisa rawan longsor! Sebagai gantinya yang terlihat nanti adalah antrian Pelancong untuk berfoto di sekian banyak spot yang mereka percantik di sini. Derap kaki mereka akan sangat bising, dan transaksi jual beli akan meningkat. Berikutnya, jangan heran kalau yang datang bukan hanya Pelancong biasa, akan ada Pasangan yang melakukan sesi foto pra nikah segala. Taburan uang akan semakin sering. Perputarannya akan cepat Kalau kata Dosen gue, itu baik untuk membangkitkan ekonomi Warga setempat. Karena mereka bisa berjualan makanan, minuman, sampai tanda mata untuk ditawarkan kepada Para Pelancong. Malah ada yang kreatif ‘membuka usaha’ menyediakan jasa toilet dan mengatur parkiran. Jadi, nggak hanya fotografer dadakan yang bisa mengais rejeki di sini. Ah! Oke, di satu sisi bagus. Tapi soal kelestarian alam bagaimana? Apa mereka menjaganya? Minimal, menjaga kebersihannya? Sepertinya gue juga sudah tahu jawabannya. Makanya, selagi kawasan tersebut belum sekomersil itu, gue sedang berusaha mereguk keindahan yang dia tawarkan. Ya, di sana gue bebas meresapi keindahan alam, menghirup dalam-dalam kesegaran udara yang menerpa hidung gue, sampai membayangkan diri gue sedang memetik gitar dan bernyanyi, hanya untuk diri gue sendiri. Dan terutama, mereguk lagi potongan kenangan manis ketika gue masih ‘akrab’ dengan yang namanya melody dan lyric lagu. Dua hal yang semestinya nggak boleh dipisahkan dari diri gue. Dua hal yang membuat gue merasa menjadi diri gue seutuhnya. Tetapi sekaligus dua hal, yang pada satu masa, membuat gue merasa didera sama kesalahan yang begitu besar dan serasa tak terampunkan. Ah! Rasa bersalah itu juga masih mengendap di hati gue sampai detik ini. Sama persis, dengan sebersit rasa bersalah yang menyelinap, tepat saat gue sedang merenung sendirian, tetapi terusik sama teriakan Seorang Cewek. Jujur saja, gue itu sempat curiga sewaktu mengalami hal itu. Gue langsung bersikap waspada dan bersiap-siap untuk segala kemungkinan. Gue juga sempat berpikir jangan-jangan yang gue dengar itu suara Makhluk halus yang berniat mengganggu ketentraman gue. Dan yang gue lakukan tentu saja mengucap doa kencang-kencang. Semula di dalam hati, setelahnya sampai terucap sama mulut gue. Tapi lucunya, gue nggak merasa merinding, dan nggak merasakan ada Sesuatu yang aneh di sekeliling gue, kecuali kemudian suara teriakan minta tolong tadi berubah menjadi isakan tangis pertanda ketakutan. Dan suaranya terdengar semakin mendekat. Itu fakta yang membuat gue meyakini bahwa yang gue dengar adalah suara manusia. Apalagi, suara isakannya kemudian disertai perkataan, “Tolong..! Saya tersesat! Saya terpisah dari Kawan-kawan saya! Saya nggak menemukan jaksn keluar dari area ini. Siapa saja, tolong saya!” Gue serasa disengat lebah dan terdorong buat mencari asal suara yang mengganggu suasana yang semula hening dan nyaris menyeret gue ke situasi kontemplasi itu. Ketemu juga sih, nggak lama setelah gue menajamkan indra pendengaran dan indra penglihatan gue. Dan nggak lupa, gue tetap membaca doa sekencangnya di dalam hati, buat mengantisipasi kalau-kalau akan ada kejadian di luar dugaan. Maklum, gue kan berada lumayan jauh dari area perkemahan kami. Gue ingat sekali, gue sudah berjalan lumayan jauh dan lama, melintasi hutan pinus dan akhirnya berujung di area yang cukup lapang. Isakan tangis Cewek di depan gue itu terhenti seketika, berganti dengan tatapan yang sulit buat gue terjemahkan. Ada rasa lega, curiga, takut dan entah apa lagi di dalam pandangan mata Cewek cakep itu. Terus terang gue terpana. Secara nggak sengaja, gue menatap dia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ya, gue mau memastikan dia adalah Manusia dan kakinya menapak tanah, terus ada bayangannya juga. Itu parameterinimal bagi gue buat membedakan bahwa yang gue hadapi adalah Manusia, bukan Makhluk yang lain! Dan gue dikejutkan sama teguran sewot dia, “Ngapain kamu ngelihatin aku begitu? Memangnya kamu pikir aku ini Setan? Aku manusia. Lihat, aku menapak tanah! Dan rasanya kamu ini pasti juga Salah satu yang ikut camping. Tampang kamu tampang Orang kota. Tampang Anak kuliahan, iya kan?” Yang gue lakukan saat itu adalah buru-buru membekap mulutnya, demi mencegah dia mengucapkan hal-hal lainnya. Dalam hati gue berpikir, alangkah cerobohnya Cewek satu ini. Dia jelas protes dan menyingkirakan telapak tangan gue. Tapi gue bilang secara baik-baik ke dia supaya menjaga perkataannya. Ya, gue masih lumayan ingat dialog konyol gue sama dia waktu itu. ... “Singkirkan tangan kamu dari aku! Bau, tahu nggak!” Kata-katanya parah dan sikapnya sungguh galak. Gue yang merasa tangan gue nggak habis megang apa-apa dan nggak mungkin bau seperti omelannya, buru-buru membalikkan badan. Gue bermaksud kembali ke tempat gue menyepi tadi. Artinya, ini Cewek kan nggak membutuhkan pertolongan seperti yang dia teriakin sebelumnya dong? Terus ngapain gue harus pedulikan dia? Biar saja dia menangani urusannya sendiri. Tapi Cewek itu memanggil-manggil gue. “Hei! Kamu mau kemana? Aku ikut!” Gue nggak mau ambil pusing dan terus berjalan. Cewek itu kelihatannya mempercepat langkah kakinya. Gue bisa memperkirakan itu dari berisiknya ranting yang terinjak sama sepatu dia. “Hei! Heiiii! Kamu ini sebenarnya manusia atau bukan sih? Tega amat menelantarkan Seorang Cewek di tengah hutan pinus begini! Kamu ini benar-benar jahat! Kamu tega! Tunggu! Tunggu aku!” kata Cewek itu dalam panik. Rasanya gue kepengen ketawa. Kok ada sih, Orang yang meminta pertolongan, tapi sok galak dan sok kuasa? “Heiii!” seru dia tambah keras. Gue merasa ada terpaan angin di belakang gue, dan juga merasa tangan gue tersentuh sedikit. Sepertinya dia berusaha untuk menjangkau tangan gue buat menahan supaya gue nggak meninggalkan dia. Serius, gue sudah mulai menyeringai. Malah sudah timbul niat gue untuk menggoda dia dengan cara mempercepat langkah kaki gue. Tapi seringai gue tertahan karena sesuatu hal yang mengejutkan. Ada sebuah suara yang mengganggu gue. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN