“Jangan suka usil sama urusan Orang, Bee,” tegur gue lirih. Sudah 11 – 12 sama bisikan.
“Ini namanya perhatian, bukan usil,” ralat Rheinatta mantap.
“Memangnya, dari dulu anggota klub yang cewek tuh, sedikit, ya Rhein? Kalau diingat-ingat, di foto arsip yang aku lihat memang kebanyakan Cowok melulu sih,” kata Sylvanie, membuyarkan perdebatan kecil di antara kami.
Rheinatta merasa tertantang untuk menjawab.
“Ya, kalau secara jumlah memang lebih banyak Anggota yang Cowok. Tapi biasanya lumayan ramai kalau pas ada kegiatan di luar, kok. Karena yang bukan anggota klub Eldelweiss juga suka ikut,” jelas Rheinatta.
“Oh, ya? Serius? ” tanya Sylvanie dengan mata yang membulat.
Gue melihat Rheinatta semakin antusias dalam mempromosikan klub Pecinta Alam kami.
“He eh. Makanya kamu ikutan Syl! Ken, ajak nih, Pacarnya,” kata Rheinatta kemudian. Begitu ringan dan tanpa beban. Dan yang jelas, tanpa interupsi dari gue.
Akibatnya lumayan.
Semburat merah langsung mewarnai pipi Sylvanie, mendengar Reinatta menyebut dirinya merupakan Pacar Kendra. Kendra sendiri, tidak jauh berbeda reaksinya. Dia jadi grogi dan berlagak batuk-batuk kecil. Melihat semua itu, Rheinatta tertawa lepas.
“Ho ho ho.. love is in the air!” seru Rheinatta lantas membentuk tanda hati, dengan kedua tangannya.
Senyumnya lebar benar.
"Gue paling suka lihat Pasangan yang baru jadian gini. Masih malu-malu kucing," tambahnya.
Gue masih belum bisa memutuskan harus bereaksi bagaimana. Gue malahan teringat sama ‘perjuangan’ gue di awal-awal gue mendekati Rheinatta yang ceria. Makanya, gue enggak berminat untuk mengusik Kendra dalam hal ini.
“Hi hi hi..., mereka berdua lucu. Beneran deh, jadi ingat awal-awal kita jadian ya Hon. Kadang malu-malu juga seperti mereka,” ungkap Rheinatta kemudian.
Kalau semula Kendra hanya grogi, sekarang leher dan wajahnya ikut-ikutan memerah juga, sementara Sylvanie jadi salah tingkah.
Buat gue, ini sudah merupakan jawaban bahwa mereka memang belum resmi jadian. Gue rasa kuncinya di Sylvanie. Rheinatta kurang peka nih.
“Ssst, Bee!” Gue yang semakin nggak enak hati, buru-buru menggelengkan kepala.
Sylvanie tampak memaksakan sebuah senyum. Senyum yang tanggung. Tak seberapa lama kemudian, dia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Kenapa, Syl? Elo ada kuliah, ya?” tanya gue spontan, yang segera diangguki Sylvanie.
Rheinatta tampak menatap kecewa.
“Yaah, jam berapa kuliahnya, Syl? Gue baru juga sampai di sini. Belum sempet nanya, gimana awal nyambungnya elo sama Kendra? Apa iya semenjak acara Art Hours? Kok mendadak sudah dekat begini? Apa kalian berdua dekatnya sesudah atau sebelum wawancara itu? Atau bermula dari sana? Kabar Andhika bagaimana? Sudah kadaluarsa dia? Sudah elo hempas sejauh mungkin? Dan elo sama Kendra itu statusnya gimana, baru dekat, atau sudah jadian, sebetulnya? Terus, sudah ngobrolin apa aja sama Kendra, sebelum gue datang tadi? Belum sempet bilang juga, kan, gue suka banget sama preview tulisan elo tentang klub-nya kita, terus belum sempat tanya, kesannya tentang Kendra gimana?” celoteh Rheinatta panjang lebar.
“Naah … itu barusan apa?” sahut Kendra dan gue berbarengan.
Lantas, kami berdua terbahak.
Padahal, dalam hati gue sesungguhnya cukup malu dengan kepolosan yang diperlihatkan sama Rheinatta barusan. Kepolosan yang beda-beda tipis dengan gangguan yang menyebabkan ketaknyamanan bagi sekitarnya.
Ini bikin gue nggak habis pikir, mengapa semakin kemari, semakin terasa bahwa Rheinatta ini terlampau ekspresif? Cenderung norak dan resek, kadang.
Detik ini gue sampai bertanya ke diri gue sendiri, apakah mungkin, sikap Rheinatta itu telah melekat di dirinya semenjak dul, sebagai bagian tak terpisahkan dari Gadis tersayang itu, hanya saja gue kurang menyadari karena terlampau cinta sama dia? Atau...? Ah! Rasanya nggak mungkin. Iya lah, kami berdua sudah selama itu bersama, bukan hitungan hari melainkan tahunan! Masa gue segitu buta-nya?
“Hon..,” ucap Rheinata tiba-tiba. Mimik wajahnya persis ketika dia sedang merajuk.
Gue lagi mikir, mau minta apa dia? Apalagi pakai acara gelendotan ke lengan gue segala.
Gue langsung menoleh, menatap wajah Rheinatta.
Biasanya, hati gue auto lumer, dengan kemanjaan Rheinatta yang begini. Tapi kali ini, jujur saja gue rada terganggu. Enggak tahu kenapa, sebuah pikiran negatif menghinggapi kepala gue. Gue merasa Rheinatta ini pintar sekali memanfaatkan kelemahan hati gue. Tak tercegah, gue mengeluh dalam diam. Pikiran gue mendadak penat.
Selama ini, perhatian Rheinatta yang paling bikin gue betah deket-deket dia. Sayangnya, belakangan ini gue malah makin merasa kalau dia terlalu kepo, mau tahu urusan orang. Tukang gerecok. Dulu gue pikir, itu gaya ekspresif dia aja. Sekarang? Ah, sudahlah!
“Aku duluan, ya. Lain kali deh, ngobrol lagi,” ucap Sylvanie seraya berdiri dan menyelempangkan tasnya.
“Beneran, sekarang banget, nih, perginya?” tanya Rheinatta serius. Kelihatan jelas bahwa dia nggak rela.
Gue melihat Sylvanie buru-buru mengangguk ke dia.
“Aku temenani kamu deh,” Kendra ikut-ikutan berdiri.
Aksinya itu seolah menegaskan bahwa dia enggan untuk menyia-nyiakan kesempatan untuk ‘lepas’ dari Rheinatta dan gue. Oh. Enggak begitu juga. Tepatnya dalam hal ini, terutama Rheinatta dengan segala kecerewetannya. Yakin gue.
“Nggak usah Ken. Kamu terusin saja ngobrolnya sama mereka,” cegah Sylvanie pula.
“Iya, Ken. Memangnya lo pikir, gue sama Kelvin itu jamur berbahaya, apa? Ya tepatnya gue karena gue paling akhir bergabung sama kalian. Begitu gue dateng, lo berdua bubar, menyusul Si Bram,” canda Rheinatta.
“Bee,” ucap gue pelan.
Gue menggelengkan kepala gue. Gue memberi kode pada Rheinatta untuk membiarkan Kendra dan Sylvanie pergi.
Rheinatta mengerucutkan bibir sesaat, lalu mengangkat bahu.
“Ya sudah deh. Tapi kapan-kapan janji ya, ngobrol lagi. Syl, aku tungguin, lho, Sabtu atau Minggu ini di base camp Edelweiss. Lo ikut latihan, ya?” kata Rheinatta akhirnya.
Gue yakin berat, saat ini Kendra pasti lagi bersorak gembira dalam hati mendengarnya! Sudah bakal terbebas dari cerewetnya Rheinatta, terwakili pula, mengundang Sylvanie untuk datang latihan! Huh. Senyumnya yang ditahan itu. Memangnya gue sebagai Sesama Cowok nggak tahu arti senyumnya dia?
Itu namanya double standard! Mau yang menguntungkan doang dari Rheinatta, dalam hal ini mempermulus niatnya ke Sylvanie. Sedangkan sisi lain dari Rheinatta, dia alergi.
“Vin, Rhein, gue duluan ya,” kata Kendra.
“Vin, Rhein, aku ke kelas dulu ya,” Sylvanie menambahi.
“Oke, deh,” sahut Rheinatta dengan berat hati.
Gue mengangguk dan mengacungkan jempol gue pada mereka berdua.
Kendra bersiap menjejeri langkah Sylvanie menuju kelasnya. Langkah mereka super lambat, sebagaimana umumnya Orang yang sedang saling pendekatan, nggak mau lekas sampai di tujuan dan mau mengulur waktu agar bisa selama mungkin sama Sang Target. Hh, gue juga sama Rheinatta begitu kok di awal-awal hubungan kami.
Sepanjang perjalanan dari kantin hingga ke depan kelas Sylvanie, Kendra terus mengajak Sylvanie ngobrol. Kelihatannya dia tertantang dengan selaksa pertanyaan Rheinatta tadi. Gue yakin bahwa Dia niat banget, hendak memenangkan hati Sylvanie, menjadikan Cewek itu sebagai Kekasihnya.
Sayup-sayup, gue masih mendengar obrolan mereka.
“Syl, seingatku, besok jadwal kuliah kamu juga mirip sama sekarang, kan? Jadi, ada jeda waktu buat kita ngobrol-ngobrol lagi, sebelum kita ke kelas masing-masing. Mau di mana? Di kantin yang tadi, atau di kafetaria depan? Atau, mau di Kansas yang lebih dekat sama kelasmu? Terserah, kamu saja yang pilih. On my treat, deh. Mau, ya Syl?” tuh, kan, Kendra itu bukan meminta persetujuan, tapi tepatnya menodong kesepakatan.
Gue mesem kecil saat mendengar Sylvanie tertawa.
Nggak harus jadi Rheinatta yang celetak-celetuk melulu juga gue sudah bisa memastikan, dari tindak-tanduknya, Sylvanie juga kepengen ngobrol lagi sama Kendra, kok. Malah bisa jadi, Sylvanie sudah sampai pada tahap terbiasa, dengan kehadiran Cowok itu, bukan lagi sekadar menjadikan Kendra sebagai pelarian.
Terus, prasangka gue muncul saat masih menangkap percakapan mereka selanjutnya. Barangkali karena gue lagi kesal sama Rheinatta, jadinya gue agak sensitif. Gue merasa pilihan mereka menghindari kantin adalah karena nggak mau berpapasan atau bahkan ketemu sama Rheinatta. Mereka pasti nggak mau kalau Rheinatta yang ramai itu muncul di tengah percakapan dan mendominasi suasana lagi.
“On your treat? Kafetaria depan tampaknya lebih proper, tempatnya. Jam 12 siang, ya. Aku masuk dulu, ya. Sampai besok,” usul Sylvanie yakin.
Gue yakin berat bahwa senyum Kedra terkembang mendengar jawaban Sylvanie. Sementara gue tersenyum kecut dan melirik ke Rheinatta.
Mereka terganggu sama kamu, Bee. Kamu sadar nggak soal itu..? Tuh, kamu dihindari Orang sampai seperti itu. Enggak banget, kan? Aku saja nggak nyaman. Kamunya?
“With pleasure. Jam 12 ya Syl. Kita ketemu di sana,” sambut Kendra. Cukup keras, bukan lagi sayup-sayup. Mungkin gambaran hatinya yang pasti sedang berbunga-bunga. Mungkin dia juga sudah membayangkan alangkah sempurna makan siang mereka besok didukung suasana kafetaria yang jauh lebih nyaman, dengan pendingin ruangan pula, ditambah lagi minus gangguan dari Rheinatta.
“Hon,” panggil Rheinatta manja.
“Hm?” sahut gue dengan agak malas.
“Aku merasa, sikap kamu sekarang ke aku berubah, deh.”
Gue tertegun. Ini maksudnya apa?
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $