POV Kelvin
Gabrukkk!!!
Suara berdebam yang lumayan keras. Suara badan yang beradu dengan tanah.
Ternyata Cewek galak itu jatuh! Entah karena tersandung atau apa. Yang jelas gue bisa simpulkan, Cewek serampangan macam dia pastinya nggak hati-hati. Itu saja. Dan itu nggak terbantah.
Secara refleks, gue langsung menoleh ke belakang dan melihat dia sedang kesulitan untuk bangun.
Karena terdorong rasa kasihan, gue langsung berinisiatif untuk mengulurkan tangan gue.
Tapi dia nggak merespons.
Dia malahan membuang muka.
Selanjutnya gue melihat dia meringis menahan sakit.
Akhirnya gue mengalah dan berjongkok dekat dia.
“Kenapa?”
Cewek itu nggak menjawab dan malah menampar pipi gue.
Heh! Apa-apaan ini?
Salah gue apa?
“Aduh!”
“Sukurin!” kata Cewek itu, lalu meringis kesakitan lagi.
Gue meraba pipi gue.
“Apa hak kamu nampar pipi aku?”
Dia mendelik, padahal jelas matanya itu sudah mulai berkaca-kaca. Enggak tahu gue, itu dia mau menangis lagi karena kesal, kesakitan, ketakutan atau apa. Bisa jadi semua rasa itu diborong sama dia.
“Harusnya kamu dapat lebih dari tamparan. Dasar Cowok jahat. Nggak punya perasaan!”
Dari yang kesal karena ditampar secara semena-mena, gue hampir ketawa ngakak.
Apa dia bilang barusan? Nggak punya perasaan? Lha memang dia itu Siapa-nya gue? Kenapa juga gue harus punya perasaan sama dia? Aneh!
Selagi gue berjuang buat menahan ketawa gue supaya nggak meledak di depannya, yang gue tahu pasti bakalan membuat dia lebih marah lagi, gue melihat tatapan mata dia mulai berubah, biarpun secara perlahan. Dari yang semula galak dan menyalahkan, sekarang seperti memelas dan meminta pertolongan. Dan lucunya, gue jadi semakin kasihan. Eh, enggak. Lebih dari itu. Gue gemes sama dia. Gue tertarik sama dia. Dan alangkah sialnya, gue jadi berusaha untuk menyembunyikan rasa ketertarikan gue ini. Gengsi dong, kalau sampai dia tahu dan jadi gede rasa.
“Kenapa nggak tolongin aku?” tanya Cewek itu.
“Ya tadi aku sudah ulurkan tangan, kamunya malah melengos, terus pakai tampar pipi aku segala.”
“Itu karena aku kesal, kamu yang bikin aku jadi jatuh.”
“Kok bisa?”
“Ya karena aku ngejar-ngejar kamu!”
Aku tersenyum simpul.
“Siapa suruh ngejar-ngejar aku. Segitu naksirnya sampai ngebet berat? Aku memang se-charming itu sih,” ujarku dengan jumawa.
“Dih! Amit-amit! Bukan ngejar-ngejar dalam konteks itu. Aku ketakutan dan tersesat, kamu malah bukannya menolong. Kamu seenaknya meninggalkan aku.”
Aku melengkungkan bibirku ke bawah.
“Ooooh...., ada yang tersesat rupanya. Makanya, lain kali kalu nggak tahu jalan, nggak usah jauh-jauh perginya,” kata gue sesantai mungkin.
“Jangan banyak ngomong! Bantuin aku keluar dari hutan ini. Antarin aku ke perkemahan. Sekarang.”
Gue tersenyum geli. Timbul rasa isengku untuk menggoda Cewek ini.
“Neng, dimana-mana Orang itu kalau minta tolong, lalui secara baik-baik. Bukan marah-marah begitu.”
“Tadi aku sudah minta tolong baik-baik, tapi kamu yang main pergi begitu saja. Nih, akibatnya, aku jadi jatuh. Dasar nggak bertanggung jawab.”
Gue terusik. Tanggung jawab apaan? Memangnya gue apain dia? m*****i dia? Ye, boro-boro. Orang menyentuh dia seujung kuku dia juga belum. Kan dia yang sudah menyentuh pipi gue malahan. Nyentuh dengan keras, alias menampar! Ya kali gue harus tanggung jawab?
Mendadak Cewek itu menangis lagi.
“Eh Neng, jangan nangis. Nanti yang ada kalau kebetulan ada Orang lewat, disangka aku ngapa-ngapain kamu,” pinta gue serius.
“Nama aku bukan Neneng. Aku Rheinatta,” sahutnya ketus.
Tuh kan! Kepengen ketawa lagi rasanya. Cewek ini benar-benar bikin perasaan gue seperti lagi berada di wahana permainan baru yang seru, naik turun dan berubah secara dinamis. Dan gue kok mulai senang ya, berada dekat dia begini. Tahu nggak kenapa kepengen ketawa geli?
“Kenapa malah senyum-senyum? Memangnya aku lagi ngelawak?” Protes Cewek ini sambil bersungut-sungut.
Sumpah, kali ini gue merasa nggak tega sama dia.
“Sudah. Jangan marah-marah terus. Aku ketawa karena seumur-umur, baru sekali ini ada momen perkenalan yang begitu lucu dan menggelikan. Dan rupanya kita satu kampus, ya. Aku Kelvin. Nah, sekarang kamu pegang tangan aku. Ayo, bangun. Aku antar kamu ke perkemahan,” kata gue dengan suara yang lebih lunak.
“Kamu jahat banget. Dari tadi nggak ngerti juga sih! Hu hu hu!”
Ini Cewek kenapa ya, kok hobby bikin gue bingung?
“Kamu itu nggak peka! Pasti kamu nggak pernah punya Cewek ya! Dan jangan-jangan kamu memang nggak pedulian. Kamu punya Adik Cewek? Atau Kakak Cewek? Atau Saudara Sepupu Cewek? Nanti mereka akan merasakan seperti yang aku rasakan,” kecam Rheinatta.
Tiba-tiba saja gue merasakan hati gue nyeri mendengar perkataannya.
Dalam hati, kepengen rasanya gue menjerit, menyuarakan apa yang selama ini membebani gue, “Nggak usah nyumpahin. Gue bahkan sudah melakukan hal yang buruk ke Adik gue. Meski bukan maunya gue. Dan selamanya, ini akan membebani langkah gue. Kamu itu baru saja ketemu saja gue, nggak usah ikut-ikutan menghakimi segala. Kamu nggak tahu betapa berat gue mencoba berdamai dengan diri gue sendiri. Mau gue hukum diri gue sampai seperti apa juga keadaan nggak akan berubah. nggak akan pernah...”
Tapi nggak mungkin lah. Bisa sawan nanti Cewek ini dan menganggap gue sama membingungkannya dengan dia.
“Kenapa malahan diam?”
Gue mengembuskan napas gue dengan berat dan berkata, “Sudah, nggak usah merembet kemana-mana omongannya. Ayo bangun. Pegang tangan aku!”
“Tuh kan kamu nggak peka!”
Gue mengeluh.
“Nggak peka bagaimana sih? Ini sudah mau dibantuin. Kamu mau sampai hari gelap ada di sini? Terserah!”
“Kelviiiin! Kamu itu Cowok paling jahat yang pernah aku kenal! Aku sumpahin kamu berat jodoh. Aku sumpahin kamu ditinggal sama Pacar kamu pas kamu lagi cinta-cintanya. Aku sumpahin kamu patah hati sampai nggak bisa jatuh cinta sama Cewek lain setelah itu. Dan aku sumpahin kamu kepengen bunuh diri!”
Aku buru-buru membekap mulutnya.
Ini Cewek kalau dibiarkan terus nyerocos, semua perbendaharaan kata terburuk dan sumpah serapah yang dia punya pasti bakal dikerahkan semua buat menyerang diri gue. Bagaimana kalau dijawab sama semesta? Mengerikan dong! Ucapan itu kan suatu doa. Seenaknya saja dia mengucapkan hal-hal yang buruk buat gue.
Dia menyingkirkan tangan gue dengan kasar, lalu menyempatkan menggigitnya.
“Hueeek!” seru Rheinatta lalu berlagak mau muntah.
Gue menjauhkan tangan gue dari mulut dia dan mengibas-ngibaskannya.
“Aduh! Kok pakai gigit segala sih? Bisa rabies nih kalau nggak secepatnya suntik anti rabies.”
Tangannya segera terulur dan memukul lengan gue.
Gue pura-pura mengaduh. Padahal gue yakin, dia juga kesakitan.
Lagian, tangan Cewek lah mau sok-sokan diadu sama tangan Cowok? Memangnya dia Jagoan apa?
“Kamu jahat! Memangnya aku Guk-guk dikatain rabies segala,” cetusnya sambil cemberut.
Serius, hati gue tersentuh. Dan seketika lumer.
Gue rasa coklat yang kena panas juga kalah sama keadaan hati gue saat ini.
Cewek ini rada annoying, tapi annoying nya itu nggak tahu kenapa, menggemaskan! Dan jujur, mendadak gue jadi tertantang buat melindungi dia. Eh? Melindungi? Memangnya dia ini Siapanya gue?
Terus, yang nggak terduga sama gue, dia berusaha untuk bangun dengan susah payah.
Nggak lama setelahnya, gue melihat dia menggigit bibirnya.
“Kenapa? Sakit?”
“Kaki aku..., sepertinya terkilir,” ucap Rheinatta lirih.
Gue langsung merasa bersalah melihat ke dalam matanya.
Secara refleks, gue menghapus sisa air mata di pipinya.
Dia menepis tangan gue.
“Jangan kurang ajar, ya!” Sentak Rheinatta galak.
Tapi kali ini gue nggak menghiraukannya.
“Kamu bisa jalan nggak? Ayo, sini aku bantu bangun,” kata gue.
Tanpa menunggu jawabannya, gue sudah bergerak dan memegang bagian pinggangnya.
Dia menatap dengan tatapan protes dan berniat untuk menyingkirkan tangan gue, tetapi keinginannya terdistraksi sama rasa sakit yang kembali dia rasakan.
Dia mengaduh.
“Aduh, aduh!”
Gue tercekat.
Gue yakin dia nggak akan kuat berjalan walau gue papah. Sepertinya gue harus menggendong dia.
Berdirinya saja nggak bisa tegak.
Dan saat gue melihat hal itu, mendadak ada rasa sakit yang hebat, mengamuk di hati gue.
Seakan-akan yang gue lihat sekarang bukanlah Rheinatta, tapi Adik gue.
Pasti ini teguran keras buat gue!
Gue memejam mata.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $